Aku menulis maka aku belajar

Thursday, August 11, 2011

Apa-Apa di Antara Kita


Saya bukan pegawai negeri sipil. Saya bukan pegawai pemda Maluku, bukan pula pejabat pada salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. Saya bukan perancang pembangunan yang fasih mempresentasikan konsep-konsep pembangunan dan seabreg teori-teori pembangunan. Saya juga bukan anggota parpol yang dipercaya untuk duduk mewakili konstituen di kursi empuk kantor dan ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Saya bukan pengamat korupsi (karena saya juga tidak tahu apa definisi korupsi dan tidak tahu apa yang mau dikorupsi). Saya bukan pengamat politik dan hukum yang pandai bersilat lidah menyebut pasal-pasal KUHP dan menafsirnya dengan tepat.


Saya bukan apa-apa. Tapi saya merasa apa-apa. "Apa-apa" saya bukan karena jabatan atau status yang melekat pada diri saya. "Apa-apa" saya hanyalah ditentukan oleh kartu kecil yang disebut KTP (kartu tanda penduduk). Artinya, cuma status saya sebagai warga negaralah yang membuat saya merasa "apa-apa" terhadap apa-apa yang terjadi di negara ini - minimal yang terjadi di daerah tempat saya tinggal.


Tulisan ini juga bukan kajian teoretik ala para profesor kampus-kampus ngetop. Juga bukan bahan presentasi untuk seminar-seminar pembangunan. Sayangnya juga bukan materi kuliah (meskipun kerjaan saya memberi kuliah). Tulisan ini bukan apa-apa. Tapi tulisan ini mengandung "apa-apa". "Apa-apa" tulisan ini tidak terkait dengan jabatan atau status saya. "Apa-apa" tulisan ini lebih terkait dengan identitas saya sebagaimana - minimal - tercantum pada KTP saya. Namun "apa-apa" tulisan ini punya relasi kuat dengan cara saya memaknai identitas saya.


Jadi, apakah "apa-apa" itu dalam tulisan ini? Ini sedikit catatannya.


Ini bermula dari percakapan dengan rekan Pdt. Abraham Beresaby tentang jembatan merah-putih yang akan dibangun menjembatani teluk Ambon antara Poka-Galala. Rekan saya ini adalah ketua klasis GPM di kepulauan Babar. Masyarakat di sana lebih banyak merasakan pahitnya masalah transportasi yang tak kunjung dibenahi hingga menjelang Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-66 (17 Agustus 2011) nanti. Transportasi rakyat yang tersedia hanyalah kapal-kapal perintis, yang kondisinya pun tak bisa dibilang layak. Tapi mau apa lagi? Cuma itu yang tersedia.


Percakapan itu melebar hingga ke kondisi ratusan jembatan di beberapa wilayah pulau-pulau besar (Seram, Buru, Yamdena, dll) yang sebenarnya belum bisa disebut jembatan, karena belum berfungsi untuk menjembatani apa yang harusnya dijembatani. Ada yang setengah jadi. Ada yang masih berupa pilar-pilar. Ada yang sudah jadi tapi rusak parah diterjang luapan air sungai. Saya sendiri mengalami bahwa untuk melintasi kawasan-kawasan yang tak berjembatan itu harus dengan perjuangan keras. Malah, beberapa teman punya pengalaman diseret air sungai. Tapi, lagi-lagi, mau apa lagi? Itulah yang mesti dijalani untuk bisa bertahan hidup dengan seluruh aktivitas rakyat.


Dua cerita itu tentu saja masih bisa disambung-sambung menjadi cerita berseri tentang kondisi kepulauan kita di Maluku, juga cerita bersambung tentang penanganan pembangunan di Maluku. Cerita besar kita kemudian adalah tentang pembangunan jembatan merah-putih. Jembatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena memang sudah tersedia "jembatan" lain untuk menjembatani Poka-Galala (ada jasa perahu rakyat, ada feri, bisa juga jalan putar). Artinya, kita tak terlalu membutuhkannya dalam konteks pembangunan kawasan kepulauan Maluku.


Tapi soal yang lebih "seksi" di balik cerita itu adalah besaran dana APBN yang akan digelontorkan HANYA untuk pembangunan 1 jembatan ini, yaitu 650 miliar (lihat kompas online). Luar biasa! Sementara yang sempat saya dengar pembangunan jembatan sepanjang 20 m di desa Aboru masyarakat hanya mendapat 7 juta, sisanya masyarakat cari sendiri. Tentu beda ukuran, beda pula nominal dananya. Itu wajar menurut hitung-hitungan ekonomi. Namun, pembangunan tak bisa hanya ditentukan oleh otak-atik angka ekonomis. Ada prinsip pembangunan yang mesti pula diperhatikan dan diperhitungkan, yaitu signifikansi pembangunan itu bagi kesejahteraan masyarakat pengguna hasilnya.


Kalau bicara signifikansi, maka yang mesti dicermati dengan sungguh-sungguh adalah NILAI pembangunan itu bagi perubahan yang menghidupkan aktivitas masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dan untuk itu aspek-aspek budaya, kesejahteraan sosial, ekualitas, fungsional, dan akseptabilitas masyarakat sangat perlu dijadikan acuan. Itu jika orientasinya adalah penguatan kapasitas sosial yang didukung sarana/prasarana publik yang memadai; bukan sekadar untuk prestise yang jadi kebanggaan semu.


Sudahkah seluruh aspirasi masyarakat pengguna hasil diperhitungkan sebelum merancangnya? Karena saya yang ber-KTP Maluku tidak pernah melihat atau mendengar bahwa sudah pernah dilakukan studi kelayakan mengenai signifikansi jembatan itu. Kalau pun sudah, sudah studi kelayakan itu dilanjutkan dengan alternatif alokasi anggaran untuk akar masalah yang dirumuskan itu? Saya yang ber-KTP Maluku belum pernah (ini subjektif) mendengar apa yang menjadi akar masalah sosial-ekonomi-budaya hingga kita merasa membutuhkan jembatan itu. Kalau pun sudah, apakah memang jembatan itu adalah solusinya? Solusi menurut siapa? Perancang konsepnya atau harapan pengguna hasilnya?


Mungkin sampai di situ dulu "apa-apa" yang bisa saya bagi. Syukurlah, kalau bagi anda itu bukan "apa-apa". Tapi lebih baik di"apa-apa"kan sejak sekarang daripada nanti. Sebab kalau sudah terlambat kita tidak bisa bikin apa-apa lagi.


Read more ...

Tuesday, August 2, 2011

Menahan lapar dan bertahan dalam [ke]lapar[an]


Para sahabat muslimin dan muslimah tengah menjalani ibadah puasa. Selama 1 bulan, setiap hari, mereka berusaha untuk mengendalikan keinginan menikmati makanan dan minuman dalam berbagai kondisi yang mereka hadapi. Dan karena kondisi yang dihadapi berbeda-beda, keinginan untuk makan dan minum itu juga bisa menggoda hasrat yang lain, misalnya: merokok atau marah-marah. Bisa juga merembet ke hasrat-hasrat yang lain, yang dipandang dapat membatalkan kemurnian puasa sebagai ibadah itu sendiri. Itulah yang kerap digemakan sebagai berpuasa menahan hawa nafsu.

Jadi, dorongan hawa nafsu itu pertama-tama dan utama mesti dikendalikan dari keinginan makan dan minum. Rupanya hasrat makan dan minum itu merupakan hasrat mendasar dalam diri manusia. Dari hasrat untuk makan dan minum itu bisa muncul hasrat-hasrat yang lain. Misalnya, hasrat untuk bekerja demi mendapatkan uang yang bisa dipakai membeli makan dan minum agar tidak [ke]lapar[an]. Tetapi matarantai itu bisa juga dimulai dari hasrat mendapatkan uang dan/atau hasrat untuk membeli apa saja selain makan dan minum. Intinya [mungkin] adalah tetap tidak [ke]lapar[an].

Menariknya, istilah “lapar” dalam diskursus kebahasaan telah meluas dan melebar maknanya. Lapar semula sangat berkaitan dengan aktivitas lambung mencerna makanan/minuman yang dilahap manusia. Namun istilah “lapar” kini juga bisa bermakna hasrat tak terbendung untuk melahap [si]apa saja demi kepuasan si pelahap. Jadi dari makna denotatif istilah itu kini mendapat pembobotan konotatif. Dari soal kebutuhan, “lapar” sekarang lebih menjadi soal “keinginan” atau “hasrat”. Kalau lapar sebagai kebutuhan tentu orang akan makan/minum sesuai kebutuhannya, minimal sesuai ukuran lambungnya. Kalau sudah kenyang pasti dia akan berhenti makan/minum. Artinya, kebutuhannya sudah terpenuhi.

Tapi kalau “lapar” yang bermakna “hasrat” tampaknya susah untuk ditentukan batas kebutuhannya. Sebab yang namanya hasrat itu hampir selalu adalah sesuatu yang tanpa batas. Atau katakanlah, sampai pada batas tertentu akan melahirkan hasrat[-hasrat] yang lain, dan begitu seterusnya, dan seterusnya, sehingga akhirnya juga adalah hasrat tanpa batas.

Maka tak mengherankan bahwa dalam narasi Yesus dicobai di padang gurun, mata ujian pertama dari si iblis adalah soal “makan dan minum”. Rupanya dari situlah cikal bakal lahirnya hasrat-hasrat lainnya, sampai pada hasrat berkuasa tanpa batas. Sampai di situ kata banyak orang, pertanyaannya biasanya adalah “hari ini mau makan siapa?”; bukan lagi “hari ini mau makan apa?”. Sederhananya, soal perut memang soal vital. Urusan perut jualah yang bisa membuat orang mata gelap dan membunuh orang lain, bahkan ayah/ibu/saudara kandungnya sendiri. Urusan perut adalah urusan hidup dan mati, karena itu orang rela melakukan apa saja demi urusan perutnya. Lihat saja, bagaimana kesaksian orang-orang yang menjalani hidup sebagai penjual jasa seks (laki-laki dan perempuan), atau para sarjana yang frustrasi tidak mendapatkan pekerjaan lantas tenggelam dalam bisnis kriminal (gigolo, narkoba), dan masih banyak yang lainnya. Hampir semua beralasan karena desakan ekonomi (uang), yang ujung-ujungnya adalah urusan perut.

Saya adalah penganut kekristenan (protestantisme) yang secara tradisi tidak menjalankan ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara saya yang beragama Islam. Namun, demikian saya membaca bahwa Yesus Kristus, sebagai penganut tradisi Yahudi, menjalani proses berpuasa. Proses berpuasa Yesus dilalui dalam tiga tahapan: [1] mengendalikan hasrat makan dan minum dalam kondisi lapar; [2] mengendalikan hasrat pemberhalaan diri karena rakus kekuasaan; [3] mengendalikan hasrat untuk menyalahgunakan kekuasaan dalam dirinya untuk kepuasan diri sendiri.

Dari bacaan sederhana terhadap cerita Yesus tersebut, saya menyadari bahwa jika puasa dipahami sebagai “ibadah” maka pada hakikatnya puasa itu tidak lagi menjadi soal jasmaniah belaka. Tindakan puasa telah menjadi suatu pemaknaan eksistensial akan keberadaan manusia di tengah-tengah situasi hidupnya. Pemaknaan itu bersifat eksistensial karena telah melampaui makna jasmaniahnya sedemikian rupa sehingga mencapai tahap transendensi hingga ke ranah “teologis”. Jika puasa diibadahkan maka puasa telah diboboti oleh kekuatan relasi-relasi antara manusia-dengan-manusia dan manusia-dengan-Sang Tuhan.

Dengan demikian, soal ibadah puasa – menurut saya yang penganut protestantisme – adalah soal iman yang relasional. Kekuatan iman sebagai pelampauan hasrat jasmaniah yang terdeterminasi dengan sangat kuat oleh situasi kehidupan manusiawi, pada gilirannya memperkuat relasi-relasi sosial dan relasi-relasi transendental yang mengarah pada keseimbangan antara “kebutuhan” dan “keinginan” (hasrat). Keseimbangan ini yang sulit sekali dipertahankan di tengah-tengah dorongan hedonisme dan konsumerisme yang kian menggila memperbudak eksistensi kemanusiaan kita. Kawan jadi lawan; saudara jadi pencari gara-gara; kerabat jadi laknat. Seperti banyak adegan-adegan yang beberapa waktu belakangan ini kita tonton di media cetak dan media elektronik. Sementara di sisi lain kehidupan glamor dan gelimang harta trilyunan rupiah – yang katanya dibagi-bagi sebagai proses wajar dalam dunia politik – rakyat mengais sampah dan terbenam dalam lumpur kemiskinan; saling berlomba menaikkan harga dagangan; mengomersialisasikan pesan-pesan keagamaan demi kepuasan kuasa yang tamak.

Sampai di situ, ibadah puasa membawa kita pada perenungan lebih dalam apakah ini hanya sekadar menahan lapar atau bertahan dalam [ke]lapar[an]? Siapakah yang [di]lapar[kan]? Pada titik itu pula, saya sebagai penganut protestantisme mengaku bahwa saya belum siap untuk beribadah puasa. Sebab sebagai ibadah, tindakan puasa adalah tindakan seumur hidup karena menyangkut masalah hidup sendiri dan hidup orang lain.

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces