Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, July 15, 2008

Hari Pertama Kainalu di SD

Hari Senin, 14 Juli 2008 adalah hari pertama Kainalu di Sekolah Dasar Katolik Don Bosco 1 Kelapa Gading. Bagi saya, ini adalah hari yang bersejarah. Sama pentingnya dengan saat seorang anak dilahirkan dari rahim ibunya. Sebuah proses peralihan yang juga menyertakan pergeseran cara berpikir (mindset) yang pada gilirannya membentuk suatu gaya hidup yang berbeda dengan sebelumnya. Begitu pentingnya sehingga saya lebih memilih absen dari kantor untuk mengantarkannya ke sekolah, dan memperhatikan seluruh proses pembelajaran dari luar ruang kelas. Ah, jadi ingat semasa masih kecil ketika baru masuk SD dulu di Malang. Nancy sedang tugas di Makassar jadi hanya saya yang mengantarkan Kainalu.

Memperhatikan Kainalu di dalam kelas membuat imajinasi saya melayang-layang. Mengenang kembali saat-saat harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Terpisah dengan teman-teman waktu di taman kanak-kanak sangat menyedihkan. Memang di SD berkenalan dengan teman-teman baru, tetapi toh seperti ada sesuatu yang hilang - keakraban, keceriaan, pengenalan. Namun, apa mau dikata? Proses semacam ini harus dialami oleh setiap orang. Suatu diskontinuitas, untuk menjalani kontinuitas yang baru, tidak hanya dalam bentuk tetapi juga kualitas.

Jujur saja, rasa "terputus" (diskontinuitas) itu tidak hanya dirasakan oleh anak, tetapi sekarang juga oleh saya yang sudah menjadi orangtua. Senang melihat anak bertumbuh sehat dan cerdas, tetapi juga terselip rasa sendirian. Semakin besar anak, semakin longgar ikatan ketergantungan dengan orangtuanya. Ingin terus memperlakukannya dengan manja tetapi serta-merta tersadar bahwa anak sudah makin besar dan mandiri. Melihat Kainalu belajar di kelas, saya menjadi makin sadar bahwa hidup kita terus bergerak dalam fragmen-fragmen diskontinuitas/kontinuitas. Sebuah keterputusan transformatif yang membawa kita pada realitas ruang dan waktu yang berbeda, dan pada akhirnya membuat kita memang harus terus berada dalam aliran sejarah yang senantiasa memunculkan varian-varian kehidupan yang tak terduga tetapi harus dijalani.

Momen semacam itu mengingatkan saya pada cerita tentang Yesus dalam Bait Allah ketika dia berumur 12 tahun (Luk. 2:41-52). Ketika berada di Yerusalem untuk mengikuti perayaan Paskah, kedua orangtua Yesus tidak menyadari bahwa Yesus sudah tidak bersama mereka dalam rombongan. Mereka menyangka Yesus berjalan dengan teman-teman sebayanya. Ketika sadar Yesus tidak ada dalam rombongan, Yusuf dan Maria pun mulai mencari Yesus. Tiga hari mereka mencari Yesus. Wow, bayangkan betapa paniknya Yusuf dan Maria. Harus mencari Yesus di antara begitu banyak orang - apalagi belum ada handphone atau kendaraan bermotor yang bisa dipakai mondar-mandir.

Apa hasil pencarian mereka? Ternyata Yesus sedang berada di dalam Bait Allah, bahkan sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka (ayat 46). Yesus sedang belajar di dalam Bait Allah, dengan bimbingan para ahli-ahli kitab (atau para teolog Yahudi). Frase "mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka" menunjuk kepada suatu proses belajar yang dialogis. Dan itu terjadi antara para ahli kitab dengan Yesus yang baru berumur 12 tahun. Artinya, proses tanya-jawab itu berlangsung secara setara tanpa memandang partisipan belajar yang ada di situ. Para ahli kitab itu tetap melayani pertanyaan-pertanyaan Yesus, bukan hanya karena semua pertanyaannya kritis dan cerdas tetapi karena mereka hendak memancing kecerdasan anak-anak dengan pola tanya-jawab yang seluas mungkin. Proses pembelajaran itu pun berlangsung di Bait Allah, yang juga dikenal sebagai "midrash" (Arab: madrasah) atau sekolah. Bait Allah tidak hanya menjadi pusat peribadahan, tetapi juga menjadi pusat pendidikan yang memberikan ruang bagi setiap anggota jemaat terlibat dalam suatu dialog teologis yang pada saat itu juga berkaitan erat dengan matra-matra sosial-politik-ekonomi-budaya. Dalam konteks sedemikian, Bait Allah menjadi pusat kebudayaan yang tidak hanya melestarikan tradisi iman tetapi membentuk tradisi ilmiah yang dimulai dengan proses tanya-jawab dialogis, bukan doktriner!

Dalam ayat 47 dikatakan bahwa "semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya". Yesus [mungkin] termasuk anak yang cerdas. Tetapi saya lebih percaya bahwa kecerdasan Yesus bukanlah sesuatu yang otomatis terberikan dalam dirinya. Saya lebih melihat bahwa kecerdasan Yesus adalah konstruksi mental dan kognitif yang terbentuk dalam tradisi hidup keluarganya. Dan oleh karena itulah peran Yusuf dan Maria di sini menjadi sangat penting. Sehingga dapat dimengerti mengapa Maria sampai bertanya dengan penuh kecemasan, "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami?" Sebuah bentuk kecemasan yang cukup beralasan jika hendak berasumsi bahwa keluarga mereka menerapkan pola pendidikan yang kritis-dialogis di mana segala sesuatu bisa dibicarakan dan disampaikan secara terbuka. Oleh karena itu Yusuf dan Maria heran mengapa Yesus pergi "tanpa bilang apa-apa" kepada mereka. Yesus menjawab mereka, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada dalam rumah Bapa-Ku?" Jawaban Yesus tentu mengejutkan bagi Yusuf dan Maria. Dalam konteks masyarakat yang patriarki, jawaban semacam ini dari seorang anak kepada orangtuanya tentu akan dianggap sebagai "pembangkangan" dan "tidak sopan".

Tetapi benarkah Yesus membangkang kepada ayah dan ibunya? Saya justru melihat bahwa Yesus sebenarnya sedang berada dalam titik diskontinuitas hidupnya. Dia seakan hendak menyatakan eksistensinya sebagai seorang "yang bukan anak kecil lagi" dan karena itu sudah bisa menentukan apa yang harus dia lakukan menurut kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, dia dapat melakukan sesuatu tanpa harus dicampuri [atau diketahui] oleh orangtuanya. Sebuah peralihan menjadi dirinya sendiri. Yang lebih penting di sini, Yesus menegaskan bahwa dia "harus berada di dalam rumah Bapa-Ku". Yesus merasa sudah saatnya dia belajar dan menimba ilmu di midrash atau madrasah atau sekolah. Dengan perkataan lain, hanya dengan berada di Bait Allah Yesus dapat berinteraksi secara "akademis" dengan para pakar kitab di Bait Allah.

Dengan mengatakan itu Yesus seolah-oleh hendak menunjukkan bahwa sudah waktunya dia menjalani proses pendidikan yang lebih tinggi dan mendalam mengenai banyak hal yang dia tidak dapatkan dalam keluarganya. Sebuah proses memasuki pengalaman hidup yang baru. Pengalaman ini mengharuskan Yesus mengalami keterputusan (diskontinuitas) dengan kedua orangtuanya untuk menjalani suatu kontinuitas baru dalam hidupnya. Apa yang dia peroleh dari keluarganya tetap menjadi sesuatu yang penting yang membentuk kepribadian dan karakternya - dan oleh karena itu Injil Lukas 2:51 menyatakan "Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka...". Yesus tetap berada dalam kehangatan keluarganya tetapi dengan suatu tingkatan pengalaman dan kesadaran yang lebih tinggi - bahwa dia harus menjalani momentum pendidikan yang lebih luas dan mendalam mengenai banyak hal.

Ups, imajinasi saya terputus... Kainalu sudah keluar dari kelasnya. Besok dia harus menjalani lagi pengalamannya ini... terus-menerus dengan tekun. Entah sampai kapan, karena belajar adalah proses seumur hidup. Yang pasti supaya Kainalu "makin bertambah besar dan bertambah hikmatnya dan besarnya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia." Mena Muria Bung Kanu! Tete Manis berkati nyong selalu... Papa dan Mama tongka nyong deng doa dan segala kekuatan!

Read more ...

Wednesday, July 2, 2008

Teologi Proses


"Engkau tidak dapat berjalan di dalam sungai yang sama, karena airnya tidak pernah berhenti mengalir" (Heraklitos)

Teologi proses menantang pandangan tradisional tentang Allah yang selalu diajukan oleh Kekristenan. Keyakinan tradisional tersebut mengakui bahwa Allah adalah sempurna dan tidak berubah (statis).[1] Segala bentuk aktivitas manusia tidak dapat memengaruhi atau mengubah Allah. Allah biasanya dianggap sebagai yang transenden dari dunia. Meskipun Jurgen Moltmann, seorang teolog Jerman, berpendapat bahwa pandangan tentang Allah seperti ini harus ditolak bila ditinjau dengan sorotan Inkarnasi.[2] Namun tantangan yang paling radikal datang dari teologi proses.

Teologi proses didasarkan pada filsafat Alfred North Whitehead (1861-1947). Pada era modern, John Cobb Jr. secara signifikan telah mengembangkan filsafat Whitehead dalam konteks teologi Kristen. Teologi proses juga merupakan suatu kepercayaan panenteistik yang mengakui bahwa segala sesuatu di dalam Allah, ketimbang panteistik dengan gagasan bahwa segala sesuatu adalah Allah.

Teologi proses bersandar pada premis dasar bahwa segala sesuatu di dalam dunia ini selalu berada dalam perubahan atau berfluktuasi. Para filsuf proses seperti Whitehead berpendapat bahwa setiap entitas secara konstan berada dalam proses menjadi sesuatu. Dalam proses menjadi ini (process of becoming), entitas-entitas merespons setiap momen dengan membuat pilihan-pilihan riil. Dalam konteks penentuan pilihan-pilihan kita mesti mengakui bahwa setiap momen eksistensi kita bersifat bipolar atau dwikutub. Artinya bahwa setiap momen dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada masa lalu dan apa yang potensial terjadi di masa yang akan datang. Sebagai yang telah terjadi di masa lalu, kita menyebutnya sebagai kutub "fisik" (dia sudah punya eksistensi fisik). Sebagai yang akan terjadi di masa depan, dia belum terealisasi tetapi eksis di dalam batas-batas kemungkinan (realm of possibility) dan kita menyebut ini sebagai kutub "mental" (kita sedang berpikir tentang masa depan). Di antara kutub-kutub fisik dan mental terdapat apa yang disebut "peristiwa-peristiwa aktual" (actual occasions). Hanya membutuhkan beberapa saat untuk menyatakan bahwa apa yang hadir sekarang (saya sedang menulis kata-kata ini) secara aktual adalah masa lalu di sini (saya sudah menulis kata-kata itu). Jadi suatu peristiwa aktual merupakan suatu realitas yang berlalu dengan cepat (fleeting), tetapi "momen"-nya tidak hilang melainkan lewat (passes) menjadi apa yang dikenal sebagai keabadian objektif (objective immortality) [Objektif berarti "nyata" (tangible) atau "terwujud" (realised), sedangkan keabadian berarti "tak pernah berakhir" (everlasting). Singkatnya, "keabadian objektif" berarti engkau tidak dapat mengubah masa lalu!] Kita telah mencatat bahwa masa lalu memengaruhi masa depan, contoh: jika saya mematahkan kaki saya hari ini, saya tidak dapat lagi bermain sepakbola besok. Jadi ide bahwa masa lalu memengaruhi masa depan berarti bahwa dalam beberapa cara masa lalu terseret maju ke dalam masa depan. Kontinuasi masa lalu ke masa kini dikenal sebagai prehensi (prehension).

Dalam filsafat proses, setiap momen dari eksistensi kita bersifat unik. Ini berarti bahwa dalam setiap momen suatu entitas dihadapkan dengan suatu masa depan potensial di mana dia bebas untuk menerima atau menolaknya. Para filsuf proses juga berpendapat bahwa masa depan potensial yang diterima atau ditolak sebagian besar berdasar pada bagaimana kontribusi mereka terhadap kebahagiaan atau kesejahteraan orang lain. Dalam teologi proses masa depan potensial ini (juga disebut "tujuan-tujuan awal" [initial aims]) diberikan oleh Allah. Lagipula, setiap momen yang berlalu tidak hilang, melainkan terserap ke dalam Allah dan ditambahkan ke dalam pengalaman Allah (God's experience). Jadi dalam setiap momen, Allah terus-menerus belajar setahap lebih tinggi tentang diri kita. Dia belajar sebagai Allah yang hadir dalam tiap momen eksistensi kita. Dalam kepercayaan Kristen klasik, hal ini paling jelas tampak dalam Inkarnasi ketika Allah mengambil bentuk manusia (Yesus). Dalam Inkarnasi tersebut Allah mengalami bagaimana menjadi manusia dan membuat nyata pilihan-pilihan manusia. Pada kenyataannya, Anda bisa mengatakan bahwa Allah telah belajar bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Di sini teologi proses berbeda dengan teisme klasik. Teologi proses mengambil pengalaman "Allah menjadi manusia dalam Yesus" ini dan menjadikannya sebagai pengalaman ke-Allah-an (Godhead) di masing-masing dan setiap momen eksistensi kita. Jadi dalam setiap momen Allah, makin bertambah pengetahuan dan pengalaman tentang Allah kepada kita dan dunia.

Meskipun teisme klasik berpendapat bahwa Allah dalam beberapa cara berjarak atau transenden dengan dunia, namun dalam teologi proses Allah tidak terpisah dari proses-proses dunia (imanen). Sebagai Allah yang juga suatu entitas, yang sama dengan orang-orang seperti kita, Allah memiliki kutub fisik (masa lalu) dan kutub mental (masa depan potensial). Dalam kutub mental Allah mempertimbangkan semua skenario yang mungkin terjadi dan menghadirkannya di hadapan kita dalam masing-masing momen melalui entitas-entitas yang "memikat" terhadap potensi mereka. Kunci keyakinan dalam teologi proses adalah bahwa Allah tidak pernah memaksa suatu entitas menuju suatu masa depan potensial. Allah juga dibatasi oleh kebebasan dari suatu entitas yang lain untuk menolak "kesan potensial" Allah. Dalam teologi proses kita dilihat sebagai rekan sekerja (co-worker) dengan Allah, bukan sebagai subjek-subjek ilahi yang dibatasi hanya untuk melakukan kehendak Allah.

Dalam kutub fisik, Allah secara kontinyu menambah kepada pengalaman Allah. Jadi Allah tidak lengkap, tetapi secara kontinyu menambahkan pengetahuan dan pengalaman Allah pada kita dan dunia. Dengan jalan ini, Allah selalu melampaui kesempurnaan (atau kepenuhan) utama Allah. Dalam teisme tradisional, Anda didorong untuk belajar tentang Allah agar makin menjadi seperti Allah ("Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" – Mat. 5:48). Ini adalah pandangan yang sangat negatif mengenai hubungan kita dengan Allah, dan dapat dengan cepat menyeret kita ke dalam sikap untuk mempersalahkan dan perasaan tidak berharga. Dalam teologi proses kita seharusnya secara aktual menjadi seperti Allah sebagai yang bukan pengendali kekuasaan. Kita mesti mengikuti contoh ilahi dengan cara tidak memaksakan pandangan-pandangan kita kepada orang lain, namun meyakinkan orang secara persuasif dengan sudut pandang kita. Ini secara tegas menolak absolutisme dalam banyak Kekristenan tradisional dan gagasan bahwa saya dapat mengutuk keyakinanmu karena "saya benar dan kamu salah". Salah satu hasil dari penerimaan suatu pandangan proses tentang Allah adalah bahwa seseorang harus mulai masuk ke diskusi yang jujur dan terbuka dengan orang lain yang tidak setuju dengan sudut pandang kita dalam rangka belajar dari mereka dan mereka belajar dari kita.

Dalam teologi proses Allah juga menjadi penderita yang mengerti. Tidak seperti teisme klasik, bagi para teolog proses Allah tidak mahakuasa (omnipotent) dan tidak tahu tentang masa depan. Allah hanya mengenal masa depan sebagai suatu aktualitas potensial, bukan realitas aktual! Ini berarti, Allah dalam beberapa hal terbatas. Allah tidak dapat memaksakan kehendak ilahi kepada manusia dan mengawasi konsekuensi-konsekuensi dari setiap momen untuk melihat bagaimana masa depan berlangsung. Itu juga berarti bahwa dalam setiap tindakan membawa dunia ke dalam eksistensi Allah membutuhkan kesempatan. Seperti yang dicatat John Cobb Jr, "Allah mengalami risiko dan bertualang dalam eksperimen kosmik, sambil menyisakan sumber kegelisahan dalam dunia." [God undergoes risk and adventure in cosmic experiment, while remaining the source of unrest in the world] Jadi masa depan terbuka. Kemahatahuan (omniscience) berarti Allah mengetahui segala sesuatu yang telah terjadi hingga kini, tetapi tidak segala sesuatu yang akan terjadi. Kini meskipun sikap optimistik ini dalam perkembangannya dapat ditemukan masalah: karena Allah tidak mahakuasa maka tidak ada garansi bahwa kehendak baik akan berpuncak pada kemenangan alam semesta. Kenyataannya, kehendak baik hanya unggul sejauh kita merespons kehendak ilahi untuk "mengasihi" di antara seluruh entitas. Namun sebagai Allah yang tidak pernah memaksa, tetapi mendorong untuk mengikuti kehendak ilahi, terdapat kemungkinan riil bahwa manusia bisa memilih untuk tidak mengikuti Allah.

Secara jelas teologi proses menggeser sikap mempersalahkan apa yang salah dalam dunia yang menjauh dari Allah, dan masuk ke dalam kemanusiaan. Jika Allah memiliki potensi untuk ditolak, maka kejahatan adalah sautu hasil-bentukan dari suatu proses bergerak menjauh dari Allah. Pilihan-pilihan "buruk" yang tak terelakkan akan dibuat oleh berbagai entitas yang memiliki kebebasan untuk menolak atau menerima kesan Allah (keterpikatan ilahi). Ini berarti Allah tidak dapat membiarkan kejahatan karena Allah tidak siap menghadapinya sejak awal. Tuduhan bahwa Allah bisa menjadi jahat atau impoten dengan membiarkan kejahatan, tidak berlaku di sini karena masalah ini berada di luar jangkauan tangan Allah (lihat The Problem of Evil and Suffering). Terlebih, kuasa dan aktivitas Allah dibatasi karena kita punya "pilihan-pilihan riil" untuk dibuat. Kini sementara orang akan merasa tidak senang dengan pandangan tentang Allah seperti ini. Karena pandangan tersebut tidak memberikan kepastian bahwa dalam beberapa hal di masa depan semua akan beres di alam semesta. Itu juga mencuatkan beberapa hal untuk dipertanyakan mengenai keyakinan para teolog proses tentang hakikat Allah:

"Kalau Allah terus berubah, tanya mereka, bagaimana para teolog proses bisa menyatakan bahwa Allah selalu mengasihi atau Allah itu secara moral berbeda dari apa yang mencirikan dunia, tidak hanya dengan kebaikan tetapi juga dengan kejahatan?" (S. Grenz dan R. Olsen, 20th Century Theology, hlm. 143) – [If God is ever-changing, they ask, how can process theologians assert that God is always loving or that God is morally different from a world characterized not only by goodness but also by evil?)

Teologi proses mempunyai beberapa unsur atraktif untuk menjelaskan masalah tersebut. Misalnya, keyakinan bahwa hubungan antara Allah dan kemanusiaan adalah kooperasi mutual, membimbing pada hasil positif agama dalam masyarakat sejauh sebagai orang percaya yang mengikuti contoh ilahi. Teologi proses mendorong orang percaya untuk mendengarkan dan memahami ketimbang melawan orang lain dengan "kebenaran" versi mereka, melalui kontribusi signifikan yang jauh dalam wilayah teodisi (lihat Creation Out of Chaos and The Problem of Evil). Namun pada simpulan kita juga mencatat kontribusi penting dalam debat antara agama dan sains. Kosmologi "Dentuman Besar" (Big Bang) secara jelas memperkuat ajaran utama dalam filsafat proses bahwa dunia selalu berada dalam dinamika naik-turun (fluktuasi). Alam semesta kita bukanlah wilayah yang statis. "Hukum alam" yang telah kita observasi di masa lampau kini dipersoalkan dalam sorotan berbagai penemuan baru saintifik. Pandangan kita tentang alam semesta sebagai subjek wilayah mekanistik untuk "hukum-hukum yang pasti" (fixed laws) juga telah direvisi dalam sorotan teori kuantum. Ada pemahaman baru tentang dunia ini, bahwa teologi proses telah memfasilitasi hubungan baru antara agama dan sains. Yakni, jika alam semesta pada hakikatnya adalah "terbuka", maka Allah dapat "bertindak" dalam dunia. Lebih lanjut, jika, sebagaimana postulat teolog proses, Allah berkarya dalam dan dengan dunia dan prosesnya, ketimbang menentang dan mengeluarkannya, maka Allah berkarya dalam suatu konteks "hukum alam". Jadi menurut para teolog proses, Allah tidak melanggar "hukum-hukum alam", sebagaimana Allah tidak akan mengganggu hakikat kita (didasarkan sekitar paham kehendak bebas). Ini berarti bahwa Allah dapat bertindak dalam dunia dengan cara tersendiri ketika individu secara partikular terbuka untuk kehendak ilahi. Jika memang demikian halnya maka muncul pertanyaan apakah Allah telah melakukannya di masa lampau, atau akan melakukannya di masa depan. Terbuka juga pertanyaan: apakah Allah telah menunjukkan mukjizat di masa lalu atau dapat melakukannya di masa depan?


[1] Ketika kita menggunakan kata "statis" di sini tidak berarti Allah tidak aktif melainkan lebih berarti Allah tidak berada dalam proses perkembangan atau perubahan, dari Allah yang sekarang menjadi sesuatu yang lebih baik yaitu Allah tidak belajar dan meningkat dalam pengetahuan yang lantas membiarkan Allah untuk membuat keputusan-keputusan yang lebih baik sebagai contoh.

[2] Moltmann berpendapat bahwa pandangan "statis" tentang Allah dimana Kekristenan yang diwariskan dari Yunani mesti direvisi dalam sorotan Inkarnasi seperti ketika Yesus mengalami bagaimana menjadi manusia, dan secara khusus bagaimana mengalami kematian, sesuatu berubah dalam Allah. Ketika Allah menjadi manusia, Allah mengalami hal-hal yang Allah tidak pernah alami sebelumnya. Moltmann berpendapat bahwa hal ini mengandung efek dramatis pada siapa Allah sebagai Allah yang telah belajar bagaimana menjadi manusia seutuhnya (Ibr. 4:15).

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces