Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, August 31, 2016

Mengenang Abdullah Soulissa


Perjumpaan dengan beliau hanya terjadi tak lebih lima kali. Itupun terjadi dalam suasana yang tidak disengaja. Kebanyakan pada acara-acara formal yang berlangsung di kampus dan/atau ruang-ruang seminar.

Namun, namanya selalu menjadi rujukan penting bagi setiap orang yang ingin memahami dinamika sejarah, sosial, politik, kebudayaan dan agama di Maluku. Entah sudah berapa ratus sarjana dan peneliti dari dalam dan luar negeri yang mencantumkan namanya sebagai sumber rujukan wawancara maupun mencatat perannya dalam trajektori sejarah sosial dan kebudayaan lokal di Maluku. Suatu anugerah kehidupan dari Sang Khalik yang luar biasa, yang menuntunnya melampaui tiga zaman: kolonial, awal kemerdekaan dan Indonesia kontemporer.

Sosoknya tidak hanya ditentukan oleh peran politiknya semata tetapi lebih oleh kharisma sebagai "orang tatua" yang telah kenyang pengalaman manis-pahit berjalan bersama masyarakat Maluku yang kepadanya ia mengabdikan hidupnya hingga akhir tarikan nafasnya. Kharisma itu pula yang mengisi bejana kebudayaan lokal Maluku dengan nilai-nilai kebajikan dan persaudaraan, yang kemudian menjadi pilar-pilar makna membangun kesadaran dan praktik hidup yang terbuka dan saling hormat perbedaan dalam konteks yang lebih luas: Indonesia.

Abdullah Soulissa adalah anak zamannya. Peran dan kharismanya turut membentuk habitus kebudayaan Salam-Sarane di Maluku. Dia adalah putra terbaik Leihitu untuk Indonesia.

Sopo horomate Upu Abdullah Soulissa! Kami Maluku mengenangmu.
Read more ...

Monday, August 22, 2016

Epilog Buku John Ruhulessin



EPILOG


MENJADI INDONESIA: SEBUAH PENCARIAN

Steve Gaspersz

[Tulisan ini adalah catatan pengantar tutup dari buku karya Pdt. Dr. John Ruhulessin, Mencari Cita Kemanusiaan Bersama: Pergulatan Keambonan dan Keindonesiaan (Salatiga: Satya Wacana University Press 2016)]

Pada satu titik waktu pertengahan tahun 2002, ketika desingan peluru dan dentuman bom masih “garang” membuyarkan keheningan malam-malam panjang mencekam di Kota Ambon, sekelompok pemuda berjaga di salah satu jalan masuk pemukiman penduduk di wilayah perbukitan pinggiran kota. Wajah-wajah mereka tak mampu menyembunyikan urat-urat ketegangan, sambil ngobrol tentang segala peristiwa “kerusuhan” sejak Januari 1999 yang makin menyulut bara kebencian dan dendam, serta meluluhlantakkan kehidupan dengan rentetan kebiadaban demi kebiadaban yang seolah tak terbendung. Di antara beberapa isu obrolan mereka, ada satu isu yang menarik. “Katong ni seng pernah dapa ajar akang sejarah RMS tu. Katong pung orang tatua jua seng pernah bastori apa-apa tentang RMS. Maar mangapa dong tinggal bilang katong separatis RMS? La kalo dong tinggal bilang katong ni RMS padahal katong seng tau apa-apa deng akang, loko lebe bae katong biking batul akang skali.” Beberapa tanggapan tentang RMS pun berlanjut meski tetap berujung samar-samar mengenai apa dan siapa RMS itu.

Obrolan malam itu tentang RMS (Republik Maluku Selatan) memang hanya satu bahan percakapan ringan. Namun, sebenarnya dari obrolan itu mencuat kegelisahan eksistensial mengenai salah satu babakan historis yang cukup menentukan dalam peradaban kebudayaan dan politik masyarakat Maluku pada pertengahan abad ke-20. Pergolakan politik Nusantara pada masa-masa pergerakan nasional dan peralihan kekuasaan dari pemerintahan kolonial Belanda ke kaum republikan “Indonesia” antara tahun 1945-1950 tidak dapat dikatakan mulus. Tarik-ulur kekuasaan antara negara-negara adikuasa Barat (Belanda, Inggris dan Amerika Serikat) atas “Indonesia” yang sedang mencari bentuknya ini berlangsung dengan intensitas tinggi dengan melibatkan strategi diplomasi yang pelik. Sementara di dalam negeri, polemik pun tak terhindari antara para pendukung pendekatan diplomasi dan pendekatan konfrontatif non-kompromis terhadap Belanda (Gde Agung, 1985: 1-38).

Sementara itu, sejumlah daerah bergolak dalam kegaduhan politik identitas mencari bentuk dan menentukan arah kemenjadian “Indonesia” itu, sebagaimana diimajinasikan oleh Sukarno: dari Sabang sampai Merauke. “Persatuan” dan “Kesatuan” menjadi mantra sakti yang bergema dalam orasi berapi-api Bung Karno. Jelas yang dimaksud oleh Bung Karno adalah “negara kesatuan” atau yang dicetuskan oleh Soepomo sebagai “negara integralistik”, bukan negara federasi (Simanjuntak, 1994).

Penolakan kaum republikan (Republik Indonesia) terhadap struktur federal, ironisnya, bukan dipicu anggapan bahwa Republik itu kuat melainkan kelemahan Republik menghadapi ambisi muluk membangun kedaulatan nasional di seluruh kepulauan Indonesia (Elson, 2008: 225-230). Ketika pilihan politik divonis dengan pendasaran nasionalisme pada konsep negara yang mencakup seluruh kepulauan – ide yang sudah muncul sejak 1912 – dan tanpa pilar ideologis yang menopang konsep rapuh itu maka kecenderungan nasionalisme kedaerahan sekecil apapun tidak bisa dibiarkan. Itulah yang mendorong semangat kaum republikan untuk membongkar struktur Republik Indonesia Serikat (RIS) lantas mengarahkannya pada konsep persatuan nasional. Kekuatan ekspresi persatuan nasional berarti bahwa tak ada upaya separatisme yang boleh dibiarkan dan tiap bibit separatisme harus dimatikan.

Tentu saja, sikap tersebut mengundang tanggapan terutama dari kelompok-kelompok politik Indonesia timur yang lebih bersimpati dengan gagasan federalisme dan anti-Republik. Respons pertama muncul pada awal tahun 1950, di tengah suasana lemahnya negara-negara buatan Belanda dan kompleksitas proses penggabungan pasukan eks KNIL dan ireguler ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang bertumpu pada kekuatan TNI. Pemberontakan Andi Azis adalah tanda pertama ketidakpercayaan dan keraguan serius di Negara Indonesia Timur terhadap upaya sentralisasi Republik Indonesia, yang langsung ditanggapi dengan aksi militer pasukan ekspedisi dari Jawa.

Di Ambon, kepulangan sejumlah besar pasukan eks KNIL yang sedang dililit kecemasan akan masa depan mereka dalam kemiliteran Belanda, menjadi sumbu pemicu penolakan terhadap ide negara kesatuan yang digaungkan oleh kelompok republikan di Jawa. Kelompok elite Ambon, yakni para raja di negeri-negeri Kristen, lebih mendukung gagasan federalisme sambil berharap kekuasaan Belanda dapat ditegakkan kembali di Ambon (Chauvel, 1990). Kembalinya kekuasaan Belanda yang mereka impikan itu tentu berimplikasi pada kebangkitan kembali otoritas politik para raja Kristen yang selama berada di bawah administrasi Belanda menjadi pihak paling diuntungkan. Kenikmatan kekuasaan mereka pupus saat Ambon terpuruk di bawah kekuatan pendudukan militer Jepang.

Sekelumit narasi tersebut hanya ingin memperlihatkan bahwa pergolakan politik lokal, termasuk proklamasi dan pemberontakan RMS, tidak dapat dilihat secara sederhana hanya sebatas “gerakan separatis” karena negara Indonesia itu sendiri pada waktu itu belum mewujud sebagai sebuah entitas politik yang mumpuni dengan kekuasaan negara yang kuat terpusat. Eksistensi Republik Indonesia yang berbasis di Jawa sebenarnya mendapatkan momentum utama dari relasi-relasi kuasa negara-negara Barat yang sedang terengah-engah menata persoalan dalam negeri mereka yang porak-poranda pasca Perang Dunia II dan menghadapi proses dekolonisasi yang pelik.

Pada titik keruwetan memahami implikasi politik internasional terhadap dinamika kekuasaan lokal itulah, John Ruhulessin (selanjutnya: JR) menggiring kita untuk melihat fragmen-fragmen historis lokalitas di Maluku yang berkelindan dengan pergeseran-pergeseran kekuasaan pada tingkat nasional, regional dan internasional melalui kajian komprehensif mengenai Republik Maluku Selatan (RMS). Selain kaya dengan eksplorasi data dan tajam dalam menganalisis matra-matra sosiologis, politis dan kultural yang terbentuk melalui proses perjumpaan dan benturan antara aktor dan struktur sosial-politik, salah satu kekuatan buku JR ini adalah “perspektif lokal” dan “subjektif”-nya sebagai orang Maluku yang mencoba menelanjangi sejarah komunitasnya sendiri dan itu juga berarti menguliti identitas keambonannya dalam konteks sosial-politik yang lebih luas, yaitu kemenjadian Indonesia itu sendiri.

Dengan demikian, melalui buku ini JR mengelaborasi kajiannya tanpa semata-mata terbelenggu oleh objektivisme yang jumud, tetapi terasa kegundahan dan kegalauan eksistensialnya untuk menggugat sejarah yang dibisukan oleh kekuasaan negara Orde Baru. Sejarah yang dibisukan itu membawa implikasi sosiologis dan politis yang tragis bagi masyarakat Maluku melalui pendekatan keamanan yang represif dan marjinalisasi sistematis melalui stigmatisasi “separatisme RMS” dan proliferasi ketakutan ideologis terhadap hantu RMS. Kedua hal yang disebut terakhir itu pada gilirannya justru menciptakan efek balik yang kontra-produktif: bukannya makin menihilkan ingatan kolektif tentang RMS tetapi malah mengabadikannya sebagai propaganda politik dalam struktur kesadaran sosial masyarakat Maluku.

Pada sisi itu, penerbitan buku JR – yang semula adalah tesis magisternya pada Program Magister Sosiologi Agama UKSW – tidak hanya menjadi historiografi tetapi justru adalah momen historis itu sendiri. Artinya, buku ini patut menjadi salah satu referensi utama dari perspektif lokal untuk menjawab kegalauan kaum muda Maluku abad ke-21, terutama yang sempat merasakan khaos Januari 1999 dan selanjutnya, seperti cuplikan ilustrasi pada awal tulisan ini, tentang sejarah RMS. Dengan demikian, buku ini adalah penciptaan momen historis dalam konstruk kesadaran kaum muda untuk menghayati perjalanan masyarakat Maluku/Ambon pada setiap titian babakan sejarah keambonan dalam keindonesiaan yang esensinya masih terus dalam proses menjadi hingga saat ini.

Selain itu, jika menelisik lebih jauh pada gagasan di balik refleksi kritis sejarah oleh JR ini, kita dapat menemukan isu krusial yang masih menjadi perdebatan hangat hingga kini: nasionalisme dan desentralisasi kekuasaan. Selama lebih dari tiga dasawarsa, rezim Orde Baru berhasil membangun supremasi politik dan militerisme dengan tujuan utama mengawal “persatuan dan kesatuan bangsa” Indonesia, sambil menerapkan sistem pengawasan ketat birokrasi sipil melalui bayang-bayang hierarkhi komando militer dari tingkat pusat hingga desa. Hal itu diterapkan pula pada semua bidang kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan. Proses pendidikan, terutama sejarah lokal, di tangan rezim Orde Baru menjadi semacam panoptikon yang mengonstruksi pertama-tama struktur kesadaran dan mengontrol logika mengikuti kehendak penguasa. Tidak ada ruang untuk berpikir merdeka dan kreatif, dengan hentakan-hentakan logika liar yang berusaha menerobos kebuntuan informasi mengenai subjek studi sejarah yang berkabut pekat ideologi rust en orde. Sejarah pun kian pudar rona pesonanya, hanya menjadi pohon-pohon kronologis dengan ranting-ranting waktu yang meranggas karena tumbuh di atas ranah kering interpretasi.

Buku JR ini merupakan setetes embun yang hendak menyegarkan ingatan kolektif masyarakat Maluku tentang fragmen-fragmen sejarah peradabannya yang pernah dihilangkan oleh rezim kekuasaan negara. Momentum Reformasi 1998 yang mengerucut pada implementasi desentralisasi “setengah hati” kekuasaan politik dan pengelolaan sumber daya (alam dan manusia) lokal menggelar cakrawala yang lebih luas untuk proses pencarian yang lebih kritis. Jika buku ini dibaca sebagai penemuan kembali fragmen-fragmen sejarah yang dibisukan maka di situlah JR tidak sedang membangkitkan romantisme RMS seperti yang sering digembar-gemborkan oleh pihak-pihak yang “asbun” (asal bunyi) tetapi sedang mengajak kita semua jujur dan terbuka melihat diri sendiri melalui cermin sejarah kaum subaltern. Bukan sejarah kaum pemenang melainkan sejarah kepedihan orang-orang yang menjadi korban dari ketamakan kekuasaan internasional. Sekaligus pula, buku ini menjadi amunisi perlawanan agar generasi muda Maluku tidak terperosok pada pesona semu jargon-jargon politik yang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu yang berujung makin terpuruknya kehidupan dan kemanusiaan oleh aksi-aksi pembodohan sejarah.

Akhirulkalam, kejujuran sejarah itu sangat diperlukan untuk membangun konsep dan praktik citizenship yang setara dalam masyarakat multikultural Indonesia. Jika menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan bersama untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi maka perbedaan dan kemajemukan yang menghidupi keindonesiaan seyogyanya menjadi pilar utama yang menopang “rumah bersama” Indonesia ini. Pada titik itulah, lokalitas dengan seluruh kearifannya menjadi sel-sel sehat yang mengaktifkan organisme nasionalitas kita sebagai Indonesia.***


Senarai Acuan

Chauvel, Richard, 1990, Nationalists, soldiers and separatists: the Ambonese islands from colonialism to revolt, 1880-1950. Leiden: KITLV Press.
Elson, R.E., 2008, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.
Gde Agung, Ide Anak Agung, 1985, Dari Negara Indonesia Timur Ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, Marsilam, 1994, Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Grafiti.

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces