Aku menulis maka aku belajar

Friday, April 23, 2010

Betul, Betul, Betul...


Kalau Anda tidak pernah nonton film kartun “Ipin dan Upin” produksi salah satu stasiun tv Malaysia, Anda tentu sulit membayangkan intonasi pengulangan kata “betul” pada judul di atas. Figur Ipin dan Upin memang sedang naik daun sekarang. Bukan hanya karena kejenakaan mereka tetapi juga karena film kartun berdurasi 1 jam ini kental menampilkan nuansa Melayu dengan bobot edukasi berkualitas tinggi. Tidak mengherankan hanya dalam beberapa tayangannya oleh TPI dengan segera “Ipin dan Upin” telah menjadi idola di kalangan anak-anak Indonesia. Bahkan gaya khas Ipin yang selalu menimpali segala hal dengan kata-kata “betul, betul, betul” kini menjadi ungkapan yang popular dalam percakapan masyarakat Indonesia.

Ketertarikan pada film seri “Ipin dan Upin” dimulai ketika pada jam tayangnya anak kami, Kainalu, selalu minta untuk pindah ke saluran TPI. Setelah beberapa kali mengikuti tayangannya, saya juga merasakan ada sesuatu yang atraktif pada film itu. Bukan karena kecanggihan animasi ala Naruto atau Ben 10, tetapi pada muatan edukasi yang disampaikannya secara sederhana, ringan, jenaka. Bukan hanya itu, menonton “Ipin dan Upin” seolah menyedot kita pada kekayaan dimensi khazanah kebudayaan Melayu dan Asia, yang mau tak mau membuat kita merasa “ini film kita”. Lihat saja bagaimana penampilan berbagai karakter dari teman-teman si kembar Ipin dan Upin: Mei-Mei yang berlatar Tionghoa, Ismail, Ijart, Ehsan, dll. Semuanya terasa akrab di telinga Asia-Melayu kita.

Kita boleh saja – dulu – mencak-mencak bahwa Malaysia telah banyak “nyolong” unsur-unsur budaya yang katanya adalah budaya Indonesia. Tetapi kita sendiri melihat bahwa semua tindakan kita dalam menanggapi Malaysia kemudian hanya terbentur pada dinding retorika dan reaktif. Tidak ada sama sekali upaya sistematis untuk menanamkan matra-matra kemajemukan yang menjadi karakter keindonesiaan kita melalui suatu paket edukasi yang sungguh-sungguh berakar dalam struktur kesadaran anak-anak. Sebaliknya, stasiun-stasiun tv kita hanya sibuk berlomba-lomba menayangkan kerusuhan dan kekerasan. Berulang-ulang. Tayangan tv Indonesia menjadi membosankan dan tak ramah bagi pertumbuhan kesadaran anak-anak, yang kemudian mengukuhkan kesadaran bahwa kekerasan adalah jalan terbaik mencapai keinginan. Itukah yang memang ingin kita wariskan kepada anak-anak kita?

Ipin dan Upin menjadi suatu tayangan alternatif yang membawa anak-anak kembali ke dalam dunia mereka. Dunia bermain dan belajar dari pengalaman-pengalaman sehari-hari. Jauh dari kesan hipokrisi karena sarat muatan pesan-pesan agama yang tidak kontekstual. Pemahaman keagamaan ditanamkan bersamaan dengan kesadaran akan kemajemukan realitas hidup bersama: dalam pergaulan teman-teman dari berbagai latar belakang etnis, suku, agama, bahasa. Saya melihat bahwa melalui penayangan Ipin dan Upin, Malaysia benar-benar serius mengelola pemahaman identitas mereka sebagai bangsa Asia-Melayu. Bisa dikatakan bahwa Malaysia sedang merekonstruksi kesadaran identitas Asia dan Melayu melalui penancapan ideologis kultur Melayu. Dan, tentu saja, jangan kita kaget kalau suatu waktu hampir sebagian besar khazanah budaya Melayu dan Asia diklaim sebagai cultural heritage dari Malaysia. Dan Malaysia membuktikan bahwa merekalah yang “truly Asia”. Kalau sudah begitu, maka saya cuma bisa mengikuti gaya Ipin: BETUL, BETUL, BETUL…

Read more ...

Tuesday, April 6, 2010

Dawn in Amsterdam

Untunglah Yanes dengan senang hati menerima saya tinggal dulu di kamar kosnya, di seputaran jalan Proklamasi Jakarta Pusat, sampai hari keberangkatan ke Belanda. Dia sendiri pada hari kedatangan saya harus pergi ke Bandung untuk suatu acara bersama rekan-rekannya. Jadilah saya sendirian yang menjaga kamar kosnya. Semua kamar kos kosong karena para penghuninya (sebagian besar mahasiswa STT Jakarta) sedang liburan Paskah. Tak apalah. Cuma sedikit kerepotan cari makan mengingat hari libur warung-warung tutup.

Waktu bertemu Dr Jan Aritonang di kantornya, beliau memang mengatakan saya bisa tinggal di guest-house STT Jakarta. Tapi barang-barang saya sudah telanjur di kamar kos Yanes. Repot lagi kalau musti dikeluarkan dan pindah ke STT Jakarta. Jadi saya memilih untuk tetap di kamar kos Yanes. Gak enak juga sih dengan Yanes. Soalnya sebelum ke Jakarta sudah kontak dia minta untuk bisa tinggal di kamar kosnya sampai hari keberangkatan ke Belanda.

Kemacetan ketika mendekati bandara Soekarno-Hatta cukup mencemaskan. Max Tontey (teman dari Manado) menelepon memberitahu bahwa dia sudah di terminal 2 dan menunggu saya supaya bisa check-in sama-sama. Saya sendiri masih terjebak kemacetan. Untunglah macetnya sudah dekat terminal 2. Setelah berada di antrean panjang pemeriksaan visa saya dan Max (juga ibu Sience) akhirnya sampai di ruang tunggu. Tepat di luar loket pemeriksaan bertemu pak Aritonang dan Yudas Haba. Kami masuk ruang tunggu bersama-sama.

Penerbangan yang panjang dan melelahkan. Hampir 12 jam. Akhirnya, kami mendarat di Internasional Airport Schiphol.

Angin dingin terasa menusuk ketika kami turun dari pesawat (KL 810). Subuh kami mendarat di bandara internasional Schiphol Amsterdam. Kami berlima: Dr Jan Aritonang (STT Jakarta), Yudas Haba (Fak. Teologi UKAW Kupang), Max Tontey (Fak. Teologi UKIT Tomohon), Sientje Loupatty (STT I.S. Kijne Papua) dan saya. Kami mendapat undangan untuk mengikuti Seminar Internasional Arsip Zending oleh salah satu organisasi gereja di Belanda. Saya dijemput oleh Pdt. Verry Patty dan anaknya, Ephraim. Kami langsung menuju ke Haarlem, sementara Ephraim ke Den Haag.

Saya tinggal bersama keluarga Patty-Sapuletej di Haarlem sampai nanti menjelang seminar digelar. Sedangkan teman-teman langsung ke Utrecht naik trein (kereta antarkota). Sebenarnya bisa saja saya ikut teman-teman ke Utrecht, tapi memang sebelumnya ada sedikit perubahan yang tidak sempat saya sesuaikan. Sehingga saya tetap pada rencana tinggal di Haarlem dulu.

Tak banyak yang berubah sejak saya di Belanda 7 tahun silam. Tentu saja tetap ada kenangan-kenangan penuh kesan ketika dulu berjibaku dengan studi di negeri ini tahun 2003. Sampai di Haarlem, saya disambut hangat oleh usi Agu, istri Pdt. Verry Patty, dan Phillip, anak bungsu bung Verry dan usi Agu.

Setelah beristirahat dan makan, saya dan bung Verry pergi mengunjungi beberapa kerabat di Amsterdam (Benjamin Thenu), Barneveld (Oma Mien, bung Ulis Tahamata), dan Mordrecht (bung Jopie Frasiscus). Cukup panjang dan melelahkan perjalanan kami seharian ini. Tapi saya cukup menikmatinya. Kapan lagi bisa mengunjungi mereka? Waktu saya kali ini sangat sempit. Jam sudah menunjukkan pk. 19.00 ketika kami meninggalkan Mordrecht tapi hari masih terang seperti pk. 15.00. Kalau tidak lihat jam, bisa tertipu kita.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces