Aku menulis maka aku belajar

Sunday, August 10, 2025

Budaya Kekerasan dan Etika Profesional Militer di Indonesia


Kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo menjadi cermin buram dari realitas budaya kekerasan yang masih bercokol di tubuh militer Indonesia. Tragedi yang menimpa prajurit muda ini, yang baru saja mengawali kariernya di TNI AD, memperlihatkan bagaimana relasi senioritas yang seharusnya dibangun atas dasar pembinaan, bimbingan, dan solidaritas korps justru berubah menjadi relasi kekuasaan yang eksploitatif dan destruktif. Luka-luka fisik yang dideritanya—sayatan, lebam, bekas sundutan rokok, hingga benturan benda tumpul—menjadi bukti konkret bahwa kekerasan fisik masih dijadikan instrumen untuk “mendidik” atau “mendisiplinkan” anggota baru. Padahal, dalam kerangka profesionalisme militer modern, kekerasan seperti ini tidak hanya ilegal, tetapi juga mengkhianati nilai dasar kehormatan prajurit. 

Budaya kekerasan dalam militer bukan fenomena yang lahir secara tiba-tiba. Ia memiliki akar sejarah yang panjang, sebagian diwarisi dari tradisi feodal, sebagian lagi terbentuk dari sistem pendidikan militer yang keras dan hierarkis sejak era kolonial. Dalam konteks Indonesia, model pelatihan yang mengandalkan shock therapy dan penekanan fisik kerap dipertahankan atas nama pembentukan mental baja. Namun, yang sering diabaikan adalah fakta bahwa metode ini juga membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh senior terhadap junior, yang justru menumbuhkan rasa takut, dendam, dan reproduksi kekerasan di generasi berikutnya. 

Etika profesional militer, baik yang diatur dalam Undang-Undang TNI maupun dalam kode etik Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, sesungguhnya mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia, solidaritas antarprajurit, serta keberanian moral untuk melindungi yang lemah. Dalam idealitas tersebut, seorang senior adalah pelatih, mentor, sekaligus teladan bagi juniornya, bukan pelaku penganiayaan. Ketika prinsip ini dilanggar, seperti dalam kasus Prada Lucky, maka yang rusak bukan hanya tubuh korban, tetapi juga integritas kelembagaan militer secara keseluruhan. 

Kekerasan internal antaranggota militer juga mencoreng citra TNI di mata publik. Masyarakat sipil menaruh ekspektasi tinggi terhadap militer sebagai institusi yang berdisiplin, berintegritas, dan profesional. Setiap kasus penganiayaan, apalagi yang berujung kematian, menambah daftar panjang alasan mengapa reformasi budaya militer menjadi keharusan. Kepercayaan publik tidak hanya dibangun melalui kemampuan tempur atau ketangguhan fisik, tetapi juga melalui perilaku etis yang konsisten di semua tingkatan hierarki. 

Secara sosiologis, pola kekerasan dalam relasi senior-junior di militer mirip dengan fenomena “hazing” dalam organisasi tertutup lainnya. Senioritas dijadikan legitimasi untuk melakukan tindakan yang di luar hukum formal, dengan dalih tradisi atau pembentukan karakter. Namun, tradisi semacam ini sering berjalan tanpa mekanisme kontrol yang efektif, sehingga melahirkan lingkaran setan kekerasan. Junior yang dulu menjadi korban, suatu saat dapat menjadi pelaku ketika posisinya berbalik. Siklus ini hanya bisa diputus jika ada intervensi kelembagaan yang tegas. 

Kasus Prada Lucky juga menyoroti persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum militer. Ketika pelaku adalah sesama anggota TNI, proses hukum kerap berjalan di ranah peradilan militer yang tertutup dari pengawasan publik. Hal ini memunculkan persepsi negatif bahwa institusi lebih melindungi anggotanya daripada korban atau keluarganya. Untuk mengembalikan kepercayaan publik, proses hukum harus dilakukan secara terbuka, profesional, dan proporsional, tanpa kompromi terhadap pelaku pelanggaran etika dan hukum. 

*** 

Dalam perspektif etika militer, penggunaan kekerasan di luar konteks operasi atau pelatihan yang sah adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Profesionalisme militer mensyaratkan bahwa kekuatan fisik hanya digunakan sesuai perintah yang sah, dalam batas hukum humaniter, dan untuk tujuan mempertahankan keamanan negara, bukan untuk mendominasi atau merendahkan sesama anggota. Pelanggaran prinsip ini berarti membiarkan militer terjebak dalam mentalitas premanisme berseragam. 

Dampak dari budaya kekerasan ini tidak hanya dirasakan korban secara langsung, tetapi juga merembes ke iklim kerja dan moral pasukan. Anggota yang merasa terancam oleh seniornya akan sulit mengembangkan rasa percaya, solidaritas sejati, dan komitmen pada misi bersama. Dalam jangka panjang, ini berpotensi mengurangi efektivitas tempur dan kesiapan operasional, karena rasa takut lebih dominan daripada rasa hormat. 

Budaya kekerasan juga berlawanan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menjadi bagian dari standar internasional bagi militer modern. Indonesia, sebagai negara yang terikat pada berbagai instrumen HAM internasional, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan bahwa aparatnya—termasuk TNI—menjadi pelindung, bukan pelanggar, hak asasi. Kekerasan internal seperti dalam kasus Prada Lucky melemahkan klaim Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung supremasi hukum. 

Reformasi budaya militer tidak cukup hanya dengan mengeluarkan peraturan baru. Itu membutuhkan perubahan paradigma di semua level, mulai dari akademi militer, pusat pelatihan, hingga satuan operasional. Pendidikan etika militer harus ditekankan sejajar dengan pelatihan fisik, sehingga pembentukan mental prajurit tidak diukur semata dari ketahanan fisik, tetapi juga dari integritas moral dan empati kemanusiaan. 

Kepemimpinan di lingkungan militer memiliki peran sentral dalam mengubah budaya ini. Komandan yang tegas menolak kekerasan internal, memberikan sanksi jelas kepada pelaku, dan melindungi pelapor dari intimidasi akan menjadi role model bagi bawahannya. Sebaliknya, pemimpin yang permisif atau bahkan terlibat dalam pembiaran justru mengabadikan praktik yang merusak ini. 

Di tengah ancaman eksternal yang semakin kompleks, militer Indonesia tidak bisa membiarkan dirinya terkikis oleh masalah internal seperti ini. Energi dan sumber daya yang seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan negara justru terbuang untuk menangani krisis moral akibat kekerasan internal. Dalam logika keamanan nasional, prajurit adalah aset strategis yang harus dilindungi, bukan dikorbankan oleh sesama anggota. 

Kasus Prada Lucky membuka ruang refleksi mendalam tentang relasi antara kekuasaan, tradisi, dan etika profesional di tubuh TNI. Pertanyaannya, apakah institusi siap memutus mata rantai kekerasan ini, atau akan membiarkannya terus hidup sebagai warisan gelap yang diwariskan ke generasi berikutnya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah profesionalisme militer Indonesia ke depan. 

Keluarga korban, dalam tuntutannya, tidak hanya meminta keadilan bagi Lucky, tetapi juga menginginkan agar “tidak ada Lucky-Lucky lain” di masa depan. Ini adalah seruan moral yang seharusnya menjadi agenda utama reformasi militer. Perlindungan terhadap prajurit muda bukan hanya urusan kemanusiaan, tetapi juga investasi strategis bagi masa depan pertahanan negara. 

*** 

Dalam konteks kelembagaan, setiap pelatihan dan pembinaan prajurit seharusnya diarahkan untuk membangun kepercayaan dan solidaritas, bukan ketakutan. Kekerasan yang dilegalkan atas nama tradisi membentuk prajurit yang patuh secara lahiriah tetapi rapuh secara psikologis. Sebaliknya, pembinaan yang mengedepankan disiplin berbasis penghormatan akan melahirkan pasukan yang loyal secara tulus. 

Pengawasan eksternal, baik oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil, menjadi penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip etika militer tidak hanya menjadi slogan. Mekanisme pelaporan yang aman bagi korban atau saksi, serta transparansi dalam proses hukum, akan menutup ruang bagi impunitas yang selama ini menjadi salah satu akar persoalan. 

Jika dilihat dari pengalaman negara lain, reformasi budaya militer memerlukan keberanian institusional untuk mengakui kesalahan masa lalu dan membangun sistem baru yang menolak kekerasan internal. Langkah-langkah seperti audit budaya organisasi, pelatihan ulang etika militer, dan sanksi yang tegas terhadap pelanggar bisa menjadi titik awal. 

Etika profesional militer adalah fondasi yang menjamin bahwa kekuatan bersenjata tetap berada dalam koridor hukum dan moral. Tanpa etika, kekuatan militer kehilangan legitimasi sosialnya dan berubah menjadi ancaman bagi dirinya sendiri. Kasus Prada Lucky adalah pengingat tragis bahwa kekuatan tanpa etika adalah kekerasan, dan kekerasan yang dilegalkan akan selalu merusak dari dalam. 

Refleksi dari kasus ini tidak boleh berhenti pada rasa simpati atau kemarahan sesaat. Ini harus menjadi momentum untuk menggeser paradigma, dari militer yang memelihara budaya kekerasan menuju militer yang membangun kekuatan melalui disiplin, solidaritas, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Jika ini berhasil dilakukan, maka pengorbanan Prada Lucky tidak akan sia-sia, karena ia menjadi titik balik menuju militer Indonesia yang benar-benar profesional dan beretika.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces