Paulo Freire, dalam karya magnum opus-nya Pedagogy of the Oppressed (1970), mengemukakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan. Ia menolak model pendidikan “bank” yang menempatkan peserta didik sebagai objek pasif, yang hanya menerima dan menyimpan informasi tanpa makna kritis. Bagi Freire, pengetahuan adalah hasil dialog, praksis, dan refleksi kritis yang terus-menerus terhadap realitas. Dalam konteks Indonesia pasca-80 tahun kemerdekaan, refleksi ini sangat penting, mengingat sistem pendidikan nasional masih didominasi oleh paradigma transfer ilmu secara satu arah. Kemerdekaan sejati adalah kemampuan untuk bertanya, meragukan, menafsirkan, dan mencipta makna atas kenyataan hidup. Dalam perspektif Freirean, berpengetahuan adalah tindakan politis yang menuntut kesadaran kritis (conscientização) dan partisipasi aktif dalam membongkar struktur-struktur penindasan yang masih bercokol di ranah sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Proklamasi kemerdekaan seharusnya menjadi fondasi bagi gerakan pembebasan pengetahuan yang demokratis, bukan sekadar seremoni tahunan yang kehilangan spirit emansipatorisnya.
Delapan dekade setelah kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada problem disparitas akses pendidikan, polarisasi ideologi, komodifikasi pengetahuan, serta penetrasi teknologi digital yang ambivalen. Di satu sisi, teknologi membuka akses informasi; di sisi lain, ia menjerumuskan masyarakat pada banjir data tanpa kemampuan literasi kritis. Dalam situasi ini, gagasan Freire tentang pendidikan dialogis menjadi sangat relevan: pendidikan bukan sekadar proses menyerap informasi, melainkan proses menafsirkan, merefleksikan, dan bertindak atas kenyataan sosial yang dihadapi. Freire menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dari dialog yang egaliter antarsubjek, bukan antara guru sebagai pemilik pengetahuan dan murid sebagai penerima pasif. Dalam kerangka ini, relasi antara negara, pendidik, dan peserta didik harus dibangun di atas penghargaan terhadap otonomi berpikir dan pengalaman hidup setiap individu. Refleksi terhadap 80 tahun kemerdekaan harus bertolak dari kritik terhadap praktik pendidikan yang masih bersifat otoriter, menindas, dan tidak relevan dengan kebutuhan riil masyarakat.
Proklamasi kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan pintu gerbang bagi proses pembebasan yang berkelanjutan. Pendidikan, menurut Freire, adalah praksis transformasi: refleksi dan aksi dalam rangka mengubah realitas yang menindas menjadi ruang bagi kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, proses ini menuntut dekolonisasi kurikulum, bahasa, dan praktik-praktik pedagogis yang selama ini masih menyisakan warisan kolonial dan feodal. Delapan puluh tahun kemerdekaan bukan sekadar penanda waktu, melainkan momentum untuk mengevaluasi secara radikal relasi antara pengetahuan dan kebebasan. Pendidikan sebagai upaya pembebasan harus mendorong lahirnya individu-individu yang berdaya, kritis, dan mampu mengambil keputusan secara otonom. Konsep “conscientização” Freire menegaskan bahwa kesadaran kritis tidak lahir dari indoktrinasi, melainkan dari pengalaman dialogis, refleksi, dan keterlibatan aktif dalam proses belajar.
Kenyataan pahitnya, pendidikan di Indonesia masih sering menjadi instrumen domestikasi, penjinakan kesadaran dan reproduksi ketundukan pada kekuasaan. Ini tampak dalam praktik-praktik pembelajaran yang menekankan hafalan, ujian standar, dan penyeragaman nilai tanpa mempertimbangkan konteks sosial peserta didik. Dalam perspektif Freire, pendidikan seperti ini adalah bentuk baru penjajahan mental (cultural invasion) yang dengannya peserta didik dijauhkan dari kemampuan bertanya, meragukan, dan membebaskan diri. Merefleksikan kemerdekaan melalui lensa Freire berarti mengakui bahwa berpengetahuan adalah hak fundamental setiap manusia untuk memahami dan mengubah dunianya. Kemerdekaan sebagai peristiwa politik hanya berarti jika diikuti oleh kemerdekaan berpikir dan berpengetahuan, sebab tanpa itu, bangsa yang merdeka secara formal tetap terjajah secara epistemologis. Freire menulis, “tidak ada pendidikan netral: pendidikan membebaskan atau menindas” (Freire, 1970, hlm. 79).
Di tengah gelombang globalisasi dan kapitalisasi pengetahuan, Indonesia menghadapi tantangan berat: bagaimana memastikan setiap warganya mampu mengakses pengetahuan yang memerdekakan, bukan pengetahuan yang membelenggu. Pendidikan yang membebaskan harus mampu menjawab realitas ketimpangan, marjinalisasi, dan dehumanisasi yang masih mewarnai kehidupan bangsa. Di sinilah pentingnya rekontekstualisasi Freire dalam kebijakan pendidikan nasional, agar orientasi pendidikan tidak sekadar memenuhi kebutuhan pasar, tetapi membangun manusia merdeka. Freire menekankan pentingnya dialog sebagai medium utama dalam pembentukan kesadaran kritis. Dalam konteks Indonesia, dialog antarbudaya, antargenerasi, dan antarkelas sosial merupakan prasyarat untuk membangun ekosistem pengetahuan yang inklusif. Proklamasi kemerdekaan 80 tahun lalu harus dimaknai sebagai komitmen kolektif untuk terus memperjuangkan ruang-ruang dialogis di seluruh sektor kehidupan, termasuk pendidikan, kebudayaan, dan politik.
Ketika pendidikan berubah menjadi proses transformasi sosial, pengetahuan bukan lagi milik segelintir elite, melainkan hak seluruh rakyat. Transformasi ini menuntut negara untuk mereformasi sistem pendidikan agar menjadi ruang bagi subjek yang otonom, bukan objek yang didikte. Dalam hal ini, semangat kemerdekaan harus diwujudkan dalam kebijakan afirmatif yang berpihak pada kelompok marjinal, daerah tertinggal, dan komunitas adat. Dalam praktiknya, pendidikan yang membebaskan menuntut peran aktif pendidik sebagai fasilitator, bukan otoritas tunggal. Pendidik harus hadir sebagai mitra dialogis yang bersama-sama peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah sosial, menganalisis struktur penindasan, dan merumuskan solusi kreatif berbasis pengalaman konkret. Refleksi kritis atas perjalanan 80 tahun kemerdekaan Indonesia harus menyoroti tantangan besar: sistem pendidikan yang masih sentralistik, minim partisipasi, dan terlalu birokratis.
Freire mengingatkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk menafsirkan dan mengubah dunia. Pendidikan dalam konteks Indonesia harus menjadi wahana untuk membangun nalar kritis, bukan sekadar memperbanyak lulusan tanpa kepekaan sosial. Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi titik balik untuk memperjuangkan pendidikan yang membebaskan, relevan, dan kontekstual dengan realitas bangsa. Sejarah panjang kolonialisme di Indonesia telah meninggalkan warisan traumatik dalam hal produksi dan distribusi pengetahuan. Pengalaman ini seharusnya menjadi dasar untuk menegaskan urgensi dekolonisasi pengetahuan, yakni pengakuan atas keragaman epistemologi lokal, bahasa ibu, dan kearifan budaya yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan nasional. Dalam kerangka Freire, pendidikan harus menjadi alat dekolonisasi, bukan rekolonisasi.
Delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, relasi antara pengetahuan dan kemerdekaan tetap menjadi medan pertempuran yang genting. Pengetahuan yang membebaskan adalah pengetahuan yang membuka ruang bagi rekognisi identitas, partisipasi politik, dan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Pendidikan sebagai praksis kemerdekaan harus terus didorong melalui reformasi kurikulum, pelatihan pendidik, dan partisipasi masyarakat sipil. Freire menegaskan, setiap proses belajar harus dimulai dari pengalaman hidup peserta didik — dari “konteks konkret” — bukan dari abstraksi yang jauh dari realitas sosial. Dengan demikian, pendidikan yang membebaskan dan kontekstual di Indonesia harus relevan dengan persoalan-persoalan masyarakat: kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, korupsi, hingga krisis ekologis. Berpengetahuan berarti mampu mengaitkan pengetahuan akademik dengan praksis sosial yang membangun keadilan.
Transformasi pendidikan dalam semangat kemerdekaan harus diarahkan pada pengembangan subjek yang kritis, partisipatif, dan transformatif. Dalam kerangka Freire, pendidikan adalah ruang “menjadi manusia” secara penuh, proses menjadi subjek yang sadar, reflektif, dan mampu bertindak atas realitas. Proklamasi kemerdekaan hanya akan bermakna jika sistem pendidikan menghasilkan manusia-manusia merdeka, bukan sekadar pekerja yang patuh pada logika pasar. Berpengetahuan sebagai kemerdekaan bukan slogan kosong, melainkan komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang emansipasi sosial. Komitmen ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, kurikulum, dan praksis pembelajaran di setiap level pendidikan. Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk belajar dari kegagalan masa lalu dan membangun pendidikan baru yang berpihak pada rakyat.
Praksis pendidikan Freirean menuntut keterlibatan masyarakat sipil, komunitas lokal, dan aktor-aktor pendidikan untuk membangun ekosistem pengetahuan yang demokratis. Pendidikan harus menjadi medium dialog, negosiasi, dan rekonstruksi makna-makna sosial yang relevan dengan tantangan zaman. Dalam konteks ini, universitas, sekolah, dan komunitas belajar harus menjadi ruang otonomi intelektual, bukan sekadar perpanjangan tangan negara atau pasar. Penting di sini untuk menyoroti peran negara dalam menjamin kebebasan akademik, pluralisme pengetahuan, dan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh warga negara. Negara tidak boleh berperan sebagai penentu tunggal kebenaran ilmiah, melainkan sebagai fasilitator yang memastikan setiap warga dapat berkembang menjadi subjek yang merdeka dan berdaya.
Kemerdekaan adalah proses panjang, bukan capaian statis. Proklamasi hanyalah awal; tantangan sejati terletak pada upaya kolektif membangun masyarakat berpengetahuan, beradab, dan berkeadilan. Dalam kerangka Freire, pendidikan membebaskan adalah pendidikan yang mendorong keberanian untuk bermimpi, bertanya, dan mengubah dunia. Pendidikan semacam ini adalah fondasi bagi bangsa yang benar-benar merdeka.
Namun, mesti pula diakui secara jujur bahwa delapan puluh tahun kemerdekaan belum cukup untuk membongkar praktik pendidikan yang menindas. Birokratisasi, komersialisasi, dan politisasi pendidikan masih menjadi masalah serius. Banyak sekolah masih menekankan kepatuhan, bukan keberanian berpikir kritis. Banyak universitas masih sekadar menjadi mesin produksi tenaga kerja, bukan pusat pembebasan pengetahuan. Oleh karena itu, refleksi kritis harus diarahkan pada pengembangan strategi pembelajaran yang berbasis dialog, pengalaman hidup, dan proyek sosial. Guru harus menjadi “pemimpin dialogis”, yang menumbuhkan kesadaran kritis dan solidaritas sosial di antara peserta didik. Hanya dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi alat pembebasan, bukan instrumen penjinakan. Freire mengajarkan bahwa transformasi sosial melalui pendidikan membutuhkan “aksi-refleksi” (praxis). Delapan dekade kemerdekaan mengajarkan pentingnya kontinuitas perjuangan: kemerdekaan sejati adalah proses tak berujung untuk melawan segala bentuk penindasan, termasuk penindasan epistemologis dalam pendidikan. Pendidikan yang membebaskan adalah investasi jangka panjang untuk bangsa yang ingin merdeka secara hakiki.
Berpengetahuan adalah kekuatan. Namun, kekuatan ini hanya bermakna jika digunakan untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Sebagai refleksi kemerdekaan nasional, bangsa Indonesia harus berani mengevaluasi sistem pendidikan yang ada dan berkomitmen untuk membangun pendidikan pembebasan yang sejati. Hanya dengan pendidikan semacam itu, kemerdekaan akan bermakna penuh, menjadi jalan pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan penindasan. Proses pembebasan tidak pernah final; ia selalu dalam proses menjadi. Kemerdekaan Indonesia pun demikian: ia adalah cita-cita yang terus-menerus diperjuangkan melalui praktik-praktik pendidikan yang membangun nalar kritis dan solidaritas. Pendidikan membebaskan harus menjadi agenda kolektif, bukan sekadar proyek elite politik atau teknokrat. Transformasi sistem pendidikan menuntut perubahan paradigma: dari pendidikan untuk pasar ke pendidikan untuk kemanusiaan. Dari pendidikan yang menyesuaikan pada kebutuhan ekonomi semata, ke pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, kreativitas, dan solidaritas sosial. Pendidikan semacam ini adalah warisan terbesar yang dapat diberikan kepada generasi penerus bangsa.
Berpengetahuan sebagai kemerdekaan juga berarti keberanian untuk meragukan dan menafsir ulang warisan masa lalu. Refleksi kritis terhadap sejarah pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada kecerdasan individu, tetapi pada keberanian kolektif untuk mengubah sistem yang menindas. Delapan puluh tahun kemerdekaan harus menjadi momentum untuk menata ulang relasi pengetahuan dan kekuasaan. Kemerdekaan sejati adalah keberanian untuk menjadi subjek, bukan objek dari sejarah. Pendidikan harus membentuk manusia yang berani mengambil posisi, mempertanyakan ketidakadilan, dan memperjuangkan perubahan. Dalam semangat Freire, pendidikan adalah proyek pembebasan yang tiada henti.
Pada akhirnya, refleksi atas 80 tahun proklamasi kemerdekaan menegaskan kembali pentingnya pendidikan sebagai praksis kemerdekaan. Pendidikan yang membebaskan adalah syarat mutlak bagi bangsa yang ingin berdiri tegak di tengah tantangan global. Dalam perspektif Freire, setiap warga negara adalah subjek sejarah, dan berpengetahuan adalah hak sekaligus tanggung jawab untuk mengubah dunia. Momentum kemerdekaan ini harus dijadikan refleksi kolektif untuk membangun sistem pendidikan yang membebaskan, inklusif, dan demokratis. Pendidikan seperti inilah yang mampu memperkuat kemerdekaan sebagai hak asasi, bukan sekadar retorika politik. Pendidikan membebaskan adalah pendidikan yang melahirkan manusia merdeka, manusia yang berpikir, berani, dan bertindak untuk kebaikan bersama. Dalam konteks Indonesia kontemporer, tantangan terbesar adalah membangun sinergi antara kebijakan negara, partisipasi masyarakat, dan inisiatif komunitas dalam membangun ekosistem pengetahuan yang merdeka. Hanya dengan jalan ini, bangsa Indonesia dapat merealisasikan cita-cita kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan untuk berpengetahuan, berkarya, dan membangun peradaban yang adil dan beradab.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia dalam perspektif Paulo Freire menegaskan: berpengetahuan adalah bentuk kemerdekaan tertinggi, dan pendidikan membebaskan adalah fondasinya. Sudah saatnya bangsa ini menata ulang orientasi pendidikan agar benar-benar berpihak pada rakyat, membangun manusia merdeka, dan memastikan kemerdekaan bukan sekadar kata, tetapi praksis hidup sehari-hari. Dengan kesadaran ini, setiap insan Indonesia diundang untuk terus bertanya, belajar, dan berjuang. Pendidikan membebaskan bukan utopia; ia adalah keniscayaan sejarah yang harus terus diperjuangkan. Kemerdekaan bukan sekadar proklamasi—ia adalah praksis pengetahuan yang membebaskan manusia dan membangun masa depan bersama.
No comments:
Post a Comment