Aku menulis maka aku belajar

Monday, May 5, 2014

Tinjauan buku: Meniadakan atau Merangkul?

Judul: Meniadakan atau Merangkul?
Subjudul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia
Penulis: Julianus Mojau
Penerbit: BPK Gunung Mulia 2012

Penerbitan buku karya Julianus Mojau dengan tema utama “teologi sosial” Kristen Protestan ini menandai menggeliatnya kembali kajian-kajian teologis seputar hubungan kekristenan dan negara atau politik di Indonesia setelah untuk beberapa dasawarsa agak memudar resolusi warnanya. Mojau mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran teologis beberapa teolog Indonesia yang dikategorisasikan berdasarkan model-model sebagai berikut: [1] model modernisme/pembangunan ideologis; [2] model liberatif/solidaritas; [3] model pluralis. Ketiga model ini dirujuk pada Avery Dulles, SJ dan Hans Kung yang dipahaminya sebagai “pembedaan kategoris dalam mengidentifikasi dan cara menafsirkan tipe-tipe atau ciri khas pemikiran teologis sosial yang dikembangkan di kalangan Kristen Protestan Indonesia selama 1970-an sampai dengan 1990-an berdasarkan pola dasar berteologi tertentu” (hlm. 13).

Dengan kerangka model-model tersebut, Mojau berdialog secara imajinatif dan interpretatif melalui penelusuran dokumen-dokumen tertulis yang diproduksi oleh para teolog yang dipilihnya. Tiga bab (1-3) setelah “Pendahuluan” merupakan elaborasi pemikiran para teolog yang dipilihnya dan dikategorikannya sesuai dengan ketiga model tersebut. Pada bab 1, Mojau membedah pemikiran sejumlah teolog baik “awam” maupun “profesional” seperti Oerip Notohamidjojo, T.B. Simatupang, P.D. Latuihamallo, S.A.E. Nababan dan Eka Darmaputera. Mereka ini dikapling dalam model “Teologi Sosial Modernisme”. Bab 2 menjadi lahan dialogis-kritis mengolah pemikiran J.L.Ch. Abineno, Josef Widyatmadja, F. Ukur, E.G. Singgih, A.A. Yewangoe dan H.M. Katoppo, yang oleh Mojau dikategorikan dalam model “Teologi Sosial Liberatif”. Sedangkan pada bab 3 sorotan kritis ditujukan pada pemikiran-pemikiran Victor I. Tanja, Th. Sumartana, E.G. Singgih, Z.J. Ngelow dan Ioanes Rakhmat. Mereka digolongkan ke dalam model “Teologi Sosial Pluralis”. Di sini Mojau menempatkan E.G. Singgih dalam dua model (TSL dan TSP) dengan alasan bahwa “sejumlah artikel yang ditulis sekitar awal tahun 1990-an (1992) sampai pada pertengahan 1990-an (1995) menunjukkan usahanya untuk memberi bentuk bagaimana seharusnya sikap teologis-kristiani terhadap realitas kemajemukan agama di Indonesia dan Islam khususnya” (hlm. 318).

Bagaimanakah Mojau menentukan parameter dalam melakukan seleksi dan modeling tersebut, cukup menarik untuk disimak. Untuk pemilihan model “teologi sosial modernisme” Mojau mendasarkan alasannya bahwa “kelima nama ini adalah penggagas utama yang memberi bentuk pada teologi sosial modernisme sebagai pengamalan Pancasila selama kekuasaan hegemonis rezim Orde Baru. Tiga nama lain, yaitu Sularso Sopater, J.M. Pattiasina, dan John Titaley, hanya mengulangi atau menjemaatkan apa yang sudah dikembangkan oleh lima nama yang disebutkan sebelumnya” (hlm. 29). Pada catatan kaki halaman 28 Mojau menyatakan tidak mendaftarkan karangan-karangan teologis mereka di sini dan hanya mencantumkannya pada bibliografi. Alasan pemilihan untuk model “teologi sosial liberatif” adalah karena karangan-karangan teologis keenam teolog yang disebutnya memberikan aksentuasi yang berbeda-beda terhadap “isu kemiskinan dan ketidakadilan struktural dalam pembangunan sebagai keprihatinan teologis mereka selama kurun waktu 1970-1990-an” (hlm. 145). Terakhir, pemilihan nama lima teolog untuk model “teologi sosial pluralis” didasarkan pada [1] dua teolog secara langsung menjadikan hubungan Islam-Kristen sebagai fokus disertasi mereka (Tanja dan Sumartana) dan [2] tiga teolog tidak secara langsung membahas hubungan Islam-Kristen sebagai fokus disertasinya (Singgih, Ngelow, Rakhmat) melainkan menulis cukup banyak karangan di berbagai media yang memperlihatkan usaha mereka “bagaimana memandang agama dan umat Islam Indonesia di tengah-tengah kebuntuan Islam-Kristen yang diwarnai oleh alasan-alasan teologis, ekonomis, politis” (hlm. 284).

Secara keseluruhan buku ini memberikan kesempatan cukup luas bagi pembaca (Kristen) untuk menyerap pergumulan teologis dari setiap teolog yang mewakili zamannya masing-masing. Kendati demikian, Mojau tampaknya tidak melakukan penelusuran secara fair terhadap gagasan-gagasan teolog tertentu yang meskipun disebut namanya tetapi ternyata diasumsikan secara dangkal oleh Mojau pada kapling atau modeling yang tidak memadai secara metodologis. Cukup mengesankan, misalnya, ketika Mojau mengategorikan John Titaley sebagai “hanya mengulang atau menjemaatkan apa yang sudah dikembangkan oleh lima nama yang disebutkan sebelumnya” pada halaman 29, sementara ia hanya merujuk pada satu artikel Titaley dalam majalah Berita Oikoumene (Agustus 1992, hlm. 7-11). “Kecerobohan” Mojau juga tampak ketika pada catatan kaki nomor 279 halaman 270 ia mengategorikan Titaley sebagai “representasi dari masih kuatnya Islamic phobia di kalangan umat Kristen Protestan di Indonesia. Lihat Setia: Jurnal Teologi Persetia No. 1/Tahun 1999, hlm. 3-26”. Saya menyebutnya “kecerobohan” karena Mojau tidak memberikan pendasaran metodologis secara adekuat terhadap pemikiran Titaley yang semestinya – jika fair – juga ditelusuri dalam disertasinya “A Socio-historical Analysis of the Pancasila as Indonesia’s State Ideology in the Light of the Royal Ideology of the Davidic State” (Berkeley: GTU 1991). Ini berbeda dengan kategorisasi Jan Aritonang dalam artikelnya “Perkembangan Pemikiran Teologis di Indonesia” dalam F. Suleeman dkk (eds.), Bergumul dalam Pengharapan: Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera (BPKGM 1999) yang cukup fair dengan mengapling pemikiran teologis para teolog berdasarkan kajian disertasinya – misalnya, Darmaputera, Titaley, Ngelow, Paimoen digolongkan sebagai para teolog dengan keprihatinan utama pada hubungan gereja dan negara.

Keretakan epistemologis (epistemological breaks) – meminjam istilah Gaston Bachelard – dalam kajian Mojau adalah juga pada penggunaan istilah “Islam politik” yang terus berulang tanpa penjernihan secara konseptual. Yang dilakukan pada bagian awal bukunya hanya pendefinisian sumir istilah tersebut tanpa menggambarkan kejamakan varian Islam politik dan pemaknaannya pada berbagai entitas keislaman Indonesia yang berbeda-beda pada trajektori sejarah dan konteks sosial-budaya. Saya menyebutnya “keretakan epistemologis” karena label Islam politik tercantum pada subjudul bukunya dan oleh karenanya istilah ini harus pula dielaborasi secara mendalam dan proporsional mengingat bahwa Mojau berasumsi bahwa teologi sosial Kristen Protestan di Indonesia pada umumnya bereaksi terhadap kebangkitan Islam politik selama Orde Baru. Sayang sekali, pendefinisian Mojau hanya menumpang pada artikulasi Hefner yang menyebut Islam politik ini dengan “Islam rezimis” atau “Islam ideologis”. Itupun hanya menjadi catatan kaki (nomor 5 halaman 3). Padahal pelabelan “Islam politik” itu cukup dipersoalkan di kalangan Muslim Indonesia, sebagaimana misalnya tampak dalam buku Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid dan Mohammad Roem (Penerbit Djambatan 1994). Atau bahkan kajian Islam, politik dan ideologi sudah dilakukan oleh Faisal Ismail dalam disertasinya bertajuk Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of Process of Muslim Acceptance of the Pancasila (McGill University Montreal 1995) dan disertasi Yon Machmudi dengan fokus pada partai berbasis Islam: Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and Prosperous Justice Party (PKS) (Australian National University 2006).

Hal terakhir, menurut saya, yang tidak dibentangkan secara jernih dan terkesan kontradiktif dalam penjelasan Mojau adalah pemaknaan dikotomis “teologis” dan “non-teologis”. Mojau jelas memosisikan bukunya sebagai “hasil studi teologis” dan “berpendapat bahwa pemahaman teologis yang memengaruhi dan mendukung hidup menggereja yang dihayati oleh umat Kristen Protestan Indonesia selama Orde Baru patut dipertimbangkan dalam menjelaskan dan mengatasi kebuntuan hubungan umat Kristen dengan umat Islam Indonesia selama ini” (hlm. 7). Tetapi tampaknya Mojau tidak proporsional untuk menohok apakah kebuntuan Islam-Kristen di Indonesia adalah kebuntuan teologis par excellence, tanpa melihatnya dalam arena relasi-relasi kekuasaan yang saling membentuk-dan-dibentuk (structured and structuring)? Jika demikian, di manakah “jalan buntu teologis” dari pihak Islam – terutama Islam politik – yang mesti diatasi jika mengandaikan bahwa upaya mengatasinya mesti diinisiasi oleh kedua agama tersebut, agar jangan seperti pepatah “cinta bertepuk sebelah tangan”? Lagi-lagi, pertanyaan ini muncul karena Mojau dengan sengaja menempatkan “Islam politik” sebagai salah satu variabel utama kajiannya. Ketidakjernihan ini berimplikasi pada kegamangannya dalam melakukan diferensiasi antara “perspektif teologis-kristiani” dan kecenderungan “menjadi ilmu agama murni” (hlm. 283). Mojau menyatakan bahwa “dengan memilih pendekatan ilmu agama murni itu, disertasi-disertasi itu sama sekali tidak memperlihatkan posisi pandangan dan sikap teologis-kristiani… Hal ini penting supaya jelas pandangan dan sikap teologis-kristiani macam manakah terhadap agama Islam dan umat Islam yang dikandung dalam disertasi-disertasi itu”. Untuk sisi Kristen disebutnya “teologi”, sementara untuk Islam disebutnya “agama”. Di mana perbedaan keduanya baik pada level epistemologis maupun metodologis serta korelasinya, tidak cukup jelas.

Pada titik itu, menurut saya, Mojau memunculkan “jalan buntu” yang lain alih-alih mengatasi kebuntuan. Bagaimana membangun dialog teologis dengan Islam politik tanpa menyentuh sama sekali presuposisi-presuposisi teologis Islam yang bergerak mengikuti dinamika sejarah sosial-politik Indonesia? Sebaliknya, pada simpul ideasional mana Kekristenan mampu berdialog dengan Islam [politik] dalam kapasitas sebagai gerakan sosial keagamaan, yang bersama-sama mengelola ranah keindonesiaan sebagai wacana bersama keberpihakan pada kemanusiaan yang tertindas dan terdiskriminasi? Penelusuran semacam ini sebenarnya terbuka karena Mojau beberapa kali menyebut nama Weber atau Weberian kendati ia sama sekali tidak memperlihatkan kontribusi Weber dalam menjelaskan korelasi substansial antara pemaknaan teologis dan implikasi sosiologis institusi-institusi agama dunia. Kekristenan, menurut Weber dalam karya babonnya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, mampu menyumbang bagi terbentuknya habitus “kerja keras” dan “sikap hemat” adalah karena kemampuan melakukan rasionalisasi terhadap dimensi-dimensi teologis menjadi suatu perilaku sosiologis. Korelasi logis “teologis” dan “sosiologis” itu yang tampaknya luput dari pembedahan Mojau, padahal keduanya mutlak dipertimbangkan secara proporsional.

Pada akhirnya, buku ini patut dibaca oleh semua pembelajar teologi kehidupan (“kaum awam”) dan pembelajar teologi akademis karena membentangkan horizon kritis dalam menapaki jejak-jejak pemikiran teologi sosial Kristen Protestan di Indonesia, dinamika dan dialektika yang muncul dan digagas sebagai tanggapan teologis-kritis terhadap konteks keindonesiaan dan Islam [politik] kontemporer.

Selamat membaca!
Read more ...

Sunday, May 4, 2014

Beta memang Maluku

Beta memang Maluku
dari Negri Naku
Negri kacil di Sirimau
Tagepe ewang deng aer masing biru

Jang biking beta bijiruku
Karna beta bukang panaku
Maar beta bukang jago palungku
Kalo cuma mo biking ale taparegu

Beta memang Maluku
badang pono sumanga alifuru
tali poro papeda deng sagu

Kalo beta balagu
bukang par biking ale takisu
Ale bae, beta sayang sampe babuku
Ale paricu, beta pilang deng tacu

Beta memang Maluku
tapi bukang generasi peluru
pengetahuan itu beta pung salawaku
cakalele mangkera maju

toma hidop jang nau-nau
hidop memang baku taru
sapa bahela, dapa kapadu
Beta memang Maluku

Yogyakarta, 25 April 2014
Read more ...

Pak Asep, Siomay dan Sepeda tua

Perkenalan pertama dengan Pak Asep terjadi ketika Nancy, istri saya, menjalani tugasnya sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) yang berkantor di lantai 4 (waktu itu) gedung belakang Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat. Pak Asep selalu setia berada di lingkungan kampus itu. Pak Asep bukan karyawan kampus, bukan dosen STTJ, bukan tamu pengunjung yang biasa menginap di Guest House STTJ meskipun ia kerap berkunjung. Pak Asep adalah pedagang keliling siomay yang setia ditemani oleh sepeda tuanya.

Kalau sedang mampir di kampus STTJ, ia biasanya mangkal di pelataran depan kampus atau sesekali dekat pos satpam. Kadang pula ia absen di kampus STTJ karena mangkal lebih lama di tempat lain seputaran Jalan Cipto, Jalan Cikini dan Jalan Salemba. Tapi lebih sering Pak Asep mangkal di kampus STTJ karena, katanya, lebih banyak penikmat siomay-nya dan tempatnya lebih strategis. Sejauh saya tahu, Pak Asep biasa mangkal pada jam makan siang hingga sore hari. Pada jam-jam itulah saya kerap duduk bersama Pak Asep dan menikmati siomay-nya. Nancy pun menyukai siomay Pak Asep. Tidak hanya makan di tempat kerjanya, Nancy juga sering memesan siomay untuk dibungkus sebagai bekal jika terjebak kemacetan lalu lintas dalam perjalanan ke rumah sepulang kerja.

Pak Asep tidak banyak bicara. Ia lebih banyak memperlihatkan senyum tipis yang khas kalau mendengar obrolan para mahasiswa yang biasa bergerombol antre menunggu giliran memesan siomay. Apa yang saya tahu langsung dari dirinya hanyalah ia beberapa kali pindah rumah kontrakan. Selebihnya, ia lebih banyak berdiam diri atau sesekali ngobrol dengan beberapa karyawan kampus atau dengan sesama pedagang (penjaja minuman kemasan) di situ.

Meskipun tidak mengenal dalam kehidupannya, Pak Asep, siomay dan sepeda tuanya telah menjadi bagian dari kehidupan saya dan Nancy selama kurang lebih 10 tahun kami tinggal di Jakarta. Begitu gandrungnya Nancy pada siomay Pak Asep sampai-sampai bisa dikatakan tiada hari tanpa siomay Pak Asep. Entah mengapa, seperti tak ada bosannya menikmati siomay Pak Asep. Selain itu, bukan bermaksud meremehkan penjaja makanan yang lain, siomay Pak Asep termasuk sajian "fast-food" tradisional yang cukup higienis. Setidaknya begitulah menurut Nancy, yang menganggap makanan yang disajikan panas seperti siomay (Pak Asep) lebih baik daripada sajian makanan di warteg atau gerobak dorong yang lain di seputar kampus STTJ.

Sepuluh tahun kami mengenal Pak Asep dan menikmati siomay-nya nyaris setiap hari kerja. Keberadaan Pak Asep seperti sudah menyatu dengan aktivitas keseharian kami, terutama saya yang biasanya nongkrong di pelataran depan kampus STTJ menunggu Nancy selesai kerja dan pulang sama-sama ke rumah dinas di kawasan Jakarta Utara. Pernah pada suatu hari, ketika sudah hampir 3 tahun kami meninggalkan Jakarta dan kembali ke Ambon, Nancy bertanya kepada saya apakah masih ingat "Pak Siomay" ~ demikian Nancy biasa memanggilnya ~ di STTJ. Saya pun menyahut: "Tentu masih ingat. Kan hampir setiap hari kita makan siomay-nya." Lalu tanya Nancy lanjut: "Ontua dimana ya sekarang? Apa masih jual siomay?" Pertanyaan itu tak terjawab karena kami memang tidak tahu lagi bagaimana keadaan Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya itu.

Pertanyaan itu tetap tak terjawab beberapa tahun berikutnya. Bahkan kami pun nyaris tak ingat lagi akan pertanyaan itu, hingga pada hari ini ~ ketika saya menulis catatan ini ~ tanggal 4 Mei 2014 saya mendapat jawabannya melalui status facebook Pdt Joas Adiprasetya, Ketua STT Jakarta. Ia menyebutkan bahwa Pak Asep telah meninggal dunia akibat kecelakaan ditabrak sepeda motor. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain mulai menyusun kembali rangkaian memori selama hidup di Jakarta, terutama memori perjumpaan dengan sosok Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya.

Merangkai kembali memori perjumpaan dengan Pak Asep bukanlah usaha yang mudah. Upaya itu hanya didasarkan pada matra perjumpaan pada simpul "siomay". Siomay telah mempertemukan saya, Nancy dan Pak Asep di antara ribuan kerumunan massa di belantara urban Jakarta. Apakah pertemuan itu suatu kebetulan? Saya rasa tidak. Tetapi saya sendiri tidak tahu apa maksud pertemuan dan/atau perjumpaan saya dengan Pak Asep. Hal yang selalu saya amati dan kerap menimbulkan pertanyaan dalam hati adalah bagaimana orang-orang seperti Pak Asep ini mampu bertahan di tengah keras dan ganasnya ibukota Jakarta. Pertanyaan sederhana yang bisa ditujukan kepada kerumunan massa yang setiap hari menyusuri jalan-jalan protokol dan mempertaruhkan hidup mereka di sana sejak matahari belum terbit hingga matahari terbenam, tinggal berdesak-desakan di lorong-lorong pengap dengan deretan ruang-ruang sempit yang dihuni kaum urban miskin, menghuni pemukiman-pemukiman liar nan kumuh yang tersebar di pelosok-pelosok ibukota Jakarta.

Jauh hari kemudian, justru ketika Pak Asep telah tiada, saya terperangkap dalam perenungan pribadi mengenai teologi. Sebuah istilah yang telah saya geluti makna dan teorinya sejak mengenyam pendidikan formal teologi pada fakultas teologi. Bahkan perjumpaan saya dengan Pak Asep pun terjadi di lingkungan sebuah kampus teologi. Pak Asep bukan seorang teolog profesional dengan sederetan gelar akademis di depan dan di belakang namanya. Pak Asep tidak piawai menulis artikel-artikel teologi yang panjang-panjang dan njlimet, penuh sesak dengan istilah-istilah asing Inggris, Jerman, atau Latin. Pak Asep tak fasih berdebat teologis dan ngeyel mempertahankan argumentasinya di hadapan komite akademik. Alih-alih berdebat atau bahkan sekadar ngobrol, Pak Asep lebih memilih memperlihatkan senyum simpul di balik kumisnya yang memutih karena uban. Ia tidak menimpali siapapun dengan komentar, dan lebih memilih diam duduk dekat sepeda tuanya menghisap sebatang rokok.

Pak Asep bukan profesor doktor teologi. Tapi saya menyadari bahwa perjumpaan saya dengan Pak Asep telah membuka satu dimensi praksis berteologi yang tidak akan saya temukan di buku-buku tebal teologi karya para raksasa teologi nan njlimet bin mumet. Suatu cerminan dari proses berteologi kaum urban Jakarta menanggapi tantangan kehidupan yang terhimpit kemiskinan dan ketidakadilan. Memang tidak terkatakan oleh Pak Asep. Tapi hal itu jelas terpantul dari kegigihannya menjalani hidup berjualan siomay dengan sepeda tuanya, dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengayuh sepeda tuanya di antara seliweran mobil-mobil mewah kaum urban konglomerat, siapa yang bisa tahu apa harapan dan mimpinya saat itu? Di tengah hiruk-pikuk perseteruan politik kaum sekolahan bergelar tinggi jebolan luar negeri, siapa yang bisa menangkap makna senyum tipis Pak Asep di balik kumisnya yang memutih beruban?

Memang tidak terkatakan oleh Pak Asep. Tapi kegigihannya menjalani hidup di tengah derasnya gempuran harga kebutuhan pokok yang kian mencekik telah memberi pelajaran sangat berharga ~ setidaknya bagi saya ~ betapa teologi kehidupan Pak Asep telah membuka satu lagi cakrawala berteologi kaum miskin urban yang dibisukan oleh kebisingan kapitalisme. Siapakah Pak Asep? Hanya segelintir orang yang tahu. Namanya tidak tercantum pada buku-buku akademik, koran ataupun majalah. Pak Asep adalah Pak Asep. Pak Asep, yang saya kenal, adalah penjual siomay dengan sepeda tuanya di pelataran depan kampus STT Jakarta. Saya mengenal Pak Asep bukan dari kemahirannya mengurai panjang-lebar kajian ekonomi-politik dll, melainkan dari pertanyaan sederhana: "Mau pake kentang? Mau pake pare? Pake saus tomat apa gak?"

Jauh hari kemudian ~ saat menulis ini ~ saya tiba-tiba menyadari bahwa pada pertanyaan sederhana itu terkandung harapan sederhana: "Semoga daganganku hari ini laku habis". Pernah suatu sore, saat bergegas hendak membeli siomay, Pak Asep dengan senyum tipisnya berkata: "Sudah habis mas." Saya kecewa karena perut lagi lapar. Tapi Pak Asep melanjutkan: "Besok ya mas, saya bikin siomay yang banyak." Pak Asep pun mengemas perkakasnya lalu mengayuh sepedanya. Keringat dan raut sayu tak mampu menutupi pancaran sukacitanya saat itu: siomay-nya habis terjual. Ia pun mengayuh sepeda tuanya pulang menyusuri Jalan Proklamasi lalu hilang dari pandangan di belokan Jalan Cipto. Pak Asep terus mengayuh sepeda tuanya dengan setia... hingga ajalnya ketika ditabrak sepeda motor.

Saya menulis catatan ini untuk menjadi sebuah kenangan perjumpaan dengan seseorang bernama Pak Asep, penjual siomay dengan sepeda tuanya. Selamat menempuh kehidupan baru, Pak Asep, bersama dengan Sang Maha Pemberi Kehidupan!

Yogyakarta, 4 Mei 2014

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces