Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, May 25, 2010

Mirip Obama?

Ini cerita lucu waktu saya mengurus visa di kedutaan Amerika Serikat di Jakarta. Sepulang mengikuti seminar sejarah di Utrecht Belanda, saya sudah melakukan perjanjian (appointment) untuk mengurus visa ke Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu saya menerima kabar bahwa aplikasi saya untuk mengikuti intensive course Global Institute of Theology di McCormick Theological Seminary Chicago diterima. Jadi sebelum pulang ke Ambon saya melakukan appointment untuk mengurus visa.

Antrean cukup panjang, padahal saya sudah datang ke kedubes AS sebelum jam 6.00 wib. Tapi perlahan-lahan antrean bergerak maju. Sekitar 1 jam saya sudah di depan loket pembayaran untuk selanjutnya antre lagi ke bagian dalam gedung. Tunggu lagi untuk pindai sidik jari. Tidak lama kemudian kelompok kami dipanggil untuk interview. Teman-teman anggota kelompok saya kelihatan tegang. Apalagi mereka melihat beberapa orang ditolak permohonan visanya. Saya juga sempat tegang, tapi agak sedikit tenang mengingat tip yang disampaikan oleh seorang teman bahwa yang penting ngomong apa adanya dan jangan ada informasi yang ditutupi.

Tiba giliran saya untuk interview. Setelah beberapa pertanyaan saya jawab, percakapan kami jadi sedikit cair. Yang cukup mengejutkan saya adalah staf kedubes yang mewawancarai saya tiba-tiba nyeletuk: "Your face looks like our president". Mendengar pernyataannya, saya langsung menimpali dengan nada ringan dengan sedikit humor: "Yeah, perhaps your president is an ambonese descendant originally". Dia pun tertawa. Suasana interview jadi cair dan setelah itu segala urusan pun lancar. Dia segera memberikan nomor pengambilan visa. Teman-teman kelompok saya terheran-heran: kok, ketawa-ketiwi padahal kita pada tegang. Hahahaha.... yah itu kan karena saya mirip "Obama".

Pengalaman itu sempat menyentak kesadaran saya bahwa ternyata penting juga punya tampang mirip "orang besar", apalagi mirip presiden AS. Yah, inilah keuntungannya. Tapi saya pikir-pikir itu bukan sekadar karena saya mirip Obama. Yang saya pikir adalah kemungkinan saya memang punya tampang jadi "great-man". Hehehe.... sorry sedikit narsis gak apa-apa kan? Daripada gak ada yang memuji, lebih baik memuji diri sendiri.

Saya sih berharap tampang begini bisa memberikan keuntungan yang lebih. Saya jadi menyadari bahwa memang dalam dunia sekarang ini pencitraan sangat penting. Asal gak kebablasan. Artinya, sok jadi orang besar padahal berjiwa kerdil. Nah ini susahnya. Kalau semua pencitraan hanya dilihat dari penampilan luar dan abai pada karakter maka banyak orang lain bisa tertipu. Pencitraan penting, tetapi mesti didukung oleh kapasitas karakter dan intelektual yang mumpuni. Mudah-mudahan saya bisa menjadi orang seperti itu. Walaupun agak miris juga melihat realitas sekarang di mana orang berlomba-lomba menciptakan citra (image) agar bisa dianggap penting dan "besar", padahal karakternya kekanak-kanakan.

Tiba-tiba jadi ingat cerita tentang seorang muda yang kaya. Ia datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana memperoleh hidup yang kekal. Lalu Yesus menjawab dengan bertanya tentang isi hukum Taurat. Anak muda kaya ini dengan segera menjawab balik bahwa ia sudah melakukan semua isi hukum Taurat (jangan membunuh, jangan mencuri, dan "jangan" yang lainnya... banyak sekali). Ia menjawab dengan bangga karena di hadapan Yesus ia seolah hendak mencitrakan dirinya sebagai manusia yang sempurna.

Namun, ketika Yesus melanjutkan pernyataannya dengan menyuruh anak muda kaya ini untuk menjual seluruh harta kekayaannya lalu membagikannya kepada orang miskin, anak muda ini pun terpaku diam seribu bahasa. Tak lama ia pun ngloyor pergi. Kenapa? Tertulis dalam Alkitab: "sebab banyak hartanya". Jelas, ia tak menyangka Yesus akan mengeluarkan pernyataan itu. Ia menyangka bahwa Yesus pasti terpesona dengan pencitraan yang dibangunnya. Masih muda, saleh, kaya lagi. Apa yang kurang? Tetapi Yesus justru membalik pencitraannya yang dangkal, mengajaknya masuk ke pencitraan yang lebih dalam: pencitraan karakter sosial yang tertuju pada kekuatan membangun kehidupan bersama. Di situ "pencitraan diri" pun runtuh. Karena memang bukan itu "syarat" untuk hidup kekal. Bukan kesalehan pribadi yang dikemas dalam pesona citra ketaatan pada berbagai hukum, termasuk hukum agama. Yang menjadi end-in-mind dari hidup kekal sederhana saja: memberi diri dalam gerakan solidaritas untuk membangun kehidupan sosial. Inilah landasan (common ground) hidup kekal. Di situ pula letak kebesaran seseorang. Bukan pada seberapa besar baliho yang membentangkan foto diri dalam senyum kemunafikan dan kepura-puraan.

Lho, kok jadi panjang nih ceritanya. Ah, sudahlah... bicara yang lebih serius nanti saja. Saya hanya ingin sedikit berbagi pengalaman unik. Anda juga pasti punya pengalaman unik. Dunia kita akan makin meriah dan berwarna-warni kalau kita semua bisa membagi pengalaman unik kita untuk saling menguatkan dan menopang membangun hidup bersama... yang pasti akan unik juga.


Read more ...

Tuesday, May 4, 2010

I am sailing....

Bagi Anda yang lahir sebelum abad ke-21, terutama pada era 1970an, 1980an, dan sedikit pada 1990an, sepenggal frase dari lagu yang dinyanyikan oleh Rod Stewart itu tentu tidak asing. Atau lagu yang sempat dipopulerkan oleh Gina T, “Sail Over Seven Seas” satu dekade lampau. Kedua lagu yang saya tahu menggunakan ungkapan “sail” (berlayar) sebagai ekspresi perasaan cinta dan kerinduan pada kekasih. Jika Rod Stewart menyatakan suatu hasrat pulang ke kampung halaman kendati mesti melintasi laut, maka Gina T mendambakan kedatangan kekasih hati hingga terbawa dalam mimpi mengarungi tujuh lautan.

Ups, jangan salah sangka. Saya bukanlah pujangga yang hendak menafsirkan makna dari syair lagu-lagu tersebut. Kedua lagu itu – kendati saya tidak hafal syairnya – tiba-tiba menyeruak dalam benak saya ketika tiap kali melintasi jalan-jalan di kota Ambon, sepanjang jalan berjejer banner dan spanduk warna-warni menyongsong pelaksanaan kegiatan internasional “Sail Banda 2010”. Nyaris pada setiap halaman depan gedung kantor atau sekolah terpampang pernyataan-pernyataan dukungan pelaksanaan kegiatan itu. Wah, bangga sekali. Bayangkan, warga kota Ambon akan menjadi tuan rumah hampir sekitar 7.000 wisatawan asing. Para pengelola hotel sibuk merenovasi hotel mereka agar memenuhi standar internasional. Investor-investor baru tak mau kalah dengan membangun hotel-hotel baru. Belum lagi rumah-rumah warga kota Ambon pun mulai berhias diri siap menyambut tamu. Luar biasa.

Tapi benarkah kita (sebagai warga kota Ambon) sungguh-sungguh siap? Jawabnya tentu bisa beraneka ragam: mulai dari “siap”, “siap tapi…”, “sedang siap-siap”, “tidak siap”, hingga jawaban “betbarpusap”. Tahu artinya? Artinya: “Beta barang pusing apa” alias kata orang Betawi “emang gue pikirin”. Kesiapan yang saya maksud tentu tidak bisa sekadar disederhanakan pada tampilan meriah spanduk dan banner sepanjang jalan. Kesiapan itu juga bukan dalam slogan-slogan yang kerap digaungkan pada iklan-iklan televisi dan radio lokal. Kesiapan itu sudah tentu sangat berkaitan dengan gaya hidup warga kota Ambon. Dan – ini soalnya – sesuatu yang berhubungan dengan gaya hidup itu juga sangat ditentukan oleh mentalitas dan cara pandang atau paradigma masyarakat tentang hubungan manusia dan lingkungan hidup. Kalau pada pokok ini, kita sedang membicarakan “proses”.

Mentalitas dan gaya hidup adalah suatu proses internalisasi pilihan nilai-nilai yang dianggap utama oleh seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai itulah yang memandu cara pikir dan tindakan seseorang dalam kaitan dengan sesamanya manusia dan lingkungan hidupnya (tanah, sungai, laut, hutan, dsb). Proses internalisasi bukanlah simsalabim dan langsung jadi. Proses internalisasi nilai-nilai berlangsung sejak kita masih kecil sampai hayat dikandung badan. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bersifat tempelan atau atributif, melainkan fundamental.

Terus, apa hubungannya dengan Sail Banda 2010? Nah, ini menarik. Setiap kali naik kendaraan melewati jalan-jalan kota Ambon, pemandangan orang dengan seenaknya membuang sampah di jalan dari dalam mobil-mobil mewah dan mengkilap, kini bukan lagi pemandangan aneh. Itu sudah biasa. Mereka seolah-olah menganggap sepanjang jalan raya adalah tempat sampah publik. Toh nanti ada tukang sampah atau petugas dinas kebersihan kota yang akan membersihkannya, pikir mereka. Maka dimulailah suatu tradisi baru: buanglah sampah di mana saja!

Suatu waktu saya melewati salah satu kawasan di kota Ambon dan melihat para pedagang dengan enteng saja membuang kantong-kantong plastik berisi sampah ke sungai atau laut. Luangkan sedikit waktu Anda untuk menyeberangi teluk Ambon dengan naik perahu dari pantai Galala ke pantai Rumatiga, maka Anda akan menikmati pemandangan bawah laut yang berwarna-warni. Bukan karena keindahan terumbu karang atau ikan-ikan hias, tetapi oleh beraneka ragam plastik kemasan makanan atau tas plastik.

Kesiapan menyongsong Sail Banda 2010 juga bukan soal “buang sampah” yang kerap ditimpakan sebagai tanggung jawab warga masyarakat yang “kurang sadar”. Persoalan sampah pada hakikatnya merupakan pantulan dari persoalan yang lebih mendasar yaitu soal kesadaran dan tanggung jawab. Kesadaran di sini adalah suatu pengendapan pengalaman-pengalaman bermakna bagi diri sendiri yang dikorelasikan secara dinamis dengan pengalaman-pengalaman kolektif bersama orang lain. Dengan perkataan lain, kesadaran adalah internalisasi pengalaman kolektif untuk kehidupan bersama yang saling mendukung. Di dalam kesadaran itu “yang lain” (others), entah itu manusia atau lingkungan bukan-manusia, menjadi bagian dari diri sendiri sehingga “yang lain” itu makin terintegrasi dalam kesadaran “aku”. Di situlah mencuat makna “tanggung jawab” bagi diri sekaligus bagi “yang lain”.

Sebagai pengendapan dari pengalaman-pengalaman maka kesadaran itu mesti dikondisikan dengan penciptaan situasi yang disiplin. Artinya, kesadaran itu diarahkan dan dibentuk karena “yang lain” adalah bagian penting dari diri sendiri. Kalau “membuang sampah pada tempatnya” hendak diinternalisasi dalam kesadaran maka tidaklah cukup hanya dengan mengumbar slogan atau jargon-jargon dalam kampanye sesaat dan insidental. Proyek rasional itu harus dikultivasi secara sistematis melalui program pendidikan yang komprehensif yang terarah pada pembentukan karakter; bukan sekadar soal “pengetahuan”.

Di sini bagi saya persoalan terberat adalah mengarahkan proses pendidikan karakter itu menuju terbentuknya suatu gaya hidup. “Membuang sampah pada tempatnya” tidak bisa hanya menjadi suatu perilaku yang bisa ditertibkan hanya melalui penetapan suatu aturan atau hukum (yang anehnya selalu diplesetkan “dibuat untuk dilanggar”); itu harus menjadi gaya hidup atau habitus. Sampai pada tataran itu maka setiap orang atau masyarakat secara dinamis mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kebingungan arah, karena aturan atau hukum dimaknai tidak hanya secara atributif tetapi substantif.

Ah, ini hanya sekadar berimajinasi… tentang Ambon yang bersih, nyaman, dan sehat, tanpa tergantung pada SAIL BANDA atau peristiwa-peristiwa “wah” lainnya…

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces