Aku menulis maka aku belajar

Thursday, May 20, 2021

Talucu

Dalam dialek Melayu-Ambon, “talucu” secara luwes mempunyai beberapa arti, yaitu: terpeleset, tergelincir, terlepas, turun, meleset. “Gelas pica talucu (terlepas) dari Ongen pung tangan” / “Ah, beta pung nomor togel talucu (meleset) 1 angka kalamareng tu” / “Tagal kasus itu dia pung bapa talucu (diturunkan) dari jabatan” / “Bajalang bae-bae, jang talucu (tergelincir) di atas trotoar baru pasang tu”. Demikian kira-kira contoh penggunaan kata “talucu” dalam ujaran orang Ambon sehari-hari. 

Dari rasa bahasa, “talucu” lebih dimakna sebagai “sesuatu yang jatuh atau terlepas tanpa disengaja”. Kondisi yang menyebabkan jatuh atau terlepasnya sesuatu itu lazimnya tidak diduga atau diprediksi sebelumnya. Untuk kondisi yang sebaliknya (terencana atau disengaja), jarang digunakan istilah ini. Maka akan menjadi janggal makna praktisnya jika ada yang “talucu” oleh sesuatu kerja atau tindakan yang seyogyanya terencana baik dan memprediksi atau mengantisipasi lemungkinan buruknya.

Contohnya adalah pembongkaran trotoar lama dan pemasangan trotoar baru dengan model keramik yang permukaannya licin. Pekerjaan pemasangan trotoar yang baru tentu bukan proyek yang tidak terencana. Sebagai proyek pembangunan yang terkait dengan layanan publik untuk menyediakan sarana pedestrian yang aman dan nyaman, pembenahan jalur trotoar di setiap ruas jalan utama Kota Ambon sudah pasti menyedot biaya tak murah. Oleh karena itu, proyek ini jelas terencana baik dari segi penganggarannya, pemilihan kualitas dan jenis materinya, sampai pada proses pengerjaannya agar fungsinya menjawab apa yang dibutuhkan oleh publik secara maksimal.

Namun demikian, mengapa untuk suatu proyek pembangunan yang berbiaya besar dan pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan publik agar mempunyai fasilitas pedestrian yang aman dan nyaman, justru membuat banyak orang “talucu” – seperti beberapa rekaman video yang diunggah para netizen Ambon? Jawabannya hanya bisa diberikan oleh pemilik proyek, yaitu pemerintah (entah provinsi atau kota). Tapi pada prinsipnya, sesuatu yang dikerjakan secara terencana tidak boleh berakhir pada situasi “talucu” karena hal-ihwalnya sudah diperhitungkan sejak awal, termasuk risiko.

Berjalan kaki merupakan moda transportasi yang sudah setua peradaban manusia. Dalam konsep tata ruang kota, tradisi berjalan kaki (pedestrian) di perkotaan mempunyai sejumlah manfaat, seperti mereduksi polusi udara, suara, menghemat bahan bakar dan biaya, serta tentu saja penting bagi Kesehatan manusia. Oleh karena itu, pengembangan tradisi berjalan kaki di perkotaan dapat berfungsi mengembalikan peran kota sebagai ruang interaksi sosial yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Untuk maksud itu maka trotoar disediakan sebagai area khusus pedestrian agar moda transportasi berjalan kaki dapat dilakukan dengan aman dan nyaman. Kendati awalnya trotoar digunakan untuk menghindari pejalan kaki dari kendaraan bermotor tapi dalam perkembangannya pejalan kaki (sebagai warga kota) juga membutuhkan rasa nyaman, aman, tenang dan senang saat berjalan kaki di ruas-ruas jalan wilayah perkotaan.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa berfungsinya trotoar sebagai jalur pejalan kaki sangat tergantung pada kondisi ideal perencanaan yang semestinya sesuai dengan kriteria-kriteria untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis pedestrian, yaitu: (1) Keselamatan: perbaikan kondisi fisik trotoar, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan) sesuai kebutuhan ruang; (2) Kemudahan: tujuan yang dicapai oleh pedestrian dilakukan dengan mudah dan lancer karena terhubung jalur trotoar secara integratif; (3) Kesenangan: pengkondisian faktor kesenangan bagi pedestrian yang timbul karena trotoar dapat dilalui dengan mudah dan didesain secara harmonis dengan lingkungan sekitarnya; (4) Kenyamanan: bebas dari berbagai gangguan yang mengurangi kenyamanan fisik dan psikis pedestrian karena terlindung dari cuaca buruk dan tersedianya tempat istirahat.

Ideal-ideal tersebut sudah pasti telah diperhitungkan oleh pemerintah sebagai pengelola utama proyek trotoar di kota ini. Artinya, tingkat risiko kecelakaan dan ketidaknyamanan pedestrian mesti dijadikan sebagai prioritas. Nah, jika ternyata – lagi-lagi seperti banyak rekaman video yang beredar di medsos akhir-akhir ini – banyak pedestrian yang “talucu”, tentu pembangunan infrastruktur publik trotoar ini mesti ditinjau ulang. Kecuali jika memang ada maksud lain untuk menjadikannya sebagai arena bermain “lucu-lucu” (plesetan atau sliding) seperti yang diperagakan sekelompok remaja saat hujan deras mengguyur dan membuat trotoar baru selicin papan luncur di pinggir kolam renang. Sebagai warga kota, kita mafhum anggaran pemasangannya bukan “talucu” begitu saja dari antah-berantah. Jelas, “talucu” di trotoar dan bermain “lucu-lucu” di trotoar adalah sesuatu yang sama sekali tidak lucu.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces