Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, October 26, 2011

307

Tidak terasa sudah lebih dari satu bulan berjibaku dengan aneka "kuliner" pustaka dan teori di ruang 307, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Soal nikmat, pastilah ada kenikmatan tersendiri saat sel-sel kecil di otak ini berkedutan karena dihinggapi "Karl Marx", "Weber", "Ferdinand Toennies", "Robert Nisbet", "Mark Juergenmeyer", dan seabreg konco-konconya. Belum lagi harus berjumpalitan dengan "Religion and Human Rights" atau "Violence and Peace in Religion". Tapi mau apa lagi? Itu sebuah pilihan untuk terjun bebas dan mendarat di tengah-tengah rimba belantara epistemologi, lalu mencari-cari kompas untuk meretas jalan atau setidaknya menelusuri rimba itu serta menikmati tiap pengalaman perjumpaan di tengah jalan. Soal bisa keluar atau tidak dari rimba belantara itu, walahuallam....

Syukur alhamdullilah, bahwa dalam perjalanan menelusuri jalan itu saya ternyata tak sendiri. Ada Murtafi Haris yang setia menemani dengan kopi hitam dan asap-asap putihnya; ada Rahmadi Agus yang kalem-serius tapi tajam terpercaya (kayak iklan berita...); ada Ahmad Salehudin yang supersibuk mondar-mandir UGM-UIN; juga Dede Syarif yang sumringah terus sejak dirahmati Allah SWT dengan seorang bayi; Amanah Nuris yang berkaliber "event organizer" profesional mengurusi Wednesday Forum; Laila Alfirdaus yang rajin dan setia mengirim materi-materi kuliah; Witri Indriani yang tenang dan murah hati membayar makan siang (harap cemas apakah berkelanjutan?); Lidya Tandirerung yang dengan mantap memoderasi percakapan di kelas... Siapa lagi ya? Walah... yang terakhir ya aku...

Mereka telah menjadi teman seperjalanan mencari tanda-tanda "kebenaran" di tengah berbagai persimpangan jalan menelusuri rimba belantara epistemologi, mencoba mengenali akar-akar asumsi dasar dari tiap pohon ilmu yang ditemui, bahkan mencoba membaca tanda-tanda alam melalui persinggungan-persinggungan paradigma yang kerap membingungkan dan cukup melelahkan. Tetapi kami telah menjadi teman seperjalanan. Itu sungguh berarti. Perjumpaan kami pun kerap mengalir dalam tegangan arus debat yang membuat setiap orang mencoba bertahan, sepakat, atau bahkan mendekonstruksi ranah-ranah tabu "agama" ke dalam ketegangan-ketegangan yang mengasyikkan.

Di tengah proses awal yang cukup "menekan" dan "melelahkan" ini, ada impuls-impuls energi yang mengalir dari persahabatan lintas-batas ini. Ini menjadi sesuatu yang menguatkan bahwa persahabatan ini sungguh-sungguh manusiawi. Ketika kami masing-masing terlempar keluar dari pagar-pagar identitas (agama, etnis, budaya, institusi, dll) dan kemudian saling berbenturan di luar pagar-pagar itu. Saat itulah kami mendapati bahwa benturan-benturan itu tidak menjadi sebuah "pertengkaran" melainkan sebentuk baru "kekerabatan" yang saling menopang. Inter-religious studies pun meluas melebar bukan sekadar percakapan akademis tapi persahabatan yang kemudian menjadi karakter. Harapan pun mengalir... setiap perbedaan ini mampu menjadi energi bagi persahabatan sejati....
Read more ...

Friday, October 14, 2011

Agama untuk Keadilan dan Perdamaian: Catatan 20 Tahun Interfidei


Di tengah berbagai kontestasi kekerasan massal yang mengeras dalam kemasan “perbedaan agama” dan kasus-kasus pembiaran aksi-aksi sepihak pelarangan aktivitas beribadah dan penutupan/penyegelan tempat[-tempat] ibadah penganut agama tertentu, sejumlah pemerhati dan aktivis perdamaian dan kebebasan beragama berkumpul untuk membincangkan masalah-masalah tersebut dalam format konferensi nasional yang digelar oleh Institut Dialog Antariman (DIAN) atau Interfidei Yogyakarta. Rangkaian acara workshop dan konferensi ini diselenggarakan sebagai bagian dari evaluasi 20 tahun Interfidei bergelut dengan masalah-masalah hubungan antariman di Indonesia. Sikap yang bermunculan pun beraneka ragam. Ada yang pesimis, ada yang optimis. Bahkan ada yang nyaris “frustrasi”, kendati tak sedikit yang tetap menaruh harap besar akan transformasi hubungan antariman di Indonesia pada masa depan.


Sikap pesimis mencuat karena setelah berkiprah selama 20 tahun bersama-sama dengan seluruh jejaring yang dibangunnya, kegairahan komunikasi antariman seolah-olah tetap membentur “benteng kokoh” sektarianisme agama-agama. Aksi-aksi kekerasan dengan manipulasi slogan-slogan dan simbol-simbol agama kian mengeras dan seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum yang menjadi kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana amanat konstitusi republik ini. Wajah negeri ini kian carut-marut dengan apa yang oleh Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence disebut sebagai “cosmic war” (hlm. 145-163). Jangankan merayakan, menerima perbedaan saja sudah menjadi sesuatu yang haram.

Namun demikian, di tengah gemuruh kekerasan dan pertarungan kekuasaan yang menyeret agama-agama untuk turut bermain api di dalamnya, ada sejumlah lain optimisme bahwa dinamika yang telah terbangun selama ini akan membuahkan hasil positif kendati prosesnya mesti terus dikawal dengan konsistensi dan komitmen sejati. Resistensi terus dibangun dengan tetap menuturkan narasi-narasi perdamaian terhadap tendensi mengkooptasi kesadaran publik dengan narasi-narasi “kegilaan massa”, “pembiaran negara”, “pelecehan konstitusi negara”, “separatisme”, “pembisuan suara-suara marjinal”, dan lain-lain. Pelan dan melelahkan, tetapi tetap dilakukan kendati dengan energi yang kian terengah-engah.



Dialog Antariman: Menyerap Sumber-sumber Energi Baru
Perhelatan 20 tahun Interfidei Yogyakarta diartikulasikan dalam bentuk-bentuk evaluasi kritis, kritik-diri, dan penyibakan orientasi masa depan dialog antariman di Indonesia. Empat sesi panel diskusi yang digelar secara berurutan seakan-akan hendak meringkas 20 tahun perjalanan Interfidei sebagai narasi bersama yang masih penuh dengan lubang-lubang tutur yang perlu ditinjau dan dilengkapi dari waktu ke waktu.

Seluruh narasi itu pun mesti dilihat sebagai sebentuk kegalauan ketika ternyata desain epitemologis dan teologis antariman itu kerap dibenturkan dengan narasi besar negara-teater. Alur narasi dialog antariman tak jarang terinterupsi oleh sisipan-sisipan fakta kekerasan yang tampaknya makin membelit-mengusut susah diurai. Sisipan-sisipan itu begitu mengganjal narasi dialog antariman ketika aktor-aktor yang melenggang di pentas realitas adalah representasi kekuatan-kekuatan negara yang makin bebal menyikapi karakter keindonesiaan yang serba-majemuk ini.

Seberapa jauh gerakan dialog antariman tetap konsisten untuk terus berkutat menghadapi gempuran-gempuran aktor negara ini? Atau, masihkah tersisa energi untuk terus menantang negara sambil terus menari mengikuti ritme dinamika yang dideterminasi oleh negara itu sendiri? Ataukah mesti diperhitungkan dengan cermat terobosan alternatif yang melaluinya gerakan dialog antariman menentukan sendiri ritmenya dengan penyasaran domain-domain lokalitas yang kerap tak tersentuh negara? Sosok sekaliber Prof. Syafii Ma’arif pun pada akhirnya berujar, “Kalau seperti ini, saya rasa lama sekali. Kita perlu pendekatan yang strategis dan cepat.”


Nyaris berada di titik kritis “frustrasi” ternyata muncul pendekatan-pendekatan yang lebih membumi. Pendekatan-pendekatan dialog antariman yang dilakukan oleh beberapa sahabat seolah menjungkirbalikkan pakem-pakem dialog antariman yang kerap dicurigai hanya menjadi kegenitan elitis yang terlena dalam diskusi-diskusi “sejuk” di hotel-hotel mewah. Farcha Ciciek, misalnya, menggagas pendekatan dialog antariman yang dimulai dengan menghidupkan kembali dunia bermain anak-anak dalam kemeriahan tradisi-tradisi lokal sebagai salah satu gerakan menancapkan kesadaran akan kekayaan identitas yang mesti dirangkul, bukan dimusuhi atau diberangus demi sebuah “kebenaran” yang pongah.

Ciciek mendasarkan seluruh pendekatannya pada hasil penelitiannya di sekolah-sekolah umum yang makin menampakkan wajah sektarianistik. Indoktrinasi-indoktrinasi religius pada kenyataannya kian mempertegas garis-garis demarkasi identitas agama dan gender. Dan itu semua berlaku di sekolah-sekolah umum. Ciciek, misalnya, menemukan bahwa siswi-siswi pada beberapa SMU dilarang mengikuti festival seni suara berdasarkan “ajaran” bahwa suara perempuan adalah aurat, sehingga tidak boleh diperdengarkan secara publik. Ini yang olehnya dilihat sebagai “pembiusan perempuan oleh agama”. Padahal hakikat agama adalah pembebasan manusia dari segala bentuk anasir dehumanisasi.

Demikian pula pendekatan “story-telling” yang digunakan sebagai strategi meredam gempuran isu-isu provokatif ternyata menjadi salah satu modal sosial masyarakat lokal di Ambon untuk tetap mengurung potensi merebaknya kericuhan pada 12 September 2011 lalu. Seluruh ruang media dieksplorasi untuk menghadirkan narasi-narasi perdamaian yang sangat manusiawi ke ranah-ranah publik. Narasi-narasi perdamaian dalam diskursus masyarakat lokal itu sering tenggelam ditelan gelombang pemberitaan media massa yang lebih memilih angle “konflik” daripada perdamaian. Konstruksi “konflik” pun kian terinternalisasi dan menaklukkan kesadaran bahwa orang sudah jenuh dengan pertikaian yang hanya berujung pada “lose-lose solution”. Seluruh energi sosial terkuras habis dalam konstruksi kebencian yang tampaknya dilanggengkan dengan berbagai pembiaran oleh negara.

Menyibak Kabut Masa Depan Dialog Antariman
Dengan seluruh eksperimentasi yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman riel tersebut, maka refleksi 20 tahun Interfidei ini juga menyibak kabut kegelisahan untuk menerawang masa depan dialog antariman di Indonesia. Harapan besar untuk makin mematangkan kesadaran dan praksis dialog antariman hingga ke tingkat basis atau akar-rumput terbentang luas justru dengan melihat dari “kecerdasan lokal” masyarakat basis dalam mengelola perbedaan identitas yang inheren dalam realitas sosial hidup mereka sehari-hari.

Stigma “rakyat bodoh dan perlu diajar” sebenarnya telah didekonstruksi oleh kearifan-kearifan lokal masyarakat itu sendiri. Maka tugas para pembelajar dan aktivis perdamaian dan dialog antariman kemudian tidak lagi “menggurui” dan “melatih” melainkan bersama-sama mereka menemukan modal-modal sosial itu di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri; mengelolanya sebagai akumulasi energi positif untuk makin menghargai kehidupan dengan cara menghargai keberlainan (otherness). Kedewasaan terbentuk bukan melalui ruang-ruang pelatihan yang menjenuhkan, tetapi justru pada ruang-ruang sosial yang mempertemukan mereka dalam konteks kemanusiaan riel yang saling membutuhkan keberlainan itu. Semoga dengannya agama-agama tidak hanya tersumbat menjadi “presentasi” dalam seminar-seminar atau konferensi-konferensi belaka, tetapi mengalir sebagai “re-presentasi” modal-modal sosial yang diawetkan dalam struktur kematangan masyarakat basis.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces