Aku menulis maka aku belajar

Friday, April 19, 2013

Roundtable Discussion Indonesia-Denmark "Managing Diversity in a Democracy: Indonesian and Danish Experience" - Graduate School of UGM

Today I was invited to attend the Roundtable Discussion Indonesia-Denmark with interesting theme "Managing Diversity in a Democracy: Indonesian and Danish Experiece" with the Denmark Minister of Foreign Affairs, Villy Sovndal, at the Convention Hall UGM Graduate School. This below is my briefly written response as the ICRS student to the minister.

Some Ideas for Roundtable Discussion Indonesia-Denmark

As far I knew Ambon Case is a prominent example which indicates the vulnerable of Indonesian democracy as it was constituted since Revolutionary Era (Old Order) and Developmentalism Era (New Order). From the case then we have been seeing subsequent religious-based as well as ethnic-based conflicts in many provinces of Indonesia.

I may say that such an exemplary conflict caused by two problematic issues: 

[1] Historical issue: The misunderstanding of democracy as only majority-minority discourse. Since the earlier state of becoming Indonesia as we can read in “Risalah Sidang BPUPKI 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945” (The Proceeding of Indonesian Committee for the Preparation of Independence), the heaviest debates mainly on the national foundation of new nation-state Indonesia – whether on “secular” (democracy) or “religious” (Islamic sharia). The basic idea of Islamic leaders at that time was simply that the majority of Indonesia population is Muslim so that Islam should be regarded as the sociopolitical basis for the state. They focused on narrow cultural environment namely “Java Island” and were simply disregard the existence of social groups outside Java Island such as some regions of Sulawesi, Bali, Timor, Maluku, and Papua. They thought that since Javanese and Islam are the biggest two identities in the new-Indonesia then both should be accepted as the dominant powers to rule the future of post-independence Indonesia. In that point, we can get understanding why the rejection of “seven words” and “Jakarta Charter” (Piagam Jakarta) had been memorizing collectively as the failure of the majority (Javanese and Islam). It was becoming worse when Suharto forced all social organizations (ormas), including religions, to accept Pancasila as the single platform, otherwise the government will dismiss them.

[2] Democracy and Development Issues: Regarding these issues I will say this is an Indonesian dilemma. Suharto, the second president of Indonesia, emphasized national stability as the basic condition for economic development. This was important strategy to build Indonesian economy after the revolution under Sukarno’s rhetoric. Consequently, the regime had to cut-off all ideological disputes by squeezing all political and/or cultural differences into one single loyalty under the flag of national interest. Indonesia under Suharto for 32 years underwent so-called quasi-democracy: we had general election every five year but had no critical people’s representatives in the parliament. Another main problem is the economic development which centered on Java Island, specifically Jakarta. Other islands have abundantly natural resources but the regime exploited them massively only for the Jakarta interest or regime’s cronies.

While as a nation we are facing continuously the problem of poverty, unemployment, imbalance economic growth, over-exploited natural resources, mega scandals of corruption at every level of bureaucracy and public life, the effects of neo-liberalism and free-market policies, global warming which threat small islands in eastern Indonesia, mismanagement of educational programs, double standard in law enforcement (for instance, Aceh has its sharia laws and flag while the government accused separatists for Maluku and Papua whose similar symbols) and so forth, we are also seeing the crystallization of religious spirit to claim the single truth for all regardless the diversity of Indonesian society. 

The subsequent national leaders (including presidents till the present one) failed to revitalize democracy as the principle to embrace differences and as means to manage pluralism in Indonesia. Scholarly, I will say that the Indonesian government today has no basic national platform ideologically as well as culturally to manage Indonesian diversity as chief possibility to build democracy as the power to constitute rules and regulations which empowering Indonesian citizenship equally. We are still trap into the jargon democracy as majority-minority discourse. Who are the majorities? Who are the minorities? Who has authority to determine which majority and minority? On the basis of what principle such a determination has been made? Humanity or theocracy or what?

In terms of insisting religious doctrines in public sphere, I am questioning: Does religion[s] provide specific law about state or society? Or religions only provide the principles of ethic as guidance to empower mutual relationship and to build equal citizenship? Moreover, which religion[s] whose heavenly authority to claim the truth for whom in the context of pluralism in Indonesia? Who are the truth holders and the sinner? And, by virtue of what principles?

Brief response and questions above are an effort to criticize the democracy issue as I understood as Indonesian dilemma nowadays. They are also triggering issues to learn what is going on in Denmark deal with the diversity as the consequence of our globalized world. Thank you. [steve gaspersz]
Read more ...

Thursday, April 18, 2013

Teologi Ujung Tanduk: Menapaki Tahun ke-128 Pendidikan Teologi di Maluku


Pengantar
Pada tahun 2005 saya terlibat dalam aktivitas penelitian teologi kontekstual yang diinisiasi oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Penelitian tersebut disasarkan pada empat wilayah: Nias, Toraja, Ambon, dan Papua; dengan melibatkan para peneliti yang diseleksi dari Jakarta dan wilayah-wilayah tersebut. Jadi penelitian dilakukan secara tandem (berpasangan) agar perspektifnya saling melengkapi antara peneliti Jakarta dan peneliti lokal. Saya berpasangan dengan Pdt. Sulaiman Manguling, pendeta Gereja Toraja dan dosen STT Rantepao di Toraja. Jadi jelas penelitian kami dilakukan di Tana Toraja selama enam minggu.

Melakukan penelitian di wilayah yang sama sekali baru tentu mempunyai tantangan tersendiri. Untunglah, dua hari sebelum ke Toraja saya menginap di rumah Pdt. Dr. Zakaria Ngelow di kompleks perumahan dosen STT Intim Makassar. Waktu dua hari itu saya gunakan untuk mendiskusikan banyak hal tentang kebudayaan Toraja dan corak kekristenan Toraja dengan pak Ngelow sebagai pengetahuan awal melengkapi hal-ihwal Toraja yang sempat saya baca dari beberapa literatur. Di Toraja, meskipun hari-hari pertama terasa berat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tinggal di rumah anggota jemaat di Buatalulolo dan juga pemahaman bahasa daerah, tapi lambat laun saya bisa beradaptasi dengan bantuan Pdt. Sulaiman Manguling. Ia mendampingi saya selama beberapa waktu dan mengajarkan saya falsafah dasar hidup orang Toraja serta beberapa kosa kata Toraja untuk percakapan ringan sehari-hari.

Singkat kata, proses penelitian kami lakukan dengan berbagai dinamikanya. Namun, momen yang paling berkesan adalah ketika saya mendapatkan kesempatan (dan itu langka!) untuk mengikuti upacara Rambu Solo’, upacara kematian orang Toraja. Upacara adat ini adalah upacara besar yang melibatkan ratusan warga kampung (dari beberapa desa) yang masih punya hubungan kerabat dengan keluarga penyelenggara Rambu Solo’, serta dilakukan sekitar 7 hari 7 malam. Pemandangan khas dari upacara Rambu Solo’ adalah iring-iringan kerbau dengan tanduk yang panjangnya melebihi tanduk kerbau umumnya. Ini memang kerbau-kerbau pilihan yang harga per ekor bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta. Derajat kebangsawanan orang yang meninggal (dan keluarganya) umumnya diukur dari berapa banyak kerbau yang disertakan dan dikurbankan dalam upacara tersebut. Waktu itu jumlahnya cukup fantastis: ada sekitar 80 ekor kerbau pilihan. Percaya atau tidak percaya, seorang teman pendeta Gereja Toraja pernah mengatakan bahwa ada upacara Rambu Solo’ yang menghabiskan biaya sebesar Rp 50 miliar. Luar biasa!

Tanduk-tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipajang bersusun pada bagian depan atas tongkonan (rumah adat) keluarga. Makin banyak susunan tanduk kerbau pilihan suatu tongkonan, makin tinggi derajat kebangsawanan keluarga orang yang meninggal itu. Dari kenyataan itu maka orang Kristen Toraja kerap merefleksikan teologi mereka dengan mengacu pada realitas dan makna kematian, serta teologi tanduk kerbau. Di Toraja, kematian adalah sebuah perayaan (celebration) di mana orang yang meninggal diantar menuju “surga” dengan sukacita dan pesta akbar. Kematian dipahami sebagai krisis yang dipulihkan melalui upacara adat Rambu Solo’. Keluarga bahu-membahu membiayai pelaksanaan upacara itu dan menjadi momentum untuk menegakkan martabat keluarga besar.

Sementara itu, susunan tanduk kerbau pada tongkonan menjadi acuan refleksi teologis penghormatan pada leluhur dan orangtua. Tanduk kerbau terpahami sebagai instrumen kosmik yang menyatukan kehidupan dan martabat leluhur dengan kehidupan dan martabat anak-cucu pada masa kini. Ada wilayah “antara” yang terjembatani dengan simbol tanduk kerbau sehingga dunia orang mati dan dunia orang hidup dipahami sebagai dunia yang satu dan tidak terpisahkan. Totalitas hidup adalah kehidupan dan kematian. Bagi orang Toraja, kematian bukanlah kembali ke tanah, tetapi justru berada di atas tanah. Orang Toraja tidak menguburkan jenazah tetapi menaruhnya di atas tanah dalam gua-gua alami maupun buatan karena tanah dipercaya sebagai “dunia jahat”. Tidak mungkin mengubur jenazah orang yang dikasihi di dunia jahat (tanah); harus di atasnya.

Teologi Ujung Tanduk
Sekelumit kisah penelitian saya di atas bermaksud memperlihatkan betapa berharganya tanduk kerbau dalam kosmologi kebudayaan orang Toraja, yang pada gilirannya mempengaruhi cara mereka merefleksikan iman Kristen secara kontekstual di Toraja. Kita, yang bukan orang Toraja, bisa saja geleng-geleng kepala ketika mendengar nominal rupiah yang dihabiskan untuk upacara kematian Rambu Solo’; atau bisa juga menjatuhkan vonis bahwa kebudayaan itu hanya sebuah pemborosan, lebih baik uangnya dipakai untuk membiayai hal-hal lain yang lebih positif menurut pikiran kita dan latar budaya kita yang non-Toraja. Namun, pengalaman penelitian tersebut membawa kesadaran saya pada hal penting dalam berteologi kontekstual, yaitu pemahaman mendalam, atau thick description kata Clifford Geertz, terhadap fenomena kebudayaan suatu masyarakat. Fenomena kebudayaan ibarat jejaring makna-makna simbolik yang berkelindan membentuk wujud kebudayaan dan relasi-relasi sosial di dalamnya. Tanpa memahami jejaring makna-makna simbolik tersebut maka orang tidak akan memahami praktik-praktik kebudayaan suatu masyarakat.

Namun demikian, dalam bagian ini saya ingin membicarakan tentang “ujung tanduk”. Ini adalah istilah kiasan yang berarti “sedang berada dalam situasi krisis, berbahaya, dan terancam”. Biasanya orang mengatakan “hidupku di ujung tanduk” ketika sedang menghadapi saat-saat genting yang mengancam eksistensi hidupnya. Ancaman kehidupan itu sangat serius karena bisa berakibat hilangnya sesuatu paling berharga dalam hidupnya atau bahkan hilangnya kehidupan itu sendiri alias mati. Jadi, “ujung tanduk” utamanya berkonotasi krisis yang berujung kematian. Kematian dilihat sebagai realitas yang menakutkan karena dapat meniadakan kehidupan. Kalau kehidupan sudah tidak ada maka berakhirlah eksistensi manusia. Manusia tidak ada lagi ketika kematian datang. Kehidupan setelah kematian tidak dapat terbayangkan oleh manusia. Kematian adalah titik. Oleh karena itu, kematian adalah krisis ultim. Sedapat mungkin krisis ultim ini ditunda atau diperlambat meskipun disadari sepenuhnya tidak dapat dihentikan.

Lantas, apa hubungan “teologi” dan “ujung tanduk” sehingga harus disatukan menjadi istilah “teologi ujung tanduk”? Sedikit penjelasan mengenai “ujung tanduk” sudah diulas di atas. Sekarang istilah “teologi”. Secara etimologis, teologi merupakan kesatuan dua kata yang membentuk satu pengertian: theos dan logos – yang secara umum diartikan “pengetahuan atau percakapan tentang tuhan”. Istilah ini kemudian berkembang makin canggih seiring dengan perkembangan diskursus teologi pada pemahaman orang Kristen (mulanya), lingkungan ajaran gereja, dan komunitas kesarjanaan (scholarship) dalam ilmu teologi di seminari atau sekolah/fakultas teologi. Kompleksitas makna teologi itu sendiri dipengaruhi oleh persentuhannya dengan cabang ilmu-ilmu lain baik secara kolaboratif maupun distingtif.

Saya sendiri mengartikannya secara sederhana: teologi adalah pantulan (refleksi) pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis dalam kehidupannya. Kata “refleksi” mengimajinasikan orang melakukan sesuatu secara aktif, bukan pasif. Yang dilakukannya adalah “memikirkan” dan “menghayati” dimensi keagamaannya (struktur kepercayaan, interpretasi teks-teks keagamaan, legitimasi doktriner, nilai yang dianut sebagai fermentasi ajaran keagamaan yang membentuk “iman”). Pemikiran dan penghayatan tersebut secara konstruktif mempengaruhi tindakan praktis dan etika: melakukan yang benar, hidup saleh atau takut tuhan dengan indikator empirik yang terlihat (pergi ke rumah ibadah, berdoa, memberi sumbangan kepada orang miskin, kontestasi simbol-simbol keagamaan, dll).

Dalam batasan definitif tersebut saya memahami teologi bukanlah sesuatu yang abstrak begitu saja (given), tetapi merupakan sebuah abstraksi dari realitas dan pengalaman konkret yang dihadapi manusia-manusia konkret vis-à-vis realitas misteri yang menjadi pencarian sepanjang hidup manusia. Jadi, teologi adalah “jawaban-jawaban sementara” orang beragama yang memadukan dimensi kenyataan dan misteri. Teologi bukan “jawaban final”. Oleh karena itu, pada setiap zaman orang-orang beragama selalu merumuskan “jawaban” atau “tanggapan” mereka terhadap isu-isu kontekstual yang dihadapi. “Jawaban” itu bersifat kontekstual. Artinya, itu hanya berlaku pada suatu zaman dan belum tentu berlaku pada zaman berikutnya. Dengan demikian, teologi adalah proses mencari dan merumuskan jawaban-jawaban [sementara] yang diperlukan untuk memahami persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi atau mengancam eksistensi kemanusiaan.

Dengan pengertian semacam itu maka “teologi ujung tanduk” dipahami sebagai pantulan (refleksi) pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis menghadapi krisis dalam kehidupannya. Sisipan kata “krisis” menjadi signifikan karena menempatkan proses berteologi dalam keadaan yang tak menentu (uncertainty), khaos, dilema, ketimpangan, perubahan, ketidakadilan, ancaman terhadap kehidupan. Dalam kenyataan semacam itu maka proses berteologi tidak pernah berhenti bergerak untuk menentukan pijakan-pijakan substansial yang menolong manusia (orang beragama terutama orang Kristen) bertahan di tengah krisis kehidupan. Dengan perkataan lain, proses berteologi selalu disertai oleh kepekaan terhadap krisis kemanusiaan (sense of crisis), sebagaimana ditampilkan dalam Alkitab melalui tindakan para nabi, Yesus, dan para murid yang kemudian disebut rasul-rasul, hingga ke periode-periode pembentukan dan perkembangan jemaat awal serta beraneka ragam denominasi gereja masa kini.

Teologi Krisis atau Krisis Teologi?
Teologi Krisis yang saya maksud di sini adalah teologi ujung tanduk seperti yang telah diulas sebelumnya. Lantas, apakah bisa terjadi krisis teologi? Bisa saja. Krisis teologi terjadi ketika pada setiap titian ruang dan waktu tidak muncul refleksi pemikiran dan penghayatan iman sebagai bentuk jawaban sementara terhadap dinamika situasi problematik kemanusiaan. Haruskah? Menurut saya, harus! lantaran masyarakat membutuhkan pijakan-pijakan substansial untuk menghadapi tantangan zaman yang mengancam eksistensi kemanusiaan.

Orang-orang seperti Dietrich Bonhoeffer (Jerman), Martin Luther King, Jr. (Amerika Serikat), Mother Theresa (Calcutta), dan Mahatma Gandhi (India) adalah figur-figur utama yang mendobrak situasi krisis teologi pada zamannya masing-masing. Bonhoeffer mengorbankan nyawanya di saat gereja-gereja pada zamannya mengalami krisis teologi, lumpuh berhadapan dengan otoritarianisme Nazi-Hitler; Martin Luther King, Jr. gugur dalam perjuangan mewujudkan mimpinya tentang kesetaraan umat manusia di mana kekristenan Amerika Serikat mengalami krisis teologi menanggapi realitas diskriminasi ras di negara itu; Mother Theresa menggeluti realitas kemiskinan di Calcutta di saat kekristenan dan gereja-gereja mengalami krisis teologi untuk menjawab masalah keberpihakan pada kaum miskin; Mahatma Gandhi, seorang Hindu, yang beraskese dalam perjuangan dan penderitaan melawan tirani kolonial nirkekerasan dan mengangkat martabat kemanusiaan di saat agama-agama bungkam menyikapi kolonialisme di India.

Nama-nama besar itu menjadi contoh bahwa krisis teologi dapat terjadi ketika krisis kemanusiaan pada ruang dan waktu tertentu tidak menggugah kepekaan kita terhadapnya dan tidak menjadi keprihatinan utama yang mengarahkan proses berteologi orang Kristen secara partikular. Dengan begitu maka tidak muncul jawaban atau tanggapan teologis yang dapat menjadi pijakan substansial orang Kristen menghadapi situasi krisis atau “ujung tanduk” dalam hidupnya.

Proses berteologi berlangsung dalam kehidupan setiap orang Kristen tanpa terkecuali. Setiap orang [Kristen] punya cara merefleksikan pemikiran dan penghayatan imannya secara khas. Semua refleksi itu perlu didengar, diperhatikan, disimak dan dihayati agar orang lain dapat belajar bagaimana kearifan teologis setiap orang berfungsi menjadi pijakan substansial mengatasi krisis hidupnya. Di sini keberadaan sekolah/fakultas teologi menjadi penting untuk menangkap sinyal-sinyal kegelisahan suatu zaman lalu mematangkannya melalui proses-proses diskursif keilmuan yang disiplin agar “teologi kehidupan” orang Kristen pada umumnya dapat mendorong terbangunnya “kehidupan [yang] teologis” yang dengannya orang Kristen [jemaat] menemukan jawaban sementara untuk bertahan dalam situasi “ujung tanduk”. Kehidupan [yang] teologis sebenarnya merupakan proses mengalami kehidupan sebagai suatu totalitas yang dinamis, tidak statis. Kehidupan diterima, bukan dinegasi. Kematian pun disyukuri sebagai realitas kehidupan menyongsong misteri.

Menapaki usia ke-128, pendidikan tinggi teologi di Maluku tidak diragukan telah menjadi bagian integral pergulatan eksistensial kemanusiaan Maluku. Merentang di setiap periode sejarah, sudah pasti banyak “jawaban-jawaban sementara” yang telah dilahirkan setelah melalui pematangan dalam “rahim” jemaat-jemaat dan asupan nutrisi keilmuan yang makin berkembang dari masa ke masa melalui geliat akademik di lembaga pendidikan tinggi teologi.

Toh, perjalanan 128 tahun tetap harus melewati tahapan-tahapan pengujian agar pendidikan tinggi teologi di Maluku c.q. Fakultas Teologi UKIM tetap berpijak pada paradigma teologi ujung tanduk: melahirkan refleksi-refleksi teologis yang substantif dan eksistensial di tengah-tengah krisis kemanusiaan di Maluku dan di Indonesia. Kajian biblika, teologi sistematika, teologi praktika, teologi kontekstual, dan teologi pastoral, semestinya memantulkan sense of crisis kemanusiaan sehingga mampu menjadi pijakan substansial orang Kristen dan jemaat-jemaat. Kepekaan terhadap krisis tersebut juga makin diperkuat oleh kajian interdisipliner sehingga teologi ujung tanduk makin relevan. Tanpa keterbukaan dan kesediaan saling melengkapi dalam proses pembelajaran teologi di fakultas ini maka akan terjadi pengerasan batas-batas keilmuan yang jumud. Jika sudah demikian maka bisa terjadi bukan teologi ujung tanduk melainkan “teologi [saling] tanduk”. Disiplin ilmu teologi menjadi pongah tanpa mengakui bahwa dirinya sedang terengah-engah menapaki jalan terjal krisis yang kian mengganas dan menggerogoti kemanusiaan. Alhasil, teologi produk fakultas teologi hanya menjadi realitas yang terbayangkan (imagined reality) tanpa pernah menjadi realitas yang teralami (experienced reality). Kata Wim Davidz, mendiang dosen senior fakultas teologi, “teologi hanya mengawang tapi tidak menggawang”.

Selamat! 
Read more ...

Demonstrasi dan Kebebasan Akademik: Catatan Kecil Demo Mahasiswa UKIM


Pengantar
Salah seorang anggota forum komunitas teologi UKIM menulis status menarik: “Puluhan Mahasiswa UKIM Berdemo di Rumah Sendiri. Ada apa dengan kampus Biru??”. Status singkat ini kemudian mengundang beberapa komentar. Catatan ringkas ini bermaksud untuk menanggapi status tersebut pada level diskusi yang lebih kritis dan sistematis. “Kritis” artinya mencoba menelisik faktor-faktor penyebabnya secara lebih jernih dan konkret. “Sistematis” artinya mencoba mengelaborasi faktor-faktor penyebab tersebut pada suatu kerangka kerja sistemik dari sebuah institusi bernama universitas. Tujuannya agar status itu tidak hanya sekadar perangsang gosip berdasarkan rumor tetapi menjadi catatan pembuka diskusi yang lebih terang-benderang menanggapi pertanyaan “ada apa dengan kampus biru?”. Meskipun sebenarnya saya lebih mengharapkan ada catatan yang lebih jelas dari teman-teman di kampus talake sendiri, namun karena sejauh ini (sejak status dipasang pada 13 April 2013 hingga catatan ini ditulis) belum ada, maka saya mencoba saja membuka diskusi kita.

Telisik Istilah
Pertama, saya ingin menempatkan status dari “status fb” tersebut sebagai sebuah pernyataan informatif yang tidak jelas karena tidak didukung oleh catatan-catatan pelengkap yang memperjelas peristiwa demonstrasi tersebut. Tentu saja, jika menggunakan kerangka penulisan jurnalistik maka status tersebut sama sekali tidak menggambarkan peristiwa yang hendak diinformasikan. Status itu bisa saja menjadi judul berita. Sayangnya, berita yang diharapkan oleh publik pembaca tidak muncul sehingga menimbulkan komentar-komentar spekulatif dari kebanyakan anggota forum yang tidak berada di Ambon atau di kampus talake. Dengan demikian, status semacam itu bisa dikategorikan sebagai stimulus yang mengundang tanggapan dan/atau pertanyaan mengenai peristiwa (demonstrasi) yang terjadi, dengan spesifikasi “mahasiswa UKIM” dan “rumah sendiri/kampus biru”.

Kedua, ada beberapa asumsi hipotetik yang muncul dari status tersebut, antara lain:

[1] Puluhan mahasiswa
Penggunaan frase “puluhan mahasiswa” menunjukkan bahwa aktivitas demonstrasi dilakukan oleh lebih dari satu orang. Oleh karena tidak spesifik menyebut jumlah (kuantitas) maka frase ini kabur dan bersifat umum. Tidak juga disebutkan demonstrasi itu ditampilkan seperti apa sehingga bisa menimbulkan bermacam-macam imajinasi. Ada sekelompok (puluhan) orang (mahasiswa) yang melakukan aksi demonstrasi tersebut.. Dengan demikian diasumsikan ada kepentingan kolektif yang menggerakkan mahasiswa untuk demonstrasi. Istilah “mahasiswa” juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang berdemonstrasi punya hubungan formal dengan institusi pendidikan tinggi (universitas). Jadi, mengatakan mahasiswa berdemo berarti ada sekelompok orang yang menyatakan aspirasi dan/atau kepentingan dalam kaitan dengan keberadaan mereka secara formal di institusi perguruan tinggi. Itu berarti masalah demonstrasi tidak bisa dilihat terpisah dari persoalan institusi universitas dan bukan masalah individu. Bahwa ada kecurigaan munculnya demo itu karena agitasi “seseorang” (individu) itu bisa diterima tetapi juga dengan melihat bahwa “seseorang” itu memiliki otoritas untuk mengagitasi dan mengerahkan kelompok untuk berdemo. Artinya, “seseorang” itu juga pasti punya keterkaitan formal dengan institusi sehingga persoalannya tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai masalah pribadi tetapi sebagai masalah sistemik.

[2] UKIM/kampus biru
Penyebutan “UKIM/kampus biru” dengan gamblang menunjuk pada sebuah institusi pendidikan (universitas). Sebagai sebuah institusi pendidikan, penyelenggaraan pendidikan tinggi di universitas tentu berlangsung dengan mekanisme konstitusional dan sistem manajemen yang spesifik. Artinya, proses-proses pembelajaran dan manajemen institusi berlangsung dengan prosedur tertentu yang diikat oleh kesepakatan pada aturan-aturan formal dari pemerintah (Dikti) yang selalu menjadi acuannya. Dengan begitu maka penyebutan “UKIM/kampus biru” mengasumsikan adanya sebuah sistem, yang dengannya pula masalah demonstrasi di atas mesti dilihat sebagai masalah sistem pendidikan yang berlangsung di UKIM.

Kedua asumsi hipotetik di atas dengan sendirinya meluruhkan asumsi (komentar) bahwa persoalan demonstrasi puluhan mahasiswa UKIM adalah masalah “beliau” sebagaimana yang muncul dalam beberapa komentar. Dengan demikian, saya ingin menempatkan isu demonstrasi mahasiswa ini sebagai masalah sistemik, bukan masalah individual (pribadi). Kalau terjadi demonstrasi terhadap suatu lembaga maka pertama-tama yang harus dicermati sebenarnya adalah apakah ada yang tidak beres dengan sistem penyelenggaraan kelembagaannya sehingga membuka celah bagi penyimpangan otoritas dan/atau pelanggaran aturan-aturan yang berdampak pada terganggunya kepentingan terutama para penerima jasa layanan lembaga tersebut (dalam hal ini, mahasiswa). Oleh karena itu, demonstrasi bisa juga dilihat sebagai alat kontrol terhadap mekanisme penyelenggaraan dan kinerja birokrasi suatu institusi (universitas).

Demonstrasi dan Kebebasan Akademik
Demonstrasi mahasiswa bukanlah sesuatu yang tabu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Sejarah demonstrasi mahasiswa di Indonesia malah memperlihatkan bahwa demonstrasi mahasiswa secara historis berperan vital bagi pembaruan sistem kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebutan “Angkatan 65” adalah sebutan bagi para penggerak demonstrasi mahasiswa di era 1965-an yang tokoh-tokoh mahasiswanya kelak menjadi pemimpin-pemimpin kaliber nasional pada level politik negara. Demikian pula dengan tokoh-tokoh “Forkot” (Forum Kota) yang menjadi salah satu motor penggerak demo mahasiswa menentang rezim Suharto hingga tumbang pada tahun 1998. Banyak tokoh-tokoh Forkot yang kemudian menjadi pelopor-pelopor gerakan kritis terhadap kecenderungan otoritarian negara melalui berbagai lembaga advokasi di Indonesia.

Bagaimana dengan mahasiswa UKIM? Tidak banyak catatan yang saya peroleh mengenai demo mahasiswa UKIM pra-1998 sejak UKIM berdiri tahun 1985 dari bentuk awalnya Sekolah Tinggi Theologia GPM. Demo mahasiswa UKIM terbesar, sejauh saya ikuti, terjadi pada tahun 1998 bersamaan dengan gelombang demo mahasiswa se-Indonesia melawan rezim Orde Baru. Demo tidak hanya berlangsung di area kampus tetapi juga di beberapa instansi pemerintahan (kantor gubernur/walikota) dan markas KOREM (waktu itu belum menjadi KODAM). Dengan demikian, mahasiswa UKIM waktu itu sudah terlibat untuk menyuarakan aspirasi dan perlawanan terhadap mekanisme sistemik penyelenggaraan negara yang otoriter dan semena-mena. Jadi, bukan sekadar demo dengan urusan “rumah sendiri” (kampus) tetapi “rumah bersama” (negara).

Mengapa terjadi demonstrasi dalam arti pengerahan kelompok besar di universitas? Banyak faktor penyebabnya. Bagi saya, dalam konteks ini, hipotesanya mesti diarahkan pada tersedianya saluran-saluran komunikasi sebagai media penghubung para penyedia jasa (birokrasi kampus) dan penerima jasa (mahasiswa). Media apakah yang tersedia di mana pihak birokrat kampus dapat membangun komunikasi objektif dengan para mahasiswa untuk membicarakan kepentingan bersama dalam sistem berkampus? Apakah kultur akademik komunitas UKIM cukup membuka ruang bagi terbangunnya diskursus-diskursus keilmuan di mana kepentingan bersama sebagai komunitas ilmiah terjamin tanpa intervensi subjektivisme berdasarkan pola patron-klien?

Dua pertanyaan sederhana tersebut setidaknya mengimplikasikan tersedianya media yang mumpuni yang menjadi arena diskursus keilmuan dalam menyoroti dinamika kehidupan berkampus, bergereja, bermasyarakat, dan bernegara. Media tersebut bisa berupa forum diskusi mingguan/bulanan ataupun jurnal ilmiah mahasiswa ataupun jurnalisme kampus. Media tersebut menjadi outlet dari berbagai ketidakpuasan atau keluhan yang disuarakan secara khas sebagai komunitas akademik. Hal itu yang pada taraf substansi membedakan jurnalisme kampus dengan jurnalisme publik. Jika jurnalisme (tulisan) publik mencoba menggambarkan sesuatu dengan prinsip 5W1H maka jurnalisme (tulisan) kampus harus maju beberapa langkah dengan menerapkan tahap-tahap dan kerangka analitis terhadap suatu fakta (5W1H) sehingga menjadi terang-benderang pertautan berbagai peubahnya (variable) dalam peristiwa yang dielaborasi (bukan lagi sekadar bersifat informatif).

Berikut, kultur akademik komunitas kampus terbentuk melalui proses belajar yang panjang sehingga membentuk habitus akademik yang khas. Kultur akademik adalah sesuatu yang dibentuk secara prosesual (structured structures) yang pada gilirannya menjadi struktur yang membentuk (structuring structures) dalam konteks lembaga pendidikan. Itu tidak bisa muncul begitu saja. Habitus semacam itu harus dimulai dari aktivitas inti universitas, yaitu proses pembelajaran di kelas. Apakah proses pembelajaran di kelas (UKIM) sudah berlangsung dalam relasi-relasi yang saling melengkapi? Ataukah masih berlangsung dalam pola relasi “menguasai” (dosen/patron) dan “dikuasai” (mahasiswa/klien)? Tentu diperlukan evaluasi bersama secara fair. Namun, jika pola pembelajaran di kelas [masih] berlangsung dengan relasi patron-klien maka dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran hanya menjadi arena dominasi patron terhadap klien dengan asumsi patron (dosen) lebih berkuasa karena “lebih tahu” (indikator: gelar) daripada klien (mahasiswa) yang dianggap “kurang tahu” (indikator: masih mahasiswa dan belum bergelar akademik). Maka habitus yang terbentuk – menurut Bourdieu – hanya berdasarkan doxa semata di mana patron mengekspresikan kekuasan dominan untuk merepresi keingintahuan klien pada level pencarian pengetahuan.

Kebebasan akademik atau mimbar akademik sebenarnya merupakan arena di mana dominasi epistemik dalam lingkungan kampus dilawan (resistance) dan dihadapi secara kritis (deconstruction). Artinya, diskursus keilmuan harus dihadapi dengan diskursus keilmuan dengan bersandar pada telaah fakta,formulasi data, dan analisis sehingga setiap isu dihadapi sebagai materi untuk memunculkan diskursus, dan bukan sekadar isu/gosip yang simpang-siur sumber dan tendensinya. Di sini persoalan kita sebagai komunitas kampus adalah menyediakan outlet diskursif dan membangun karakter keilmuan yang dialektis antara subjektivitas dan objektivitas. Objektivitas murni hanyalah mitos karena tidak seorang pun yang bisa melakukannya. Subjektivitas murni pun hanyalah malapetaka karena dapat menjadi sumber perebutan kebenaran [yang belum tentu benar karena apa yang benar itu hanyalah sepenggal penglihatan subjektif]. Keduanya harus ditempatkan secara dialektis, saling mempengaruhi secara kritis.

Jadi, ketika mahasiswa berdemo di “rumah sendiri” maka perhatian perlu ditujukan secara fair pada berbagai pemicunya dalam konteks universitas itu sendiri (internal) dan juga konteks sosial-politik yang memproduksi regulasi pendidikan tinggi (eksternal). Jika demonstrasi terpahami sebagai akumulasi ketidakpuasan mahasiswa (kolektif) maka kita juga harus mengoreksi apakah mekanisme manajemen berkampus kita telah menyediakan saluran atau wadah yang memadai bagi penampungan aspirasi mahasiswa dan terjadinya komunikasi akademik komunitas kampus? Jawaban kita terhadapnya pun bergantung pada sejauh mana komitmen akademik komunitas kampus mengerahkan energi dan mengarahkan misinya untuk beralih dari paradigma teaching university menjadi research university.

Begitu dulu.
Read more ...

Thursday, April 4, 2013

Dialog Warung Burjo

Peristiwanya terjadi beberapa minggu silam. Pulang membeli sebuah buku (Gerry van Klinken, Perang Kota  Kecil, Penerbit KITLV Jakarta), saya mampir ke warung burjo (bubur-kacang-ijo) langganan di belakang kampus. Hari itu warung burjo cukup ramai pengunjung, yang sebagian besar mahasiswa. Sambil menunggu pesanan nasi telor (nastel), saya membolak-balik halaman buku untuk sepintas melihat isi dan butir-butir pembahasan tertentu.

Sementara asyik membaca, tiba-tiba seorang pemuda menimbrungi keasyikan saya: "Buku baru ya pak?" Saya pun menimpali: "Iya, baru beli tadi." Saya pikir hanya percakapan basa-basi. Ternyata tidak. Ia masih lanjut bertanya setelah sekilas saya tunjukkan judulnya, "Wah, buku bagus dan berat. Pasti ini bacaannya mahasiswa S2 atau S3." Saya hanya menanggapi dengan tersenyum.

Antrean yang panjang membuat si pemuda merasa bosan menunggu dan ia pun duduk semeja tepat di depan saya. Saling bertanya dan menjawab kemudian mengalir begitu saja. Saya pun memutuskan untuk menutup buku dan meladeni percakapan dengannya. Setelah ia berhasil memesan makanan dan saya juga mulai menyantap nastel saya, percakapan kami mulai melebar dan meluas. Mulai dari isi buku, yang berisi analisis Van Klinken tentang konflik massif di tiga wilayah di Indonesia (Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat), hingga ke isu-isu kontemporer tentang dialog antaragama dan sejumlah regulasi "aneh" yang - menurut teman ini - benar-benar telah menciderai relasi-relasi kemanusiaan di Indonesia.

Percakapan berlangsung cukup lama tanpa kami saling memperkenalkan nama masing-masing. Baru kemudian kami tersadar dan kemudian saling memperkenalkan nama, serta aktivitas keseharian. SH mengatakan bahwa ia sedang studi magister hukum sambil bekerja pada salah satu kantor pengacara di Jogja.

Makin lama percakapan kami kian serius sampai ke pokok-pokok ajaran agama: Islam dan Kristen. Dialog ini berlangsung santun dan cerdas. Kami saling menyadari - meskipun tidak mengungkapkan langsung - bahwa dialog kami di warung burjo ini sedang merepresentasikan dua pandangan keagamaan yang berbeda. Kami saling menjaga keberjarakan kritis tetapi tetap melanjutkan dialog secara terbuka. Makanan kami sudah habis dan pengunjung warung burjo pun menyusut. Tetapi kami masih melanjutkan dialog sambil memesan minuman untuk makin menghangatkan percakapan.

Sebenarnya "materi" dialog masih panjang. Tetapi berhubung esok pagi kami masih punya aktivitas masing-masing maka kami pun sepakat mengakhirinya saat itu, sambil bertukar nomor handphone untuk melanjutkannya lain waktu. Di akhir perpisahan, kami saling mengucapkan terima kasih atas dialog yang kritis, segar dan terbuka selama hampir 3 jam di warung burjo.

Sesampai di kamar kos, saya mencoba merefleksikan perjumpaan dan dialog dengan SH tadi. Sama sekali tak menyangka bahwa di warung burjo - jauh dari kesan "wah" dan elitis - kami yang awalnya tidak saling kenal ternyata dapat menjalin percakapan "berat" dan "sensitif" hingga tiba pada taraf pencerahan bersama: kemanusiaan - apapun corak identitasnya (agama, etnisitas, dll) - hanyalah dapat terbangun melalui tindakan komunikatif yang tulus, terbuka, dan cerdas. Tulus, karena dialog dibangun bukan untuk kepentingan sepihak; terbuka, karena dialog hanya bisa terjadi ketika setiap pihak tidak terkungkung dalam cangkang primordialismenya sendiri; cerdas, dialog antariman bukanlah dialog surgawi/nerakawi melainkan dialog yang bersumber dari keprihatinan kemanusiaan. Untuk itu memang dibutuhkan nalar untuk menelusuri kekayaan dimensionalnya (sejarah, fakta sosial, etika, kebudayaan, politik, dll).
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces