Aku menulis maka aku belajar

Saturday, March 27, 2010

Ana Sakolah

Poka-poka Dace pulang bajalang kaki deng muka mara kaning takoro ancor. Talapas jumbatang batu merah amper sadiki lai dia pung tas talapas dar tangang tagal Etus kas takajo dekat pangkalan ojek.

Dace: Cukardeleng ose! Etus ee, kalo tar inga konyadu to beta su pilang ale ni. Jang sangaja bagitu o.

Etus: Hahahae... ini su mangapa lai? Par sore hari ale bajalang deng kaning takoro macang bagitu. Oee, bae-bae jang bajalang deng pikirang, la sala taru kaki skrek lai ale su punggul di kali batu merah. Beta su nanaku ale dar ongkoliong nyadu ee...

Dace: Kaning seng takoro bagemana lai Etus ee... beta ni ada kursus bahasa enggres di poka. Beta ada serius dengar lisening... wangala ee, katong pung instruktur bilang sampe jua barang anana su kaco baku lempar dalang kampus.

Etus: Istaganaga... beta pung nyadu ni tamba tua tamba tajang saja seeh. Ale masi iko kursus bahasa enggres tu lai. Beta kira ale ni su dekat matahari maso su seng taru kira par barang-barang bagitu lai.

Dace: Haa... se pung bagini-bagini ni ada haros katong tinggal tahang deng ton yes-no, la abis itu cuma bisa nganga orang bicara sampe aer mulu tumpa. Ale seng tau kata katong ni su musti siap par akang Sail Banda tu. Ale tau, ini nanti ada ribu-ribu orang bule mo maso Ambong.

Etus: Oo.. kalo sail banda beta tau. Tapi sabar dolo, jadi ale bajalang kaki ni...

Dace: La kira-kira beta mau molo dari martafons sampe galala? Bajalang jua. Tar ada oto satu lai. Dong su taku bajalang barang anana potar tu dong su baku lempar. Asal kata mahasiswa mar pikirang deng kalakuang macang orang seng skolah. Lebe bae macang beta bagini.

Etus: Itu akang nyadu ee... beta tar abis pikir lai mangapa tagal baku tatoki sadiki katong seng dudu bicara deng pikir akang bae-bae la cari jalang supaya samua pung mau laeng mangarti laeng.

Dace: La kalo su bagini, katong mo harap apa lai? Dong-dong itu akang orang-orang sakolah kio. Su balajar tikang kapala, mata tarobe sasamalang par dudu baca buku-buku tehupiori.

Etus: Oee... teori bukang tehupiori.

Dace: Itu sudah.

Etus: Nyadu eee.... tagal itu beta mo bilang ale bukang, lebe katong yang seng sakolah skali tapi mangarti hidop orang basudara gandong. Katong ni memang bukang orang sakolah tinggi mar katong tau ilmu hidop. Jadi beta rasa dong-dong itu musti balajar ilmu hidop lai. Jang cuma baku taroso deng ilmu-ilmu yang dong kasta kakarlak tanang dalang dong pikirang.

Dace: Iyo, iyo, sudah... jang ale bicara banya lai. Mari saribu dolo par se pung nyadu ni nae ojek. Beta su rasa engkel-engkel kaki pata-pata.

Etus: Ale ni seng laeng jua... saban bakudapa musti pata katong.

Dace: Hei, shat yor mot... mari capat kamari.

Etus: Iyo, tahang deng se pung shat yor mot... tar lama beta mot se.

[ini cuma kewel Dace deng Etus... jang mara kio kalo ada yang takanal di hati. Mara jua seng apa-apa, asal jang lupa tatawa... hahahaeeee....]
Read more ...

Friday, March 26, 2010

Lupa HP

Sudah cukup jauh dari rumah baru teringat saya lupa bawa handphone. Mau balik ke rumah sudah tanggung. Kalau pun dipaksakan, bisa terlambat Kanu tiba di sekolahnya. Janganlah. Ini hari terakhir Kanu ikut ulangan tengah semester. Materinya pun berat (bahasa Mandarin) dan perlu konsentrasi serta ketenangan. Jalan terus. Biarlah seharian ini silence alias sama sekali tidak bisa mengirim/menerima panggilan atau SMS.

Menjalani jam-jam sepanjang pagi (sambil tunggu jam mengajar) tanpa HP ternyata memberi nuansa ketenangan tersendiri. Pikiran tenang, hati senang. Bisa lebih konsentrasi nimbrung di facebook atau nge-blog. Aktivitas terakhir ini jarang sekali dilakukan karena ada saja kesibukan sepanjang hari, yang menuntut saya harus “berlompatan” kesana kemari.

Tersadar pula betapa sulit zaman sekarang hidup tanpa HP. Bolehlah lupa yang lain, tapi HP haram dilupakan. Kata seorang teman: “Zaman sekarang jalan tanpa HP, bisa sesak napas.” Wah, sebegitu pentingnya. Produk teknologi yang satu ini memang sudah menjadi semacam idol dalam kehidupan setiap orang. Mulai dari tukang sapu jalan yang gajinya hanya berbunyi “tus” sampai eksekutif berdasi dengan gaji berbunyi “yar”. Semua perlu HP. Apalagi dengan fitur-fitur yang makin canggih. Semua kebutuhan bisa terpenuhi. Dari chatting sampai baca kitab suci. Semua dengan mudah ditenteng dalam HP yang mungil dan superringan. Dalam banyak kesempatan saya juga sering mendapati orang-orang Kristen beribadah tanpa perlu lagi bawa Alkitab (versi printed) tapi sudah dalam format program di HP. Bahkan ada pendeta yang sebelum mulai berkhotbah membaca Alkitab dari HP. Praktis, katanya. Asal jangan lowbat pak… bisa berabe tuh.

Sehari tanpa HP menyadarkan saya bahwa benda kecil ini telah menjadi suatu ideologi dan gaya hidup. Kalau mau ekstrem bisa dikatakan hidup bisa berhenti tanpa pegang HP. Seluruh pikiran dan jiwa kita sudah dikuasai oleh HP. Barang ini seolah-olah makin bernyawa dan kita dihipnotis oleh auranya. Jiwa kita pun tak berdaya tanpa “roh” HP. Bisa ditebak, bahwa relasi-relasi sosial pun makin ditentukan dan ditaklukkan oleh HP. Anda tidak harus menerima panggilan seseorang. Atau Anda harus menerima panggilan seseorang kendati Anda sedang rapat atau beribadah (karena HP Anda terus ON). Bisa juga, Anda merasa tidak perlu berkata jujur tentang di mana Anda berada, apa yang Anda sedang lakukan, atau Anda sedang berada dengan siapa. Jawaban yang kerap terdengar adalah “OTW” (on the way alias sedang di jalan), padahal Anda masih baru bangun tidur dan belum mandi. Atau kalau tidak mau diganggu, dengan enteng kita bisa bilang: “sorry nih, saya lagi rapat. Nanti saya telepon.” Kenyataannya kita tidak pernah menelepon balik. Banyaklah contohnya.

Lupa HP sehari membuat saya teringat cerita dalam Alkitab tentang seorang pengusaha muda yang kaya. Ia datang kepada Yesus dan menanyakan apakah yang harus diperbuatnya supaya memperoleh hidup kekal. Yesus menjawab dengan sejumlah pernyataan normatif sebagaimana tercantum dalam hukum Taurat. Pengusaha muda nan kaya itupun menyahut bahwa semua hukum agama itu telah dilakukannya. Maka Yesus meminta dia menjual seluruh hartanya, membagikannya kepada orang-orang miskin, dan ikut Yesus. Sang pengusaha muda nan kaya itu lalu tertunduk dan membisu, terus tanpa cingcong ngeloyor pergi. Injil mencatat: … karena banyak hartanya.

Kesalehan pengusaha muda itu tidak diragukan. Hukum-hukum agama ditaati dan dijalani dengan setia. Tetapi sebenarnya hati dan hidupnya tidak dirembesi oleh makna hukum-hukum itu. Hukum-hukum agama hanya sebuah tampilan normatif tetapi tidak menggugah dan menggelisahkan hidupnya sendiri dalam relasi sosialnya. Ia hanya gelisah dengan keselamatan dirinya dan tidak pusing dengan realitas sosial di sekitarnya. Bahkan kemanusiaan orang lain tidak lebih berharga dari barang (harta) yang dimilikinya. Hidup kekal hanya menjadi pesona ekstasi masa depan yang sangat individualistik. Hidupnya terbelenggu oleh rantai-rantai ideologis yang membutakan dan mendangkalkan kedalaman hidup hanya pada benda. Ia tidak menjadi dirinya sendiri. Ia hanyalah label yang baru bermakna ketika melekat pada barang yang dimiliki atau dibawanya.

Sehari tanpa HP sontak menyadarkan saya tentang apa yang sebenarnya menjadi prioritas dan orientasi hidup kita. Kendati masih kabur, tapi sudah mulai tersingkap: apakah kita masih menjadi diri sendiri ataukah kita hanya dikenal karena apa yang kita pegang dan kita punya? Sebuah reifikasi yang menyeret kita menjadi “nothing without the thing you have”. HP memang penting; tapi tentu bukan prioritas sampai-sampai kita harus membudak padanya. HP membantu kita membangun relasi dengan orang yang jauh; tapi tidak bisa menaklukkan kita hanya menjadi manusia-manusia yang kesepian di tengah hiruk-pikuk kerumunan orang-orang di sekitar kita – yang nyaris tak kita sapa karena kita lebih asyik-masyuk dengan facebook, chatting, mp3, dan sejenisnya. Lalu, kita tertawa sendiri, bergumam sendiri, bicara sendiri. Bukan tak mungkin kita akhirnya sibuk dengan pikiran sendiri dan buta terhadap kehadiran orang lain di sekitar kita – itu tanda bahwa kita sedang menjadi tak waras…

Sehari tanpa HP. Sunyi. Tapi dalam kesunyian itu saya menemukan diri saya sendiri yang sedang bertanya: berapa lama sih bisa tahan gak pake HP? Repot…
Read more ...

Thursday, March 25, 2010

Otak vs Otot

Berita tentang bentrokan antarkelompok mahasiswa yang terjadi di salah satu universitas di Ambon cukup mengejutkan (walaupun selalu bisa dimaklumi dengan rasa sinis). Gerundelan klasik yang selalu didengungkan adalah "kenapa lembaga pendidikan tinggi, yang selalu mengedepankan rasionalitas dalam mencermati dan menyelesaikan suatu masalah [sosial] malah menampilkan suatu karakter amburadul yang vandalistik dan irasional?". Kok rasanya sulit menemukan jawaban yang pas, karena fenomena semacam ini sepertinya sudah mendarah daging dalam cara berpikir dan bertindak para "akademisi" kampus-kampus di Indonesia.

Demokrasi pun kerap jadi batu pijak untuk bicara apa saja, melakukan apa saja, mengumpat siapa saja, bahkan melukai siapa saja. Tak pandang bulu. Buku dan diskursus ilmiah yang terbangun dalam kehidupan berkampus seolah hanya label yang sekadar menandai bahwa "orang-orang kampus" bukan lagi "anak-anak SMA". Kendati sulit terukur sejauh mana pembedaan karakter memperlihatkan tingkat kematangan yang tidak lagi cengeng dan kekanak-kanakan dalam menyikapi suatu masalah [apalagi cuma masalah internal].

Wajah kampus-kampus kita belakangan ini sungguh-sungguh menampakkan wajah berang yang melunturkan seluruh karakter akademis yang kerap didengungkan dengan pongah. Penyelesaian masalah yang terjadi di kalangan kita - celakanya, nyaris tak ada sangkut paut dengan pergolakan membangun paradigma berpikir - makin menjauhkan kita dari kemampuan untuk berpikir dan bertindak metodologis sebagaimana pola yang seharusnya menandai gaya hidup berkampus. Lagi-lagi, kita harus menelan pil pahit bahwa kampus-kampus kita berhasil mewarisi suatu tradisi premanisme yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak.

Tetapi, benarkah kondisi kampus-kampus kita sudah sedemikian miris? Susah cari jawabnya...
Read more ...

Peringatan - sajak proletar Wiji Thukul

Kemarin bongkar-bongkar buku-buku dan kertas-kertas yang bertebaran di mana-mana. Tak sengaja menemukan puisi karya Wiji Thukul. Mungkin bisa kita maknai dalam refleksi pribadi dan sosial...

PERINGATAN

Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: LAWAN!

Wiji Thukul
Solo 1986
Penyair aksi, tukang becak, tukang plitur...
hilang tahun 1998
Read more ...

Wednesday, March 24, 2010

Menggereja di dunia: secuil catatan

Aku gereja, kau pun gereja
Kita sama-sama gereja…
Gereja bukanlah gedungnya…
Gereja adalah orangnya…

Demikianlah sekelumit nukilan syair lagu yang – saya rasa – cukup dikenal, mulai dari kalangan anak-anak Sekolah Minggu sampai orang dewasa dari warga jemaat Kristen. Namun demikian, meskipun syair lagu tersebut cukup populer, ternyata kita sulit sekali mengubah pencitraan setiap kali kita menyebut kata “gereja”. Saya sering mendengar bahwa pendeta A sebelum dimutasi ke jemaat lain telah berhasil membangun “gereja” yang cukup megah. Di jemaat yang baru pun program pertama yang dicanangkan adalah membangun “gereja” baru, yang dianggap lebih layak daripada yang lama. Anda tentu paham yang saya maksud, bukan?! “Gereja” yang kerap disebut di sini jelas adalah “gedung ibadah”.

Kalau Anda mengunjungi suatu negeri atau jemaat di Maluku, gedung ibadah merupakan salah satu landmark. Anda tidak akan tersesat karena cukup dengan melihat menara loncengnya yang menjulang, arsitekturnya yang eksotik dan modern, pekarangannya yang luas dan asri… Seolah-olah berdiri anggun dikerumuni rumah-rumah warga jemaat yang setengah miring, beratapkan daun sagu, berdinding pelepah sagu, dan masih berlantai tanah. Bahkan, menurut pengalaman saya, orang-orang yang hidup di sekitar gedung ibadah yang megah itu masih bertelanjang kaki, dengan anak-anak kecil berambut gimbal kemerah-merahan karena tubuhnya tak tersentuh air selama beberapa hari. Bukan karena tidak mau mandi, tetapi karena untuk mandi saja harus mengambil air dengan jarak cukup jauh. Yah, jadinya lebih sering “mandi keringat” ketimbang “mandi air bersih”. Semua pemandangan itu kerap – menurut amatan saya – terlihat justru di sekitar gedung ibadah yang megah itu.

Jadi, apakah “gereja” itu orangnya? Ataukah masih terus dan terus terpahami sebagai “gedungnya”?

Gereja yang Membumi

Menyelisik sejarah gereja, termasuk sejarah Gereja Protestan Maluku (GPM), kita akan menyadari bahwa gereja sebagai institusi bukanlah sebuah produk ilahi yang tiba-tiba jatuh dari surga. Institusi gereja adalah sebuah produk sosiologis, historis, dan kultural bahkan politis. Matra kerohaniannya lebih terletak pada visi teologisnya. Penelusuran sejarah gereja sebagai institusi kerap terartikulasi dalam narasi-narasi besar historis yang menempatkan kelahiran gereja sebagai buah dari pemikiran dan tindakan kaum elite. Di banyak gedung gereja kita lebih mudah menemukan prasasti yang berisi nama-nama para pendeta yang pernah melayani di jemaat itu. Tetapi rasanya jarang – kalaupun tidak ada sama sekali – yang mencatat nama-nama para tuagama atau para majelis jemaatnya. Wah, bisa penuh dong tembok gereja?! Sudah pasti. Tetapi bukankah gereja itu orangnya?! Bukankah tanpa “orang-orang” itu gereja dan pekabaran Injil tidak bisa bertumbuh, bertunas, dan berbuah?!

Tulisan ini tidak berpretensi mempertentangkan antara gereja sebagai “institusi” dan gereja sebagai “manusia”. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru, dengan menghadapkan dua persepsi tersebut kita hendak menguji apakah memang aspek “institusi” dan “manusia” sudah diposisikan secara dialektis dan setara sebagai dua dimensi yang menghidupkan makna gereja itu sendiri.

Dengan menyejajarkan secara dialektis kedua dimensi tersebut maka kita secara sadar hendak memahami gereja sebagai suatu entitas yang dinamis dan berakar dalam konteks spasio-temporal (ruang dan waktu). Institusi hanya akan menjadi instrumen mekanik yang beku-kaku dan birokrasi tak bernyawa tanpa dimensi kemanusiaan. Sebaliknya, kemanusiaan hanya akan menjadi dinamika tanpa orientasi misi dan visi yang jelas jika tidak terorganisasi dalam struktur penataan sumber daya yang mumpuni. Dalam arti demikian, gereja dapat dipahami sebagai “organisasi” yang secara implisit memperlihatkan dialektika dan korelasi kreatif antara struktur dan manusia.

Jika demikian, gereja sebagai organisasi mengemban fungsi-fungsi transformasi yang jangkauannya sejauh kejamakan varian situasi problematik manusia yang menggereja. Gereja dalam arti itu tidak lagi menjadi sebuah kata benda, tetapi kata kerja. Gereja adalah tindakan. Dinamika dan intensitas pergumulan kemanusiaan itulah yang menjadi konteks tindakan gereja. Menggereja adalah menyikapi realitas pemiskinan, penindasan politik, penyelewengan hukum, pelecehan HAM, marjinalisasi, kekerasan struktural, kerusakan lingkungan hidup, dan distorsi teologis dari hakikat gereja itu sendiri. Menggereja adalah sikap membumi; bergumul dalam lumpur keringat dan darah rakyat jelata yang menjadi korban ketidakadilan; menjadi benteng advokasi teologis terhadap tendensi despotik kekuasaan politik dan keserakahan ekonomi yang menggusur rakyat dari tanahnya; dan menjadi pelopor bagi suatu gaya hidup alternatif yang ramah terhadap bumi yang makin merana.

Kembali ke Gereja: Apa Artinya?

Belakangan ini saya sering mendengar pernyataan “kembali ke gereja”. Saya senang mendengar pernyataan itu. Ada semacam semangat yang menggema kuat bahwa gereja harus kembali menjadi dirinya lagi. Tapi, dirinya yang mana? Sejarah kekristenan, termasuk di Maluku, memperlihatkan bahwa wacana eklesiologis merupakan salah satu isu yang hangat jika ditempatkan dalam ranah kontekstual. Kita pun kerap kebingungan dalam tarikan gravitasi eklesiologi Barat dan eklesiologi Maluku. Lebih fasih menyebutkan rumusan panjang pengakuan iman Athanasius dan sejenisnya, tapi enggan mengaku iman sendiri dengan kesadaran Malukuisme. Apakah “kembali ke gereja” berarti kita harus “keluar dari dunia”? Saya rasa tidak demikian.

Dalam amatan saya, “kembali ke gereja” sebenarnya merupakan kritik-diri untuk terus-menerus menguji apakah tindakan menggereja kita sudah terarah pada pembebasan kemanusiaan dari segala kecenderungan distorsif dan destruktif, yang menenggelamkan manusia dalam kehancurannya sendiri. Malah lebih jauh, “kembali ke gereja” adalah suatu panggilan untuk mendekonstruksi pemahaman-pemahaman luncas bahwa gereja hanyalah suatu entitas rohani yang jauh dari pertautan intim dengan realitas konteks gumulnya. Gereja pada dirinya tidak mengajarkan jalan masuk Kerajaan Surga, tetapi justru mengajarkan bagaimana matra Kerajaan Surga itu termanifestasi di bumi, kini dan di sini.

Bagi saya, bukan aspek “kembali ke gereja” itu yang penting, melainkan apa implikasi yang seharusnya muncul dari gerakan “kembali ke gereja” itu. Gereja kita sangat kaya dengan pernyataan-pernyataan teologis, tetapi miskin sekali dalam implementasi praksis teologis. Alih-alih memberikan alternatif gaya hidup sebagai cara kritis menguji dirinya dan menanggapi konteks gumulnya, gereja – sebagai institusi dan manusia – kerap malah asyik-masyuk dalam kenikmatan mengagumi pesona diri dengan kemolekan-kemolekan rohani yang artifisial, seolah-olah sedang merayu Allah dengan kegenitan spiritualitasnya yang semu.

Implikasi berteologi adalah terbentuknya suatu gaya hidup alternatif. Risikonya adalah kita akan dipandang “aneh” karena menganut gaya hidup berbeda dengan dunia (oikos). Tapi jangan salah sangka bahwa dengan demikian kita ingin memilih gaya hidup seperti kaum Amish di Amerika Serikat yang menolak segala bentuk teknologi modern. Bukan bentuk yang kita tolak, tetapi ideologi di balik bentuk-bentuk kehidupan modern. Tanpa jarak kritis, ideologi modern secara subtil merasuk ke dalam cara pandang dan sikap menggereja kita, lalu perlahan-lahan membuat kita terlena dalam ekstasi rohani yang hanya sekadar mengagumi bentuk-bentuk simbolik tetapi abai pada transformasi sosial yang memang sudah menjadi panggilan menggereja itu sendiri.

Gereja yang ekumenis pada hakikatnya adalah cara gereja membangun gaya hidup alternatif. Gereja yang membumi (oikos) adalah gereja yang bersahabat dengan bumi; gereja yang membangun persaudaraan dengan semua yang “lain” (others); gereja yang berpolitik untuk melawan penindasan politik, eksploitasi ekonomi, dan pemiskinan; gereja dengan ruang-ruang yang terbuka lebar, bukan hanya untuk membangun kerohanian individual melainkan untuk membangun dialog spiritual secara leluasa; gereja yang bermisi, bukan untuk mengkristenkan tetapi memperkenalkan spiritualitas kristiani yang percaya diri, bersahabat, egaliter, dan non-diskriminatif.

Mungkinkah?

Aku gereja kau pun gereja… (nyanyikan terus…)
Read more ...

Wednesday, March 17, 2010

Church History in Maluku: Possibilities toward Social History Dimensions - part four

History from Below: Study on Burger Communities in Ambon

In this section I would like to describe briefly about my study proposal in social history. I have concern on the so-called burger communities. Burger is free citizen who live around Portuguese and later Dutch forts in Ambon islands (Ambon, Saparua, Haruku). The emergence of burger communities, and their existence, closely related to the development of Ambon society and social changes underwent during colonial periods until today in Indonesia context.

In VOC periods, burger communities or Inlandsche burger was native people who live in Ambon town. Originally they came from some other regions of Nusantara such as Java and Sulawesi (Makassar) as traders. Inlandsche burger at the time of VOC was not Ambonese. They were divided socially into some stratification: slaves and non-slaves.

Slaves were biggest social group whose lower status in social structure of Ambon society. One stratum above the slave group was non-slave group. They came from everywhere of Nusantara as well. Comparing with the former group, non-slave group consist of people whose big capital dominated by Makassar and Chinese traders and distributors. They had different status than indigenous people of Maluku (what we called orang negeri or villagers). At the upper social level was Dutch group as burger (citizen), civil officers, and soldiers.

By time, in nineteenth century inlander (indigenous people) category had changed drastically. Inlandsche burger was not consisted of people came from outside Ambon islands, but it became identification for people from Central Maluku. It was made possible since the government gave space for orang negeri to dwell in the town and they got status as Inlandsche burger, which different to Europesche burger and Chinesche burger.

As social groups burger communities went through status shifts according with social changes politically and culturally in Ambon islands. At the time of independence struggle, some prominent figures from burger communities took important roles who determined social changes in Ambon. Mostly they were intellectuals and modernists who had no primordial ties anymore with their negeri and adat. Or they had no deep interest regarding their negeri and often opposite to raja (traditional authority) who still loyal for colonial ruler.

Such social changes imposed them to move out from Ambon town and decided to live in some negeri’s lands by permission of rajas in Ambon. According to resident-assistant report from 1924 there were twelve burgerkampongs in Ambon:[1]

1. Galala in Halong land

2. Lata in Halong land

3. Lateri in Halong land

4. Waiheru in Halong land

5. Hunut in Halong land

6. Negeri Lama in Paso land

7. Nania in Paso land

8. Poka in Rumatiga land

9. Nipah in Rumatiga land

10. Larike in Larike Islam land

11. Hila in Hila Islam land

12. Mahia in Urimesing land

In certain period burgerkampongs were get equal status administratively with negeri. However, they uniquely had open social character, flexibility, and found themselves as pluralistic community rather than negeri. Those who came from burgerkampongs actually have vital roles for determining social changes in Ambon town, especially in education and political fields.

Sociologically, burger communities had shown open character as pluralistic community and therefore they performed independent and modern social identity. They mostly were well-known as great nationalists, intellectuals, and thinkers who shared nationalism ideas of Indonesia, and much influenced by Western democracy notions.[2]

I formulate my topic research as “Burger Communities: Identity and Social Changes in Ambon 1884-1965”. By this I realize that archive study is necessary and worthy. Similarly, I also try to apply social science approaches and theories to observe sociological understanding of burger communities manifested through social interactions, communal ideas, and social processes that perpetuated until today. And then tracing what kind of historical memories that remain in social relation forms.

This is a long process of study and exhausting work. I realize it. But it is a way I have to try to perform my academic accountability as church historian for developing historical study and church mission contextually in Maluku and Indonesia.

Ambon, March 11, 2010


[1] R.Z. Leirissa et al., Ambonku: Doeloe, Kini, Esok (Ambon: Pemerintah Kota Ambon, 2004), pp. 80-81.

[2] Such as A.Y. Patty, J. Latuharhary, J. Leimena, Ina Balla Latumahina, J.B. Sitanala, etc.

Read more ...

Church History in Maluku: Possibilities toward Social History Dimensions - part three

Multidimensional approach in historical study not only may help historians to read written data or archive composed in the past (by who?), but also to read contextual reality as manifestation of historical consciousness that memorized by ordinary people in their oral forms. Here historical study is complicated in itself. I think that contemporary historical study must take seriously oral history aspects in social life. Jan Vansina in Oral Tradition as History helps us to understand different approach in historical study. I would not regard it as an ignorance to archive study, but rather as one to complete historical methodology with different paradigm.

Yes, oral traditions are documents of the present, because they are told in the present. Yet they also embody a message from the past, so they are expressions of the past at the same time. They are the representation of the past in the present. One cannot deny either the past or the present in them. To attribute their whole content to the evanescent present as some sociologists do, is to mutilate tradition; it is reductionistic. To ignore the impact of the present as some historians have done, is equally reductionistic. Traditions must always be understood as reflecting both past and present in a single breath.[1]

Therefore, historical study is not simply rely its research on archive study composed during colonial period but also on oral data from social research (interview, field social research) to compare critically what people understood about their past as collective memories. I think this is way where we can apply the so-called historical methods: searching – verification – interpretation – historiography. Through combination of archive study and sociological study (especially oral tradition), historians able to understand some social upheavals from below and interpretation of history by ordinary people, which often covered implicitly in missionaries’ notes or writings for colonial interests.

This process specifically is important for historians in Maluku since we are stagnant in archive research during Japan occupation (1942).[2] Japan military destroyed all Dutch documents and prohibited people to use anything symbol of Dutch, and restructured civil administrative by native replacing Dutch officers. There are wide historical gaps in order to understand socio-cultural and political dynamic during Japan period in Indonesia because no regular documentation as prior under Dutch administrative; whereas social reconstruction of Indonesia society until today is very determined historically by Japan military policies. For example, prohibition of Dutch language replaced by bahasa Indonesia; cultivating military discipline in civil administrative; strengthening concept of self-determination (or nationalism) guided by Japan as “old brother”; identification of Christianity as symbol of Western (Dutch) representative so-called agama penjajah (colonizer’s religion) and strengthening Islam as indigenous religion that in turn crystallized identity of Indonesia as anti-Western and anti-Christianity so that it creates polarization between Christian-Western and Islam-Indonesia.

Socio-religious conflict in Maluku few years ago actually is a crystallization of historical understanding that must be approached through social history framework.[3] In this perspective I think archive study has to be equipped, among others, with applying social science methods in order to explore historical memories precipitated inside ordinary people’s consciousness but have not recorded in written forms (archive). By this combination of historical approaches thus history being more complex, long term, but also interesting due to history is not merely about written documents or archive. History rather is living human documents.[4] If history is living human document then present occasions shall be seen as data linking human being with the past in his/her historical consciousness and alike critically to value present social relations, such as conflict between Christian and Muslim.



[1] Jan Vansina, Oral Tradition as History (Madison: The University of Wisconsin Press, 1985), p. xii.

[2] As far I know there is only Rev. Simon Marantika’s book, i.e. GPM pada Masa Pendudukan Jepang (unknown publisher and date). A thin book noted Christian massacre (especially GPM’s ministers) by Japan military.

[3] Thanks for Dr Zakaria Ngelow who shared me some articles on social history.

[4] Gerry van Klinken, “Menyusun Sejarah Bersama di Ambon: 19 Januari 2010”. Paper presented on Seminar 11 years Conflict in Maluku held by LAIM (Maluku Interfaith Institute) at Baguala Beach Ambon 2010.

Read more ...

Church History in Maluku: Possibilities toward Social History Dimensions - part two

Historical Method and Significance of Post-Conflict Archive Study

When I was a student at faculty of theology UKIM in Ambon around 1990s, we got “General Church History” and “Church History in Indonesia” courses. We used Prof. Tom van den End’s books (e.g. Ragi Carita vol. 1 and 2) as main references.[1] Church history exploration through those books provided us deep insight about the dynamic of church history in Indonesia and in Maluku (only it was just small narrative). Then we realized – after comparing with others especially post Reformation 1998 – that Van den End’s books essentially presented a general view of church history about church birth and development institutionally. In that point of view his books provided small place for observing dynamic of social changes toward and within Christian congregations in Maluku (intentionally I focus on Maluku context).

Absolutely I believe that what he had done attempting in church history reconstruction is really based on studying archives deeply and comprehensively. I have no doubt of it. However, it must be realized that social dynamic from below is not much depicted explicitly in general picture of church history in Van den End’s Ragi Carita. Later, in his dissertation at Jakarta Theological Seminary (STT Jakarta), Tapilatu described specifically the history of GPM but again still focused on church as institution (of course, it must be put appropriately in social context).[2]

While, on the other side, churches in Maluku either institutionally or communally are very influenced by significant social changes and political, cultural, and economic upheavals as a whole. Formally church’s theology, mainly it taught at theological school, closely related to contextual dynamic of societal life in which church has been living and serving. Learning aspects of church history, therefore, in that point must give accentuation toward sociological, political, cultural, and economic processes.

Study on political history in Maluku by Richard Chauvel could be regarded as one magnum opus in study of local history in Maluku.[3] Prof. Chauvel provides important data and historical analysis that shown dispute of social groups in Maluku (i.e. between raja as traditional authority and intellectuals who originally from burger communities – Ambonesche burger). The dispute then becomes contradiction between Dutch loyalists and Indonesian nationalists. From his analysis could be seen the emergence social ideas related to the forming of political identities around discourses of being Indonesia in Maluku context. Although he does not mention explicitly about roles of GPM in his analysis, Chauvel describes such a political history determined political view and standpoint of Christians in Maluku. So that it could be assumed that various political views and standpoints of Christian in Maluku then becomes significant factors directing theological and political perspectives of the church toward certain issues as ethnicity, church-state relationship, and Islam-Christian encounter in new context of Indonesia society sociologically or politically.

It is important to note as well about historical study by Zakaria Ngelow, which I think provides widely perspective about theological perspectives of Christians and churches situated in the struggle for independence of Indonesia and forming processes of Indonesia nationalism conceptually.[4] In local context, I have to mention study of John Ruhulessin in his master thesis at Satya Wacana Christian University (Salatiga) which focuses on RMS (Republic of South Maluku) revolt from the Maluku Christian perspective who live in Maluku.[5] Unfortunately, his thesis is not published yet so it can be read publicly. I think that is a reason why young generation in Maluku remain confuse when speaking about RMS and easily used the issue of RMS mistakenly during and post-conflict.

There are many, of course, studies on Maluku history I can put in this section. In educational field, for instance, Cornelis Alyona completed his master thesis at STT Jakarta and dissertation at University of Indonesia on subject of Western education in Central Maluku 1885-1942. Alyona’s study is an important one to trace history of educational system in Maluku related to some problems deal with political policy from colonial until independence periods.[6]

Well, what shall be concluded from short review about historical study in Maluku by “church historians” and “secular historians”? Briefly, historical study in essence is not simply about mapping the past that often influence some occasions today. Historical study rather is a systematic effort to understand social reality within time continuum, and that difficult to restrict it as past, present, and future in linear viewpoint. Is the past a history? Where can we cease to define the past and making demarcation with the present? When can we say something as history and which one is not? Such questions at least bring us to rethink historical method and pattern of narrative. It may be useful here to quote what Lemon says in his Philosophy of History: A Guide for Students to make differences conceptually between speculative philosophy of history and analytic philosophy of history.[7]

… let us look further into that branch of philosophy of history called speculative philosophy of history. As already intimated, this consists of thinking about the actual ‘content’ of (human) history to see in what sense ‘it as a whole’ is explicable or meaningful. It is hence not surprising that some who have attempted this employed the term ‘universal history’, and that one recent scholar described it as ‘the central aspiration to afford a total explanatory account of the past’.2 Although not all speculative philosophy of history is so overtly ambitious, those who engage in it are variously attempting to reach conclusions about the following kinds of questions: does history demonstrate a single giant unfolding story? If so, does the ‘story’ have an ending? And is that ending utopian, cataclysmic, or simply mundane? Or does history go round in circles (‘cycles’)? Can history be divided up into distinct periods such as ‘the Dark Ages’, and if so, what are they? And what does this tell us about the course of history? Is the history of the world necessarily a history of progress of humanity; if so, why? If not, why not? Do ‘laws’ govern historical development, or is it already begging the question to see history as ‘developing’? Is the course of history determined by forces outside human control, or can individuals’ actions make a difference? Can we learn anything from the flow of history, or is every situation unique? (p. 9)

Whereas its speculative branch treats of history as past events and circumstances (i.e., history as ‘content’), analytic philosophy of history enquires into history as the discipline (or ‘form’) which discovers and understands that past. Its enquiry is ‘analytic’ because it critically analyses the thinking behind the ways in which historians undertake their discipline. For example, what conditions must be met for a statement about the past to be ‘true’. Is there an exclusively ‘historical’ way of explaining the past as distinct, for example, from a scientific way? Is narrative a satisfactory vehicle for historical knowledge? Do historians implicitly rely on certain ‘laws’ of human behaviour in their understanding of history? If so, what are they, and are they valid? How far are an historian’s perceptions and judgements an extension of his or her own ‘unconscious’ or ideological views – in other words, can the historian reach objective truth, or is he or she captive to subjective accounts? (p. 281)

I have no pretention to elaborate both dimensions of philosophy of history. At least, however, Lemon’s statement above may bring us to examine validity of historical methodology by church historians. In my view, with such understanding we realize that doing research on church history critically must be put in framework of social sciences widely. Consequently, we may question where the boundaries between historical study and social sciences; how to apply social research method in historical studies. It does mean that historical study actually is multidimensional study.


[1] Th. van den End, Ragi Carita vol. 1 dan 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996).

[2] M. Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku 1935-1980: Suatu Tinjauan Historis Kritis. Th.D. dissertation Jakarta Theological Seminary 1994 (unpublished).

[3] Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists: the Ambonese Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950 (Leiden: KITLV Press, 1990).

[4] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1994).

[5] John Ruhulessin, Mencari Makna Cita Kemanusiaan Bersama: Suatu Analisis Sejarah Politik Lokal Secara Multidimensi pada Sejarah Ambon Antara Tahun 1945 Hingga 1950 Serta Implikasinya Bagi Artikulasi Iman Kristen Dalam Konteks Pluralisme Masyarakat di Maluku. Master thesis Satya Wacana Christian University Salatiga 1993.

[6] Cornelis Alyona, Pendidikan Barat di Maluku Tengah 1885-1942: Timbulnya Dualisme dalam Sistem Pendidikan. Ph.D. dissertation University of Indonesia, Department of Cultural Science 2008.

[7] M.C. Lemon, Philosophy of History: A Guide for Students (London: Routledge, 2003).

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces