Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, January 10, 2018

WH


Tahun 2010, ketika menangani program live-in mahasiswa di beberapa jemaat di Klasis Telutih (Seram Timur), beta bertemu Pdt William Hehakaya (WH). Saat itu, dia melayani Jemaat Piliana, satu-satunya jemaat di wilayah pegunungan Seram Timur. Dari Kota Kecamatan Telutih ke Piliana, orang harus naik ojek sampai di pertengahan jembatan (setengah jadi) yang akan melintasi Sungai Kawanua. Karena jembatannya belum rampung, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menyeberang sungai besar tersebut. Sampai di seberang sudah menunggu beberapa pengemudi ojek lain untuk mengantar sampai ke Negeri Saunulu dan Negeri Yaputi.
Dari Yaputi, perjalanan harus ditempuh sejauh 9 km dengan berjalan kaki melewati jalan panjang setapak melintasi hutan dan sekitar tiga sungai kecil untuk sampai di dataran tinggi Piliana. Piliana adalah negeri (desa) kecil. Tidak ada jaringan listrik dan air bersih. Hampir separuh jumlah penduduknya waktu itu menderita penyakit lepra (kusta) dan penyakit kulit kronis. Bertahun-tahun mereka tidak mendapat layanan kesehatan yang memadai. Apalagi selama masa-masa sulit konflik sosial yang melanda seantero kepulauan Maluku beberapa tahun silam. Pendekatan pelayanan WH unik. Dia membangun komunikasi budaya dengan beberapa komunitas pela-nya (diaspora) dari Negeri Seith, yang tersebar di beberapa negeri di Seram Timur. WH dari Negeri Ouw (Saparua). Komunikasi budaya pela tersebut mampu menjadi salah satu modal budaya untuk menjaga penggalan-penggalan upaya merajut perdamaian di wilayah itu, termasuk menjaga Piliana dari dampak konflik.
Dia juga menggunakan pendekatan budaya dalam pembangunan jemaat Piliana. WH tak segan menari cakalele mengikuti ajakan para tetua adat Piliana. Atau, menikmati kunyahan sirih-pinang dalam pertemuan-pertemuan adat Piliana. Bahkan dia akhirnya diangkat sebagai kapitan dengan gelar adat Pulau Seram: Latu Kayahu Ula'ay (Raja Gunung 9). Itulah yang membuatnya disegani oleh semua orang di wilayah Telutih. Bapa Ari, salah seorang tetua adat Piliana, mengatakan kepada beta, "Ontua ini su jadi katong pung kapitan besar Piliana."
Dalam percakapan dengannya selama beberapa hari di Piliana, WH menyatakan sedang intens mengupayakan pembangunan satu kompleks pemukiman khusus untuk para penderita lepra di Piliana. Dia mengatakan bahwa upaya "mengisolasi" penderita lepra tersebut perlu dilakukan pertama-tama untuk memudahkan penanganan pengobatan selanjutnya.
Selain itu, WH juga memotivasi para pemuda Piliana untuk membersihkan lokasi sekitar Air Ninivala dan membangun sejumlah fasilitas ala tempat wisata. Sebagian pemuda sempat menertawakan ajakan WH. "Air Ninivala memang indah dan sejuk. Tapi siapa yang mau berwisata ke Piliana? Tidak ada jalan mobil ke desa ini." Mungkin demikian pikir mereka geli. Tapi bukan WH kalau hanya patah-asa dengan kondisi itu.
Hampir 10 tahun WH berjuang dengan berbagai cara untuk menggolkan rencana merintis jalan baru yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Jalur yang memungkinkan bukan lagi dari Negeri Yaputi, tapi dari Negeri Hatu. Setelah mempelajari rute setapak melintasi hutan antara Hatu-Piliana (mungkin ratusan kali), WH pun yakin bahwa jalur ini layak dirintis sebagai jalur jalan baru. Dia berkoordinasi dengan instansi Pekerjaan Umum dan terus-menerus membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang dianggapnya bisa membantu merealisasikan rencana "gila" itu. Bahkan sekelas bupati pun tak terbersit gagasan untuk membangun jalan itu. Tapi WH membuktikan itu bisa terjadi.
Beta lupa kapan tepatnya. Tapi WH sempat memajang foto-foto jalan rintisan tersebut. Kini jalur Hatu-Piliana ramai dilewati para pelancong domestik yang ingin menikmati keindahan dan kesejukan Air Ninivala. Sesuatu yang dulu nyaris tak terbayangkan. Setelah itu, lama beta tidak mendengar kabar WH. Yang beta tahu WH sempat melayani sebagai pendeta lembaga pemasyarakatan (lapas) di Saumlaki (Tanimbar Selatan).
Selama beberapa tahun terakhir, beta dengar kabar bahwa WH kini melayani di Jemaat Hukuanakota (Seram Barat). Ini juga salah satu jemaat di pegunungan Pulau Seram. Belum ada jalan yang layak dilintasi untuk menuju ke sana. Kalau musim panas, WH biasa menggunakan jip pick-up Taft "off-road" miliknya untuk pergi-pulang ke Hukuanakota, terutama membawa bahan-bahan bangunan atau obat-obatan untuk jemaat. Kalau musim hujan, jalan itu berlumpur parah dan hanya bisa dilintasi dengan menggunakan sepeda motor.
Ada beberapa tulisan yang sudah beta buat sebagai refleksi terhadap geliat kegigihan WH, yang beta muat di weblog pribadi. Secara pribadi, beta harus bilang WH adalah "anomali" dalam samudra pencitraan hipokrisi kaum agamawan zaman now. Berperawakan besar dan bertato, rambut panjang dan berjambang. Jauh dari kesan "alim" atau "sok saleh" serba artifisial. Humoris dan tidak jaim. Justru itulah yang membuat beta kagum karena WH tampil apa adanya.
Kali ini beta sangat senang karena geliat kegigihan WH termuat dalam liputan "Sosok" harian KOMPAS oleh bung Pati Herin. Liputan ini bagi beta bukan semata-mata untuk menonjolkan figur-figur tangguh seperti WH tapi lebih luas memperlihatkan realitas keterpurukan hidup masyarakat Maluku yang sering ditenggelamkan oleh jargon-jargon besar tapi kosong, terutama oleh para elite pejabat di kawasan ini. Liputan ini juga menjadi titik evaluasi agar hingar-bingar pilkada Maluku tidak membutakan mata-nurani kita untuk merasakan ketimpangan-ketimpangan sosial dan ketidakadilan pembangunan dalam kenyataan lautan kemiskinan yang akut.
Salut par ale Hehakaya Kayahu!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces