Aku menulis maka aku belajar

Monday, July 31, 2017

Walang Pekabaran Injil

Undangan dari Ketua Klasis Pulau Ambon Utara dan Ketua Majelis Jemaat Rumahtiga untuk berbagi dalam forum diskusi jemaat Walang PI (29/07), beta terima dengan "antusias" dan "malu hati". "Antusias" karena forum diskusi ini sudah berumur lama dengan melibatkan para pendeta, majelis jemaat dan warga jemaat. Jadi sifatnya terbuka dan informal tapi serius. Untuk itu materinya perlu disiapkan dengan baik sesuai tema yang disodorkan. "Malu hati" karena semestinya forum-forum diskusi semacam ini lebih hidup dan dinamis dalam lingkungan akademis seperti kampus. Kenyataannya, menggelar diskusi informal tapi serius dan konsisten di kampus ternyata sulit sekali. Ini impresi sementara beta. Jadi anggaplah lebih bernuansa subjektif.

Diskusi berjalan seru dan menggairahkan kendati ditemani guyuran hujan lebat. Itu pula yang justru "memberi angin" bagi kami untuk melanjutkan obrolan hingga sempat membuat moderator, Dr. Agus Kastanya, agak kewalahan membatasi percakapan yang terus mengalir seiring derasnya hujan di luar.

Beta cukup puas dengan dinamika diskusinya. Setidaknya dari situ beta menimba banyak wawasan berharga, terutama dari peserta yang bukan pendeta, mengenai isu utama diskusi. Oh ya, Walang PI kali ini kami membahas tentang "Misiologi Masyarakat Urban: Tantang-Jawab GPM". Dengan isu atau tema itu, perhatian lebih dipusatkan pada memahami realitas pembangunan jemaat dalam konteks masyarakat urban di Kota Ambon dengan seluruh dampak derivatifnya pada berbagai bidang. Pada titik-titik tertentu beberapa isu telah digarap dalam proses penyusunan renstra jemaat. Namun, pada titik-titik lain ada sejumlah dinamika konteks yang membutuhkan penanganan "darurat" yang mesti ditindaklanjuti secara taktis dan kreatif dalam sinergitas jemaat-jemaat dan klasis.

Hal menarik lain yang menantang adalah pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh peserta (yang didominasi warga jemaat GPM Rumahtiga) sangat kuat mengindikasikan perlunya pendekatan pelayanan yang komprehensif dan humanis. Maksudnya, menurut mereka, persoalan-persoalan tertentu tidak bisa ditangani semata-mata dengan selalu merujuk pada legal-standing aturan gereja sebab membutuhkan fleksibilitas atau keluwesan dalam menanggapinya. Landasannya adalah perspektif dan praksis humanisme (kemanusiaan).

Ini tampak misalnya pada kasus ibu Mien Rahakbauw di Hatu yang menderita kurang gizi tanpa mampu berbuat apa-apa karena kondisi hidup yang sangat miskin. Pelayanan kepada ibu MR tidak sempat dilakukan karena ada tarik-menarik alasan bahwa ibu MR bukan anggota jemaat setempat. Atas laporan dari seorang pemuda yang juga pegiat media, Klasis Ambon Utara bersama beberapa KMJ mengambil langkah sigap untuk menangani masalah ibu MR sampai membawanya ke rumahsakit untuk mendapat penanganan medis yang memadai serta menjamin dukungan finansial kesehatannya.

Itu contoh kasus yang kemudian menggiring diskusi kami lebih dalam menyelisik makna, perspektif dan praksis misi kristiani GPM saat ini. Banyak isu-isu lanjutan yang pada akhirnya terbuka untuk dibincangkan bersama dalam forum diskusi berikutnya. Yang jelas, kegairahan peserta untuk bincang-bincang "sersan" semacam ini penting terus dihidupkan untuk menangkap kegelisahan bersama yang pada gilirannya dapat mewujud dalam aksi-aksi kemanusiaan bersama.

Salut untuk Walang PI Jemaat Rumahtiga.

*Terima kasih untuk putriku, Kailani (3 thn), yang telah menemani selama diskusi sebagai peserta termuda dan menyimak dengan tekun*
Read more ...

Friday, July 21, 2017

UKIM: Kampus Tanpa "Jantung"

Satu semester sudah berlalu. Ada banyak pengalaman menarik dalam proses belajar bersama mahasiswa setelah 5 tahun vakum mengajar karena tugas studi. Dalam proses belajar-mengajar satu semester beta juga belajar bahwa banyak perubahan yang terjadi dibandingkan 2009-2010 saat belum pergi studi.

Hal yang paling menarik sekaligus menggelisahkan adalah perubahan besar karakter akademik mahasiswa yang indikator paling jelas bisa dilihat dari kemampuan menalar dan mendialogkan nalarnya dengan sejumlah referensi (literatur). Beta melihat setidaknya dua faktor penyebab:

[1] Gempuran gaya hidup berandroid jelas telah mengikis nyaris habis kemampuan mahasiswa (juga dosen?) untuk tahan bertekun melahap buku-buku referensi dari setiap matakuliah. Ini terlihat dari kegagapan mahasiswa dalam menanggapi suatu isu (bahkan yang paling populer sekalipun) dengan suatu alur nalar yang mumpuni sesuai dengan status yang disandangnya: mahasiswa. Pada setiap jam-jam kosong transisi antar-matakuliah, pemandangan lazim adalah mahasiswa yang bergerombol duduk di area parkiran, atau di tangga-tangga menuju lantai 2-3 gedung fakultas teologi. Yang dilakukan,sejauh beta amati, adalah ngobrol (tukel), mengotak-atik laptop (tidak jelas apa yang dikerjakan dengan laptop itu) dan yang paling banyak adalah "merenungi" androidnya masing-masing sambil sesekali senyum-senyum sendiri. Tidak ada yang tampak membaca buku.

[2] Makin luruhnya tradisi akademik yang dalam dunia kampus ditandai oleh tingginya kekerapan (frekuensi) diskusi-diskusi ilmiah, baik yang dikelola oleh kelompok-kelompok mahasiswa maupun oleh dosen-mahasiswa. Bahkan undangan diskusi di luar kampus pun tak ditanggapi serius. Dampak yang paling kentara dari fakta tersebut adalah lemahnya kemampuan mahasiswa dalam mengartikulasi gagasannya di kelas, termasuk dalam merumuskan pertanyaan dan menangkap ide-ide utama yang bisa diolah sebagai argumentasi dalam menanggapi suatu isu. Penggunaan bahasa (Indonesia) yang blepotan baik secara lisan maupun tulisan, serta miskin kosa-kata, memperlihatkan secara gamblang bahwa aktivitas olah-nalar tidak berjalan seimbang antara mencerap (membaca) dan menceritakan (artikulasi/argumentasi).

Keadaan itu tidak bisa sepenuhnya ditimpakan sebagai kesalahan mahasiswa. Ada hal prinsipil yang turut menyumbang sebagai faktor penyebab memburuknya situasi itu selama bertahun-tahun. Itu adalah KETIADAAN PERPUSTAKAAN DALAM KOMPLEKS KAMPUS UKIM. Sering beta sulit mencerna secara akal sehat mengapa para petinggi kampus tidak melihat hal ini sebagai situasi gawat-darurat (emergency) bagi nafas hidup dan detak jantung aktivitas akademik di kampus. Padahal dimana-mana kita selalu mendengar slogan "Perpustakaan adalah Jantung Universitas".

Kekuatan utama universitas-universitas besar di dunia adalah "jantung yang kuat dan sehat" alias perpustakaan yang hebat. Kehebatan perpustakaan bukan pada kemegahan gedungnya melainkan pada "tali poro" atau isi koleksi literatur yang dimilikinya. Itulah yang menjadi magnet utama mengapa orang memilih studi di suatu kampus.

Ketika tahun 2015 beta menjalani program sebagai "visiting scholar" di Cornell University, New York, Amerika Serikat, rekomendasi yang diberikan oleh promotor dan co-promotor adalah karena Cornell mempunyai perpustakaan terbaik dunia terutama untuk studi Asia Tenggara dan Indonesia (bersaing dengan Universitas Leiden di Belanda dan Australia National University). Perpustakaan Olin-Kroch, salah satu gedung dari 5 gedung perpustakaan utama di Cornell, adalah gedung berlantai 5 yang memuat khusus koleksi Kajian Asia Tenggara dan Indonesia. Lantai dasar berisi naskah-naskah klasik dan arsip. Lantai 1-5 memuat berjubel literatur tentang Indonesia, yang bahkan tidak lagi bisa ditemukan di Indonesia. Tapi itulah yang membuatnya tetap "kuat" dan "unik" karena memiliki "jantung yang sehat". Selain tentu saja tersedianya ruang-ruang diskusi di perpustakaan.

Kenyataan itu menyadarkan beta bahwa persoalan terbesar dan utama membangun tradisi akademik di UKIM, pertama-tama adalah dengan memperkuat "jantung" (perpustakaan) dan menjadikannya sebagai bagian vital dan sentral dalam aktivitas akademik keseharian. Tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau gedung perpustakaan jauh "ilang-ilang" di Kusu-kusu Sere sana? Beta saja sebagai dosen sejak awal semester sampai akhir semester ini "malas" ke sana meskipun punya kendaraan sendiri. Apalagi yang harus naik angkutan umum. Waktu menunggu angkot lebih lama daripada waktu membaca di perpustakaan Kuser.

Bagaimana mengharapkan mahasiswa membaca dan berdiskusi (tentang isu atau bahas buku) jika kondisi "jantung" dipisahkan dari "tubuh utama"? Bagaimana pula dosen mau merekomendasikan buku referensi (apalagi yang berbahasa Inggris minimal)? Sedangkan untuk yang berbahasa Indonesia saja dosen harus "memaksa" mahasiswa (karena dosen enggan meminjamkannya untuk difotokopi oleh mahasiswa) untuk membeli buku dan mahasiswa memelas agar tidak usah beli buku (dan lebih suka mengisi paket data)? Maka yang termudah adalah menggantungkan harapan pada "tete gugel" untuk mencari informasi dalam rangka membuat makalah tugas. Tak heran, semua makalah mahasiswa, bahkan skripsi dan tesis, penuh dengan catatan-kaki yang diambil dari internet begitu saja dan mengalami "busung lapar" literatur buku-buku teks.

Tahun 1847, untuk menanggapi karya M. Proudhon "Philosophy of Poverty", Karl Marx menulis sebuah risalah bertajuk "The Poverty of Philosophy". Apakah situasi yang sedang dijalani oleh UKIM, yang kehilangan detak jantungnya, saat ini juga sedang mengarah pada "the poverty of philosophy"?

Walahuallam

Read more ...

Ambon Banjir

Setiap kali hujan lebat mengguyur Ambon, foto-foto dan klip-klip video dampak banjir di berbagai wilayah Pulau Ambon pun berseliweran di medsos. Sekadar info bencana atau protes terhadap situasi, termasuk terhadap mereka yang punya kewenangan/kuasa/aparatur untuk mengubah situasi itu, kita tidak tahu pasti.

Ada banyak problem di balik "banjir" dan "tanah longsor", yang sudah jadi wajah suram kebanyakan masyarakat urban di Indonesia (termasuk Kota Ambon). Salah satu yang penting untuk ditanyakan adalah: Apakah ada yang tahu, bagaimana visi-misi pembangunan dan eksekusi program cepat-tanggap bencana, terutama mengenai tata ruang kota dan penanganan banjir, dari pemkot Ambon dan para cagub dan cawagub Maluku?

Setidaknya, jangan hanya spanduk dan banner saja yang "bak jamur di musim hujan" tapi saat hujan seperti sekarang ini malah tidak ada "jamur"-nya (baca: JAMinan URgensi). Setiap kepemimpinan publik harus memiliki sensitivitas untuk menetapkan jaminan urgensi (jamur) sebagai basis kebijakannya setelah melakukan pemetaan masalah dari rakyat/warga yang akan dilayaninya.

Hal itu juga menegaskan bahwa yang sudah terpilih memimpin kota ini dan yang akan maju berkompetisi di Pilkada Gubernur nanti bertanggung jawab memenuhi cita-cita yang dikampanyekan sekaligus membuka jalur-jalur aspirasi bagi persoalan-persoalan publik melalui visi-misi dan program-program pembangunan yang terukur dan realistis.

Kembali ke "banjir". Masih ada yang ingat apa solusi programatik pemkot? Dan apakah ada yang tahu dan bisa berbagi info apa saja yang "dijanjikan" para cagub/cawagub?

Atau kita puaskan diri saja "dibanjiri" janji-janji pembangunan pada "musim kampanye" dan siap siaga mengungsi setiap kebanjiran air di musim hujan?

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces