Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, April 30, 2019

Telusur Jejak Masyarakat Hukum Adat dan Pembangunan: Warisan Ronald Z. Titahelu

Tahun 1997 saat menjadi mahasiswa angkatan pertama dari Program Pascasarjana Teologi UKIM, matakuliah "Masyarakat Hukum Adat Kepulauan" menjadi salah satu yang paling beta minati. Melalui diskusi dan bahan bacaan yang disodorkan waktu itu, banyak sekali isu-isu yang selama ini tersembunyi di balik permukaan menjadi bahan kajian yang menantang. Tugas-tugas makalah yang diberikan oleh dosennya juga lebih banyak berupa pengamatan lapangan terhadap kasus-kasus marjinalisasi masyarakat hukum adat -- demikian istilah yang digunakan -- di berbagai wilayah baik di kepulauan Indonesia maupun yang lainnya di luar Indonesia akibat aktivitas pembangunan oleh pemerintah/negara. Sering juga, sebagai mahasiswa, kami diundang untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi yang beliau tangani berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pembangunan oleh pemerintah yang pada kenyataannya mengabaikan eksistensi masyarakat hukum adat, serta hak-hak hidup di atas wilayah ulayat mereka.

Bersama dengan Prof. Jop Ajawaila (alm.), yang mengampu matakuliah "Antropologi Masyarakat Pesisir", kami dilibatkan dalam kerja-kerja penelitian untuk mendesain model-model analisis dan pemetaan isu sosial-budaya dari apa yang disebut "masyarakat pesisir". Suatu istilah yang pada akhir tahun 1990an masih belum dikenal luas karena paradigma kajian ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi, masih berporos pada hampiran ilmiah berbasis pendekatan kontinental. Maka meskipun Program Pascasarjana Teologi UKIM masih tergolong belia dibandingkan yang lain seperti STT Jakarta, UKSW atau UKDW, tapi pendampingan kedua guru besar Universitas Pattimura ini telah mampu membidani suatu pendekatan ilmiah terhadap dinamika dan isu-isu problematik dari masyarakat pesisir atau masyarakat kepulauan yang menjadi ciri khas program pascasarjana ini. Sampai sekarang, Program Pascasarjana Teologi UKIM konsisten dengan konteks kajian masyarakat pesisir atau kepulauan sebagai kritik terhadap cara pandang pembangunan yang sangat berorientasi kontinental.

Konflik sosial 1999-2004 mengandaskan keinginan untuk memilih beliau sebagai pembimbing tesis karena situasi yang mendesak beliau "mengungsi" ke luar Maluku. Draft proposal penelitian awal sempat dibahas bersama Prof. J. Ajawaila meskipun tidak lancar karena eskalasi konflik yang kian tinggi. Rencana penelitian di Pulau Buru pun batal meskipun sudah sempat melakukan observasi awal lokasi penelitian di sana. Atas saran Prof. Ajawaila, lokasi penelitian dipindah ke Pulau Ambon. "Konflik tidak boleh mematikan pendidikan di Maluku", demikian tandas Prof. John Titaley yang waktu itu masih menjadi Direktur Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW dan Ketua PERSETIA. Prinsip itulah yang membuat beta dan beberapa teman seangkatan mendapat kesempatan dan bantuan untuk menyelesaikan penulisan tesis di UKSW.

Sejak itu, lama sekali beta tidak mendengar kabar beliau. Baru tahun lalu (2018) akhirnya bertemu dalam satu forum FGD yang digelar oleh beberapa anggota MPR RI di Ambon. Meski sudah uzur dan tertatih-tatih berjalan dengan tongkatnya, pikirannya masih jernih terartikulasi melalui ulasan-ulasannya yang tetap tajam. Kami sempat berbincang tapi beliau sudah lupa siapa beta. Pertemuan kedua dan terakhir terjadi awal bulan April 2019 saat beta memoderasi panel diskusi mengenai hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Pattimura. Beliau menjadi salah seorang pembicara. Masih sangat bersemangat. Bahkan pada saat acara usai, beliau masih mengajak berdiskusi bersama Jusnick Anamofa dan Leo Sahuburua tentang penelitian dampak penambangan di Gunung Botak Pulau Buru yang sedang mereka lakukan.

Itulah pertemuan terakhir dengan Prof. Ronald Z. Titahelu, M.S., yang tetap memberi kesan mengenai konsistensi geliat akademik dan komitmen advokasi terhadap eksistensi masyarakat hukum adat yang selalu menjadi rujukan keberpihakannya sebagai akademisi ilmu hukum (perdata). Hingga tadi malam mendengar kabar bahwa beliau telah mengakhiri peziarahan panjangnya dengan tenang.

Terima kasih Prof. Ronny Titahelu!
Read more ...

Monday, April 29, 2019

Sunday, April 21, 2019

The Year Without Summer

10 April 1815, Gunung Tambora meledak dengan menyemburkan 160.000 km2 material vulkanik dengan kandungan sulfur, asap debu dan aerosol hingga mencapai ketinggian 43 m dari kaldera. Erupsi Tambora meluluhlantakkan hutan, kebun dan desa-desa di sekitar lerengnya. Muntahan magma dan awan panasnya melesat dengan kecepatan 700 km/jam membunuh sekitar 70.000 orang dan menghancurkan tiga kerajaan di Sumbawa: Sanggar, Pekat dan Tambora. Guncangan bumi akibat gelegar Tambora menyebabkan gelombang laut tsunami mencapai Flores, Bali, Sulawesi dan Maluku. Magma yang mengalir hingga ke pesisir membentuk dinding batu setinggi 10 m.

Yang lebih dahsyat dari ledakan Tambora 1815 adalah hembusan angin membawa debu vulkanik menutupi hampir separuh bumi. Debu vulkanik bahkan menembus lapisan stratosfer (lapisan kedua setelah troposfer) sehingga menghalangi sinar matahari sampai ke permukaan bumi dan menimbulkan anomali cuaca terutama pada kawasan-kawasan Eropa dan Amerika Utara. Bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus 1816 yang seharusnya adalah musim panas (summer) tapi karena anomali cuaca kemudian suhu menjadi sangat ekstrem dingin karena merosot hingga 10 derajat Celcius dari suhu normal, disertai hujan es dan badai salju. Kondisi itu menyebabkan gagal panen besar-besaran dan kelaparan yang parah di Eropa dan Amerika. Suatu bencana yang kemudian dikenal sebagai “the year without summer” (tahun tanpa musim panas) atau “poverty year” (tahun kelaparan). Ratusan ribu orang dan binatang mati. Di Amerika, ribuan keluarga mengungsi dari utara dan “west-coast” ke bagian tengah barat (midwest). Ladang-ladang pertanian pun membeku.

Namun, kisah derita dan kemuraman musim panas yang dingin itu ternyata membangkitkan inspirasi pada beberapa orang untuk menciptakan karya-karya fenomenal yang tak pupus hingga kini. Bahkan menjadi penanda lahirnya kebudayaan dan agama yang baru dalam sejarah kemanusiaan.

Mary Shelley menciptakan novel horor “Frankestein” di Swiss. Di Jerman, Karl von Drais menciptakan moda transportasi menggunakan 2 roda karena kuda-kuda banyak yang mati selama musim panas yang dingin itu. Teknologi moda transportasi yang menjadi cikal-bakal sepeda ini tetap digunakan orang hingga saat ini. Di Amerika, seorang pemuda bernama Joseph Smith, yang mengikuti keluarganya bermigrasi ke “midwest” kemudian membuat aliran baru dalam Kristianitas yang kemudian dikenal sebagai The Church of Jesus Christ of the Latter-Day Saints atau Mormonisme. Kemuraman yang dingin dari “the year without summer 1816” mendorong dirinya melahirkan visi akhir zaman yang tertuang melalui tulisan-tulisan dalam Kitab Mormon.


Bencana alam menghubungkan berbagai kelompok manusia yang hidup di wilayah-wilayah bumi yang berbeda dalam keprihatinan bersama. Penderitaan dan kekalutan hidup yang diakibatkannya mempunyai risiko terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Namun, penderitaan dan kemuraman hidup tidak selalu membawa pada kemurungan yang panjang. Di balik kisah derita dan bencana, selalu ada dorongan untuk melahirkan inspirasi-inspirasi kebudayaan dan spiritualitas baru dalam sejarah kemanusiaan. Pada setiap retakan, akan tampak cahaya yang menyusup sejauh imajinasi kita terbebaskan untuk menjelajah keluasan semesta. Demikianlah kebudayaan dan agama berkembang dalam kehidupan umat manusia.

Selamat Paskah!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces