Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, January 6, 2009

Palestina-Israel: Secuil Pandangan

Dalam salah satu artikelnya baru-baru ini bertajuk “Tentang Bangsa Yahudi dan Konflik Palestina-Israel”, Ulil Abshar Abdalla mengajukan pandangan yang menarik. Ketika justru banyak kecaman dan demonstrasi dicecarkan banyak pihak kepada Israel atas serangan udara ke wilayah Palestina, Ulil malah mengajak untuk melihat konflik “abadi” ini dalam jangkauan perspektif yang lebih luas. Tulisan ini tidak hendak membahas artikel Ulil, tetapi terinspirasi untuk mengajukan suatu perspektif yang lain lagi. Harapannya semoga dengan berbagai sudut pandang yang muncul kita makin jeli menghindari lubang-lubang ideologis yang bermaksud menjerat kita dalam sikap tuding-menuding pihak lain. Atau, malah lebih parah, terseret dalam emosionalitas vandalistik dengan klaim solidaritas terhadap rakyat Palestina.

Dalam salah satu bagiannya secara eksplisit nampak bahwa Ulil membangun asumsinya dari sudut pandang “korban” atau “kambing hitam”, dalam hal ini bangsa Yahudi sebagai salah satu kelompok ras manusia yang paling mengalami penindasan sistematis sepanjang sejarah umat manusia. Penindasan dan permusuhan yang berlangsung berabad-abad terhadap komunitas Yahudi telah membentuk semacam kesadaran internal super-protektif terhadap segala tendensi yang mengancam identitas mereka. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Yahudi (Zionis) berhasil mendirikan negara Israel, entitas politik yang berabad-abad tidak mereka miliki, mereka menjadi sangat sensitif dengan segala bentuk ancaman. Dan karena itu mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankannya.

Pandangan Ulil dalam artikel itu secara keseluruhan, seperti yang diakuinya, memang bukanlah pandangan yang populer di kalangan Islam. Bahkan, saya bisa menambahkan bahwa pandangan semacam itu juga tidak populer di kalangan tertentu Kristen, yang lebih menekankan superiotas Israel berdasarkan legitimasi teologis bahwa Israel adalah “umat pilihan Tuhan”. Dalam pandangan Kristen semacam itu, umat Israel (Yahudi) mengalami penderitaan sebagai sebentuk hukuman Allah karena ketidaktaatannya. Namun Yahweh tetap mengasihi Israel dan tetap “memilih” Israel sebagai umat kesayangan-Nya. Ideologi semacam inilah yang memengaruhi sejumlah pemikiran teologi Kristen yang lebih mendukung eksistensi Israel di Palestina dan dominasi Israel atas rakyat Palestina, semata-mata karena di dalam Alkitab tertulis “Allah telah memilih Israel sebagai umat kesayangan-Nya”, kendati dengan konsekuensi mesti memberangus bangsa-bangsa lain.

Jika kita mengamati pencitraan konflik Palestina-Israel oleh media massa di Indonesia, maka dengan segera kita melihat bahwa konflik tersebut telah mengalami pembebanan makna yang berlebihan. Pembebanan makna tersebut pada gilirannya mendistorsi realitas konflik itu. Pembebanan makna dan pembingkaian berita secara sengaja makin merangsang sentimen anti-Israel, serta membentuk semacam aura solidaritas terhadap Palestina. Tentu jelas, dalam bacaan orang Indonesia pada umumnya yang membaca/mendengar pemberitaan media, solidaritas terhadap Palestina adalah solidaritas terhadap Islam yang dikonotasikan sebagai “rakyat Palestina”. Pencitraan semacam ini lantas membentuk persepsi publik: Mereka yang bersikap “lembek” terhadap Israel adalah antek Yahudi atau antek Zionis. Dan dengan demikian juga berarti beroposisi langsung dengan kekuatan “solidaritas Islam”. Maka tak mengherankan jika kemudian pasca penyerangan Israel ke Gaza, jalan-jalan protokol di Jakarta dan beberapa kota besar Indonesia disesaki oleh para demonstran yang lebih dominan mengusung spirit solidaritas Islam tersebut.

Tetapi benarkah Palestina identik dengan Islam? Sebuah buku yang ditulis Naim Stifan Ateek, Justice and Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation, mematahkan pandangan keliru bahwa Palestina identik dengan Islam. Dan oleh karena itu, saling serang antara tentara Israel dan Hamas tidak bisa secara simplistik dikristalkan sebagai pertempuran “Yahudi vs Islam”. Konflik Palestina-Israel adalah suatu konflik yang amat kompleks. Di dalamnya terlebur berbagai dimensi yang masing-masing telah menjadi katalisator independen untuk memicu timbulnya percikan-percikan kemarahan dengan skala yang berbeda namun punya intensitas yang hampir sama tinggi.

Dalam buku itu, Ateek secara gamblang menyatakan bahwa rakyat Palestina secara keseluruhan merupakan korban dari bangkitnya gerakan nasionalisme Zionis yang mendapat inspirasi dari spirit kolonialisme Eropa abad ke-19. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Edward Said dalam bukunya The Question of Palestine bahwa ada hubungan antara Zionisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Menurut Said, Zionisme jelas-jelas tidak pernah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembebasan Yahudi, melainkan sebagai suatu gerakan Yahudi untuk pemukiman kolonial. Implikasi lanjutan dari gerakan tersebut adalah berdirinya negara Israel, yang secara sistematis melakukan segregasi sosial, mencaplok tanah, menggusur warga dan merelokasinya. Gejolak sosial yang muncul sebagian besar lebih disebabkan karena kerancuan kognitif (cognitive dissonance) masyarakat karena seluruh konsep-konsep sentral kehidupan seperti “tanah”, “komunitas”, “budaya lokal”, “ikatan kekerabatan”, “ruang”, mengalami penghancuran secara sistematis dan cepat.

Ateek sendiri mengawali tulisannya dengan suatu pertanyaan eksistensial “Who am I?”. Lantas, ia mulai memetakan dirinya dalam 4 identitas: (1) Orang Kristen. Banyak orang yang spontan menanyakan “apakah ia pindah agama?” atau “benarkah ada orang Kristen di Timur Tengah?”; (2) orang Palestina. Yang selalu dicecar dengan pertanyaan “bagaimana mungkin ada orang Palestina yang Kristen?”; (3) orang Arab. Dalam pandangan banyak orang Barat, orang Arab identik dengan Muslim. Padahal, Kristen Arab sudah ada sebelum Islam. Kekristenan sudah ada 600 tahun di Timur Tengah sebelum Islam; (4) orang Israel (Israeli). Istilah Israeli menunjukkan cap kewarganegaraan dari negara Israel. Dilema atau ambiguitas kesadaran yang terpecah-pecah semacam ini secara psikologis memperlihatkan betapa tercabik-cabiknya rasa identitas bangsa Palestina – seluruh rakyat Palestina. Sehingga dapat dipahami bahwa frustrasi-frustrasi yang lahir karena situasi penindasan dan ketidakadilan itu membentuk generasi-generasi Palestina (Islam dan Kristen) yang militan. Pada titik kesadaran itulah, Ateek merefleksikan suatu bentuk perlawanan terhadap dominasi pemikiran teologis (Kristen) yang terlampau mengagungkan dan menganakemaskan Israel tanpa membedah realitas penderitaan manusia di Palestina.

Buku Naim Stifan Ateek ini pada gilirannya juga menohok jantung teologi Kristen yang mendasarkan doktrinnya pada otoritas kitab suci. Israel yang menjadi aktor utama dalam Alkitab sering kali dipahami secara dangkal sebagai representasi “umat pilihan Allah” yang mewujud dalam entitas negara Israel modern. Ini juga dialami oleh banyak orang Kristen Indonesia. Bisnis perjalanan wisata yang cukup bergairah adalah “wisata rohani ke tanah suci Israel”. Saya tidak tahu apakah ini semacam counter-culture terhadap ritual haji dalam Islam, tetapi beberapa pihak memang sempat mengatakan bahwa wisata ke Israel memberikan nuansa spiritual-emosional yang besar dalam diri mereka. Karena itu, mereka (yang berduit tentunya) akan melakukan perjalanan yang sama berkali-kali. Perjalanan ke Israel seperti “membasuh dosa-dosa” dan membuat mereka menjadi “manusia baru” – apalagi kalau sempat dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dulu dibaptis (menurut apa yang tertulis dalam Alkitab). Lagi-lagi, menurut seorang yang bekerja di salah satu travel, orang Kristen Indonesia yang paling banyak melakukan ritual baptisan di Sungai Yordan dan ritual perkawinan di Kana.

Gereja-gereja sebenarnya menyadari keluncaspahaman semacam ini. Namun tidak banyak yang berani bersuara untuk menyatakan bahwa penderitaan rakyat Palestina adalah penderitaan kemanusiaan. Jika kekristenan berdiri di atas spirit Injil yang “membebaskan” dan “memberitakan sukacita” maka pada galibnya spirit itu pula yang mesti mendorong gereja-gereja di Indonesia menyatakan kecaman keras atas serangan militer Israel dan menunjukkan solidaritas pada kemanusiaan Palestina yang porak-poranda. Tentu dengan cara terorganisir sehingga dampaknya menyata.

Hanya yang menjadi ganjalan, menurut saya, tepatkah kritik dan aksi demonstrasi itu ditujukan pada pihak-pihak tak langsung, misalnya kedubes Amerika? Apakah memang suara Indonesia didengar mengingat Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel? Bagaimana menekan Israel jika Indonesia tidak punya kontrak politik apa-apa dengan Israel? Sejauh ini, kita hanya seperti orang yang berteriak di padang gurun. Bergema saja tapi tidak memberi efek apapun. Jika demikian, secara sederhana, rasanya jika komitmen solidaritas terhadap rakyat Palestina diharapkan menjadi efektif, mungkin sudah saatnya Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Saya kira, cara itu bisa menjadi salah satu kekuatan penekan bagi sepak-terjang Israel. Ataukah memang kita lebih suka berpanas-ria, berkoar-koar dalam arak-arakan demonstrasi di bundaran HI, meskipun kita tahu tidak ada hasil apa-apa dari semuanya itu? Atau memang cuma segitu doang maksud kita… yang penting demo dan masuk tipi… Walahuallam.
Read more ...

Monday, January 5, 2009

Menjelang Misteri

Peralihan waktu nyaris tak terasa. Semuanya mengalir tak beda dengan hari-hari sebelumnya. Kembang api dan petasan rasanya malah kehilangan pesona. Kosong. Ketika semua menggempita dalam keriuhan belanja dan penganan; ketika pusat-pusat belanja dijejali para pemburu barang dan asesoris – atau hanya sekadar cuci mata, aku malah tenggelam dalam rutinitas “panitia natal”. Capek. Maka ketika semua tangan terkepal dan mulut berujar doa selamat di peralihan tahun, aku malah terkapar menerima ongkos kerja panitia natal dengan terbujur di ranjang dengan sakit di sekujur badan. Impas? Tak tahulah.

Namun dalam sakit, aku malah menemukan waktu yang mengalir. Merasakan alirannya dalam sakit dan hening. Saat terkapar dengan seluruh persendian yang ngilu, aku malah terbelit dalam permenungan: apa lagi yang baru nanti? Atau, semua hanya keterjebakan diri dalam rutinitas. Menjemukan namun tak terelakkan. Basi tapi mesti ditelan. Ataukah ada yang lain? Tantangan. Peluang. Kemujuran. Kecelakaan. Bahkan, kematian? Bukankah semuanya adalah probabilitas, yang sering tak ingin kita percakapkan tapi toh dalam hati kecil kita merasa tak kuasa menghindari sepersekian probabilitasnya.

Merasakan aliran waktu saat terkapar sakit dalam jeda peralihan tahun, membuat aku jadi menikmati denyut penuaan dalam diri. Setahun lagi berlalu. Apa yang tersisa untuk menjadi energi menapaki tahun “baru”? Seberapa “baru” tahun ini (2009) hingga tetap menyodorkan percik-percik api pengharapan? Sebulan? Dua bulan? Lalu kapan 2009 akan menjadi tua atau lama? Apakah harus menunggu peralihan tahun yang akan datang (2010), lalu ia menjadi lama? Lantas, “baru”-nya di mana: baru datang atau baru substansinya?

Sudah puluhan “tahun baru” aku lewati. Tiba-tiba tersadar, benarkah semua “tahun baru” itu menggelimangi kesadaranku dan eksistensiku dengan yang “baru”? Atau malah hanya suatu gerak menua yang kuterima apa adanya? Aku belum berkarya apa-apa. Semua tersapu oleh kerja dan kerja untuk urusan “hidup” – yang makin terkerdilkan sebagai urusan perut. Hidup hanya urusan perut? Begitulah yang masih menjajah pikiranku. Ada mimpi tapi tersimpan dalam hati. Ada cita-cita tapi belum menyata. Ada harapan tapi masih tersimpan. Lantas, kapan? Lagi-lagi aku terjebak dalam aliran waktu dan – mau tak mau – kembali menikmati denyut penuaan dalam diri.

Menjadi tua tak selalu menjadi dewasa. Begitu banyak lubang-lubang yang menghiasi persahabatan, hanya karena kita enggan menutupinya. Sehingga berulang-ulang terjungkal dalam kesalahan yang sama. Lebih pilih perang daripada perdamaian. Lebih suka menyerang daripada menenteram. Lebih nikmat mengunggulkan ego daripada merangkul yang lain. Bumi pun dipaksa menyerap darah karena kepongahan manusia. Mesin-mesin perang berderap melindas kehidupan. Anak-anak dan perempuan terkapar di tengah puing-puing dengan daging terkuak memamerkan tulang dan isi tubuh terburai. Pemandangan baru di tahun yang baru? Sudah berapa tahun baru terlewati dengan dentuman mesiu dan bau anyir darah? Tahun baru perlu perang baru?

Ah, terkapar sakit di peralihan tahun sungguh-sungguh membuatku menikmati detak jantung yang makin lemah karena penuaan. Tetapi aliran waktu ini malah menderaskan aliran darah dalam tubuhku. Aku tidak mau tua sebelum berkarya! Menjadi tua seharusnyalah menjadi dewasa untuk melahirkan percikan-percikan api momentum berkarya. Menjadi tua adalah menjadi berhikmat untuk mendaraskan pengalaman-pengalaman yang berlalu, menjadi suatu kitab kehidupan. Mewariskan pengetahuan dan hikmat sebagai roh zaman bagi anak-cucu.

Tahun baru. Umurku tidak akan baru. Kenyataan menua adalah inspirasi untuk membebaskan pikiran dan nurani agar tidak terkerangkeng dalam ringkihnya raga. Umurku tidak akan baru. Mungkin juga tidak panjang. Tetapi kalau aku telah menapak peralihan tahun ini – meski terkapar sakit – rasanya itu tanda untuk melahirkan karya baru. Merajut pengalaman, menarasikan masa depan, membuai harapan-harapan dalam dekapan. Menyemai cinta bagi sang bumi.

Tahun baru. Apa masih perlu kuucapkan “selamat”?
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces