Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 24, 2008

Mena-Muria: Sebuah Tafsir Simbol Budaya


Di dalam setiap kebudayaan, manusia menciptakan, melakukan, dan terbelit dalam jejaring simbol-simbol yang senantiasa membutuhkan tafsir dan pemaknaan. Jejaring simbol-simbol yang paling rumit tetapi mengasyikkan adalah "bahasa". Di dalam bahasa, manusia melakukan pertukaran simbol-simbol dalam suatu sistem makna yang disepakati (konsensus). Konsensus tersebut memungkinkan bahasa menjadi media komunikasi. Keberalihan atau distorsi sistem makna yang disepakati akan menimbulkan produk tafsir yang berbeda. Tafsir yang berbeda akan memengaruhi respon yang tidak diharapkan karena dianggap berada di luar kerangka konsensus simbolik. Nah, jika distorsi makna ini tidak terjembatani dalam proses translasi yang memadai maka manusia selalu berada dalam apa yang disebut Paul Ricoeur sebagai conflict of interpretation.

Dengan konstatasi tersebut, tulisan ini hendak membidik simbol "mena-muria" sebagai suatu konstruksi budaya yang mesti diarahkan pada konsensus sistem makna yang komunikatif. Fragmentasi "mena-muria" hanya pada kapling ideologis yang dicecarkan secara sepihak – dalam hal ini oleh negara – kepada komunitas tertentu – dalam hal ini orang Maluku dan hantu RMS – hanya menggiring kepada pemerkosaan "tubuh" budaya tetapi abai pada "roh" budaya dalam konstruksi identitas kemalukuan. Maksudnya, "mena-muria" hanya terpahami dalam wadag kulturalnya, sementara sistem makna dan daya simboliknya tercecer dalam episteme yang dangkal.

Mena-Muria sebagai Pandangan Dunia

Menetapkan arti harfiah "mena-muria" tidaklah mudah, setidaknya bagi saya pribadi. Kesulitannya lebih terletak pada ketercerabutan diri dari khazanah budaya lokal yang terekspresi melalui bahasa "asli" (bahasa tanah). Dalam arti itu, saya merasa teralienasi dari kemalukuan yang memberi cita-rasa budayanya dalam ekspresi bahasa. Apa yang saya peroleh hanyalah penggalan "mena" yang berarti "maju/muka", dan "muria" yang berarti "belakang". Sementara kesatuan maknanya tak jelas. Ada yang mengartikannya "siap muka-belakang"; "maju terus jangan mundur"; "berjuang sampai mencapai tujuan di depan"; "melihat ke depan sambil belajar dari yang lalu", dll. Sebagai hasil tafsir simbolis, arti-arti itu bisa saja diterima.

Kepelbagaian arti "mena-muria" itu pun bisa dipahami sebagai luwesnya idiom itu digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun demikian, dari arti-arti tersebut di atas "mena-muria" menggambarkan suatu konstruksi realitas yang dibahasakan dalam ungkapan-ungkapan tertentu. Bukan hanya untuk menyatakan suatu pesan, melainkan juga menyingkapkan suatu pandangan dunia (worldview) tertentu. Pandangan dunia adalah suatu daya konstruktif manusia untuk menyederhanakan kompleksitas realitas dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang simple and acceptable dalam suatu komunitas. Suatu model realitas yang di dalamnya manusia melibatkan eksistensinya. Model-model itu bisa kita lihat dalam mitos-mitos, cerita-cerita rakyat, idiom-idiom budaya, lagu-lagu rakyat.

Dalam kerangka pikir itu, "mena-muria" hanyalah satu dari sekian banyak idiom budaya di Maluku, seperti: sagu salempeng dipata dua, ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, dll. Apa yang nampak dari idiom-idiom budaya tersebut, termasuk "mena-muria", merupakan pemaknaan kreatif terhadap realitas. Dalam antropologi budaya, konstruksi realitas semacam itu disebut oposisi biner (dua yang berlawanan). Tetapi saya lebih merujuk kepada pendekatan Homi Bhabha yang melihat dekonstruksi sebagai kritik untuk menggagas kembali oposisi biner yang terlampau disederhanakan sebagai "penjajah" dan "terjajah" sekaligus untuk mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritisi pascakolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan "ruang" persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi – suatu ruang yang tidak memisahkan tetapi sebaliknya menjembatani hubungan resiprokal antara teori dan praktik. Dengan menyandingkan keduanya, Bhabha berusaha menemukan pertautan dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas.

Dalam Key Concepts in Post-Colonial Studies, dijelaskan bahwa liminalitas (Bhabha) menjadi penting dalam teori pascakolonial karena kesahihannya dalam mendeskripsikan suatu "ruang antara" di mana perubahan budaya dapat berlangsung. Suatu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dielaborasi, suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran status yang berbeda-beda yang terus-menerus. Identifikasi semacam itu memang bukan sekadar gerak-pindah sederhana dari satu identitas ke identitas yang lain, identifikasi ini adalah proses keterlibatan, kontestasi dan penyesuaian. Bhabha menghindari oposisi biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Ia malah menawarkan suatu ruang ambang (liminal) yang mampu berperan sebagai ruang untuk interaksi simbolik. Ruang antara atau ketiga itu adalah: Teks!

Hermeneutik Teks "Mena-Muria"

Hermeneutik yang dimaksud di sini tidaklah sebatas "tafsir", melainkan – mengikuti Ricouer – interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik. Di sini ditegaskan keharusan untuk mempertimbangkan bahasa sebagai peristiwa (parole), yang ditambahkan kepada bahasa sebagai sistem tanda (langue). Jika "mena-muria" ditempatkan dalam kerangka parole maka pada dirinya terkandung cetakan-cetakan memori peristiwa yang menjadikannya sebagai "sejarah"; yang dianggap pernah terjadi tanpa memastikan aktualitasnya di masa lampau. Inilah yang oleh Roland Barthes disebut sebagai "mitos" – mitos bukanlah kebohongan atau pengakuan, melainkan pembelokan. Agar mitos itu manjur maka ia harus tampak sepenuhnya alami; pesan mitos tidak perlu ditafsirkan, diuraikan atau dihilangkan.

Memahami "mena-muria" sebagai mitos mesti ditempatkan dalam kerangka interpretatif budaya bahwa konsep ini bukanlah sekadar ungkapan. "Mena-muria" lebih merupakan refleksi kesadaran sosio-historis yang membuka space (ruang) bagi pertemuan unsur-unsur kultural yang berkonflik; bukan hanya sekadar place (tempat). Pada "ruang" inilah mena-muria menjadi titik konvergensi matra-matra kultural yang hidup dan berkonflik. Suatu arena bagi perjumpaan, percakapan, keterbukaan, untuk menghadirkan (bukan sekadar menerima) "yang lain". "Yang lain" itu berbahaya dan mengancam ketika belum menjadi bagian dari eksistensi "kita"; tetapi "yang lain" itu tidak ditolak. "Yang lain" itu diserap menjadi "kita", sehingga ancaman itu dijinakkan. Di situlah saya melihat pemaknaan "mena-muria" ketika diejawantahkan menjadi "siap muka-belakang". Bukan dalam arti konfrontatif, melainkan akomodatif. Inklusi bukan eksklusi.

Bahwa kemudian "mena-muria" didistorsi pada sebagai bahasa politik, ini menjadi persoalan dalam sistem tanda (langue). Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa bahasa itu selalu berubah. Bahasa tidak berubah sesuai dengan keinginan para individu, tetapi berubah dalam waktu dengan cara yang tidak tergantung pada kehendak para penuturnya. Di situ saya melihat bahwa "mena-muria" tidak bisa dibekukan hanya pada satu kutub di antara ekstrem "hitam" dan "putih", "nasionalis" dan "separatis". "Mena-muria" mesti dipahami sebagai cara-mengada-dalam-bahasa yang merepresentasikan pandangan dunia orang Maluku. Pengurungan "mena-muria" dalam sangkar ideologis oposisi biner nasionalis-separatis hanyalah penundukkan kearifan lokal di bawah kekuatan "negara". Kearifan lokal itu sendiri merupakan basis material dan ideal dari dinamika masyarakat sipil, yang pada gilirannya menjadi salah satu pilar berdiri-teguhnya suatu negara.

Jika demikian, menurut saya, kita sebaiknya memahami "mena-muria" sebagai suatu space untuk berdiskursus dengan bebas-merdeka sebagai manusia Indonesia. Kita tidak lagi terbelenggu oleh ketakutan dan pseudo-intelektualitas yang selalu menghindar karena kekuatan negara. Sebaliknya, menghayati "mena-muria" justru membuka ruang ambang bagi interaksi simbolik dalam ranah tafsir budaya di Maluku. Saya jadi berpikir, tidakkah spiritualitas budaya semacam ini yang menjadi kesepakatan kita berindonesia? Bahwa dalam keberbedaan, kita makin mengenali diri sendiri. Bahwa menerima "yang lain" adalah supaya kita semakin menjadi manusia sejati. Bahwa untuk maju (mena) tidaklah mungkin melepaskan masa lalu atau sejarah (muria). Lantas, tidakkah "mena-muria" senafas dengan "bhineka tunggal ika"?

Read more ...

Tuesday, April 15, 2008

Perlukah Yesus [yang] Historis itu?


Sejak akhir Januari 2008, BPK Gunung Mulia menyelenggarakan acara bedah buku Adji A. Sutama bertajuk "Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa Yesus Historis dan Makam Talpiot". Sampai Sabtu lalu (12 April 2008), kami sudah menyambangi 4 gereja – masih sebatas GKI – yaitu GKI Surya, GKI Pondok Indah, GKI Serpong dan GKI Pamulang.

Bagi saya, acara bedah buku ini merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Pertama, saya berkenalan dengan teman-teman baru dari segala jenjang usia; Kedua, saya memperoleh wawasan-wawasan baru di seputar teologi jemaat yang selama ini terkesan tersegregasi dari wilayah teologi akademis yang dikaji dalam lingkungan pendidikan formal teologi; Ketiga, kegelisahan teologis saya menyeruak kembali dalam diskusi bersama dengan penulis dan penanggap. Penanggap pada bedah buku perdana adalah Prof. Dr. Martin Harun, OFM (pakar biblika dari STF Driyarkara); pada bedah buku kedua adalah Rm. Dr. Dessi Ramadhani, SJ (dosen STF Driyarkara dan penulis buku "Injil-injil Rahasia"); sedangkan pada bedah buku ketiga dan keempat adalah Pdt. Anwar Tjen, Ph.D (konsultan LAI). Saya sendiri menjadi moderator. Hanya pada bedah buku terakhir di GKI Pamulang, saya ditodong menjadi pembahas kedua.

Buku Adji A. Sutama ini mempunyai fokus yang terbatas, yaitu mengkritik ulasan James Tabor dalam bukunya "Dinasti Yesus" (Gramedia, 2006). Anda bisa membaca resensi buku "Yesus Tidak Bangkit?" dalam weblog saya http://katabuku.wordpress.com. Menurut saya, buku Adji Sutama ini merupakan kritik yang tajam dan padat dengan data. Adji Sutama sedapat mungkin menjaga konsistensi metodologisnya, sehingga dalam beberapa hal buku ini menjadi agak "berat". Buku ini sebenarnya dapat menjadi wisata kritis yang mengasyikkan dalam jelajah data dan pustaka yang luas serta multimedia. Namun, ada celah yang rupanya tak terjembatani, sehingga pembaca seolah-olah diajak untuk melompat dari satu konsep ke konsep yang lain dengan pengandaian epistemologis yang oleh penulisnya dianggap sudah diketahui pembaca. Celah itu adalah penjelasan umum mengenai apa itu "Yesus Historis" (Historical Jesus). Saya sendiri bukan ahli Yesus Historis. Namun, bagi saya, celah inilah yang mendorong orang untuk melompat dari satu ekstrem ke ekstrem lain tanpa mengetahui secara memadai makna Yesus Historis itu. Lantas, karena Adji Sutama mengkritik rekayasa Yesus Historis, maka semua produk Yesus Historis dipahami sebagai "sampah".

Kajian Yesus Historis pada dasarnya merupakan salah satu perkembangan dalam ilmu teologi yang dalam analisis terhadap teks-teks Alkitab memanfaatkan berbagai pendekatan keilmuan, seperti kajian sosiologis, antropologis, linguistik, ilmu politik dsb. Dalam hal ini, Alkitab disapih dari perspektif dogmatis dan diperlakukan secara berjarak sebagai salah satu objek kajian ilmiah. Itu bukan berarti bahwa Alkitab tidak lagi dipahami sebagai sacred text – meski sering sikap itu tak terhindari – tetapi hendak dibedah sehingga maknanya tidak terkungkung dalam sangkar makna harfiah. Sebaliknya, dengan membedah dan mengurai Alkitab secara kritis, setiap pembaca (dan jemaat) diajak untuk menyelami dunia Alkitab dengan seluruh karakteristiknya. Dengan keberjarakan kritis itu, kita tidak memberhalakan Alkitab, tetapi menemukan pesan-pesan baru dalam setiap pembacaan terhadapnya. Kita tidak juga melihat Alkitab dengan suasana kekinian, melainkan sedapat mungkin memahami worldview para penulis Alkitab. Pengalaman mereka dulu adalah pengalaman mereka, yang dibaca dalam kontras dengan pengalaman kita kini. Simpulnya terletak pada "pengalaman" kemanusiaan itu dalam meresponi situasi hidup, lalu mengekspresikannya secara kaya dalam berbagai bentuk kebahasaan dan simbol-simbol.

Apakah dengan begitu Alkitab tidak lagi berfungsi sebagai "kitab suci" Kristen? Tentu saja tidak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan pembacaan terhadap Alkitab ibarat dua besi rel yang berada sejajar untuk dipijaki oleh "gerbong" iman. Iman tanpa kesadaran akan ilmu pengetahuan hanya melahirkan suatu kepicikan yang mengerdilkan Tuhan dalam keterbatasan eksistensi kita; sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa iman hanya membuat kita menjadi budak dari rasionalisme yang menganggap alam semesta mampu terbaca dalam konstruksi objektivitas-rasional. Alkitab hanyalah koleksi terjemahan berbagai literatur yang ditulis dalam berbagai bahasa dan dari banyak tempat; mengalami banyak perubahan, penulisan-ulang, penyuntingan, yang karenanya tidak pernah ditemukan suatu original text Alkitab. Justru melalui keberjarakan kritis terhadap Alkitab dan keuletan untuk menembus selaput tekstual harfiahnya, kita menemukan bahwa kesakralan Alkitab tidak terletak pada formulasi teksnya. Kesakralan Alkitab terletak pada transformasi hidup yang terjadi sebagai dampak dari pemaknaan Alkitab secara utuh. Alkitab menjadi sakral bukan karena kita memahaminya secara buta sebagai "firman Tuhan", melainkan karena kita menemukan bahwa Sang Tuhan itu menyejarah dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan kita. Sebagai konsekuensinya, kita sebenarnya diajak menemukan wajah Tuhan tak bernama itu dalam wajah-wajah kemanusiaan kita – yang ternyata beraneka warna dan bentuk. Sang Tuhan itu menembus lapis demi lapis pemaknaan kultural yang tersekat dalam ekspresi-ekspresi bahasa yang puspa ragam. Sehingga perjumpaan dengan Sang Tuhan terjadi di dalam pengalaman, bukan di luar pengalaman.

Kajian Yesus Historis membawa kita ke dalam pengalaman kemanusiaan Yesus. Karena itu, bagi saya, kita tidak perlu reaktif terhadap pernyataan-pernyataan yang dihasilkan dari penelitian Yesus Historis. Sebab kajian-kajian semacam itu – tentu, dengan konsistensi metodologis yang disiplin – akan memperkaya pemahaman beriman kita dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan hanya dapat dikenal dalam batas-batas kemanusiaan kita. Dengan demikian, kita pun diajak untuk menjadi manusia bagi manusia lain; tidak sok menjadi "tuhan" bagi manusia lain. Apalagi menjatuhkan penghakiman kepada orang lain hanya atas dasar "kebodohan" kita yang serba terbatas.

Dalam arti itu, kajian-kajian ilmiah di bidang teologi maupun studi agama-agama mesti diterima sebagai bagian dari pengalaman iman dan pembangunan jemaat Kristen. Polarisasi "teologi akademis" dan "teologi jemaat" sebenarnya hanyalah konstruksi pemikiran platonis warisan Pencerahan. Konstruksi sedemikian telah mengerdilkan sikap beriman kita dengan mengoposisikan jemaat sebagai "awam" dan ahli teologi sebagai "pakar", yang seolah-olah terputus korelasinya. Padahal, setiap jemaat pada hakikatnya adalah pembelajar teologi dan praktisi iman yang menemukan Tuhan dalam pengalaman keseharian secara spontan dan praktis. Sedangkan para ahli teologi hanyalah kelompok ahli yang mencoba mendalami pengalaman-pengalaman beriman yang praktis itu ke dalam kategori-kategori keilmuan yang lebih dalam. Pengalaman-pengalaman keseharian itu pun tidak terlewatkan begitu saja, tetapi menjadi pengalaman yang eksistensial. Dengannya kita makin menghayati Sang Tuhan dalam diri kita sendiri.

Read more ...

Thursday, April 3, 2008

Lectio Divina

Semasa masih berjibaku sebagai mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana, saya mempunyai seorang sahabat, Masroer. Dia seorang Muslim saleh yang kritis. Kami kerap terlibat dalam diskusi "panas" mengenai Keislaman dan Kekristenan. Malah, kalau tak puas diskusi bisa berlanjut di kamar asrama (tempat saya tinggal) atau rumah kontrakan Masroer sambil menyeruput kopi kental dan sukun goreng. Saya sungguh menikmati suasana itu, karena percakapan di antara kami adalah semacam faith seeking understanding, iman yang mencari pengertian. Kami tidak berdebat kusir, atau bersitegang karena masing-masing memegang prinsip. Tetapi kami saling menguji kadar keberimanan Kristen dan Islam kami dalam suatu diskursus kritis, malah condong filosofis. Tidak selalu berujung pada kesepakatan. Itu sudah pasti. Karena sejak awal kami berkomitmen bahwa suatu diskursus mengenai religiositas nampaknya harus bermuara pada agree for disagree. Toh, itu juga merupakan sebuah kekayaan dalam spiritualitas ber-Tuhan (teisme).

Entah mengapa, saat menyaksikan tayangan berita mengenai gelombang protes terhadap film "Fitna" karya Geert Wilders, saya jadi teringat Masroer, sahabat saya itu. Dulu, kami sering berdebat sengit, bahkan saling melancarkan kritik. Tetapi dalam kritik, ternyata saya tidak hanya makin mencintai iman kristiani saya, tetapi juga makin menghayati iman islami Masroer. Demikian juga sebaliknya. Masroer menyimpan sajadahnya di kamar saya supaya bisa tetap melaksanakan sholat jika sedang berada di situ. Ketika kami berpisah, barang yang saya minta dari dia sebagai kenang-kenangan adalah sajadahnya itu.

Saya tidak ingin mengomentari soal film "Fitna", karena sudah banyak kajian kritis yang diarahkan terhadap film itu termasuk kepada Geert Wilders. Saya justru tertarik untuk melihat bahwa kedangkalan Wilders dalam memahami Al-quran justru bermula dari kedangkalannya memahami Alkitab (tentu jika sampai saat ini dia masih mengaku sebagai seorang Kristen). Memahami dan menghayati Al-quran dan Alkitab (juga kitab-kitab suci lainnya) tidak bisa dilakukan dalam suatu kerangka pengertian yang saintifik-ilmiah. Karena dalam ranah religiositas, iman tidaklah bermula pada pengetahuan melainkan pada pengalaman-pengalaman adikodrati yang mengelevasi eksistensi manusia pada suatu suasana batiniah yang transendental. Pada titik itulah manusia mengkreasi simbol-simbol alamiah dalam pertautan eksistensial dengan kehadiran Sang Tuhan (omnipresence). Tuhan hadir dalam segalanya, tetapi segalanya tidak bisa dituhankan. Tuhan menampak dalam guntur, kilat, petir, badai, tetapi juga dalam keheningan, semilir angin sepoi-sepoi. Keagungan Tuhan disimbolisasikan seperti burung rajawali yang mampu terbang di antara gunung-gunung batu, tetapi juga dipahami sebagai yang tak bernama – Aku adalah Aku!

Alkitab (dan juga kitab-kitab suci lainnya) merupakan buku yang sarat dengan simbol – bentuk huruf, kata, kalimat, ungkapan, intonasi, alegoris, dsb. Membaca Alkitab (dan kitab-kitab suci lainnya) serta-merta adalah membaca simbol dan menafsir makna. Simbol itu sendiri bukanlah suatu entitas linguistik yang rigid, baku, kaku, melainkan terbuka dan dinamis sehingga ketika dibaca akan membuka ranah tafsir yang luas dan multibentuk. Terlepas dari kepentingan apa yang melatari Geert Wilders membuat dan menyebarluaskan film "Fitna", tetapi Wilders sudah menjadi contoh bahwa Al-quran sebagai simbol keberimanan yang menjadi hakikat religiositas Keislaman telah ditekuk hanya menjadi bacaan picisan. "Kekerasan" adalah suatu bahasa simbolik dari ambisi manusia untuk berkuasa dan mengabaikan hidup orang lain. Wilders rupanya sengaja lupa [atau memang tidak tahu karena tak tuntas membaca Alkitab] bahwa di dalam Alkitab juga sarat dengan kisah-kisah dan anjuran-anjuran berjiwa kekerasan. Bahkan, Allah pun digambarkan sebagai Allah yang murka, marah, dan mendendam. Namun, teks-teks kekerasan dalam Alkitab juga mesti dipahami sebagai model realitas kemanusiaan yang tak urung lepas dari akar-akar kekerasan. Dalam kerangka itu, membaca Alkitab harus dipahami sebagai upaya mengarungi lautan makna simbol-simbol yang [pernah] menjadi bagian dari sejarah sosiologis suatu komunitas.

Lectio Divina

Lantas, apakah teks-teks kekerasan dalam Alkitab harus dibuang? Untuk apa? Tidak perlu. Kesucian Alkitab tidaklah terletak pada arti harfiah teks-teks di dalamnya melainkan pada kehendak setiap orang yang membacanya, tenggelam dalam permenungan yang terarah bukan hanya untuk mengenal Tuhan tetapi juga mendengar suara Tuhan. Kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, dsb, yang tertulis dalam Alkitab adalah sebuah pantulan realitas kemanusiaan vis a vis transendensi Allah. Penghadapan yang imanen dan transenden justru hendak mengingatkan bahwa di dalam diri setiap manusia terpercik citra ilahi untuk mendatangkan kebaikan dan rahmat bagi semua ciptaan. Pada titik itulah, Alkitab (dan kitab suci lainnya) menjadi lectio divina (bacaan suci, sacred reading).

Dalam tradisi spiritualitas kristiani, Lectio Divina adalah cara membaca secara batiniah yang terdiri dari empat langkah:

  1. Lectio = pemilihan atau bacaan
  2. Meditatio = merenungkan makna atau meditasi
  3. Oratio = berbicara atau berdoa
  4. Contemplatio = permenungan atau kontemplasi

Lectio. Lectio tidak sama artinya dengan membaca koran atau tabloid atau kertas ujian. Lectio adalah membaca dengan pelan-tenang-mendalam-tenggelam dalam Allah. Kalau dalam Penelaahan Alkitab kita mencoba mengetahui lebih banyak tentang Allah, lectio mengajak kita mendengar lebih banyak dari Allah. Ini tidak mudah karena kita terbiasa dengan serba cepat, instan, asal jadi. Lectio juga adalah soal cita rasa dalam menikmati bacaan Alkitab; berulang-ulang; perlahan-lahan; tenang; fokus pada kata, kalimat, paragraf. Tidak usah pikirkan apa maknanya; tidak usah membayangkan apa konteksnya. Dengan lectio kita diajak untuk akrab dengan teks Alkitab, meresapkannya dalam jiwa. Tidak usah pusing dengan maknanya, dengarkan saja teks itu. Alami teks itu.

Meditatio. Kata “meditasi” muncul sekitar 15 kali dalam PL (tidak muncul dalam PB). Ada 14 kali muncul dalam Mazmur, 6 kali dalam Mazmur 119; juga Yosua 1:2-8 – “renungkanlah itu siang dan malam...”. Kata Ibrani untuk “meditasi” adalah hagah, yang bisa diterjemahkan “mengunyah” atau “memamah”. Meditasi dalam Kristen melibatkan pikiran yang aktif. Meditasi bukanlah sikap pasif karena melibatkan empat langkah (Ignatius dari Loyola):

  1. Deformata reformare – membarui apa yang telah dirusak oleh dosa
  2. Reformata conformare – membuat apa yang telah dibarui diteguhkan seturut model ilahi
  3. Conformata confirmare – memperkokoh apa yang telah diteguhkan
  4. Confirmata transformare – mentransformasi dengan kasih resolusi yang telah dikokohkan itu.

Oratio. Oratio berarti doa; oratio adalah percakapan yang diarahkan kepada Tuhan: “Tuhan, mengapa Engkau memberiku firman ini sekarang?” Istilah orant terkait dengan sosok yang ditemukan dalam lukisan Kristen perdana di katakombe Roma. Orant adalah seseorang yang berdiri dan berdoa dengan tangan yang terbuka. Ini melambangkan penerimaan dan keterbukaan; bukan hanya bertanya kepada Allah melainkan juga siap mendengar jawaban dari Allah (personal). Tidak ada dua individu yang memiliki persepsi yang sama ketika membaca satu kata atau satu ayat. Karena itu percakapan kita dengan Allah adalah dialog batiniah (inner dialogue).

Contemplatio. Contemplatio (kontemplasi) adalah keheningan batin dan inaktivitas. Transisi dari doa yang aktif ke keheningan kontemplasi berlangsung lembut dan bertahap. Contemplatio (bhs. Latin) berarti merenungkan suatu konsep dengan hati atau pikiran. Di sini pikiran dibedakan dari tindakan (considering beda dengan doing), tetapi tidak bisa dipisahkan karena hidup merupakan kesatuan harmoni antara tubuh dan roh. Bagi orang Kristen, kontemplasi bukanlah suatu disiplin yang menolak tubuh, melainkan untuk sementara menenangkan tubuh dan pikiran kita untuk satu tujuan: bersaat teduh dalam kasih Allah. Allah menghampiri kita dan berbicara dengan kita dalam kelembutan sebagaimana dialami oleh Elia (1 Raj. 19:11-12) dan Maria saudara Marta (Luk. 10:38-42).

Saya merasakan betapa naifnya saya ini karena selama ini hanya membaca Alkitab sebatas deretan kata-kalimat, hanya menghafal ayat-ayatnya tetapi tidak berkontemplasi dan mengalami Tuhan di dalamnya. Penghinaan terhadap agama apa saja sudah berlangsung sepanjang sejarah peradaban manusia. Berkurangkah kadar kesucian spiritualitas Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dsb., yang kita miliki? Rasanya kok nggak tuh. Karena di dalam Lectio Divina kita tidak sedang membela Tuhan, tetapi merasakan Tuhan. Geert Wilders rupanya tidak sampai ke taraf religiositas itu, Anda pasti beda kan? Atau memilih cara Geert Wilders untuk menyerang balik?

Trims Masroer, untuk persahabatan kita dan percakapan yang pernah kita lakukan di Salatiga. Aku makin cinta Islam sambil menghayati Kristus yang terus meledekku..."Aku tidak perlu dibela, karena salib itu sudah Kupikul sendiri. Kasihilah musuhmu."

Assalamualaikum warahmatullahiwabarakaatuh...

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces