Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 31, 2008

Hanya Secarik Catatan

Sudah beberapa hari ini aku berangkat kerja dengan sepeda motor. Sepeda motor itu bukan milikku, tetapi milik teman yang sedang melaksanakan tugas penelitian untuk skripsinya di luar Jakarta. Aku lebih menikmati bersemot daripada duduk nyaman di dalam bus transjakarta. Memang harus siap bermandi debu dan asap kendaraan, apalagi saat terkepung di tengah kemacetan hutan Jakarta. Tidak senyaman bus transjakarta yang ber-AC hingga membuatku menggigil. Itu sudah pasti. Namun, aku menikmatinya. Bukan apa-apa, aku hanya lebih menikmati perjalananku dari rumah-kantor dan kantor-rumah. Dengan bersemot kepekaanku serasa terasah, instingku selalu terdesak untuk berinteraksi dengan sekitaranku – entah kendaraan lain ataupun aneka ekspresi manusia yang kutemui di sepanjang jalan.

Ah, Jakarta memang memuakkan dan memabukkan. Aku seolah terjepit dalam adiksi keduanya. Hendak membencinya namun tak kuasa tenggelam dalam birahinya. Kadang aku tertawa geli sendiri saat harus berhenti di perempatan dengan lampu warna-warni merah-kuning-hijau. Bagiku, lampu tiga warna itu tak ubahnya lampu taman yang menghiasi jalan-jalan Jakarta. Lampu-lampu itu hanya menjadi kosmetik bagi wajah modern Jakarta. Semua orang melihatnya, bahkan tahu apa artinya. Tetapi mereka enggan untuk terbelit oleh maknanya. Jakarta memang kota kaum berani. Kalau tidak berani, jangan datang ke Jakarta. Di Jakarta semua orang berlomba mempertahankan hidup dan sekaligus menyia-nyiakan hidup. Aku sendiri tak tahu di mana aku berdiri, karena bagiku di Jakarta batas antara hidup dan bertahan hidup hanyalah sebuah batas yang absurd. Hidup itu sendiri adalah sebuah kegeliatan untuk bertahan agar tidak cepat mati. Namun, toh dalam geliat itu sendiri kematian menampak dalam tarian-tarian lemah-gemulai yang mendayu-dayu menunggu saat klimaksnya.

Bagi Jakarta, kematian tak selalu identik dengan iring-iringan pelayat atau raungan sirine ambulan yang melaju diikuti arak-arakan kendaraan menuju ke pemakaman. Bagi Jakarta, kematian adalah frustrasi, kegelisahan, kemarahan, yang membuat Jakarta seperti pemakaman besar di mana setiap manusianya menangisi dirinya di depan nisannya sendiri tanpa mengusik manusia lain yang juga sedang meratapi kemarahannya. Jakarta [nyaris] kehilangan interaksi. Karena di jalan yang tampak hanya kompetisi – secepat mungkin sampai di rumah atau tempat kerja. Jalanan adalah sirkuit yang memompa adrenalin manusia Jakarta menjadi pembalap-pembalap tanpa aturan.

Tadi aku melihat seorang anak terbalik dengan becak yang dikemudikannya. Becak itu bukan becak penumpang. Yang dibawanya adalah makanan dan tumpukan mangkok yang mungkin hendak dibawanya kepada ibunya atau bapaknya yang sedang menunggu di warung. Mungkin. Karena aku hanya melihat kuah kare ayam dan daging ayam yang tumpah-ruah berhamburan di aspal, mangkok-mangkok yang pecah di bawah becak yang terbalik. Dia hanya lecet, tetapi aku tahu hatinya terluka parah karena hidupnya untuk sehari ini berantakan di aspal Jakarta. Itu nampak jelas di wajahnya. Frustrasi. Gelisah. Aku bukan peramal, tetapi aku yakin pikirannya galau tentang apa yang harus dikatakan untuk ibu atau bapaknya yang sedang menunggunya penuh harap di warung mereka.

Rupanya aku bukan tipe orang yang berani – berani untuk berpikir tentang kelanjutan nasib anak malang itu. Aku hanya berhenti sejenak tetapi tidak beranjak dari jok sepeda motor. Karena aku kalah telak oleh sang waktu yang menaklukkanku menjadi budaknya. Aku hanya menggelepar dalam lecutan cemeti sang waktu yang menghentak adrenalinku tancap gas karena harus bertaruh dengan hidup dan... aku belum mau mati. Aku harus hidup untuk diriku, istriku, anakku, mimpiku... Maafkan aku, kawan.

Read more ...

Thursday, March 27, 2008

Kewel 3 - Natsar Asidah

Satu kali ada Dace deng Etus afsprak baku dapa di Dace pung ruma tagal Uceng, dorang 2 pung tamang skolah dolo, ada datang bawa nanas 4 ika dari Larike.

Etus: Tabea amalatu Dace...beta bisa maso ka ama pung baileu ka?

Dace: Eh, bapa tela, tamang ee...mae nusu ka baileu ni. Ale umur panjang, beta deng Uceng ada bar bilang ale pung nama ni.

Etus: Tabea abang Uceng...su lama paskali katong seng baku lia ni. Ada bae?

Uceng: Salamat baku dapa lai abang Etus. Alhamdulilah, beta, maitua deng anana ada bae samua. Jang kurang hati caca Ija tar bisa iko kamari tagal ada manyimpang deng ator mamasa par Acim kacil pung acara sunat ahad muka ni.

Etus: Istaganaga. Acim yang dolo masi mera-mera abang dukung manyabrang deng spit dar balakang pasar tu, dia su mo basunat jua? Oras ni akang bajalang capat lawang e. Tutu mata buka mata, tarek-lunjur, takojo katong su rambu puti, anana su garser nae-nae badang.

Dace: He, he, Etus...co ale tahang carita tu dolo. Dudu kamari dolo di beta pung tapalang ni. Ale bar maso pintu ruma su mangkera par batanya. Na, bagitu ka. Jadi ale su ada ni, beta kira jang buang tempo lai, abang Uceng bilang maksud suda.

Uceng: Iyo, dangke lai. Abang Dace deng abang Etus, beta pung kedatangan ni ada bawa maksud mo buang suara par abang dong. Kalo wer ada bae, abang dong deng maitua bisa buang langka ka beta ruma di Larike jua. Beta deng Ija ada mo kas sunat Acim kacil ni. Katong seng biking apa-apa abang, cuma mangkali makang sadiki par basudara di Larike deng tamang-tamang skolah dolo.

Etus: Ayoooeee...abang Uceng e, caca Ija ada biking asidah ka seng?

Dace: Oooeee...Etus kamboti ee...ose tar bisa mahanang aer mulu lai ka? Dengar Uceng abis bicara dolo.

Etus: Hihihi...jang mara gandong. Beta pung snup dolo-dolo tu jadi beta sampe lupa diri ni...lanjuuuttt Uceng.

Uceng: Bagitu suda abang ee...Ija memang su kas inga beta jang lupa pi ka Naku bawa nanas 4 ika ni deng kas suara abang Dace deng abang Etus. La turong dar sini dia suru beta singga di pasar par bali tarigu, gula mera makassar, gula pasir. Haji Lan pung pondok di negri cuma jual gula mera surabaya, kalo pake itu asidah rasa sadiki pait. Paleng pas cuma deng gula mera makassar. La ini cuma tagal inga abang Etus pung kukis sayang tu.

Dace: Uceng ee...beta deng kluarga mo bilang dangke lai. Ale su datang manginte katong di Naku ni par kas suara katong deng ale pung hajatan tu. Kalo par beta, mo wer bae ka tar bae, beta deng maitua pasti sampe di Larike par Acim pung sunat. Maar ale kas tau beta dolo, ale pung ruma masi yang dolo to? Yang di muka ada pohong apukat to?

Uceng: Itu akang suda abang. Kalo abang Etus bagumana?

Etus: Uceng ee...ale su tau beta pung hidop te...beta ni mo di Larike ka mo di Hila, mana ada orang game par maso cake beta sorong tamang eee... Mantap abang, beta deng maitua seng undur salangkah lai. Mena....yang penting asidah di muka.

Dace+Uceng: Aahahahahaeeee....kamboti eee...

Uceng: Abang Etus, Ija bilang asidah cuma par abang saja. Asidah seng abis, abang seng bole pulang. Beta su bilang anana Larike par jaga abang Etus cangkol asidah.

Etus: Aooo...Uceng jang ale bagitu. Masa beta musti cake asidah sasandiri bagumana lai? Biar kata kamboti lai, maar jang bagitu ah...

Uceng: Seng abang. Ini katong su natsar asidah par abang saja ni.

Etus: Atangala...ampong jua.

Dace: Ahahahahaeee....mampos ose. Barangkat deng se pung kamboti tu.

Basudara, ini cuma carita hidop orang basudara di Maluku. Mo Salam mo Sarane mo Hindu katong samua anak Maluku. Jang mara kalo ada tasimpir nama...ini cuma hahangkae dar nyong_naku. Amatooo...

Read more ...

Monday, March 24, 2008

Ayat-ayat Cinta Bagi Rakyat Tercinta


Libur panjang selama empat hari cukup memberikan kesempatan untuk meregangkan otot dan urat syaraf. Apalagi ini liburan berkaitan dengan perayaan dua hari keagamaan yakni Maulid Nabi Muhammad SAW (20 Maret) dan Kematian Yesus Kristus (21 Maret). Tetapi begitulah, rupanya metabolisme tubuh sudah sedemikian terbentuk oleh iklim kepadatan kerja dan kemacetan lalu lintas Jakarta sehingga rasanya tidak enak juga kalau terlalu lama berleha-leha. Hari Minggu kemarin saya membeli koran KOMPAS (Minggu, 23 Maret 2008). Sambil lalu membalik-balik halamannya, mata saya terpaku pada satu kolom bertajuk Kagumi Orang Muda, Jusuf Kalla Menonton “Ayat-ayat Cinta”. Jujur saja, ketertarikan saya membaca kolom tersebut sebenarnya lebih didorong rasa ingin tahu apa alur cerita film itu – maklum, lagi tanggal tua jadi hasrat nonton belum kesampaian. Tetapi setelah membaca dua kali, saya agak menyesal karena tidak menemukan apa impresi Wapres Jusuf Kalla (JK) mengenai alur cerita film tersebut.

Membaca kolom tersebut saya malah menemukan beberapa plot narasi berita yang sedikit saja kena-mengena dengan judul kolomnya. Saya hanya ingin mengambil tiga bagian saja yang menarik untuk dicermati:

Satu. “Wapres ingin menonton film itu karena kagum dengan anak-anak muda yang bergiat di balik film yang mencetak rekor jumlah penonton hingga tiga juta.” Jika dapat ditafsir, bagian ini hendak menyatakan secara tidak langsung bahwa JK lebih terdorong menonton film itu karena kagum dengan jumlah penonton yang mencapai angka tiga juta, dan oleh karena itu memberi apresiasi pada kinerja para sineas muda yang menggarapnya. Mari lihat apa kata JK tentang itu: “Saya terus terang kagum dengan anak-anak muda yang ada di balik film itu. Mereka semua kreatif dan semua berusia di bawah 35 tahun”. Substansi dan makna film itu sendiri yang diterima JK sebagai penonton [ternyata] tidak muncul atau direkam dalam kolom berita tersebut.

Kedua. Benarkah JK tidak memberikan impresi sama sekali atas film itu? Ternyata tidak. JK tetap memberikan impresinya, dan ini yang unik: “Ini menandakan pertumbuhan kita sedang terjadi dan belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ini sering luput kita lihat.” Efek dari menonton film itu bagi JK ternyata bukan pada alur narasinya atau pesan apa yang hendak dikomunikasikan oleh para pembuat film itu kepada penikmatnya. Di sini ada semacam ambiguitas pemaknaan, apakah indikator pertumbuhan [ekonomi?] negara ini bertumpu pada tampilnya sineas-sineas muda ataukah pada rekor angka tiga juta penontonnya. Lebih lanjut, agak naif rasanya jika indikator kreativitas orang-orang muda hanya dipaku pada tampilnya segelintir kaum selebritas muda yang membentuk kelas sosial baru dalam masyarakat kita. Pasalnya, kelas sosial baru ini lahir dan bertumbuh dalam suatu dunia kenyamanan yang menyediakan kepada mereka fasilitas melimpah-ruah untuk bereksperimen dalam kreativitas yang mahal ini – apalagi sampai mempekerjakan artis yang berwarganegara, dan sudah pasti berwajah, “asing”. Sementara itu di sebelah lain kehidupan kita, yang luput dari penglihatan kita adalah kinerja kaum muda progresif yang memberi makna berindonesia dengan model kreativitas mereka sendiri, yang jauh dari kilatan blitz kamera wartawan atau rekaman media massa.

Ketiga. Film ini, bagi JK, melahirkan sebentuk tafsir sosial tersendiri sebagaimana dikutip berikut ini: “Wapres mengakui, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi mencapai 6,3 persen, kemiskinan masih tinggi. Dengan terus tumbuhnya ekonomi, Wapres berharap kemiskinan makin terkikis dan jumlah rakyat miskin berkurang.” Sungguh, saya yang bodoh dalam soal ekonomi dan hitung-hitungan matematis mikro/makro ekonomi ini merasa sesak dengan tafsir JK tersebut. Dalam amatan saya, perspektif JK tersebut memperlihatkan bahwa perspektif pembangunan kebangsaan negara ini masih dilihat dalam kerangka kerja evolusioner-alami dan linear dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi – yang kerap menjadi indikator kemajuan atau modernisasi – dilihat sebagai unsur yang dengan sendirinya akan membenahi atau mendorong kemajuan pada bidang-bidang kehidupan rakyat lainnya. Padahal, kita semua saat ini sedang berada pada puncak kemacetan membangun kebudayaan bangsa dan sedang mengalami degradasi kultural, jika bukan sosial-politik, yang sedang membawa republik ini terpuruk.

Lihat saja, sudah berapa ribu keluarga kehilangan rumah, ladang, dan mata pencarian karena semburan lumpur Lapindo, berapa ribu orang yang sedang menatap masa depan kelam karena dipastikan menjadi pengangguran baru pasca dinonaktifkannya maskapai penerbangan Adam Air, berapa ribu keluarga yang merana karena gagal panen karena sawah mereka tergenang banjir yang tak kunjung surut, carut-marut wajah pendidikan nasional yang berhasil mencetak “preman-preman” baru dengan nyali tawuran di jalan [itu jika Jakarta dipakai sebagai indikator masyarakat modern], pemilihan kepala daerah di mana-mana ditandai oleh kecurangan dan aksi vandalisme antarpendukung kandidatnya, desakan-desakan simplistik kelompok-kelompok tertentu yang dengan pongah menganggap pengagungan nilai-nilai agamanya sendiri mampu mengangkat negara ini dari keterpurukannya di segala bidang, dan sebagainya.

Bagaimanakah kita memahami lapis demi lapis masalah bangsa ini hanya dengan bersandar pada satu perspektif tunggal, ekonomi? Saya tidak menafikan bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu sokoguru pengembangan kesejahteraan kehidupan bangsa ini. Sampai saat ini, kita pun masih terbelenggu antara “benci tapi rindu” dengan kekuatan kapitalisme global yang sebenarnya sudah mencengkeram urat syaraf nasionalisme dan ideologi kebangsaan kita. Malah, nyaris saat ini kita tidak lagi bergairah membicarakan kemanakah arah berbangsa dan bernegara kita yang seharusnya dilandaskan pada satu ideologi bersama, yang merangkul seluruh anak bangsa ini dalam satu ikatan kebangsaan yang solid.

Pembangunan ekonomi penting, tetapi bukan satu-satunya. Bagi saya, “Ayat-ayat Cinta” – meskipun saya belum nonton – merupakan suatu refleksi bahwa dinamika kebudayaan dalam masyarakat dan implikasi sosial-budaya kebijakan politik pemerintah mesti menjadi orientasi bersama menghadapi hantaman badai kapitalisme yang makin menggemuruh. Dalam konteks itu, “agama” seharusnya kita tampilkan sebagai salah satu energi positif untuk membangun kehidupan bersama yang majemuk ini. Interaksi positif agama-agama di Indonesia yang terbangun dalam dinamika kreatif selama ini bisa digunakan sebagai suatu idea system yang diterima sebagai hasil perpaduan berbagai pengaruh yang saling berinteraksi dalam jangka waktu bertahun-tahun. Lantas, mengapa harus memaksakan satu pilihan tunggal dalam problem-solving masalah-masalah kebangsaan kita? Setidaknya kita mesti mengakui bahwa tidak ada satu etika agama pun, walaupun dalam bentuknya yang paling murni dan paling “orisinal” sekalipun, yang berkembang dalam suasana yang sama sekali bebas dari berbagai arus pemikiran tentang kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik. Jika demikian, mengapa kita tidak mengambil pilihan untuk membangun suatu etika beragama yang ramah dan penuh cinta dalam roh keindonesiaan kita yang multirupa ini? Bukankah “cinta” itu yang hendak ditawarkan oleh agama-agama sebagai nilai ilahi untuk disemaikan dan ditumbuhkan secara sosial dalam kehidupan bersama kemanusiaan kita?

Saya percaya – lagi-lagi meskipun belum nonton – “Ayat-ayat Cinta” merupakan suatu tawaran kultural bagi bangsa ini yang sedang dirudung awan kelam bencana dan kekerasan sosial-politik-budaya. Dalam hal itu, saya juga yakin bahwa urusan “cinta” dalam “Ayat-ayat Cinta” lebih esensial daripada sekadar curahan emosional hati. Paul Tillich dalam Love, Power, and Justice mengatakan bahwa hidup merupakan cara mengada dalam aktualitas dan cinta adalah kekuatan penggerak kehidupan. Kekisruhan dalam etika sosial, teori politik dan pendidikan disebabkan karena keluncaspahaman terhadap karakter ontologis cinta.

Dalam bahasa keagamaan, “ayat” bukanlah sekadar bagian dari suatu pasal melainkan penggalan-penggalan tekstual yang terbuka bagi suatu penafsiran simbolis untuk ditemukan rohnya dalam aktualita kehidupan manusiawi dan semesta alam. Keberagamaan kita semestinya menjadi upaya mempertautkan secara kreatif makna “ayat” menjadi “adat” (aspek budayawi) kemanusiaan. Jika demikian halnya, bukanlah mustahil “ayat-ayat cinta” menggairahkan seluruh energi sosial kita kepada “adat-adat cinta” dimana cinta-mencintai dalam artinya yang hakiki (Tillich, ontologis) menjadi tradisi dalam kehidupan bersama kita di republik ini. “Ayat-ayat cinta” menjadi kebudayaan mencinta, dimana Sang Tuhan tampil dalam gairah cinta universal yang membongkar tembok-tembok primordialisme dan fanatisme semu, termasuk atas nama Tuhan itu sendiri. Jadi, pak Wapres, menikmati “Ayat-ayat Cinta” jangan melulu dilihat dalam grafik pertumbuhan ekonomi, karena sebagai suatu karya seni “Ayat-ayat Cinta” mesti disimak dalam kacamata tafsir simbolis kebudayaan dan karenanya berpesan tentang sesuatu yang tak terukur oleh rumus-rumus matematis. Kalau jumlah penikmat film itu menembus angka tiga juta itu semata-mata “rakyat” kita sedang haus dengan sentuhan kebijakan penuh cinta. Rakyat sudah jenuh dan sumpek dengan dagelan keadilan, sandiwara kemakmuran, horor penggusuran, thriller kekerasan, dalam reality show keseharian. Kami, rakyat Indonesia, sedang mimpi hidup dalam tatanan sosial-politik-budaya yang penuh cinta, karena agama-agama kami memang ingin agar kami – yang mengaku beragama –tampil sebagai pelaku-pelaku cinta. Well, is it a sort of nightmare or buzzwords?

Read more ...

Tuesday, March 18, 2008

Kewel 2 - Kintal Internet

Basudara tuang jantong hati ee... salamat baku dapa kumbali. Masi inga Etus "kamboti" deng Dace "meti" to? Nah, satu pagi Etus "kamboti" baku dapa deng Dace "meti" di mata jalang ka Negri Ema.

Dace: Slamat pagi nyong Etus. Ada bae ka? Mangapa lai kong par poka-poka ni ale pung muka su takoro macang papaya masa tar jadi? Seng dapa sono ka apa?

Etus: Sudara ee... slamat pagi lai. Ale ni tai mata ada balong karing kapa kong par matahari su pica ni ale bilang beta muka takoro. Ini bukang takoro tapi asli manganto tumbak tagal satu malang dudu ajar barekeng Cemo kacil di ruma.

Dace: Ooo...bagitu. Lalu ini tuang mo pi mana kong su deng kameja neces rambu manyala pamade kacamata molo itang mati nat? Ale su ada asprak iko baris empang di bendar kapa ee?

Etus: Oeee Dace, jang se biking beta mandidi par pagi hari ni. Beta seng asprak par iko baris empang di bendar, tapi ada dapa kertas dari tuang guru Simon tagal su dua hari ni Cemo seng maso klas. Beta su montar dia tadi malang deng cawani rotang jawa sampe minta-minta ampong. Bagumana beta seng jumawa, orang tatua ada basuet tenga hari padis di kabong saban hari asal par lia anana bisa skolah, maar akang ana ni tar unju muka di skolah. Biar seng usa sampe sonto bintang di langit asal bisa par angka orang tatua pung muka sadiki jua. La ini skolah bukang par katong maar par dorang pung hidop nanti te...

Dace: Tamang, hati bole panas tapi ingatang taru tangang par anana musti rasa-rasa lai. Jang sampe ale dapa loko dari om Buce polisi tagal biking kekerasan dalam rumahtangga. Jang ale kira anana tu macang tana mera par biking batu tela, yang cuma nanti par katong ero iko katong pung suka. Su oras bagini katong pung anana pikirang su tabuka. Dong sakarang bukang cuma tau dunya sacubi macang katong orang tatua. Dong sakarang ni su tau dunya pung salekar-salekar apalai deng internet.

Etus: Itu akang suda...Samalang abis ajar barekeng beta dudu baku soal deng Cemo mangapa kong dia seng pi skolah. Dia mangaku "ama, beta pi baku tahela deng tamang-tamang par barmaeng plei stesien (play station) lalu lanjut deng ceting (chatting) di internet". Tungala ampong beta jua...beta memang orang kampong tar mangarti akang barang-barang yang dia bilang tu.

Dace: Etus...Etus..., tagal itu nyong dolo-dolo kalo orang tatua bilang sakolah tu biking akang bae-bae. Sakarang bar ose rasa anana pung barmaeng kuti kata sa ale su tabingong-bingong. Ose tau jareng to? Nah, internet tu macang jareng basaaaarrrr eee... Lalu katong sakarang ni hidop baku tagae, baku tarika, dalang jareng basar ini. Kalo nonton brita di telepisi ale dapa tau perkara apa yang su jadi di Balanda, Amerika, Jepang, pokoknya saantero dunya ni ale bisa tau akang. Jadi katong ni sebenarnya laeng su tau laeng pung kartu. Dalang jareng basar internet katong bisa mangente kasta laeng yang hidop di sebrang lautan. Bukang cuma itu, lewat internet katong bisa bastori kewel deng kasta laeng di tampa laeng ato negri laeng. Anana sakarang ni pung kintal barmaeng su tar bisa nanaku dia pung sipat lai. Ini yang katong bilang "su langgar sipat".

Etus: Istaganaga. Dace, ale ni memang otak paleng encer lai. Maar ale bilang beta skolah tar batul, yo ale sandiri SMP tar sampe-sampe. Ale memang jago tapi jang ale ola beta macang bagitu. Ale seng inga katong dua pancuri tete Cale pung lacing sampe amper sadiki talucu tasungsang dar pohong lacing ka?

Dace: Hahahahaeee... Etus e katong dua ni bado. Tapi beta masi lebe bae dar ale. Mangkanya biar badang-badang saki tagal pameri di kabong tapi jang lupa baca brita nyong... Supaya jang cuma tau tanang kasbi tapi juga tau harga kasbi di pasar barapa, bisa kirim kasbi ka Balanda ka seng, bisa olah kasbi jadi panekuk ka seng...

Etus: Iya bapa suka. Beta bakira jua ee... Jang sampe tuang guru Simon hogor beta tagal beta langgar janji baku dapa deng ontua. Carita pung carita, ale sandiri mo pi mana ni?

Dace: Gandong ee... Beta bale haluang pi kabong dolo. Beta pung langsa su mulai barangke. Beta musti manggurebe jang sampe anana frei skolah lai dong skot beta pung langsa barsih. Salam voor tuang guru Simon lai jua. Bilang dari Dace ana bijiruku waktu ontua masi pegang klas 5 di blakang soya.

Etus: Eya... Nyong pung salamat lai... Jang lupa taru langsa satu kamboti par om Etus ee...

Dace: Se pung kes panta gayang ni...

Jang kurang hati kalo ada yang pung nama sama. Ini cuma stori kewel sa tentang katong pung hidop...


Read more ...

Friday, March 14, 2008

New Leadership, New Vision: the Countdown of Maluku Governor Election


Few weeks ago when I was visiting Ambon my eyes was struck by many huge billboards or banners which picturing some political figures, either those who sited in governmental service or those who served in public spheres. The banners unfolded in the edge along road from Pattimura International Airport to Ambon city. What made me strike is the comments which attaching in those banners. As usual, around the countdown of governor election some figures attempts to promote their profile publicly. They used comments as an effort to attract people's sympathy, even though I think their comments (or promises) are more like buzzwords. They sound ridiculous for me. But eventually I must conscious that political game still need advertising program and likely it is necessary to engage in some "rituals".

Of course, deep down in my heart I also must conscious that it is their rights for every person to promote their self or identity in order to reach their dreams to be a political leader. But I could not understand why the term "political leader" has always been posed as only an objective not tool for empowering the people who had elected them as their representatives to increase people's wealth and life. Politic becomes a word with single-rigid meaning, that is, struggle for destroy opposites and then using power to enrich their own life while many still living in poverty and oppression. For that reason, many people willing to invest their money for their political aims and after that it thought as efforts to gain back more money as far they can do that whatever the ways. In that simple meaning, it could be understand that many people has racing for political positions but forget the essence of political ethic, to serve as loyalty for public needs.

Maluku post-conflict has remaining some critical problems which need to solve by strong leadership. I cannot deny that the governor of Maluku in charge had been doing prominent changes. The changes are not only deal with physical development but primarily about social reconstruction of societal life of Maluku by several political approaches. In that case, I convey my salute for the governor and his staffs for all they did in positive term. During the normalization of Maluku, I think, the process of governor election in Maluku must be put issue of social recovery both sociologically and psychologically as the main orientation of development of Maluku province.

Social conflict, perhaps, was able to solved or muffled. However, the impact of the social conflict had to cope with as deep as its roots. Whereas now it is emerging some new problems deal with huge effects of globalization – of life style until disease – which put Maluku society face to face with new questions around global warming, climate change, etc. In such situation Maluku people needs new leadership or new political vision by which can bring Maluku as a whole toward becoming the sane society and ready to answer the questions of modernity and its impacts.

Here I would like to suggest several visionary comments as my appreciation for Maluku people in their way for empowering themselves during the difficult periods of suffering of conflict. I have no intention to insist them as idealistic ideas but it can only look as my personal view about the process become self-healing community in Ambon.

  1. Strong leadership has to build base on honesty and openness toward public criticism.
  2. Local autonomous open many possibilities to dig potential human resources to manage local problems deal with regulations, illegal logging, media critical interaction, interfaith etc. Maluku people, therefore, needs smart leadership for mapping the problems and take the balance solution by virtue of public welfare.
  3. Empowering the intellectual function of universities (Pattimura, UKIM, Darusalam, STIA, STAKPN, STAIN, etc.) as counter-partners for engaging into critical discourse concerning to increase people's education and scientific networking.
  4. Reviewing and reformulating regulation on "system of village governance" (sistem pemerintahan desa) base on local wisdom and local genius of Maluku people in order to keep cultural diversity in Maluku. It is an important strategy of development for making Maluku as multicultural society without plunge into "tribe-character community".
  5. Positioning all political party as competent mediators between government and people in order to build strong society whose responsibility for establishing people's rights and obligations as citizenship.

What I said above are not political theses but they more likely looked as assumptions or hypotheses that must be test critically in the future. As such, it can be right or wrong depend on our intention and perception of it. But it can be also regard as an invitation to step forward into new hope that Maluku people needs new leadership with new vision; vision of hope not death, vision of light future not dark promise, vision of togetherness not fragmented, vision of wealth not impoverish. Mena Muria!

Read more ...

Tuesday, March 11, 2008

Letter to My Son - Kainalu

Dear my son Kainalu,

I write this letter in 2008 when the situation of Ambon comes to normal. I have something which I would like to share you. These pictures I found while I was rearranging our house after flood early February 2008. You know, it was very mess. But I felt happy when I saw these pictures since I could refresh my memory during the hard time of Ambon conflict. Yes, I was a young fresh graduate from a small university in Ambon, UKIM. Nevertheless, UKIM student had proven their existence as tough people, who consistently doing their works as student in abnormal condition. I am very proud for them! I also very proud because I am a part of them! I hope these pictures always being critical signs that friendship will make you conscious that you are not alone...

Since our campus was destroyed in the middle 2000 all students activities had removed to school compound in Batugantung. This picture took at temporary "shelter" which we used as office of student council of Theological Faculty UKIM Ambon. We suffered because lack of facilities to drive many student programs, but gradually we could enjoyed such situation. In this unproperly room we often arranged discussion around many topics deal with conflict resolution and the possibilities to build critical theological reflections about Ambon conflict. From left to right: Elisa Erupley, Steve Gaspersz, Jusuf Anamova, [?], [?], Jondry Paais and Peter Salenussa.


In front of our "shelter". We combined student office with small shop to met student daily needs such as paper, pen, ruler, pencil, book, ink, soap, etc. Can you imagine how suffered students during that hard situation? Especially for those whose parents live outside Ambon island. They could not contact their sons/daughters in Ambon. Ambon at that time is almost totally isolated. But we thank God that we can experience it as historical actors who someday will tell our child or grandchild that "war" absolutely bull-shit. That stupid "war" just brought our generation into nothingness and destruction psychologically. What is it all about? To defense our religions, to show-off the power of arrogance on behalf of our "god"? The answer is on our shoulders, the next generation of new hope in new earth which peace and brother/sister-hood stay as the power for eliminating violence. I believe you understand that and living your life with peace for all human beings.

with my whole heart to you, my son
Kainalu Anariosa Gaspersz






Read more ...

Monday, March 10, 2008

Mengasihi Musuh? Cape Deh…

Sahabat saya, Pdt. Elifas Maspaitella, M.Si, menulis satu artikel menarik di blognya (kutikata.blogspot.com) bertajuk "Susahnya Mengampuni". Saya tidak tahu konteks apa yang menginspirasinya dan kemudian menuangkannya dalam tulisan tersebut. Setahu saya, dia selalu menulis berdasarkan amatan kritisnya terhadap konteks sekitarannya lalu dianalisis yang kemudian ide-idenya tumpah-ruah dalam tulisannya. Tetapi, okelah, soal background tulisan itu biarlah cuma dia yang tahu. Namun setidaknya tulisan tersebut telah membawa saya kepada percik permenungan yang lain, tentu dari sudut pandang yang berbeda, mengenai tautan wacana "pengampunan". Impuls-impuls imajinatif saya tiba-tiba baku tagae alias nyantol pada satu pernyataan Yesus yang tertulis dalam Injil Lukas 6:27-36 (nanti baca aja sendiri ya, soalnya kepanjangan kalau mau dikutip seluruhnya di sini). Saya hanya ingin mengutip pernyataan yang paling dikenal saja: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu...". [Oh ya, sejauh ini saya masih Kristen-Protestan. Jadi, saya lebih condong mengeksplorasi keberimanan saya berdasarkan tradisi Kristen-Protestan. Bisa jadi, di kemudian hari saya berniat bertualang dalam pencarian Tuhan dalam aneka komunitas religius yang lain... Who knows? Toh, Sang Tuhan itu pun bergerak liar dan bebas mengunjungi manusia yang dikasihi-Nya tanpa penyekatan "institusi agama" apapun.]

Topik "mengasihi musuh", saya kira, merupakan topik yang paling tidak populer bagi setiap orang. Topik ini sering dihindari dalam banyak percakapan, diskusi gerejawi dan bahkan khotbah-khotbah di gereja. Kutipan pernyataan Yesus di atas kemudian bermuara pada apa yang disebut "kaidah emas" (golden rule): "dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka" (ayat 31). Pernyataan serupa terungkap pula dalam Matius 7:12 "segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi". Artinya, menurut Matius, Yesus sungguh-sungguh membangun etika pelayanannya di atas dasar pemahaman keagamaannya (Yahudi). Yesus tidak anti-Taurat tetapi terus-menerus hendak menanamkan pengertian baru yang lebih segar dan relevan daripada yang diajarkan sebagai rutinisme oleh para ahli Taurat sezaman.

Mengapa topik ini tidak populer bagi banyak orang? Setidaknya ada dua alasan: [1] sejak masa Pencerahan (enlightenment/aufklarüng) manusia tersiram cahaya rasionalitas bahwa kebebasan untuk berpikir tentang dirinya dan dunianya tidak lagi dibatasi oleh pagar norma-norma keagamaan (teologis) yang dibangun oleh institusi keagamaan (gereja). Sejak saat itulah ajaran-ajaran [berbau] agama dianggap spam karena dianggap hanya menawarkan ekstase akhirat tanpa bergulat dalam realitas konkret kemanusiaan yang belepotan dengan sejuta problem tak berjawab. "Mengasihi musuh", antara lain, dianggap sebagai utopia karena dunia justru sedang mengarah pada "perang", baik secara fisik maupun ideologis, yang tentu berakhir pada polarisasi "pemenang-pecundang" (winner and looser); [2] Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan untuk mencari kepuasan intrinsik yang kemudian dipahami sebagai "kehendak bebas" (free will), yang kerap mewujud dalam tindakan-tindakan melawan aturan atau hukum sosial.

Dua alasan di atas mempunyai efek yang luas (sosial, ekonomi, budaya, teknologi, teologi). Tetapi, bukankah semua itu adalah konsekuensi historis dari sebuah perkembangan zaman? Kenapa harus dicurigai? Sebenarnya, jika hendak menempatkan pernyataan Yesus dalam konteks hidup kita sekarang, [si]apakah musuh kita?

Bisa jadi, ketika mendengar pertanyaan tentang "musuh" imajinasi kita langsung menerawang pada gambaran "orang" yang bermuka masam, cemberut, marah-marah pada kita atau yang sering membuat kita tersinggung dan sakit hati. Tetapi, pernahkah kita membayangkan wajah "musuh" justru sebaliknya: murah senyum, [seolah-olah] bersahabat, memberi kita kenikmatan [yang menjerumuskan], membuat kita mabuk, dsb? Kebudayaan global dengan segala tampilannya saat ini telah menawarkan kepada kita suatu ekstasi gaya hidup yang "nyaman", tetapi bukan berarti tanpa resiko. Itulah sebentuk "ideologi" yang sekarang sedang merasuki kehidupan masyarakat kita dan menggiring kita ke arah tujuan yang tak menentu. Memang, perubahan paling radikal dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat agaknya justru sedang berlangsung dengan cara paling damai, nyaman, diam-diam, tanpa gejolak: tiba-tiba saja masyarakat tercerabut dari aras tertentu dan lalu tak diperlukan lagi perubahan dalam arti riel yang dicita-citakan bersama.

"Ideologi" yang baru, merasuk tidak lewat indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran dan sejenisnya, tetapi lewat gemerlap iklan, sihir program-program televisi, tawaran gaya hidup yang "wah", yang kemudian mendekonstruksi atau mengubah kebudayaan bersama maknanya yang selama ini dikenal orang pada kajian baru. Saat ini sedang terjadi "perang" massif, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi atau uang, dalam perlombaan keserakahan untuk menjadi kaya, serta bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya. Kalau dulu, sebagian orang merasa "tidak perlu" pamer kekayaan dan karenanya cenderung tampil modest meski kaya, kini apa gunanya kaya kalau tidak dinikmati habis-habisan? Kaya itu enak dan perlu. Lalu apa yang membatasinya? Hanya langit.

Mari kita intip contoh McDonald's. Di Oak Brook, Illinois, daerah pinggiran kota Chicago, berdiri tersebar bangunan-bangunan besar kantor, plaza, universitas, hotel, selain hutan dan danau yang tampak dilestarikan. Di situlah "markas besar" McDonald's, usaha waralaba (franchising) yang bergerak di penjualan hamburger yang restorannya tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Melihat mabes McDonald's kita akan menyadari bahwa di balik struktur organisasi dan pengendalian usahanya terbingkai suatu "ideologi": McDonald's tidak hanya membikin makanan tetapi "mencetak manusia [hamburger]"; tidak menciptakan hamburger tetapi kebudayaan; bukan hanya mengurus masalah perut tetapi gaya hidup. Seperti halnya Levi-Strauss meroket dalam popularitas global dengan blue-jeans, yang terjadi sebenarnya adalah proses produksi yang mengikuti desain kebudayaan berupa standarisasi dalam skala global.

Untuk menyebarkan virus ideologi "manusia hamburger", McDonald's mendirikan Hamburger University di Oak Brook. Mereka sadar bahwa bukan makanan yang mereka proses, tetapi konsumen. Yang distandarisasi bukan hanya makanannya tetapi konsumennya. Sehingga mengonsumsi produk McDonald's bukan hanya untuk kenyang, tetapi juga elevasi kebahagiaan manusia yang sadar perlunya makanan dan kebiasaan makan sehat. Tak berlebihan jika ada pendapat (Clive Bloom) yang melukiskan kekuatan McDonald's sebagai penetrasi "ideologi Amerika". Sebuah dunia yang nyaman, enak, bersahabat dan pas untuk konsumsi domestik. Memasuki dunia McDonald's, Coca-Cola, Levi 501s, Anda tak perlu memikirkan dunia yang kian ruwet. Masa Perang Dingin telah usai. Penetrasi "ideologi" tidak lagi lewat paksaan moncong senjata dan infiltrasi spionase, melainkan tawaran yang adem, damai, nyaman, atau kata orang Amerika: have fun. Lagipula, tidak ada kata gagal dalam kamus McDonald's. Karier seseorang di McDonald's tidak ada batasnya – batasnya cuma langit.

Kalau begitu, apa yang salah dengannya? Kenapa kita harus melihatnya sebagai ancaman atau musuh? Kita sudah tentu tidak bisa menghindarinya karena tsunami kebudayaan massa ini sedang menerjang sendi-sendi kehidupan kita: mulai dari urusan rambut sampai kuku kaki. Apa yang bisa kita lakukan paling-paling hanya mengenalinya agar – semoga – tidak tergulung oleh gelombangnya dan jungkir-balik tanpa arah, yang pada gilirannya menghempaskan kita di batu karang realitas yang membinasakan kemanusiaan dan ekosistem bumi.

Apa yang hendak kita refleksikan di sini ialah "kehati-hatian" atau "kritik ideologi" terhadap gaya hidup yang sebenarnya sedang menjerumuskan kemanusiaan kita pada keterasingan (alienation). Ketika manusia turun nilainya menjadi "komoditas" maka lambat-laun atau segera pandangan kita terhadap diri sendiri dan sesama akan ditentukan oleh komoditas tempelan yang disandangnya (parfum, busana, sepatu, tongkrongannya, konsumsi, tujuan wisata, merek HP, dsb). Hubungan kita tidak lagi terbangun secara genuine sebagai hubungan kemanusiaan. "Mengasihi musuh" adalah suatu tindakan radikal yang berarti "menerima segala perkembangan yang penuh resiko tanpa kehilangan sikap kritis [keberanian berjarak] dengannya". Pada titik itulah letak kesulitannya yang lagi-lagi oleh Yesus disebut sebagai keberanian untuk menyangkal diri.

Anda mungkin menganggapnya sebagai "cerita besar" (grand-narrative), tak apalah. Tetapi ini bukan bualan besar karena cerita besar ini sedang menjadi cerita kita bersama, yang menggulung kita dalam alur narasi hidup bersama sejagat, baik yang hidup di kota-kota megapolitan hingga ke desa-desa paling ndeso di titik-titik peta dunia yang selalu tak menarik untuk diperhatikan. Kita semua sedang ditelan ke dalam situasi yang sempoyongan dengan ekstasi gaya hidup. Seandainya Yesus hidup di abad ini, saya percaya Yesus pun akan bergaya hip-hop, dengan menenteng HP Nokia Nseries 3G, atau dia duduk di Mal Senayan City mengajar orang banyak sambil membawa mereka keliling untuk shoping; kalau lapar mungkin tidak sempat singgah di rumah Zakheus [yang nangkring di plafon koridor bus transjakarta], melainkan nongkrong di McDonald's, KFC atau Pizza Hut. 'Kan lebih asyik. Adem lagi. Tetapi, saya percaya bahwa Yesus postmodern pun masih punya waktu dan energi untuk bekerja bagi pelayanan kaum miskin tergusur – entah oleh banjir atau oleh satpol PP – bukan karena miskin-papa, melainkan karena mereka adalah sesama manusia yang harkat-martabatnya tak lebih tak kurang dibandingkan kaum berduit dengan tunggangan mercedes bens atau BMW. Saya percaya Yesus postmodern juga tetap punya konsistensi dan resistensi dalam perubahan sosial yang makin merakyatkan kemelaratan, termasuk perlawanan terhadap pelecehan kaum perempuan dalam sweeping PSK yang tidak manusiawi dan penuh kemunafikan. Dalam karya klasiknya Love, Power and Justice, Paul Tillich juga menyatakan bahwa urusan "mengasihi" bukanlah urusan personal-emosional semata, melainkan masalah ontologis yang baku tarika atau terikat dan terkait dengan soal keadilan dan kekuasaan.

Wuaaahh... cape deh!

Read more ...

Hasrat Untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
aku bermimpi ingin mengubah dunia.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,
kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit,
lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.

Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya.
Ketika usiaku semakin senja,
dengan semangatku yang masih tersisa,
kuputuskan untuk mengubah keluargaku,
orang-orang yang paling dekat denganku.

Tapi celakanya, mereka pun tiada mau diubah!
Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang tiba-tiba kusadari:

"Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin aku bisa
mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
bisa jadi aku mampu memperbaiki negeriku,
kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia!"

Terukir di batu nisan sebuah makam
di Westminster Abbey, Inggris 1100M
Read more ...

Monday, March 3, 2008

Gusur-Geser-Garser

Bagi sebagian besar orang – khususnya kalangan muda – tanggal 14 Februari setiap tahun selalu dinanti. Sudah lazim di seluruh dunia "14 Februari" diingat sebagai Valentine day atau hari kasih sayang. Nuansa romantis yang menyemburat dari tampilan merah muda (pink) terpamer di mana-mana, mulai dari mal-mal hingga fitur-fitur sms/mms yang bertatitut di hp-hp kaum ABG.

Tetapi rasanya nuansa kasih sayang itu tak mampu dirasakan gempitanya oleh kalangan pedagang pasar kaget – yang belakangan dilabel sebagai pedagang kaki lima (PKL) – di kawasan Batumeja Ambon. Kenapa? Karena justru pada hari "kasih sayang" itu mereka menerima perlakuan yang sama sekali tak terasa kasih dan sayangnya. Pada 14 Februari 2008 pemerintah kota Ambon dengan dukungan kesatuan khususnya, "batalyon" polisi pamong praja, menggusur bersih lapak-lapak dan kios-kios PKL Batumeja. Berdasarkan pengalaman "menggusur" beberapa waktu sebelumnya memang tak nampak perlawanan berarti dari kelompok PKL yang digusur. Katanya sih, mereka – maksudnya para pedagang kagetan – cukup sadar bahwa program penggusuran PKL di sepanjang jalan protokol kota Ambon yang kecil-mungil ini merupakan salah satu program pemkot untuk menata-ulang kota Ambon yang porak-poranda selama "konflik" sejak 1999. sejak "konflik" itu, konstelasi sosial-politik Ambon memang nyaris tanpa hukum, kecuali hukum rimba.

Namun, situasi sudah berubah. Kelompok PKL Batumeja ternyata tidak mau menerima begitu saja perlakuan penggusuran dari Satpol PP pada valentine day itu. Sempat terjadi perdebatan alot antara pedagang dan anggota Satpol PP, bahkan nyaris adu fisik, jika saja beberapa anggota polisi diturunkan untuk menengahi ketegangan tersebut. Maklumlah, kan malu juga kalau terjadi kericuhan di dekat mapolda Maluku. Penggusuran pun berjalan lancar.

Menariknya, pascapenggusuran para pedagang ternyata kembali menggelar komoditas dagangan mereka meskipun hanya di atas meja sederhana. Sudah tentu bisa ditebak. Satpol PP untuk kedua kalinya menggusur mereka dan memberi peringatan bahwa kawasan tersebut akan dibersihkan dan diperbaiki infrastrukturnya sehingga kembali pada fungsi awalnya: jalan raya.

Para pedagang Batumeja berkilah bahwa Pasar Tagalaya yang menjadi tempat relokasi mereka sama sekali tidak strategis dan representatif. Sementara oleh sebagian media lokal di Maluku, sempat direkam komentar beberapa pedagang yang sudah masuk ke Pasar Tagalaya yang menyatakan bahwa anggapan Pasar Tagalaya tidak strategis itu keliru. Namun, ternyata soal menggusur ini tidak hanya sekadar soal lokasi baru yang lebih strategis atau representatif. Dalam ketegangan antara pedagang dan satpol PP saat terjadi penggusuran juga terdengar umpatan-umpatan terhadap walikota Ambon, Jopie Papilaya. Sakit hati saat digusur memang wajar, tetapi mengumpat figur politik (representasi penguasa) tentu merupakan ekspresi yang menarik untuk dicermati. Pasalnya, apakah kebijakan pemkot untuk menata-ulang kota Ambon merupakan sesuatu yang menggilas hak-hak warga kota untuk berusaha dan menikmati hasil usahanya? Jawabannya bisa saja "ya", jika pihak pemkot tidak menyediakan alternatif bagi kelompok yang tergusur. Lalu, bagaimana dengan lokasi Pasar Tagalaya yang menjadi alternatifnya? Katanya tidak strategis. Soal strategis atau tidak strategis tentu merupakan suatu asumsi yang sumir, karena tergantung bagaimana sistem pengelolaan pasar tersebut yang didukung oleh sinergitas lintas dinas badan, sehingga "pasar" itu mempunyai akses yang bisa ditempuh oleh setiap lapisan masyarakat – yang berangkot maupun yang bersedan pribadi.

Toh, ketika masa-masa berat sejak konflik 1999 tak seorang pun memikirkan mana tempat strategis untuk menggelar dagangan kagetan. Yang penting bisa jualan dan dapat untung. Itu sudah cukup.

Seiring pergeseran waktu, terjadi pula banyak perubahan dalam konteks sosial-politik-ekonomi kota Ambon. Fenomena pasar kaget Batumeja memperlihatkan sebenarnya proses perkembangan ekonomi yang tidak biasa. Tarik-ulur dalam proses penanganannya menunjukkan bahwa persoalan pasar kaget ini bukan hanya sekadar soal "kecap manis", "sayur", "ikan", "bumbu dapur" dan sebagainya, melainkan sudah masuk dalam persoalan kebijakan politik menyangkut fasilitas publik. Nah, kalau sudah sampai di simpul "politik" ini sudah pasti banyak cantolan kepentingannya – yang ujung-ujungnya siapa dapat apa dari proyek pasar dan gusur-menggusur itu.

Fenomena Batumeja sebagai pusat perekonomian bukan hal yang baru. Untuk kurun waktu yang cukup lama Batumeja menjadi terminal perdagangan bagi kelompok perempuan papalele dari negeri-negeri di "gunung", seperti Soya, Hatalai, Naku, Kilang. Mereka menjadikannya terminal karena pada dasarnya kaum perempuan papalele jarang sekali menggelar dagangannya secara menetap. Sesuai namanya, "papalele" berarti "berjalan berkeliling menjajakan dagangannya". Kenapa harus berkeliling? Karena yang mereka jajakan bukanlah termasuk komoditas tahan lama, seperti buah-buahan. Batumeja menjadi terminal ekonomi karena di situlah mereka juga saling barter komoditas di antara sesama perempuan papalele. Setelah barter, mereka kemudian berjalan berkeliling. Jika habis, syukur. Jika tidak pun, mereka dapat membawa pulang sisanya untuk dikonsumsi oleh keluarga. Jadi, tidak ada istilah merugi. Dalam tesisnya bertajuk "Papalele: Ajang Berteologi Perempuan Ambon" di Universitas Kristen Satya Wacana, Nancy Souisa melakukan penelusuran dan wawancara mendalam dengan sejumlah perempuan papalele di beberapa lokasi kota Ambon. Konfrontasi teoretis asumsi-asumsi sosio-ekonomis yang dilakukannya sangat menarik dalam membedah realitas papalele kaum perempuan Ambon, yang ternyata menampilkan suatu temuan bahwa aktivitas papalele tidaklah semata-mata untuk kepentingan ekonomis. Ada makna lebih dalam dari itu menyangkut keberlangsungan hidup dan harmoni secara sosiologis dan ekologis.

Pascakonflik 1999 hingga kini (2008), Batumeja rupanya tetap menjadi pusat perekonomian tetapi dengan makna sosiologis yang baru. Realitas konflik telah menguatkan eksistensinya sebagai pusat perbelanjaan yang [semi-]permanen, yang kemudian mengalami tabrakan kepentingan dalam manajemen tata ruang perkotaan oleh pemkot Ambon. Dalam konteks inilah, penataan Batumeja dan relokasi para pedagangnya mesti dilakukan dalam suatu mekanisme kebijakan publik yang transparan. Alasan bahwa pemkot sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali adalah alasan basi, karena bisa saja tidak menyentuh inti masalahnya atau memang tidak sampai pada alamat yang tepat. Dalam hal ini, ada calo-calo politik yang mencoba menjadikannya sebagai proyek negosiasi dengan pemkot untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.

Transparansi antara kelompok pedagang dan pemkot menjadi penting untuk mengeliminasi kelompok-kelompok kepentingan yang ingin menjadikan rakyat sebagai "kuda tunggangan", dan pada pihak lain, mengajak [kelompok-kelompok] rakyat melakukan pembelajaran politik dalam mengelola kepentingannya sendiri yang simultan dengan kepentingan bersama warga kota. Jika sudah bicara kepentingan bersama, itu berarti harus bebas dari segala labelisasi, termasuk "agama". Sudah tentu, label "pasar Kristen" dan "pasar Islam" tidak lagi relevan jika kita memang – pascakonflik – berkomitmen menjadikan masyarakat Ambon sebagai masyarakat multikultural. Di dalamnya kita belajar mengelola perbedaan tanpa bersitegang, menata relasi tanpa [harus] konfrontasi, dan membangun etika publik tanpa [mesti] konflik.

Dalam konteks itu pula, pemkot Ambon harus belajar bahwa rakyat tidak bisa terus-menerus menjadi kambing hitam dari segala keruwetan tata kota. Oleh karena itu, aspek-aspek kebijakan publik – terkait dengan relokasi pedagang Batumeja – harus ditempatkan sebagai orientasi pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Tidak lagi menjadikannya sebagai ajang "penggeseran" kekuasaan lawan politik di antara kubu-kubu politik lokal. Sehingga apa yang diharapkan dari seluruh proses sosial-politik tersebut adalah suatu wajah sosiologis masyarakat urban yang matang dalam membangun kehidupannya – demokratis, menghargai hak-hak hidup kemanusiaan, mengelimasi kekerasan, mengutamakan diplomasi daripada negasi, yang semuanya mengarah pada terbangunnya civil society yang bertumbuh secara wajar. Istilah orang Ambon, "jang pele-pele garser". Rasanya tiga kata berikut ini perlu dipertimbangkan menjadi sebuah pilihan: gusur-geser-garser. Pilih mana?

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces