Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 14, 2011

Sepenggal Kisah di Ketiak Nusa Ina: Catatan Perjalanan [3]


Gunung Tanah yang mana?
Di Maluku, istilah “gunung tanah” biasa dipakai untuk menyebutkan negri asal. Istilah tersebut tidak hanya menyangkut pengertian lokasi secara geografis, tetapi eksistensi budaya. Gunung tanah kerap digunakan untuk menunjuk pada “negri lama” yang terletak di gunung. Oleh karena kebijakan kaum penjajah pada masa lampau, banyak negri (hena) yang dipindahkan ke pesisir pantai guna memudahkan kendali ekonomi masyarakat lokal. Dalam mitos dan cerita rakyat orang Seram, banyak dituturkan tentang bagaimana asal-mula mereka menempati gunung dan kemudian dipaksa turun ke pesisir. Perpindahan paksa itu membawa sejumlah konsekuensi budaya yang dari generasi ke generasi membuat mereka berada dalam kebingungan identitas: orang gunung atau orang pantai?

Hal itu tampak dalam pandangan dunia mereka yang terbelah antara laut dan pantai sehingga apa yang mereka upayakan juga tidak terfokus pada satu mata usaha saja. Mereka menjadi orang-orang “antara” atau liminal. Orientasinya adalah ke darat dan ke laut. Itu sebabnya hampir sebagian besar orang Seram tidak bisa disebut sebagai masyarakat nelayan meskipun mereka ratusan tahun hidup di pesisir pantai. Berbeda dengan masyarakat Buton dan Bugis.

Pada kenyataannya, kehidupan masyarakat Seram lebih banyak mengupayakan penggarapan tanah dalam apa yang disebut “dusun” (dusun pala, dusun kelapa, dusun coklat, dsb). Tanah atau “gunung” tetap menjadi acuan identitas mereka. Tanpa tanah, mereka tidak mampu melakukan apa-apa. Di sinilah letak ironinya. Ketika tuntutan kebutuhan ekonomi dan gaya hidup mendesak mereka untuk mendapatkan uang dengan cepat, maka pilihan utama adalah menjual tanah. Ribuan hektar tanah kini bukan lagi milik mereka, melainkan milik cukong-cukong bermodal besar dan kaki-tangannya di negri-negri. Cukong-cukong menyediakan modal, sedangkan kaki-tangannya mencari mangsa, yaitu orang-orang yang dengan sengaja dijebak dalam situasi ketergantungan ekonomi sehingga harus mengikuti keinginan para cukong itu. Tanah menjadi sebuah pertaruhan identitas budaya dan juga ekonomi.

Jemaat Usinaman-Makariki (Usmak) misalnya. Mereka telah menempati lahan di antara negri Yaputi (Salam) dan negri Hatu (Sarane). Pascakonflik, lahan yang mereka tempati kini ternyata menjadi sengketa antara Yaputi dan Hatu. Mereka tidak berdaya dan selalu menjadi korban dari perseteruan kedua negri tersebut. Bahkan dusun-dusun yang sebelum konflik sudah mereka beli dan dilengkapi dengan surat-surat resmi, kini telah menjadi rebutan orang Yaputi dan orang Hatu. Masyarakat Usmak kini hanya bisa menunggu nasib berdasarkan keputusan pengadilan kepada siapa lahan tersebut dilimpahkan. Beberapa keluarga Usinaman akhirnya memutuskan untuk keluar dan menetap di Waipia. Masih tersisa sekitar 10 kepala keluarga yang bertahan dengan kondisi yang memprihatinkan. Dalam beberapa percakapan sering terdengar tanggapan miris ketika ada yang bicara tentang “gunung tanah”: gunung tanah yang mana?

Rahim Nusa Ina yang Terkoyak
Banyak cerita yang belum terungkapkan di sini. Cerita tentang kepedihan manusia di tengah benturan peradaban modernitas dan lokalitas, ketegangan antara mitos-mitos globalisasi dan penundukan kearifan lokal oleh buldoser-buldoser kapitalisme, kebingungan manusia-manusia lokal di tengah berbagai tarikan kepentingan politik yang selalu mengatasnamakan mereka tapi pada akhirnya hanya menjadikan mereka tumbal yang bisu berabad-abad.

Tulisan ini hanyalah catatan kecil dari perjumpaan dan bastori dengan beberapa orang yang menggeluti hidup dalam kepedihan rahim Nusa Ina yang terkoyak. Lukanya makin menganga. Perihnya menusuk hingga ke sumsum Nunusaku. Nunusaku kini hanya menjadi utopia yang makin kabur tertutup kamu-kamu ideologi kapitalisme yang menerjang dan memporak-porandakan seluruh tradisi hikmat lokal yang dituturkan dalam hening oleh orang-orang tatua yang makin bungkuk.

Mereka mencoba menarasikan terus kisah kemolekan Nusa Ina dan kejayaan Nunusaku meski dengan suara yang kian parau dan melemah. Tapi mereka masih berharap Nusa Ina tetap menjadi ibu yang merawat, menjaga, membesarkan anak-anak Maluku yang hormat dan sayang pada ibu mereka. Bukan karena sang Ina meminta balas, tapi karena sang anak yang tahu berterima kasih.

Nusa Ina, Nusa Ina, semoga rahimmu terus melahirkan anak-anak perkasa yang tahu membalas darah dan airmatamu dengan menjagamu sepanjang masa.

Selesai - MENA MURIA!
Saunulu, 10 April 2011
Read more ...

Sepenggal Kisah di Ketiak Nusa Ina: Catatan Perjalanan [2]


Terbelit Kemiskinan
Persoalan-persoalan kini yang dihadapi oleh jemaat-jemaat di Telutih adalah penguatan kehidupan ekonomi yang mandiri. Jemaat-jemaat pascakonflik di wilayah ini harus memulai kembali aktivitas ekonomi mereka dari titik nol. Sebagian besar dusun-dusun mereka [di]rusak, sementara tanaman yang mereka upayakan kebanyakan adalah tanaman umur panjang. Kondisi ini menyebabkan perputaran uang sangat lambat. Apalagi infrastruktur transportasi (jalan dan jembatan) sama sekali tidak memadai. Jalur darat dari kota kecamatan Tehoru sampai di Ulahahan, negri terakhir di perbatasan kabupaten Maluku Tengah dan kabupaten Seram Bagian Timur, kondisinya rusak berat. Termasuk belasan jembatan yang rusak, setengah jadi, atau masih berupa tiang-tiang penyangga.

Hasil-hasil kebun dipasarkan dengan menggunakan ketinting ke Tehoru, lalu diangkut kembali melalui jalur darat ke Amahai dan Masohi. Biaya muatan dan pengangkutan cukup tinggi karena ruas jalan yang rusak sangat panjang (puluhan kilometer dari Tehoru sampai Tuhehay). Sehingga hampir tidak ada keuntungan dari penjualan hasil-hasil kebun seperti itu. Cara cepat untuk mendapatkan uang bagi kebutuhan sehari-hari adalah menggadaikan dusun kepada para rentenir (sistem ijon). Rentenir meminjamkan sejumlah uang yang mereka minta, tapi dengan kompensasi penggarapan dusun dalam jangka waktu cukup panjang (ada yang 5 tahun – hasil panen yang berlipat ganda). Keuntungan yang diraup oleh para rentenir ratusan kali lipat dibanding jumlah uang yang dipinjamkan kepada masyarakat. Ada pula yang tergiur sejumlah uang lalu menjual ratusan hektar tanah dusun mereka kepada para rentenir atau pihak lain. Mereka kini kehilangan hak sama sekali atas tanah-tanah tersebut.

Anak-anak muda yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, lebih memilih untuk menggarap lahan orang lain di atas tanah yang dulu milik orang tua mereka. Sebagian lain mengambil kredit sepeda motor dan menjadi pengojek. Ada lagi yang terpuruk dalam kondisi kemiskinan sehingga hanya menjalani aktivitas sehari-hari sebagai pengangguran dan mabuk-mabukan. Sebagian lain mengikuti usaha beberapa keluarga memproduksi sopi. Pada kenyataannya, mereka bukan hanya produsen tetapi juga konsumen sopi. Tingkat konsumsi sopi yang tinggi juga berdampak pada kerawanan sosial dalam bentuk perkelahian antarpemuda, antarkeluarga, dan kriminalitas (pencurian hasil kebun, pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan). Menyiasati kondisi rawan ini beberapa keluarga terpaksa menitipkan anak-anak mereka di kaum kerabat di Amahai, Masohi, dan Ambon, agar mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA dan perguruan tinggi).

Terayun Rayuan Politik
Wilayah Telutih merupakan salah satu wilayah empuk bagi para petualang politik. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat (terutama jemaat GPM) di kawasan ini sering kali menjadi sasaran para petualang politik untuk meraup suara konstituen bagi kepentingan politik mereka (calon bupati dan calon legislatif). Janji-janji politik yang muluk-muluk kerap memabukkan para konstituen yang memang tidak memiliki dasar pengetahuan memadai untuk membaca arah angin politik yang dihembuskan. Apalagi ketika para petualang politik mengemas kampanye-kampanye mereka dengan bungkusan terminologi-terminologi lokal dan memanfaatkan ikatan-ikatan kekerabatan untuk mendapatkan dukungan politik.

Dalam konteks tersebut, agama juga rentan dimanfaatkan sebagai isu politik terutama melalui slogan-slogan politik yang mengusung simbol-simbol agama. Isu-isu yang bersifat segregatif juga turut memperkuat sentimen-sentimen identitas primordial (agama dan etnis). Dari sini tampak bahwa politik lokal di kawasan ini masih sangat kuat bertumpu pada pengemasan isu-isu sensitif dikotomis: “orang asli” vs “pendatang”, “Islam” vs “Kristen”, “orang Seram” vs “orang non-Seram”. Pencitraan politik yang didesak dalam alam pikiran masyarakat adalah pencitraan politik yang bernuansa agama, wacana-wacana budaya lokal, dan janji-janji pembangunan yang sebenarnya tidak kontekstual karena hanya berada pada tataran isu, bukan program pembangunan yang berbasis pada kebutuhan riel konteks sosial-budaya-ekonomi kawasan ini.

Di beberapa jemaat, hubungan antarkomunitas berbeda agama dan etnis sejauh ini berjalan dengan harmonis kendati tidak disangkali bahwa masih ada sisa-sisa trauma konflik. Beberapa pendeta menjalin komunikasi yang cukup baik dengan sejumlah ulama di negri-negri Salam sehingga persoalan-persoalan kecil yang berpotensi menyeret isu agama dapat diselesaikan dengan pembicaraan bersama untuk mengantisipasi rembetannya menjadi lebih besar.

Ada beberapa pendeta yang juga memanfaatkan hubungan-hubungan pela-gandong dengan komunitas Salam untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan merebaknya konflik keagamaan yang masih potensial di kawasan ini. Misalnya, Pdt. PL mencoba “memanaskan” komunikasi budaya dengan gandong-nya orang Tamilouw, negri Salam terbesar di situ. Atau Pdt. JH yang membangun komunikasi dengan pela-nya komunitas Siri-Sori Salam yang tersebar di beberapa negri Salam. Demikian juga dengan Pdt. WH yang terus membangun komunikasi budaya dengan gandong-nya komunitas Seith terutama di negri Yaputi. Menurut mereka, pendekatan budaya semacam ini sangat membantu proses-proses memulihkan kehidupan sosial jemaatnya pascakonflik. Bahkan mereka banyak sekali mendapatkan informasi seputar aktivitas-aktivitas oknum atau kelompok tertentu yang masih berniat memanaskan isu konflik agama di kawasan tersebut.

(bersambung)
Read more ...

Sepenggal Kisah di Ketiak Nusa Ina: Catatan Perjalanan [1]


Selama empat hari saya melakukan tugas perjalanan mengunjungi 33 mahasiswa Fakultas Teologi UKIM yang sedang menjalani praktik hidup bersama (live-in) di jemaat-jemaat se-Klasis Telutih, Pulau Seram. Klasis Telutih merupakan satuan wilayah pelayanan dari 19 jemaat Gereja Protestan Maluku. Hanya satu jemaat (Piliana) yang berlokasi di pegunungan, sedangkan sisanya berjejer di sepanjang pesisir pantai diselingi oleh beberapa negri Salam. Klasis ini terletak pada dua wilayah administratif tingkat kabupaten: Kabupaten Maluku Tengah (Salamahu s.d. Ulahahan) dan Kabupaten Seram Bagian Timur (Dihil s.d. Naiwel Ahinulin). Sebelum konflik sosial merebak ke seluruh wilayah Maluku, klasis ini mengatur 22 jemaat GPM. Tetapi pascakonflik hanya tersisa 19 jemaat yang bersedia kembali ke lokasi semula; 1 jemaat tidak mau kembali dan 2 jemaat lainnya beralih menjadi penganut agama Islam (Adabai dan Lapela).

Kunjungan ke jemaat-jemaat pesisir (Salamahu s.d. Ulahahan) dapat dilakukan dengan menggunakan sepeda motor dan ketinting. Sepeda motor hanya dapat digunakan jika cuaca cerah atau tidak hujan. Kalau hujan, maka perjalanan harus menggunakan ketinting karena sungai-sungai meluap. Sebagian besar fasilitas jembatan rusak parah dan karena itu penyeberangan harus dilakukan dengan cara melintasi aliran sungai. Jika memakai sepeda motor maka sepeda motor harus diusung oleh beberapa pemuda yang memang menyediakan jasa tenaga melakukannya. Sarana transportasi yang cepat dan aman adalah ketinting. Namun itupun harus memperhitungkan kondisi laut pada bulan-bulan tertentu. Terkecuali Jemaat Piliana. Lokasi Piliana hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki menempuh jarak 8 km, melewati jalan setapak, hutan, dan perbukitan.

Kisah di Ketiak Nusa Ina
Jika memandang dari kota kecamatan Tehoru, maka jajaran kampung dan jemaat mulai dari Saunulu s.d. Ulahahan berada di lekukan tanjung yang menyerupai ketiak manusia. Di ketiak Nusa Ina ini tersimpan banyak cerita mengenai manusia-manusia Seram yang bergelut dengan alamnya sekaligus menjadi korban dalam kelimpahan kekayaan alamnya sendiri.

Jemaat-jemaat se-Klasis Telutih hidup berdampingan dengan negri-negri Salam. Bahkan komunitas di beberapa jemaat merupakan komunitas yang heterogen, baik secara agama maupun etnis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunitas-komunitas beraneka agama dan etnis sudah sejak lama menjalin interaksi satu dengan yang lain. Mereka tidak lagi asing dengan “yang lain” karena identitas dan relasi-relasi sosial di kawasan ini dihidupkan oleh antarhubungan berbagai komunitas agama dan etnis. Etnis Jawa, Buton, Bugis, Saparua, Buru, Timor, dan Maluku Tenggara sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan sosial dan aktivitas ekonomi mereka bersama-sama dengan etnis Seram (Waulu, Sopamaraina) di Tehoru. Begitu pula dengan komunitas agama-agama yang mencakup Salam, Sarane, Katolik Roma, Hindu, Budha, dan agama-agama suku.

Namun antarhubungan tersebut terganggu oleh konflik sosial yang juga melanda kawasan ini. Ada cerita-cerita yang menyatakan bahwa sebenarnya konflik tersebut lebih dipicu oleh kedatangan kelompok-kelompok paramiliter dari luar Seram yang memprovokasi mereka untuk menyerang kelompok yang lain. Resistensi lokal berdasarkan ikatan kekerabatan yang telah terjalin antarkomunitas berbeda agama dan etnis tidak mampu membendung desakan kekuatan luar yang mengancam dengan begitu dahsyat. Dari 22 jemaat di Klasis Telutih, hanya 2 jemaat yang tidak hancur, yaitu Jemaat Piliana (gunung) dan Jemaat Hatu (pesisir). Selebihnya hancur total atau beralih ke Salam. Jemaat-jemaat yang hancur mengungsi ke wilayah pegunungan, terutama Piliana (pernah menampung 6.000 jiwa pengungsi); kelompok-kelompok pengungsi yang lain terus berjalan melintasi Gunung Sembilan dan Gunung Maraina menuju Wahai, Taniwel, dan Waipia.

Pemulihan kehidupan sosial berjalan berangsur-angsur. Tidak dapat disangkali bahwa penderitaan semasa konflik tetap mengguratkan trauma dan kerentanan. Namun sejauh ini komunitas-komunitas tersebut mulai merajut kembali hubungan-hubungan yang terkoyak selama beberapa waktu.

(bersambung)
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces