Aku menulis maka aku belajar

Sunday, February 23, 2020

Umat Pilihan Allah: Suatu Telaah Teologis-Etis Perjanjian Lama Mengenai Ulangan 7:1-11


Judul: UMAT PILIHAN ALLAH
Subjudul: Suatu Telaah Teologis-Etis Perjanjian Lama Mengenai Ulangan 7:1-11
Penulis: Steve G. C. Gaspersz
Penerbit: Penerbit Aseni 
Tahun Terbit: 2019

Lahirnya sebuah karya selalu dimulai oleh titik picu tertentu, yang kemudian secara konsisten dan bertahap menginspirasi lahirnya karya-karya berikut. Demikian pula dengan buku kecil ini. Inspirasi pertama gagasan-gagasan yang mengalir dalam buku ini bermula dari interaksi dalam proses studi pada Fakultas Teologi UKIM bertahun-tahun lampau, khususnya ketika mengikuti matakuliah “Agama dan Masyarakat” yang diasuh oleh guru saya, Dr. John Ruhulessin, M.Si. Melalui proses pembelajaran yang interaktif-kritis, kami digiring memasuki suatu arena dialektika ilmu-ilmu sosial dalam meneropong fenomena keberagamaan manusia. Pengenalan terhadap realitas sosial-budaya keberagamaan manusia melalui tugas-tugas bacaan kuliah dan diskusi-diskusi di dalam klas telah membentuk suatu cara pandang baru bagi saya, terutama dalam upaya memahami realitas pluralitas agama-agama dan konstruksi berteologi dalam agama-agama khususnya teologi Kristen.

Minat pada kajian agama dan masyarakat ini tumbuh pada masa-masa ketika dialog antaragama menjadi isu yang mengarusutama pada era pertengahan 1990-an. Di lingkungan Kristen kerap digelar diskusi dan seminar seputar isu itu kendati mesti diakui masih lebih banyak berputar pada ranah-ranah perjumpaan yang sangat formal dan elitis. Sebelum tahun 1998, ada beberapa peristiwa ketegangan antarkelompok agama dan tindakan-tindakan yang mengarah pada intoleransi beragama di Indonesia. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut mampu diredam oleh pendekatan keamanan negara Orde Baru – yang oleh pihak-pihak tertentu dinilai represif – sehingga tidak meledak menjadi konflik berskala besar. Konteks itu melatari minat saya untuk menelusuri hal-ihwal dialog antaragama di Indonesia dengan semua potensi peluang dan tantangannya baik secara internal maupun eksternal.

Salah satu yang mengusik dan membangkitkan minat dalam hal itu adalah narasi Kitab Ulangan 7:1-11. Pada bacaan sepintas terhadap teks itu saya merasakan pesan eksklusivisme keagamaan dan sikap peyoratif-triumfalistik terhadap liyan. Saya mencoba membayangkan saat itu bagaimana suasana batin yang dirasakan ketika membaca teks semacam ini di antara “keriuhan” wacana dialog antaragama yang sedang dibergema di mana-mana. Tidak hanya itu. Dalam kegairahan dialog antaragama pada masa itu teks-teks keagamaan semacam ini sering “disembunyikan” atas nama toleransi ketika sedang berada bersama-sama, namun dalam lingkungan internal keagamaan sendiri teks-teks semacam itu malah menjadi amunisi yang menghidupkan perspektif fundamentalisme dan fanatisme keagamaan yang membentuk kesadaran keagamaan yang bermuka-dua (munafik). Tidak mudah mengatasi situasi dilematis itu: pada satu sisi, mendaku kebenaran transendental yang berakar pada keyakinan akan sakralitas teks-teks keagamaan sebagai “Firman Tuhan”; pada sisi lain, berhadapan dengan eksistensi kelompok-kelompok keagamaan lain yang juga mendaku kebenarannya sendiri dan hidup bersama dengan seluruh pendakuan kebenaran tersebut.

Lebih jauh, kajian sederhana mengenai teks Ulangan 7:1-11 tersebut tidak semata-mata dilihat sebagai suatu teks yang berdiri sendiri tetapi juga hendak dilihat implikasi etisnya dalam perspektif dan praksis hidup bersama dengan berbagai perbedaan (termasuk perbedaan agama-agama). Implikasi etis dari suatu pembacaan terhadap teks-teks keagamaan merupakan upaya untuk menjembatani konteks produksi teks-teks tersebut dengan konteks para pembaca masa kini yang mereproduksi teks-teks keagamaan tersebut dengan pemaknaan-pemaknaan mutakhir (terbaru) sesuai dengan realitas kekinian yang dihidupi. Dengan demikian, teks-teks keagamaan itu tetap hidup dan terus dihidupi karena diyakini mempunyai daya mengarahkan sikap dan perilaku keagamaan melalui pertimbangan-pertimbangan apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi kehidupan yang spesifik.

Dalam relasi keberagamaan berbagai kelompok agama, implikasi etis keyakinan beragama merupakan faktor determinan menjaga keseimbangan sosial dimana setiap individu/kelompok merasa diterima oleh liyan sekaligus turut bertanggung jawab menerima liyan. Dengan perkataan lain, implikasi etis terutama dari interpretasi atau reproduksi makna teks-teks keagamaan hanya dapat didaku kebenarannya secara relasional dengan liyan – relational faith. Iman yang terbangun secara relasional. Sebagai yang demikian, maka beriman adalah suatu proses pencarian dan peziarahan kehidupan yang berlangsung dinamis, dialektis dan fluktuatif. Beriman dan/atau beragama yang relasional itu pun menolak untuk dijerat oleh kejumudan tekstual dari berbagai pernyataan absolutisme dalam kitab-kitab keagamaan. Sebaliknya, terus-menerus berupaya untuk melampaui keterbatasan tekstual untuk menggapai tahapan-tahapan kontekstual sebagai hasil dari dialog teks-konteks yang kreatif-kritis. Pernyataan-pernyataan keimanan untuk memaknai identitas secara teologis, yang dalam buku ini disebut sebagai identifikasi “Umat Pilihan Allah”, meski secara in-group dimaknai sebagai basis identitas teologis, namun pada ranah out-group identifikasi itu ditantang untuk terbuka dalam relasi dengan liyan. Oleh karena itu, proses dekonstruksi tekstual itu pun menjadi keniscayaan karena relasi dengan liyan adalah panggilan etika keberagamaan semesta.

Buku ini hanyalah refleksi kecil mengenai relational faith dengan seluruh ketegangan identitas yang menyertai ekspresi beriman atau beragama dari kelompok-kelompok agama yang hidup bersama-sama dalam entitas negara yang majemuk masyarakatnya. Sebuah pantulan kegelisahan beriman, yang digumuli 6 tahun sebelum pecah konflik sosial yang menunggangi isu agama di Maluku tahun 1999-2005. Berbagai perspektif sosiologis agama dan refleksi-refleksi teologis pun diwacanakan sepanjang dan pasca tragedi kemanusiaan tersebut. Pada momentum itulah, buku ini hendak menjadi catatan kecil yang mengingatkan diri sendiri bahwa peziarahan beriman dalam konteks masyarakat majemuk di Indonesia, bahkan dalam konteks internasional, tidak akan pernah berhenti pada satu titik final kebenaran transendental yang absolut. Ia selalu bergerak membangun kanal-kanal komunikasi dan relasi yang kreatif-kritis serta menghidupkan berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan meruntuhkan martabat kemanusiaan semesta.

Secara konseptual dan metodologis, kajian sederhana dalam buku memiliki banyak keterbatasan informasi mutakhir. Studi biblika, etika dan teologi agama-agama telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Tujuan utamanya adalah menempatkan salah satu “batu bata” kajian teks keagamaan, interpretasi teologis dan etika sosial dalam satu jaringan epistemik yang saling mengkritik dan saling menyumbang menanggapi realitas kehidupan yang dijalani oleh para pelaku beragama, yang dalam hal ini difokuskan pada Kristianitas dan orang Kristen. Apa yang dicita-citakan melalui publikasi buku kecil hanyalah agar ada rangsangan-rangsangan intelektual untuk melakukan studi lebih lanjut dan lebih mendalam oleh generasi pelaku beragama (Kristen) dan/atau pembelajar teologi selanjutnya. Itu saja. Dari situ jelas bahwa buku ini pada hakekatnya terbuka untuk dikritik melalui perluasan cakrawala berteologi yang lebih kritis dan mutakhir. Semoga.
Read more ...

Tuesday, February 11, 2020

Buru dalam Nalar Kolonial Indonesia

Saya tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan Prof. Salim Haji Said saat mengulas pandangannya mengenai “cara” menerima kepulangan anggota ISIS dari Indonesia. Dari pendapat dan gesture-nya, Said tampaknya tidak menalar isu ini sebagai isu sensitif terkait pertahanan negara. Meskipun mengakui bahwa isu ini rumit sehingga – menurut beliau – terlampau sederhana jika diselesaikan hanya melalui proses hukum, tapi – ini uniknya – sebagai seorang political scholar yang matang Said tidak melihatnya sebagai persoalan ideologis. Padahal, sebagai seorang sarjana politik cum jurnalis yang matang dan telah malang melintang dalam kajian politik militer Indonesia, terutama konfrontasi militer dan kubu sosialis-komunis Indonesia di masa lampau, persoalan benturan ideologis semestinya menjadi keprihatinannya. Apalagi, jika melihat rekam jejak dan perjalanan kariernya yang sangat dekat dengan lingkaran militer Indonesia. Hal yang lebih banyak disorotinya adalah mengenai eksistensi anak-anak anggota ISIS tersebut yang seolah diasumsikan sebagai kelompok usia yang belum terkontaminasi ideologi ISIS dan hanya menjadi korban dari kebodohan orang tua mereka. Mungkin saja, Said sengaja mengabaikannya.

Lebih lanjut, dan ini perlu disikapi serius, adalah pernyataan Said mengenai mengarantina anggota ISIS asal Indonesia pada satu pulau tersendiri. Said menyebut dengan “misalnya” Pulau Buru. Penyebutan itu dilakukannya dengan menganalogikan anggota ISIS seperti tahanan politik gestapu pada era 1960an yang oleh pemerintahan Orde Baru Suharto dibuang ke Pulau Buru.

Demikian kutipannya: Apakah caranya misalnya mereka diperlakukan seperti bekas gestapu, taro di Pulau Buru? Ok? Apakah caranya yang ditaro di situ adalah mereka yang terbukti sudah membakar paspor dan ikut bertempur bersama ISIS? Dan bagaimana dengan anak-anaknya? Kalau anak-anaknya tidak ikut dibawa ke “Pulau Buru” itu (sambil menggerakkan tangan tanda petik) bagaimana kita mengatasinya?

Pernyataannya tersebut ditegaskan lagi pada bagian akhir: Nah, kita punya pengalaman-pengalaman yang siapa tahu bisa digunakan. Misalnya, tadi saya sebut, kalau kita takut nanti pulang orang itu ngaco, dikarantina saja, misalnya di Pulau Buru.

Meskipun menempatkan “Pulau Buru” sebagai sebuah analogi dengan referensi “pengalaman-pengalaman masa lalu”, namun diksi geografis-ideologis tersebut dengan jelas memperlihatkan nalar kolonial yang kuat mencengkeram perspektifnya. Saya menyebutnya sebagai nalar kolonial karena Said menggunakan lensa penundukkan kesadaran yang dilakukan penguasa pada masa lampau untuk memahami realitas politik global pasca Perang Dingin yang dalamnya identitas “Indonesia” terlibat. Pada nalar kolonial itu problem politik global yang menciptakan “monster-monster ideologis” baru disimplifikasi hanya sebatas masalah partisipasi parsial sehingga ihwal “kepulangan” kelompok-kelompok pemberontak ini tidak dianggap serius. Bandingkan saja dengan bungkamnya analisis-analisis politik mengenai tindakan tegas negara terhadap kelompok-kelompok yang dicitrakan sebagai “kelompok separatis”, yang lebih banyak diarahkan ke wilayah Indonesia Timur, seperti RMS dan OPM. Akan tetapi, benarkah itu tidak dianggap serius? Saya meragukan seorang akademisi sekaliber Salim Said tidak melihatnya sebagai ancaman serius. Saya condong melihatnya sebagai kesengajaan analisis yang memperlihatkan ambiguitas peranan negara dalam menyikapi kekuatan ideologis vandalisme yang diusung oleh ISIS.
Yang lebih buruk pada nalar kolonial Said adalah pengerasan dikotomis antara “keadaban” yang direpresentasikan oleh Indonesia Barat (terutama Jawa) dan “kebiadaban” yang direpresentasikan oleh Indonesia Timur (terutama Maluku dan Papua). Tidak hanya memposisikan Indonesia Timur (Pulau Buru) dalam konstruksi kesadaran keterasingan dan karenanya layak – seperti masa Orba – dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan politik, tetapi menciptakan dan mempertegas imajinasi kepulauan Maluku (terutama Pulau Buru) sebagai terra nullius.

Secara antropologis, nalar kolonial semacam ini menafikan dimensi kemanusiaan masyarakat lokal – dengan seluruh kejamakannya – di kawasan kepulauan ini. Dengan demikian, semua yang diputuskan di dan didatangkan dari “Jakarta” adalah suatu misi pengadaban masyarakat lokal. Jika mengikuti nalar kolonial Said yang berulang kali menyebut “Pulau Buru” maka kelompok ISIS yang akan (atau sudah?) pulang mesti menjalani sebuah program “cuci otak”, entah dengan cara apa, yang sama sekali tidak memperhitungkan dinamika sosial-politik-ekonomi pada kawasan Pulau Buru sebagai bagian dari Provinsi Maluku tahun 2020.

Sulit membayangkan implikasi ideologis dan sosiologis imajinasi dan nalar kolonial semacam ini yang dilontarkan oleh seorang akademisi kawakan seperti Salim Said. Imajinasi dan nalar kolonial yang dibungkus oleh kemasan akademis (karena dilontarkan oleh seorang professor) akan menjadi legitimasi politik yang melanggengkan cara pandang kawasan timur Indonesia sebagai wilayah “kebiadaban”. Dengan kata lain, tidak ada apapun yang baik dari wilayah timur Indonesia kecuali citra keterbelakangan, ketertinggalan, dan kebodohan.

Pada titik itu, pernyataan yang dilontarkan oleh Prof. Salim Said harus diminta untuk diklarifikasi terutama oleh Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kabupaten di Pulau Buru. Jika tidak, stigmatisasi “keterbelakangan”, “kebodohan” dan “kebiadaban” akan terus menjadi alat legitimasi politik yang melemahkan potensi kemanusiaan masyarakat Maluku. Lantas, dengan semua itu Maluku dipandang secara instrumentalis sebagai wilayah yang hanya layak dieksploitasi tanah, hutan dan lautnya sembari mengabaikan pengembangan kualitas hidup masyarakat manusianya – sebuah terra nullius yang pada akhirnya hanya menjadi tong sampah untuk menampung kelompok-kelompok pengusung ideologi sampah yang jelas-jelas telah meludahi Indonesia dan membuang kotoran busuk ke muka pemerintah Indonesia.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces