Aku menulis maka aku belajar

Sunday, October 6, 2013

Soal Lurah dan Proses Mengindonesia

Catatan kecil ini hanyalah upaya merangkum beberapa komentar pribadi terhadap status FB Group Dosen Indonesia (GDI) yang dilontarkan oleh rekan Witrianto Muhammad (WM). Statusnya demikian: Kasus Lurah Lenteng Agung, jika kejadiannya di Minangkabau, mungkin warga juga akan protes jika lurah atau wali nagarinya beragama lain dg mayoritas warga. Apakah jika terjadi protes hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak menjunjung tinggi Pancasila? Memangnya Pancasila itu apa?

Status singkat tersebut cukup mendapat atensi dari rekan-rekan lainnya seperti yang dapat dilihat dari jumlah komentar yang menembus angka 200-an (dan kemungkinan masih terus bertambah). Saya menghargai setiap komentar tersebut sembari menyadari bahwa lingkup isu yang dikomentari meluas dan melebar menjangkau spektrum persoalan yang sangat kaya. Dengan catatan ini saya hanya ingin fokus pada pernyataan dan pertanyaan WM.

Status WM ini sebenarnya membuka ruang diskusi yang cukup luas, pertama-tama karena WM menyentil isu yang sedang hangat dibahas oleh banyak kalangan dari berbagai segmen sosial masyarakat. Kehangatan isu itu, tentu saja, turut dihembuskan oleh media (cetak dan elektronik). Oleh karena sudah menjadi buah bibir maka dapat dipastikan banyak pula pendapat dan interpretasi terhadapnya. Di situ saya melihat bahwa status ini membuka ruang diskusi yang luas karena ketidakjelasan WM menanggapi isu tersebut dalam kapasitasnya sebagai “dosen” (indikator: WM adalah anggota Group Dosen Indonesia). Menurut saya, pada titik itu, WM tidak memposisikan paradigma pemikirannya secara jelas sejak awal sehingga memicu diskusi yang hangat sebagaimana tampak pada urutan panjang komentar-komentar di bawah statusnya.

Lebih lanjut, saya melihat WM memunculkan dua konsep yang saling gayut yaitu: asumsi (“jika”) bahwa isu yang sama (kasus Lurah LA) akan ditanggapi berbeda dengan melakukan komparasi antara Jakarta dan Minangkabau. Cukup menarik karena saya membayangkan bahwa komparasi ini dilakukan dengan asumsi bahwa Jakarta dan Minangkabau adalah dua tempat yang berada di wilayah hukum nasional (negara) yang berbeda. Namun, pada sisi lain, komparasi tersebut juga memperlihatkan bahwa meskipun berada pada wilayah hukum nasional yang sama tetapi tanggapan masyarakat bisa berbeda-beda karena konteks kebudayaan yang berbeda. Jadi di sini dimensi pluralitas dimunculkan sebagai “penanda” (signifier) – Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai jenis masyarakat yang mengekspresikan ide dan praktik budaya/agama yang berbeda-beda.

Namun, rupanya WM lebih jatuh berat pada asumsi yang pertama (berada di wilayah hukum nasional) seperti yang diafirmasi kemudian pada pertanyaan selanjutnya yang secara eksplisit menyebutkan “Pancasila”. Terlepas dari kajian dan interpretasi tentang Pancasila (banyak buku tentangnya), melalui komentar-komentar saya yang saya coba kumpulkan dalam catatan ini, saya hanya fokus pada aspek historis [yang juga tidak mendalam] dari Pancasila yang menentukan seluruh dinamika keindonesiaan kita sejak pergulatan menetapkannya sebagai landasan ideologis bersama entitas kebangsaan bernama “Indonesia” dan sejauh mana landasan ideologis tersebut mewarnai dialektika kebangsaan yang terbelah pada dua kubu ideologis utama: “demokrasi” atau “teokrasi” [dalam hal ini saya sengaja melewatkan kubu “sosialisme”].

Jika menelisik kembali catatan-catatan sejarah proses mengindonesia ini, maka dialektika agama dan politik menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Namun dalam catatan sejarah itu pula kita bisa menemukan kecerdasan, kematangan karakter dan kerendahan hati para pendiri bangsa ini untuk melihat Indonesia sebagai sebuah realitas sosial yang baru, yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan negara-negara lain atau menjiplak mentah-mentah sistem bernegara dan konstitusi negara-negara lain. Perdebatan cerdas dan kerendahan hati untuk menyadari realitas baru Indonesia sebagai masyarakat multibudaya dan multireligiositas inilah yang tergambar jelas dalam lembar-lembar notulensi Risalah Sidang BPUPKI/PPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Penerbit Sekretariat Negara RI tahun 1995). Adalah sesuatu yang tidak terhindarkan pula bahwa percakapan kita mengenai Pancasila mesti pula merujuk ke situ karena “Indonesia” dan “Pancasila” bukanlah entitas yang muncul begitu saja atau jatuh dari langit, melainkan berproses berkelindan dalam sejarah masyarakat yang bergumul untuk “menjadi” Indonesia.

Berbagai argumentasi politik yang tercatat dalam Risalah itu juga memperlihatkan bahwa di antara sekian banyak pilihan sumber hukum yang ditawarkan, para pendiri bangsa ini dengan kebesaran jiwanya dapat saling menerima realitas perbedaan di antara mereka (etnis, bahasa, tradisi adat, agama, bentuk fisik) sebagai kekayaan identitas yang menjadikan Indonesia sebagai entitas nation-state yang khas. Karena khas, maka kekayaan identitas itu dapat menjadi potensi besar dalam membangun kehidupan nasional yang bermartabat dibandingkan dengan negara-negara lain yang hanya bersandar pada ideologi nasional yang rigid dan tunggal (monolitik) sehingga liyan (others) tenggelam dalam kebudayaan tunggal yang menganggap diri sebagai “mayoritas”.

Dengan sumber hukum yang disepakati (melalui perdebatan panjang dan melelahkan) maka Pancasila dan UUD 1945 menjadi acuan konstitusional Indonesia. Acuan konstitusional ini membuka ruang bagi partisipasi seluruh warga negara Indonesia untuk mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara santun dan cerdas. Hal ini misalnya tampak pada perubahan kata pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa” dengan mempertimbangkan permintaan I Gusti Ktut Pudja; dan disepakatinya Pasal 6 alinea 1 menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli” (dengan menghapus “Yang Beragama Islam”) [Lih. Risalah Sidang BPUPKI/PPKI hlm. 415, 419].

Dengan kesepakatan itu maka Pembukaan UUD 1945 menjadi acuan dan roh konstitusi nasional. Namun demikian, karena sistem bernegara berlangsung dinamis (bukan mekanis) maka berbagai negosiasi terus berlangsung terutama untuk mengutamakan kepentingan ingroup (ideologis-primordialis) dan mengabaikan realitas kemajemukan Indonesia tersebut. Kesepakatan tersebut dicapai sembari menyisakan utopia-utopia kelompok tertentu yang terus memaksakan ideologi mereka sendiri. Selama masa pemerintahannya, Sukarno memperlihatkan bahwa acuan konstitusional tersebut bukan hanya ampuh di atas kertas tetapi harus bisa diimplementasikan dalam realitas. Dalam sejarah Indonesia pernah tercatat Dr Johannes Leimena (etnis Ambon, Kristen dan Menteri Kesehatan yang merumuskan gagasan Puskesmas) dipilih Sukarno menjadi pejabat presiden RI sebanyak 7 kali. Dalam situasi negara saat itu Sukarno memperlihatkan kematangan karakter kebangsaan untuk tidak terjebak dalam perangkap kesadaran palsu dikotomi mayoritas-minoritas.

Berbagai negosiasi identitas dalam proses mengindonesia itu pun dapat kita telusuri pada sejumlah literatur, misalnya Richard Elson, The Idea of Indonesia atau Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia atau Komarudin Hidayat et al (eds.), Menjadi Indonesia. Pilihan para pendiri bangsa ini pun jatuh pada sistem demokrasi. Kendati berkembang di dunia Barat dan diperkenalkan dari sana oleh para intelektual-intelektual muda Indonesia saat itu, tetapi konsep demokrasi itu tidaklah tunggal – sebagaimana perdebatan antara nasionalisme kesatuan Sukarno dan federalisme Hatta.

Demokrasi berkembang secara kontekstual. Proses nation-building dan demokrasi di Indonesia berjalan dalam proses sejarah yang berbeda dengan di Amerika Serikat atau negara-negara lain. Adalah sesuatu yang naif untuk selalu mengomparasi demokrasi AS dan RI. Kita menganut prinsip unitarian, sedangkan AS menganut federalisme. Dinamika sosial-politik kita lebih dipengaruhi warisan nation-state ala Eropa (Hindia-Belanda), sedangkan AS lebih bertendensi identitas dalam enclave koloni-koloni Eropa yg hijrah ke benua Amerika Utara.

Ini bukanlah suatu keanehan karena suatu bangsa bukanlah mesin pabrik yang berjalan dengan mekanisme seragam. Ada dinamika kontekstual (sejarah, konteks sosiobudaya, komposisi demografis, konteks geografis) yang berbeda antara satu negara dengan negara-negara lainnya. Apa yang kita sebut “demokrasi” pun mengalami adaptasi dan kontekstualisasi yang berkembang dengan arah dan model yang bervariasi (lihat Gareth Schoot, Models of Democracy). Dalam konteks Indonesia pun konsep “keadilan” sangat interpretatif sifatnya. Kalau kekayaan alam Papua disedot hanya demi keuntungan Freeport dan kelompok-kelompok elit di Jakarta dan meninggalkan rakyat Papua dalam lumpur kemiskinan yang kronis, itu adil atau tidak? Secara teoretis pun kita bisa mendebatnya terutama dengan rujukan teori keadilan John Rawls.

Gugatan terhadap demarkasi das solen dan das sein yang diproduksi oleh filsafat Barat juga mesti dicermati secara kritis, terutama dalam perkembangan paradigma sosiologis dan antropologis kontemporer. Das solen dan das sein dalam diskursus epistemologi hanyalah kontruksi atau modelling untuk menjelaskan realitas. Dalam khazanah sosiologi kontemporer seperti yang dikembangkan Anthony Giddens dengan teori strukturasi atau Pierre Bourdieu dengan trinitas “habitus-field-capitals”, dikotomi das sein dan das solen setahap demi setahap sudah ditinggalkan lantaran subjectivism/objectivism tidak lagi dilihat secara dikotomis melainkan relasional.

Sebenarnya ada beberapa pernyataan WM yang mencuatkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Karenanya saya mengajak WM untuk berdialog pada tataran akademisi dengan mengelaborasi episteme-nya hingga tiba pada inferensi tertentu. Menurut saya, dengan saling bertukar referensi maka proses diskusi ini dapat menjadi arena saling belajar bagaimana memposisikan argumentasi dan logika masing-masing pada level akademisi.

Dengan demikian, demokrasi di sini bukanlah sebatas terminologi bebas nilai tapi tatanan prinsip bernegara yang disepakati bersama untuk satu tujuan utopis. Ini yang oleh Max Weber disebut ideal type. Nama atau istilah bisa berbeda tapi prinsipnya sama. Entah namanya “pasar” atau “toserba” atau “mall”, prinsipnya adalah transaksi ekonomi berbasis pertukaran barang dan nilai uang. Apakah namanya demokrasi atau yang lainnya, prinsipnya adalah pengelolaan kekuasaan dan distribusi kewenangan berbasis visi kebangsaan. Itu sebabnya suatu bangsa butuh ideologi.

Pada titik itu, dengan mempertimbangkan pluralitas sosiobudaya, tradisi religiositas dan konteks geografis kepulauan, para pendiri bangsa ini menyepakati nama republik ini “Indonesia”. Sebuah pilihan nama yang sangat cerdas karena tidak bertumpu pada dikotomi mayoritas-minoritas yang semu dan rentan dimanipulasi untuk menguntungkan kepentingan kelompok tertentu. Secara sosiologis ini disebut ideal type (Weber). Tipe ideal ini disepakati dan sedang kita uji terus menerus dalam proses mengindonesia. Saya sebut proses mengindonesia, karena kita BERSEPAKAT untuk menjadi Indonesia yang menyadari kekayaan perbedaan pada dirinya (etnis, budaya, agama, bahasa, dll) dan terus memberi makna atasnya.

Kembali ke pertanyaan WM: Memangnya Pancasila itu apa? Dengan terpaksa “melompati” kompleksitas sejarah sosial dan dinamika sosial-politik-budaya-agama dalam diskursus keindonesiaan, secara hipotetik saya bisa menyatakan Pancasila itu adalah meterai politik atas kesepakatan kita berbangsa dan bernegara per 17 Agustus 1945. Seharusnya itulah yang membentuk postur konstitusi kita sejauh kita masih bersedia “hidup bersama” dalam imagined community (Benedict Anderson) bernama Indonesia ini. Bagi saya, dalam naungan Pancasila sebagai ideal type (Weber) atau social imaginary (Taylor) saya bisa berdialog dengan siapa saja dari berbagai latar belakang kebudayaan tanpa merasa perlu tersekat oleh pagar-pagar identitas primordial etnis dan agama. Keindonesiaan kita – yang termanifestasi dalam bahasa [Indonesia] yang kita gunakan di sini – membuat kita dapat berdialog secara egaliter sembari saling menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan itu di antara kita. Bukan sebagai ancaman tetapi sebagai anugerah dari Tuhan. Bukankah itu semangat mengindonesia yg mestinya kita kobarkan?
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces