Aku menulis maka aku belajar

Monday, November 29, 2010

"Anak Kunci Israel yang Hilang di Indonesia": Kritik Buku

Pengantar

Semula saya tidak begitu tertarik dengan buku ini. Tetapi beberapa teman menceritakan isinya dengan penuh semangat dan cukup mengusik saya untuk membeli dan membacanya. Tulisan ini merupakan tanggapan saya terhadap isi buku tersebut. Tidak ada pretensi untuk mencari pembenaran diri sendiri. Apa yang ingin saya lakukan melalui tulisan ini hanyalah upaya sederhana untuk memberikan alternatif perspektif yang saya rasa diperlukan untuk mengimbangi isi buku ini. Uraian penulis buku itu, menurut saya, sangat provokatif dan terkesan serampangan, sehingga bila tidak diikuti oleh beberapa ulasan dengan perspektif yang berbeda, bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang-orang Kristen dan juga mengganggu relasi antarumat beragama (Kristen-Islam) di Indonesia, khususnya di Maluku.

Dalam tulisan ini saya juga tidak bermaksud menuding siapa salah siapa benar. Soal penilaian itu biarlah pembaca yang melakukannya. Saya mencoba untuk menempatkan seluruh argumentasi dalam kerangka keilmuan teologi sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah dan juga iman. Iman di sini bukanlah soal “percaya/tidak percaya”, melainkan soal mempertanggungjawabkan apa yang kita imani melalui penalaran yang sehat dan jernih. Bukan sekadar “memperkosa” Alkitab untuk mencari-cari pembenaran diri dan memengaruhi orang lain dengan paham-paham teologis yang dangkal dan destruktif.

Tentang Penulis

Profil singkat penulis tercantum pada halaman 95. Penulisnya bernama Harry Avner Sahertian (HAS). Latar pendidikannya tidak jelas. Hanya disebutkan “menyempatkan diri untuk sekolah theologia, tetapi karena panggilan lebih kuat untuk menggembalakan jemaat, maka penulis saat itu memprioritaskan untuk menggembalakan jemaat di kota Cilacap…”. Bisa disimpulkan bahwa pendidikan teologi yang dijalaninya tidak tuntas. Dengan demikian, dari segi perspektif keilmuan teologi, kompetensi HAS dalam mengelaborasi kajian-kajian teologis pun sangat diragukan.

Ada juga disebutkan mengenai pengalaman penelitiannya: “Dan saat terjadinya konflik di Maluku dan pasca konflik, penulis konsentrasi untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan Maluku dan berhubungan dengan masyarakat Maluku serta yang berhubungan dengan tragedi Maluku”. Tidak dijelaskan penelitian seperti apa yang dilakukan dan apa saja hasil penelitiannya itu. Padahal, jika memang buku ini lahir dari sebuah proses penelitian (lapangan dan pustaka) maka tentu HAS wajib mencantumkannya sehingga seluruh ulasannya tertanggung jawab secara ilmiah. Nama HAS, tapi dengan nama tengah “Abner”, saya temukan melalui browsing internet <http://www.oocities.com/nunusaku/miol070504.htm>, yang menuliskan nama Harry Abner Sahertian sebagai salah seorang dari 11 orang yang diciduk polisi atas tuduhan makar (pengibaran bendera RMS).

Selanjutnya, saya tidak menemukan informasi lain mengenai HAS. Termasuk bagaimana sampai HAS bisa mendapatkan gelar “rabbi”. Sejauh yang saya tahu tidak sembarangan orang yang bisa memakai gelar “rabbi”, bahkan di kalangan para penganut Yudaisme modern sekalipun. Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik רִבִּי ribbī;; Ashkenazi modern dan Israel רַבִּי rabbī) dalam Yudaisme berarti “guru”, atau arti harafiahnya “yang agung”. Kata “Rabi” berasal dari akar kata bahasa Ibrani RaV, yang dalam bahasa Ibrani alkitabiah berarti “besar” atau “terkemuka (dalam pengetahuan)”. Dalam aliran-aliran Yudea kuno, kaum bijaksana disapa sebagai רִבִּי (Ribbi atau Rebbi) — dalam abad-abad belakangan ini diubah ucapannya menjadi Rabi (“guruku”). Istilah sapaan penghormatan ini lambat laun digunakan sebagai gelar, dan akhiran pronomina “i” (“-ku”) kehilangan maknanya karena seringnya kata ini digunakan.

Tentang Tampilan Fisik dan Isi Buku

Dari segi fisik buku, penggarapan desain sampul depan (cover) dan belakang (back-cover), serta tata letak (lay-out) terkesan seadanya. Padahal penggarapan sampul depan mesti sesuai dengan judul buku sebagai langkah awal menampilkan pesan buku. Ditilik lebih dalam, banyak sekali terdapat kesalahan pengetikan yang cukup fatal jika ditinjau dari sudut kaidah bahasa Indonesia. Dalam dunia penerbitan, profesionalisme penerbitan suatu buku akan tergambar dengan jelas pada tampilan isi buku yang menarik (pilihan font, header-footer, penggalan kata, marjin, ilustrasi). Demikian pula dengan penempatan beberapa gambar yang sekilas tampaknya dipasang tanpa tujuan yang jelas dan apa tautannya dengan isi buku. Bahkan peta Pulau Ambon, Lease, dan Pulau Seram pun diberi keterangan “Kepulauan Maluku”. Bisa saja dikatakan asal tempel, tetapi saya rasa HAS ingin menyampaikan pesan-pesan tertentu melalui visualisasi tersebut, yang tentu saja mesti dilihat dari latar belakang hidupnya yang pernah ditahan polisi karena kasus pengibaran bendera RMS beberapa waktu silam.

Di seluruh isi buku tidak ditemukan rujukan-rujukan terhadap literatur-literatur penting berkaitan dengan topik-topik yang diulasnya.HAS rupanya merasa apa yang ditulisnya merupakan ilham dari Tuhan. Namun, beberapa kali HAS menyebutkan tentang “penelitian” dan “hasil penelitian” (23, 24, 32, 33, dll.) tanpa memperlihatkan materi penelitian yang dimaksud dan dirujuknya. Satunya-satunya kitab yang disebut dan dipakai sebagai bahan kutipan adalah Alkitab. Absennya rujukan literatur-literatur utama berkaitan dengan topik yang diulasnya tentu saja mengindikasikan bahwa memang HAS tidak membaca literatur-literatur penunjang dan pembanding. Ini tercermin dari tidak adanya “Daftar Pustaka” sebagai pertanggungjawaban dari seluruh ulasannya. Seolah-olah seluruh isi buku murni pikirannya sendiri. Ini merupakan salah satu titik lemah argumentasi logisnya, baik secara historis maupun metodologis.

Secara substantif, isi buku ini hanya berisi tentang uraian-uraian yang tidak logis dan absurd. Pikiran HAS melompat kemana-mana dan tidak runut. Stuktur kalimat-kalimatnya pun tak beraturan sehingga pesannya melantur. Saya melihat ada beberapa kelemahan isi buku ini secara metodologis:

1. Kelemahan argumentasi rasional: Setiap pernyataan tidak diikuti oleh pendasaran-pendasaran logika berpikir sehingga pembaca mampu mencerna pendapatnya dan melihat antarhubungan logis setiap argumentasi yang dikemukakannya. HAS dengan seenaknya melakukan lompatan-lompatan berpikir dan mengabaikan banyak sekali celah epistemologis yang menganga dalam ulasannya. Misalnya: perspektif sejarah sosial-budaya Maluku seperti apa yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul para leluhur orang Maluku? Siapakah yang menulis sejarah itu? Sumber-sumber sejarah sosial-budaya mana yang dipakai sebagai dasar pengetahuan untuk mengelaborasi dinamika kesejarahan para leluhur orang Maluku, terutama dalam menjelaskan lahirnya pranata Pela?

2. Kelemahan argumentasi sosio-historis: Sejak dari awal penulis selalu mengaitkan ulasannya dengan konflik sosial Maluku. Namun tidak ada ulasan kritis mengenai konflik Maluku, sejarah kebudayaan orang Maluku, dan juga sejarah Israel-Alkitab. Semuanya dicampur aduk seolah-olah merupakan bahan yang memang menyatu dari sononya. Konflik sosial seolah-olah hanya dilihat sesuatu yang terjadi begitu saja dan tidak ditempatkan dalam suatu kerangka analisis kontekstual yang menelusuri akar-akar persoalannya secara historis maupun sosiologis-politis. Konstruksi identitas orang Maluku yang muncul dalam varian-varian budaya yang berbeda-beda disimplifikasi seolah-olah menjadi identitas tunggal (monolitik).

3. Kelemahan argumentasi tafsir teks Alkitab: Penulis mengembangkan konsep-konsep teologi yang sangat provokatif dan kental spirit kekerasan. Semuanya itu disebabkan karena cara membaca teks-teks Alkitab yang harafiah. Ia mengecam orang lain yang membaca Alkitab sepotong-sepotong tetapi ia sendiri terjebak dalam kesalahan yang sama (hlm. 68). Teks-teks Alkitab dicomot begitu saja terlepas dari konteksnya, dan dipakai untuk melegitimasi pandangannya yang liar.

Mencermati Ideologi Kristen-Zionis

Fenomena identifikasi diri dengan suku-suku Israel bukanlah sesuatu yang baru. Mikkel Stjernholm Kragh dalam beberapa tulisannya mengulas tentang kecenderungan tersebut pada beberapa etnis di Eropa, seperti di British, Swedia dan Prusia. Konsep “Christian Identity” yang tumbuh subur di kalangan kaum Anglo-Saxon kemudian ditransmisikan ke Benua Amerika seiring dengan migrasi dan terbentuknya koloni-koloni imigran Inggris di sana.

Paham kaum Kristen-Zionis ini utamanya merupakan suatu gerakan politik di kalangan Kristen fundamentalis yang memandang bahwa berdirinya negara Israel modern adalah pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham dan kaum Yahudi. Kaum Kristen-Zionis berpendapat bahwa orang-orang Kristen harus mengakui bahwa Tuhanlah yang berkehendak bagi berdirinya negara Israel modern dan oleh karena itu harus didukung tanpa syarat secara ekonomi, moral, politik, dan teologis.

Fenomena identifikasi identitas etnis dan nasional kepada Israel sebenarnya merupakan suatu gejala sosial keagamaan yang wajar saja. Kendati mesti diakui bahwa gerakan ini telah menggeser hakikat negara Israel modern sebagai suatu gerakan politik dengan mendasarkan Israel modern pada gagasan-gagasan teologis-alkitabiah yang literer. Interpretasi harafiah terhadap teks-teks Alkitab melahirkan suatu perilaku-perilaku keagamaan yang diskriminatif dan bertendensi kekerasan karena teks-teks Alkitab dibaca sebagai “teks surgawi” yang tidak membumi dalam ranah sosial-budaya-politik dalam konteks ruang dan waktu masyarakat konkret.

Dalam konteks pluralitas sosial-budaya-agama di Maluku dan di Indonesia, proses identifikasi ini sangat riskan. Mengapa? Karena jika tidak mengalami proses pemaknaan dan hermeneutik secara dekonstruktif maka sebenarnya cepat atau lambat sedang terjadi proses transfigurasi konflik Timur-Tengah ke Maluku dan Indonesia. Kristen menemukan kiblat identitasnya pada Israel (modern) dan Islam menyandarkan diri pada identifikasi Arab (atau Palestina). Jika sudah demikian, bisa dikatakan kita hanya menunggu pecahnya bom waktu konflik Israel-Palestina di Maluku dan Indonesia. Di sinilah saya melihat critical-point untuk menyimak buku-buku semacam ini yang muatannya sangat provokatif dan merusak proses-proses percakapan antariman yang cerdas dan inklusif.


Read more ...

Monday, November 22, 2010

Menyeruak Absurditas "Anak Kunci Israel yang Hilang": Secuil Coretan

Suatu waktu seusai melayani ibadah Minggu di salah satu jemaat, seorang penatua menanyakan kepada saya apakah sudah membaca buku “Anak Kunci Israel yang Hilang”. Saya jawab “belum”, dan balik bertanya: apa isinya? Sang penatua pun menceritakan panjang lebar isi buku itu dan ketertarikannya. Apa yang membuat dia tertarik? Singkat kata, menurutnya, buku itu menjelaskan bahwa salah satu suku Israel yang terhilang adalah suku Gad. Suku ini menyembah dewa Molokh dan terkenal keras kepala. Panjang-lebar interpretasi dalam buku itu – maaf karena saya belum beli jadi nanti baca sendiri saja – pada intinya hendak menegaskan bahwa orang-orang Maluku (yang berasal dari kata “molokh”) itulah sebenarnya keturunan suku Gad, suku Israel yang terhilang.

Sekali lagi, saya belum beli dan baca buku itu. Yang jelas, saya tidak terlalu tertarik dengan isinya (jika memang cuma segitu isinya). Lagi pula, jauh sebelum buku ini terbit, tepatnya ketika masih dalam saat-saat konflik sosial memang sudah ada beberapa eksponen yang menyebarluaskan gagasan-gagasan absurd semacam ini. Kenapa absurd? Karena sama sekali tidak ada pendasaran historis dan epistemologis yang valid, yang mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jika memang informasi itu hendak diterima sebagai sebuah argumentasi ilmiah.

Saya mencoba menelusuri sejumlah literatur tentang arkeologi Israel-Alkitab, sejarah Israel-Alkitab, sosiologi Israel-Alkitab, politik Israel-Alkitab, hingga ke isu-isu sejarah, etnisitas, dan politik Israel-modern. Susah payah saya menggerayangi John Bright, Gerhard von Rad, Martin Noth, Norman Gottwald, Roberth Coote, sampai Thomas Friedman dan Naim Stifan Ateek. Toh, saya jadi frustrasi karena tidak menemukan landasan historis dan epistemologis untuk sekedar “mengangguk kepala” terhadap pernyataan korelasi suku Gad dan orang Maluku sebagaimana dikatakan dalam buku “anak kunci Israel yang hilang”.

Dari mana gagasan ini muncul? Rasanya saya perlu sedikit lagi waktu dan energi untuk menelusurinya. Tapi fokus saya tidak ke situ. Perhatian saya lebih tertuju pada proses pencitraan superioritas Israel-modern yang termanifestasi melalui media-media Barat sebagai suatu upaya menanamkan kekuasaan Barat di Timur Tengah melalui representasi negara Israel-modern. Dan proses tersebut dikukuhkan melalui ideologisasi identitas Israel-Alkitab yang ditransformasikan melalui proklamasi negara Israel-modern pada 1948, yang menjadi titik api pertikaian bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah. Ideologisasi tersebut mendapat dukungan luas di Barat karena dirasuki oleh “roh” teologi konservatif yang memunculkan interpretasi-interpretasi teks-teks Alkitab secara arbitrer. Maka yang terjadi adalah figurisasi Israel-Alkitab sebagai umat pilihan Allah menjadi suatu konstruksi identitas Barat yang superior melalui kehadiran Israel-modern secara kontroversial di kawasan Timur Tengah.

Ini cuma secuil catatan yang mencoba menyeruak kabut absurditas pemahaman teologis yang secara dangkal mempertautkan Israel-Alkitab dengan Israel-modern, apalagi Israel (suku Gad) dengan orang Maluku. Tapi kabut ini masih terlalu tebal. Mungkin anda bisa membantu menyeruaknya, supaya bisa melihat apakah kita ini memang orang Maluku yang bangga pada sejarahnya sendiri atau “orang-orang kalah” yang selalu merasa perlu menempel pada si Israel yang bengal itu.


Semogalah…
Read more ...

Thursday, November 11, 2010

Kita Mengemis?


Alkisah, ada seorang raja yang matanya sakit. Ia pun memanggil tabib kerajaan untuk memeriksa matanya. Setelah mendiagnosa mata raja, sang tabib merekomendasikan upaya pemulihan: raja harus banyak melihat yang hijau-hijau. Mendengar rekomendasi sang tabib, raja pun segera memerintahkan agar istananya dicat hijau, seragam prajurit diganti warna hijau, kereta kudanya dicat hijau, permaisuri diminta selalu mengenakan gaun warna hijau, rumah-rumah penduduk semuanya dicat hijau, bahkan jalan utama kerajaan pun dicat hijau. Maka jadilah seluruh kerajaannya bernuansa hijau.

Selang beberapa waktu, sang tabib terkejut dengan tindakan raja yang mengubah warna segala sesuatu menjadi hijau. Ia pun menghadap raja dan menanyakan hal itu. Raja menjawab: “Bukankah engkau sendiri yang merekomendasikan agar aku sering melihat yang hijau-hijau?” Tabib menjawab: “Benar, paduka, tetapi saya sudah membuat kacamata dengan lensa berwarna hijau. Jadi paduka tidak perlu mengecat semua dengan warna hijau. Cukup dengan menggunakan kacamata lensa hijau ini paduka dapat melihat bahwa segala sesuatu akan tampak hijau.”

Cerita tersebut memperlihatkan bahwa untuk memahami suatu realitas dan kemudian mengubahnya, pertama-tama bukan dengan merombak segala sesuatu secara radikal. Hal itu tentu akan membawa konsekuensi biaya finansial dan biaya sosial yang cukup besar. Pemahaman terhadap suatu realitas dan upaya untuk mengubahnya mestinya dimulai dari perubahan perspektif atau cara pandang (mindset) kita terhadap realitas tersebut. Tidak akan pernah terjadi perubahan atau pembaruan terhadap realitas jika mindset kita tidak berubah.

Menjelajah Perspektif Menggereja

Dalam wawancaranya dengan salah satu harian lokal, seorang pemimpin gereja yang hendak mengajukan dirinya sebagai calon ketua sinode mengatakan bahwa gerejanya jangan menjadi pengemis kepada pemerintah. Pernyataan tersebut menjadi headline koran tersebut. Tentu hal bisa dilihat dari dua aspek: (1) ini memang pernyataannya sendiri; atau (2) ada pernyataan implisit yang kemudian di-blowup oleh media sebagai salah satu strategi pemasaran media (koran).

Menyadari dua aspek itu persoalan yang mencuat di sini sebenarnya adalah: bagaimana perspektif yang telah dibangun tentang fungsi gereja dan model kemitraan seperti apa yang mestinya dibangun dengan pihak-pihak lain? Pada titik itulah kita hendak menginterpretasi makna “mengemis” kepada pemerintah. Secara sosiologis, setiap individu dan kelompok sosial tidak hidup dalam ruang hampa sosial-budaya. Setiap individu atau kelompok selalu terhubung secara kooperatif maupun konfrontatif dengan pihak-pihak lain. Apalagi jika semuanya berada dalam suatu komunitas yang menjalani proses-proses sosial bersama-sama. Jadi, tidak ada yang steril satu terhadap yang lain.

Bahwa setiap individu atau kelompok atau organisasi memiliki acuan visi-misi dan implementasi programnya masing-masing, pada hakikatnya itu dapat dipahami sebagai hal yang lumrah. Dan karena itu setiap individu atau organisasi biasanya memiliki panduan konstitusional yang mengatur gerak organisasinya agar tetap terarah pada tujuannya tanpa menegasi relasi-relasi yang terbangun dengan pihak-pihak lain. Dengan pemahaman sederhana tersebut maka perlu dipertanyakan apakah makna gereja mengemis kepada pemerintah.

Institusi keagamaan di mana pun berproses dan membangun dirinya dalam relasi-relasi kreatif dan dialektis dengan pihak-pihak lain. Itu suatu realitas sosiologis yang tak terpungkiri. Bahwa secara esensial dia memahami dirinya unik, itu merupakan bagian dari “self-understanding”. Tetapi “self-understanding” itu pun tak lepas kaitannya dengan “common-understanding”. Dalam konteks itu maka dalam diskursus sosiologi agama kita selalu hendak memaknai kehadiran institusi agama dalam pertautan dengan berbagai elemen sosial, termasuk pemerintah.

Interpretasi terhadap gereja yang mengemis kepada pemerintah tentu saja bisa diarahkan pada lemahnya “self-understanding” institusi agama (baca: gereja) yang akan berdampak pada “common-understanding” dalam suatu konteks sosial masyarakat. Kerangka pikir itu mengasumsikan bahwa “self-understanding” terhadap eksistensi gereja sebagai suatu organisasi sosial di situ memiliki landasan epistemologis yang sangat rancu. Dalam hal ini, gereja tidak bisa ditempatkan sebagai suatu institusi spiritual semata-mata. Karena pertanyaannya kemudian: apakah yang menjadi referensi epistemik mengatakan bahwa kita adalah lembaga spiritual? Karena pada realitasnya dalam seluruh program-program gereja kita pun secara sadar menggarap ranah-ranah sosial-politik-budaya-ekonomi yang ditujukan bagi penguatan kapasitas sosial jemaat (yang juga bisa dibaca dalam perspektif “masyarakat”). Apakah urusan lembaga-lembaga agama hanya urusan “hidup saleh”, “rajin berdoa”, “rajin beribadah” saja? Jika demikian, maka saya justru melihat itu sudah melenceng dari fungsi gereja itu sendiri sebagai organisasi sosial, bahkan sebagai suatu lembaga agama yang tetap siuman bahwa ia masih di bumi. Artinya, kalau hanya mengharapkan model semacam itu yang muncul dari kepemimpinan gereja atau dinamika kehidupan umat maka di situlah titik kelemahan terbesar bagi gereja untuk menjalankan fungsi profetiknya. Dengan kata lain, urusan spiritual semacam itu pada gilirannya hanya akan menyentuh dimensi personalitas, bukan komunalitas.

Apakah itu berarti gereja tidak bisa membangun spiritualitas? Bukan begitu. Spiritualitas yang hendak dimaknai dalam proses bergereja adalah penguatan relasi-relasi sosial dengan semua pihak dan dari situ terbangun sebuah pemahaman mengenai spiritualitas sosial. Spiritualitas sosial itu lebih tertuju pada upaya membangun perspektif dan aksi hidup bersama dengan “yang lain” (others), yang darinya kita makin menyadari panggilan religius untuk kehidupan bersama. Kritis tanpa saling menegasi. Dialektis tanpa saling mengeliminasi.

Ini hanya catatan singkat agar kita tidak terperangkap dalam asumsi keliru bahwa selama ini kita hanya memosisikan diri sebagai “pengemis”; juga apresiasi terhadap para pendeta dan jemaat-jemaat yang dengan segala daya berjuang membangun relasi-relasi kritis dengan siapa saja demi peningkatan kualitas hidup jemaat-jemaatnya keluar dari lingkaran kemiskinan struktural. Mereka sadar bahwa bukan perubahan total menjadikan semuanya “hijau” (seperti cerita di awal), tetapi merevisi perspektif tentang model-model kemitraan bagi proses menggereja di masa depan. Di sini perspektifnya adalah institusional, bukan romantisme spiritual yang bersifat individual. Di sini pula diskursus yang ingin dikembangkan adalah kepemimpinan yang bersifat kolegial, bukan pesona semu individual. No body is perfect!

Benarkah kita mengemis? Mari kita bersama-sama menjawabnya... VIVA GPM!

Read more ...

Thursday, November 4, 2010

Babengkeng

Matahari balong pica bae-bae par pagi hari, Dace su datang batamu di Etus pung ruma. Etus yang ada manyapu kintal skrek, bukang tagal lia Dace datang mar lia Dace pung dalang muka yang takoro tar bae.

Etus: Nyadu e, hari bae. Ada apa tuang ale mangente beta par oras matahari balong pica di atas tu?

Dace: Etus e, jang kurang hati kio. Mar beta minta ale taru manyapu tu dolo la mari dengar beta pung stori ni… Ini gawat!

Etus: Hei, ini su mangapa lai kong ale su ator skali ni?

Dace: Suda, jang ale talalu batanya. Taru manyapu tu la dudu dengar beta pung carita ni. Bilang maitua kalo su masa aer panas la tuang kopi rarobang par katong dua dolo…

Etus: Oee Dace, biar kata konyadu lai mar ini ada apa kong sampe ale su ator beta pung dalang ruma par oras ni… Lebe se bilang tempo jang sampe manyapu lari pilang ale pung muka kaki.

Dace: Bagini Etus. Beta pung maitua ni su dua minggu ni kong tinggal babengkeng. Dia tinggal taru kira beta ada pake kepeng papalele par apa sa… balong abis bulang lai su kit. Karing-karing. La dia tinggal gepe beta deng isu selingkuh. Wangala ampong beta jua... katong pung “onderdil” su tar ON par akang selingkuh tu. Tapi yo dia tinggal babengkeng deng akang.

Etus: Ahahahahaeee... Dace, bet kira ada apa. Oe, babengkeng tu bukang su biasa dalang hidop laki-bini. Tinggal ale ator bae-bae, buju dia manis-manis supaya dia tau kalo ale pung sayang cuma par dia. Ka memang ale ada su mulai taputar deng orang laeng?

Dace: Tuheng… ampong jua helo… Nyadu e, yang ale sumbur tu beta su biking akang samua tu. La ini beta bilang katong ni su seng bisa simpang gobang di bawah bolsak lai. Kepeng-kepeng papalele tu beta simpang akang di bank supaya aman. Eso-eso katong bisa pake akang par lia kacil pung sakola sampe abis-abis “S”. Mar tar mangarti jua… tinggal babengkeng sampe su tar nodek deng katong pung apa-apa lai.

Etus: Oe Dace, su jadi laki-bini sampe su langgar 20 taong ni jang macang anana alus-alus yang sadiki babengkeng, baku mara, cuma tagal barang yang bisa bicara deng ator bae-bae. Daripada ale bicara banya lebe kas unju buku bank par maitua to… lalu kas mangarti dia.

Dace: Itu akang nyadu. La ini biking batul rumah par katong tinggal sama-sama saja dia pi baribot akang lai. Ini sapa kasi kepeng? Ada baku tarika apa sampe orang kasi kepeng? Bautang di mana? Hayoooo eee… beta kapala saki.

Etus: Hahahaeee… bagitu suda nyong manis. Hidop laki-bini tu akang pung sadap di situ lai. Ale tau babengkeng tu tanda maitua masi cinta ale... dia mo bilang cuma ale sa Dace di beta pung hati, jang khianati beta pung cinta ni... Kalesang bini sadiki. Jang inga diri saja.

Dace: Istaganaga Etus… ale kira beta ni anana nae badang kapa yang kong tinggal bicara cinta-cinta mangkal macam bagitu. Cinta mangkal tu asam tinggi. Beta pung cinta par dia tu seng bisa bilang akang lai… la ini su “batalor” sampe tiga ni…

Etus: Haaa… ale pung “kecelakaan” di situ. Bicara cinta ni bukang soal anana nae-nae badang. Mar ini katong pung soal samua. Cinta tu seng kanal oras nyadu… slak-slak ale musti bisi-bisi par dia: Mina e, ale tamba umur tamba manis saa… macang beta tamba sayang ale. Na, jang sampe ale maniso papalele par kepeng sampe lupa bilang kata-kata manis tu par maitua.

Dace: Ah suda jua... nanti soal itu beta manyimpang akang sandiri jua. Jang ale ator sampe dalang beta pung kamar. Etus e, beta su ada ni, bilang maitua kas kaluar kopi rarobang deng kasbi rabus jua par ale pung nyadu ni isi poro sadiki. Ini tagal maitua babengkeng sampe katong su tar isi poro.

Etus: Oe Dace, ingatang, ini ale datang beta seng minta. Jang sampe kayo manyapu salep ale pung bitis-bitis ni.

Dace: Hahahaeee… ampong jua nyadu ee… Macang ale tar mangarti beta sa…. Prikitiuuuu..

Read more ...

Tuesday, November 2, 2010

Bencana Alam dan Bencana Sosial: Apa Agenda GPM?


Video kekerasan anggota TNI terhadap warga pedalaman di Papua menyentak kesadaran kita untuk mencermati persoalan lain yang terjadi selain rentetan bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, dan Jawa Tengah (kaki Gunung Merapi). Sejumlah catatan kritis telah diajukan oleh dunia internasional berkaitan dengan tindakan kekerasan anggota TNI terhadap rakyat Indonesia-Papua. Menanggapi banyaknya sorotan dunia internasional [barulah] Presiden RI memerintahkan agar kasus ini segera ditindaklanjuti sesuai hukum. Meskipun agak janggal karena dalam pernyataannya Presiden RI juga “excuse” bahwa kasus seperti ini “biasa” terjadi di Irak, Afganistan, dll.

Pertanyaannya: Apakah memang dengan pernyataan ini Presiden RI mau menyamakan situasi di Papua (sebagai bagian dari Indonesia) dalam keadaan darurat perang seperti di Irak atau Afganistan? Sementara dalam kenyataannya kekerasan oleh anggota TNI tersebut dilakukan kepada sekelompok orang yang sama sekali tidak menyandang senjata? Apakah perlakuan ini bisa juga diterapkan kepada kelompok-kelompok yang terang-terangan menolak PANCASILA dengan memaksakan ideologi mereka sendiri yang dikemas dalam bungkusan “agama” untuk menghapus kedaulatan negara sebagai suatu entitas yang majemuk? Sebenarnya siapakah musuh TNI? Rakyat sendiri atau musuh asing? Kenapa sikap pemerintah Indonesia dan TNI lembek berhadapan dengan tentara Malaysia yang jelas-jelas sudah melanggar kedaulatan wilayah Indonesia? Ini sangat jauh berbeda dengan sikap pemerintah (termasuk TNI dan POLRI) ketika berhadapan dengan masalah-masalah kerakyatan. Pernyataan Ketua DPR (yang kemudian dibela oleh rekan separpol) terhadap bencana Mentawai, serta pernyataan Presiden RI dan pernyataan lain yang seolah-oleh menganggap “biasa” semua kasus ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia benar-benar sedang tidak peduli terhadap rakyat, jika tidak ingin mengatakan bahwa pemerintah yang – katanya – dipilih rakyat ini sedang terus-menerus menginjak-injak kepercayaan rakyat.

Saya bukan ahli politik atau militer. Saya hanya rakyat biasa yang merasa turut bertanggung jawab atas sikap pemerintah ini karena saya jugalah yang turut memilih mereka menjadi “penguasa” negara ini. Ini sikap politik saya sebaga warga negara (ketimbang cuci tangan mengatakan saya tidak memilih mereka). Saya tidak ingin memberikan komentar-komentar politik mengenai hal ini. Tetapi saya hanya ingin menyampaikan “pesan” kepada teman-teman yang sedang mengikuti Sidang Sinode ke-36 Gereja Protestan Maluku: Apakah seluruh realitas sosial-politik ini sudah menjadi bagian dari diskursus kegerejaan kita? Ataukah kita sekarang hanya ingin asyik-masyuk dengan persoalan-persoalan internal kita saja? Adakah geliat internal kita yang mampu menjadi kekuatan tawar (bargaining power) gereja terhadap seluruh realitas ini? Kehadiran Ketua Umum PGI dan Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI jelas mengindikasikan bahwa kita punya komitmen untuk melibatkan diri dalam seluruh proses menggereja dalam konteks keindonesiaan. Dan karena itu realitas keindonesiaan adalah orientasi praksis berteologi GPM juga.

Saya tidak menafikan pentingnya persoalan-persoalan kegerejaan kita saat ini. Tetapi kita juga seyogyanya tidak bisa mengabaikan begitu saja realitas sosial-politik di mana GPM berkiprah. Setidaknya persoalan stigmatisasi RMS (salah satu saja di antara sekian masalah) masih terus menjadi “senjata laten” untuk timbulnya tindakan-tindakan kekerasan di wilayah Maluku. Dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang merasa memiliki kekuasaan untuk melakukan kekerasan tersebut.

Merujuk pada kenyataan itulah maka satu hal yang tidak dapat dianggap remeh adalah GPM membutuhkan suatu pola kepemimpinan gereja yang mampu membangun komunikasi politik dengan semua elemen sosial-politik yang ada di Maluku, di Indonesia, bahkan di ranah internasional. Kepemimpinan GPM ke depan benar-benar harus memperhitungkan kapabilitas komunikasi politik karena sejumlah persolaan krusial yang dihadapi oleh GPM memang menghadapkan kita pada kemampuan semacam itu. Jika tidak, GPM hanya akan kembali dalam “kurungan” gereja yang sibuk dengan diri sendiri, asyik-masyuk dengan persoalan-persoalan ritual, maniso dengan urusan-urusan administratif, padahal sama sekali tidak punya akses untuk “mendengar” dan “didengar” oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik yang sedang terus berupaya menelikung potensi-potensi kegerejaan kita.

Saya kira hal itu merupakan critical point untuk merumuskan program-program pelayanan kita mulai dari masalah “70:30” hingga ke masalah “rumput laut”, yang bagi saya (yang bukan profesor) ini juga tidaklah sesederhana seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri Perindag RI. Karena dalam konteks Indonesia, diskursus tentang ekonomi kerakyatan kerap bertabrakan dengan ekonomi korporat (multinasional) dan kepentingan investor (domestik dan asing) yang “setia” saling berselingkuh dengan penguasa untuk kepentingan-kepentingan kapitalisme korporasi.

Dengan catatan singkat ini saya ingin mengucapkan: SELAMAT BERSIDANG! TETE MANIS KASI HIKMAT PAR BASUDARA!

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces