Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, July 28, 2015

Arah Baru Eklesiologi Masa Kini [di Indonesia] – Coretan kecil dari luar Proklamasi 27

**Catatan ini merupakan tanggapan saya terhadap makalah Pdt Joas Adiprasetya yang disampaikan dalam acara Studi Institut PERSETIA. Setelah catatan saya, ada tanggapan balik dari Pdt Joas Adiprasetya.**

Pengantar – posisi duduk dan posisi berdiri
Terima kasih kepada rekan Pdt Joas Adiprasetya (selanjutnya: JA) yang telah bersedia membagi makalahnya pada Studi Institut PERSETIA yang berlangsung di STT Jakarta – Jalan Proklamasi 27 Jakarta. Makalah yang padat bergizi. Saya menikmati setiap “kunyahan” membacanya meski tidak semua “pas rasanya” di “lidah” sel-sel kelabu kepala saya (pinjam istilah Hercule Poirot, tokoh kunci novel misteri Agatha Christy). Justru di situ kenikmatannya: ketika rasa yang berbeda mendorong keingintahuan lebih lanjut. Dengan demikian, jelas bahwa coretan ini bukan sekadar keisengan untuk berdebat tetapi belajar.

Oleh karena saya bukan peserta (apalagi pembicara) resmi dalam acara tersebut maka dalam coretan kecil ini saya perlu mengisi absensi lain yang menerangkan “posisi duduk” dan “posisi berdiri” saya. “Posisi duduk” saya adalah keterlibatan saya dalam proses menggereja dengan latar konteks Gereja Protestan Maluku sebagai pendeta dan dosen pada kampus mungil di kota Ambon (yang juga mungil). “Posisi berdiri” saya adalah pilihan akademis yang membentuk cara pandang saya secara personal dan profesional: terbina sebagai mahasiswa teologi yang kemudian “tersesat” di rimba ilmu-ilmu sosial (antropologi dan metodologi penelitian sosial), dan sulit mencari jalan kembali kecuali dengan membuat roadmap sendiri, yang ternyata tidak sampai-sampai dan malah berputar-putar. Di situlah saya sulit “duduk” dan menerima kenyataan untuk mengambil “posisi berdiri”.

Coretan Satu
JA mengawali makalahnya dengan kesepakatan pada apa yang tercantum dalam ToR Studi Institut, yaitu bahwa “Studi eklesiologi [baru] menarik perhatian gereja-gereja 25 tahun belakangan ini.” Sayang sekali, tidak disebutkan apa saja indikator empiris sehingga ToR itu tiba pada asumsi atau hipotesis semacam itu. Tahun 1979, Lembaga Penelitian dan Studi DGI menerbitkan sebuah – menurut saya – magnum opus eklesiologi Indonesia yang merupakan buah pergulatan intelektual melalui penelitian panjang dari konteks keberadaan gereja-gereja yang bersepakat untuk ber-DGI (waktu itu belum PGI) bertajuk "Jerih dan Juang: laporan nasional survai menyeluruh gereja di Indonesia". Jika disebutkan bahwa perhatian terhadap studi eklesiologi baru berumur 25 tahun belakangan ini, tentu saja itu tidaklah tepat. Jika buku "Jerih dan Juang" terbit tahun 1979 maka perhatian terhadap realitas menggereja dari keberbagaian konteks Indonesia sudah berusia 36 tahun (belum terhitung tahun-tahun sebelumnya saat survai dirancang dan dilakukan hingga mewujud buku itu).

Pada titik itu, sejarah panjang kekristenan di Indonesia – sebagaimana tertuang dalam catatan survai setebal 731 halaman itu – seyogyanya menjadi reservoir penting untuk mengulas seberapa usang dan/atau baru percakapan mengenai eklesiologi Indonesia. Sebab dari situ saja sudah tergambar kompleksitas mendedah isu-isu eklesiologis yang berakar pada realitas “tanah” sosial-politik-ekonomi-budaya dari entitas Indonesia. Dari situ pula ulasan mengenai arah eklesiologi masa kini bisa ditarik mundur jauh ke belakang yang merentang dalam apa yang disebut sejarah panjang kekristenan hingga mengejawantah sebagai postur kekristenan Indonesia yang multibentuk dengan pilihan-pilihan fondasi eklesiologis yang sangat lokal dan hibrid. Lokalitas dan hibriditas yang saya maksud lebih terarah pada penubuhan gereja sebagai negosiasi kebudayaan, yang menjadi nexus “glokalisasi” teologi pada proses institusionalisasi jemaat-jemaat lokal, misalnya, di pulau-pulau Maluku.

Coretan Dua
Bagian akhir dari Coretan Satu di atas menjadi keingintahuan saya lebih lanjut mengenai indikator empiris dari frase “Troeltsch lantas mengeluhkan sikap umum di dalam komunitas teologi di Jerman, yang tampaknya mirip dengan Indonesia, yang memandang rendah kompromi.” Benarkah sikap umum komunitas teologi [yang mirip] di Indonesia adalah pencitraan dari rendahnya kompromi atau negosiasi? Jika menelisik sejarah kekristenan – dalam berbagai matranya – kita akan menemukan dengan terang benderang bahwa “kompromi” dan/atau “negosiasi” adalah strategi utama dalam mengakarkan Injil yang “bule” menjadi Injil yang “berkulit sawo matang, berambut keriting, berbahasa jelata, dan bau lumpur atau amis ikan”. Kyai Sadrach hanyalah satu nama di antara sederetan panjang nama inlanders yang berkompromi tingkat tinggi – pertama-tama dengan eksistensi lokalitas dirinya – hanya untuk menerima Injil yang “putih-bersih” dari negeri-negeri bersalju.

Eksplorasi gagasan para raksasa “teologi kontekstual” di dunia mereka di sono (apa masih relevan disebut Barat?) pada bagian kedua dan ketiga makalah JA sangat inspiratif dan mencerahkan dari segi penelusuran teks. Sayang sekali, lagi-lagi berdasarkan “posisi berdiri” saya, tidak ada eksplorasi gagasan indigenes dalam pergulatan panjang bereklesia di tanah-laut Indonesia. Padahal jelas-jelas JA menulis bahwa “kita perlu memahami konteks Tillich…” dan mencantumkan buku Nimi Wariboko, "Nigerian Pentecostalism" (2014) yang tentu saja hanya menjadi gagasan bernas dengan mempertimbangkan konteks partikular Nigeria. Artinya, persetubuhan dengan konteks menjadi penting, bukan? Sehingga darinya lahir benih-benih eklesiologi “baru”. Ibarat bayi yang selalu disebut “manusia baru” tetapi bayi itu sendiri bukanlah “hal” baru karena dimana-mana kita bisa menemukan bayi tapi eksistensi individualitasnya tidak pernah sama dengan yang lain. Mengapa? Karena ya itu tadi: persetubuhan yang mengalirkan matra-matra unik sebagai ciri keberbedaan setiap individu. Jika meminjam istilah genit Benedict Anderson dalam bukunya "Imagined Communities" maka seharusnya eklesiologi Indonesia mesti didedah sebagai proses vernakularisasi semua yang Latin, Jerman, Belanda, Inggris menjadi bahasa ndeso yang terpahami oleh semua pada setiap jenjang hidup keseharian. Contoh: gaya menggereja komunitas Kristen Maluku melahirkan satir “Belanda Hitam”; sebaliknya, panggilan "meneer" di Manado mengandung kenikmatan kolonial (setidaknya bagi saya ketika disapa demikian). Singkatnya, eklesiologi yang terungkap melalui pergulatan pemikiran, refleksi teologis dan praksis menggereja dalam konteks jamak lokalitas Indonesia seyogyanya terungkap sebagai lensa membaca Tillich dan yang lainnya. Pemilihan jalur metodologis yang berbeda, sekali lagi, sangat ditentukan oleh “posisi berdiri” saya yang kerap bergerak pada bingkai "participant observation" dan memilih "grounded research".

Coretan Tiga
Di tengah situasi makin menguatnya budaya kekerasan dan roh perpecahan di dalam gereja dan masyarakat (termasuk sekolah-sekolah teologi) Indonesia, saya sepakat bahwa tawaran eklesiologi persahabatan (philiarchy) perlu dipertimbangkan. Kendati demikian, itu tidak menjamin lebih pas untuk menggeser doularchy, yang menurut JA “…sebenarnya ditawarkan Yesus sekadar sebagai sebuah antidot atau counter-culture bagi hierarchy”. Berbagai konteks kebudayaan lokal di Indonesia sangat kuat menampilkan citra kekerabatan dan persaudaraan, sehingga dalam praksis kehidupan sehari-hari relasi-relasi sosial dan kekuasaan selalu terjaring dalam citra itu. Itu sebabnya – dalam kasus tertentu – seseorang tidak merasa malu melakukan kesalahan karena ia tidak merasa bahwa itu adalah tanggung jawabnya secara personal melainkan sebagai aksi jejaring kekerabatan. Malah kemudian menjadi oligarchy. Dalam ilmu-ilmu politik dikenal istilah “clientelisme” – relasi-relasi sosial dan kekuasaan yang mempertahankan pola patron-klien secara subtil yang tidak didasarkan pada hukum ekonomi untung-rugi tetapi pada matra pertukaran (exchange). Ini sangat kuat dalam masyarakat dengan tingkat kerekatan relasional yang ditentukan oleh gift (Marcel Mauss).

Bagaimanakah konteks semacam itu terdeteksi oleh lensa eklesiologi persahabatan? Saya tidak tahu. Maksud utama saya sebenarnya adalah menelisik konteks sebagai keprihatinan utama. Rupanya di situ saya tidak sepesimis dan sekritis JA “terhadap apa pun di dalam dunia teologi yang mendaku diri kontekstual”. Setidaknya saya masih lebih memilih mengikuti misi ketiga PERSETIA: “Mengembangkan pemikiran teologi yang kontekstual…” dan berharap kata “kontekstual” tidak dihapus hanya karena ketua STTJ 2011-2015 menganggapnya membosankan.

Apakah dengan membincang konteks, teologi lantas menjadi membosankan? Bukankah konotasi teologi itu sendiri adalah sebuah logos (wacana dan perbincangan) antara “teks” dan “konteks” sehingga menjadikannya tetap hidup dan bergairah? Bacaan saya yang sempit pada karya Stephen Bevans, "Models of Contextual Theology" tampaknya menggiring saya pada hipotesa yang berseberangan dengan JA. Apa yang “kontekstual” dalam aksi-refleksi [ber]teologi adalah buah-buah eksperimentasi yang terbuka untuk dikritik dan ditransformasi sehingga dengannya itu hanyalah “model” yang membantu membaca realitas yang rumit dan luas. Teologi hanyalah model dari proses beriman dan bukan “jawaban final”. Di situlah model-model Bevans ya sebaiknya tidak dipakai sebagai “tesis” melainkan “sintesis” yang lahir dari kreativitas memahami pertautan dialektis “teks” dan “konteks”. Bahkan dalam paradigma strukturalisme “konteks” pun terpahami melalui struktur “teks”; yang kemudian dilawan oleh pascastrukturalisme yang memberi bobot gravitasinya pada apresiasi terhadap pengalaman dan refleksi.

Bagi saya, memahami arah baru eklesiologi Indonesia masa kini adalah dengan membangkitkan kembali elan penelitian lapangan yang serius dan komprehensif sebagaimana hal itu telah dimulai oleh DGI tahun 1979. Saya tidak tahu apakah setelah “bersekutu” gereja-gereja dalam PGI sudah melakukan review terhadap hasil kajian "Jerih dan Juang"? Konteks menggereja dan menegara Indonesia terus berubah, bukankah itu tandanya bahwa eklesiologi Indonesia harus dimulai dengan penelitian dan kajian konteks agar melahirkan visi-misi eklesiologis bernas dalam bentuk “jerih dan juang” edisi abad ke-21? Pergulatan eklesiologis komunitas Kristen di berbagai wilayah Indonesia bukan soal yang membosankan tapi kepastian: dari isu relasi antaragama yang makin tergerus formalisasi ajaran agama, memperkuat kembali kontrak politik mengindonesia dengan tawaran teologi politik yang fundamental (bukan sekadar reaksioner), perdebatan regulasi nasional yang harus dilandaskan pada filosofi hukum kewarganegaraan yang mumpuni, pergulatan teologis-praktis tentang kerusakan lingkungan hidup (tanah, hutan, laut) yang menggiring pada realitas kemiskinan struktural akibat perselingkuhan penguasa-pengusaha, penyingkiran komunitas-komunitas lokal dari keintiman hidup dengan tanah, hutan dan laut, serta menciptakan kaum homeless yang berkelana di hutan/tanah yang dikapling perusahaan nasional/transnasional, kekerasan-kekerasan militer di wilayah-wilayah timur, terutama Papua, yang memposisikan gereja pada sikap yang radikal demi kemanusiaan, dan masih banyak lagi. Dari situlah saya condong menentukan titik berangkat memahami eklesiologi Indonesia masa kini.

Saya teringat kutipan menarik Desmond Tutu: "When the missionaries came to Africa they had the Bible and we had the land. They said "Let us pray." We closed our eyes. When we opened them, we had the Bible and they had the land." Jangan-jangan preokupasi pada teks dan tradisi [Kristen] makin mengasingkan kita dari hutan/tanah/laut dan pergulatan masyarakat kita sendiri, padahal di situlah rahim yang merajut proses [ber]teologi untuk kemudian siap dilahirkan. Saya yakin bahwa pembelajaran sejarah kekristenan dan konteks kekristenan di Indonesia tidak akan pernah menjadi pendakuan “kontekstual” yang membosankan. Kontekstologi eklesial atau eklesiologi kontekstual hanyalah penamaan model yang tidak bisa ditunggalkan berdasarkan satu realitas. Sebagaimana realitas mengindonesia adalah sesuatu yang kaya, rumit dan kompleks, maka demikianlah peziarahan kita memahami diri dalam relasi dengan liyan dan semesta hanya mewujud fragmen-fragmen identitas yang bergumul memahami untuk apa menggereja (eklesiologi) hic et nunc.

Sekali lagi terima kasih untuk bung Joas Adiprasetya.

Salam,
Steve Gaspersz

=========================================

RESPONS ATAS RESPONS STEVE GASPERSZ ATAS JOAS ADIPRASETYA

Saya sangat tersanjung dan bergembira membaca respons Sdr. Steve Gaspersz (selanjutnya SG) yang sangat saya hormati untuk pemikirannya yang tajam. Sayang saya baru mengetahuinya hari ini, menjelang saya harus berangkat cuti selama 3 minggu ke Bali, Purwokerto, dan Yogyakarta. Karena itu, saya ingin memberikan respons yang mungkin tidak panjang disebabkan karena waktu yang terbatas.

Respons atas Coretan Satu
SG benar dengan pengamatan mengenai sudah munculnya minat pada eklesiologi di Indonesia lebih dari 25 tahun. Saya tampaknya keliru dalam menafsir kalimat awal ToR tersebut dengan menambahi kata [baru] yang tampaknya mengubah arti. Namun, pada saat bersamaan, ToR itu ingin membatasi kalimat tersebut pada lingkup Persetia dan bukan di luarnya. Ini pun masih bisa diperdebatkan, dan biarlah Persetia sendiri yang menjelaskannya.

Respons atas Coretan Dua
Tampaknya soalnya ada pada makna semantik “kompromi” itu sendiri. Kata kuncinya adalah “sikap umum.” Dan ini penilaian yang sangat situated. Tidak ada seorang pun yang dapat mendaku mewakili Indonesia secara keseluruhan. Maka penilaian saya tersebut perlu juga dipahami sebagai pernyataan yang situated dan bukan general-objektif, artinya, saya memahaminya sebagai seorang GKI yang memang demikianlah hasil pengamatan saya.

Keluhan SG lain adalah bahwa “tidak ada eksplorasi gagasan indigenes dalam pergulatan panjang bereklesia di tanah-laut Indonesia.” Sayang penjelasan lisan saya di dalam sesi tersebut memang tidak terekam di dalam makalah saya, sebab di sana saya memberikan catatan yang saya garisbawahi bahwa saya memang memilih untuk tidak memberikan sebuah arah eklesiologi indigenes sama sekali. Sebab, demikian perkiraan saya, setelah sesi saya akan banyak sesi lain yang akan memusatkan perhatian pada isu itu. Berdasarkan pengalaman saya, konperensi semacam ini tiba-tiba saja akan menghadirkan perspektif yang melulu kontekstual-kultural-lokal dan melupakan saudara-saudari dari konteks lain di belahan dunia lain. Itu sebabnya dengan sangat sengaja saya memilih Troeltsch, Zizioulas, Tillich, dan Wariboko ... serta tak satu pun teologi Indonesia. Jadi, jika SG menantikan telaah indigenes, mustinya harus dibaca pada sesi-sesi lain, misalnya sesi Meri Kolimon yang secara sangat apik memaparkannya dari hasil penelitiannya.

Tetapi, dengan itu saya juga tidak ingin mengatakan bahwa saya sekadar mengimpor pemikiran keempat nama asing tersebut. Sebab saya membaca mereka sebagai seorang Indonesia, atau tepatnya, sebagai seorang Cina-Jawa-Kristen. Maka, ungkapan SG sebenarnya sekadar menerjemahkan apa yang ada di kepala saya: “Singkatnya, eklesiologi yang terungkap melalui pergulatan pemikiran, refleksi teologis dan praksis menggereja dalam konteks jamak lokalitas Indonesia seyogyanya terungkap sebagai lensa membaca Tillich dan yang lainnya.” Itu setepatnya yang saya kerjakan, sekalipun tidak eksplisit.

Respons atas Coretan Tiga
Sama seperti para peserta lain, SG memberi bobot lebih besar tampaknya pada soal filiarki yang menjadi usulan saya, padahal yang saya paparkan di sana sekadar sebuah contoh yang bersifat sketsa. Maksud saya menghadirkannya adalah untuk melakukan “testing the water” dari para partisipan. Dalam satu ceramah lain di forum berbeda, saya melakukan yang sama—testing the water—namun dengan fokus berbeda dan secara eksplisit saya memaparkan aspek gelap dari filiarki yang terselewengkan. Dan SG memaparkannya di sini, yaitu misalnya oligarki dan transaksionalisme kolektif. Keduanya saya jelaskan secara sangat eksplisit sebab konteks gereja suku tertentu yang menjadi audiens saat itu memang memaksa saya menjelaskannya.

Jadi, SG sangat benar soal itu, hanya saja palu yang SG hantamkan kepada bagian akhir tulisan saya tersebut tampaknya terlalu berat dan kurang secara proporsional melihat bagian tersebut sebagai sebuah contoh belaka. Namun, setidaknya, kritik SG makin mendukung kritik saya sendiri terhadap persahabatan oligarkis.

Berkenaan dengan kritik lain soal teologi kontekstua, saya pikir kita perlu mempercakapkannya secara terpisah, sebab kritik saya pada teologi kontekstual hanyalah sambil-lalu sembari mempersila partisipan untuk menengok artikel saya lainnya, “Towards an Asian Multitextual Theology.” Di sana saya paparkan secara cukup panjang-lebar kritik saya pada teologi kontekstual. Dengan penuh kegembiraan tentu saya menanti percakapan selanjutnya namun dengan saran agar paper di catatan kaki 7 tersebut didedah. Sayang jika tidak, sebab lantas saya menyimak komen-komen yang berseliweran tanpa bingkai yang jelas dan lebih banyak bersifat solilokui yang kemudian tampak tidak fair terhadap komen sepotong yang saya berikan. Tiba-tiba tampil di depan saya kesadaran baru bahwa para kontekstualis bisa berubah menjadi hard-textualists untuk mempertahankan mati-matian teologi kontekstual.

Sekalipun tidak eksplisit saya menangkap kegelisahan SG karena paper saya lantas tampak tidak menyajikan sebuah gagasan eklesiologi kontekstual sama sekali. Sore ini saya ke ruang sekretariat Studi Institut untuk membuktikan dugaan saya—dan ternyata benar—bahwa semua paper lain memang berbicara tentang eklesiologi kontekstual. Paper saya tampaknya satu-satunya yang tersingkir dari genderang eklesiologi kontekstual tersebut. Dan saya mensyukurinya. Dan SG tampaknya juga mengaminkan peminggiran tersebut dengan menandaskan kekuatirannya: “Jangan-jangan preokupasi pada teks dan tradisi [Kristen] makin mengasingkan kita dari hutan/tanah/laut dan pergulatan masyarakat kita sendiri.” Membaca ini pun justru membuat saya semakin bosan pada teologi kontekstual yang sangat berwarna-warni bicara soal konteks dan miskin-papa soal teks. Tanpa menyadari bahwa kon-TEKS itu sendiri sudah dibingkai oleh TEKS. Bahwa sebenarnya yang terjadi adalah sebuah proses negosiasi teks-teks majemuk yang tak mudah disimplifikasi sekadar menjadi teks DAN konteks. Tapi untuk itu, tampaknya perlu diskusi lain mengenai hal ini, sebab—sekali lagi—saya hanya mengigau sekalimat tentang hal itu.

Sekali lagi terima kasih untuk bung Steve Gaspersz.
Joas adiprasetya
Read more ...

INTIM

INTIM adalah akronim dari "Indonesia Timur". Istilah yang manis dengan realita yang miris mengiris. Sebagai bagian dari generasi yang lahir, dibesarkan dan dibentuk oleh sistem pendidikan semasa Orde Baru, "kemajuan" yang paling saya rasakan dan teramati langsung di wilayah ini adalah waktu/jam yang lebih "maju" 1 jam dari Indonesia Tengah dan 2 jam dari Indonesia Barat. Dengan "berkat" menerima siraman mentari pagi dan meredup di senja lebih cepat dibanding wilayah waktu lain.

"Akselerasi" pembangunan juga paling terasa dengan "percepatan" beroperasinya perusahaan-perusahaan logging dan tambang, serta kapal-kapal asing di wilayah perairan nelayan tradisional, yang berdampak pada "percepatan" pemangkasan hutan-hutan serta pengurasan isi laut yang luar biasa. Sarana transportasi antarpulau di INTIM juga "luar biasa": luar biasa susah, luar biasa mahal, luar biasa amburadul. Di Pulau Seram, ada puluhan jembatan rusak yang terbengkalai sehingga untuk menyeberang sungai-sungai besar di sana diperlukan perjuangan berat. Akses jalan yang "beradab" hanya dibuka dari/menuju lokasi perusahaan. Di Kepulauan Aru, transportasi antardesa hanya dilayani oleh perahu motor tempel atau "ketinting" dengan waktu tempuh rata-rata 8-12 jam dengan posisi duduk satu gaya tanpa ada "rest area". Belum lagi mesti menunggu berminggu-minggu jika musim ombak besar. Masih panjang catatan jika mau ditambah.

Itu baru soal Maluku. Belum lagi jika merambah makin ke timur, Papua Barat. Ada raksasa bisnis bernama Freeport yang beroperasi di dataran tinggi Mimika. Raksasa ini adalah salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia yang pernah mengeruk hasil 86 ton emas. Berdasarkan data Freeport-McMoran per akhir 2009, Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar bagi induk perusahaan tambang emas yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS, dengan "prestasi" membukukan pendapatan US$5,9 miliar, jauh melampaui perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan US$4,8 miliar.

Bayangkanlah dengan "prestasi" spektakuler itu, Papua Barat seharusnya berwajah molek setara atau bahkan melebihi negara-kota Singapura atau Brunei Darusalam. Sayang seribu sayang, itu hanya impian bolong tak peduli di siang atau malam hari.

INTIM oh INTIM... kau kian intim dengan kemiskinan dan ketidakadilan, dan melahirkan generasi-generasi frustrasi... Saat bicara tentang ini, sobat Papua yang saya kenal cuma berujar: "Kaka, dorang memang inti." Itu suda.
Read more ...

Tolikara

19 Januari 1999, tepat hari perayaan Idul Fitri, perkelahian antara 2 pemuda berbeda latar etnis dan agama tiba-tiba merembet dan membesar menjadi konflik sosial yang berlarut-larut dengan ribuan korban jiwa dan nasib pengungsi yang terkatung-katung selama bertahun-tahun.
17 Juli 2015, tepat pada hari perayaan Idul Fitri, segerombolan orang tiba-tiba datang membubarkan Sholat Ied - di halaman Koramil! - dan membakar fasilitas ibadah dan rumah-rumah penduduk di Tolikara.

Masih percaya ini hanya "kebetulan"? Belajarlah dari luka dan penderitaan kami rakyat Maluku tahun 1999-2005. Di negara ini tidak ada konflik yang "kebetulan" dan tidak diketahui oleh aparat sipil/militer negara. Birokrasi sipil/militer terstruktur kuat dan rapi dari "kepala" sampai "kaki", dari kepresidenan hingga administrasi desa. Mahasiswa mau demo saja sudah "ketahuan" agenda, rute dan penggeraknya; malah digebukin sampai belur berbabak-babak. Pengalaman membuktikan di negara ini, masyarakat sipil tak lebih "upil" yang tak akan keluar kalau tak dikorek-korek dan dipaksa keluar.

Sejak pecah "kerusuhan" Januari 1999, dengan segera pemerintah memfasilitasi pertemuan antara segelintir orang yang katanya wakil dua kelompok yang bertikai. Saling berpelukan dengan berlinang air mata lalu mengangkat sumpah untuk berdamai - disaksikan oleh pejabat sipil/militer daerah. Sungguh mengharukan! Tak berapa lama, karena "pertempuran" dua kelompok masih terus terjadi ditambah hasutan dari luar Maluku untuk berperang membela "kebenaran agamanya", Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan "Biarlah orang Maluku yang menyelesaikan masalahnya!" lantas memerintahkan Polisi dan Tentara menahan kelompok-kelompok dari luar Maluku yang bersemangat agamis masuk ke Maluku.

Hasilnya? Ah, anda pasti sudah tahu. Setelah perjanjian damai pada awal yang penuh linangan air mata, konflik kian membesar dan mengganas hingga beberapa tahun selanjutnya. Lalu perintah Presiden Abdurrahman Wahid? Hanya angin sepoi-sepoi yang menyejukkan tanpa sedikitpun diindahkan. Apa kurang hebatnya polisi dan tentara Indonesia untuk membendung masuknya kelompok-kelompok dari luar Maluku ini? Malah kalau dihitung-hitung nyaris semua kesatuan sudah di-BKO-kan di provinsi kepulauan ini.

Baru saja saya membaca berita ada juga acara "berpelukan" dan "menangis" sebagai wujud perjanjian damai di Karubaga, Tolikara. Sungguh mengharukan! Sebagai warga negara Indonesia, besar harapan saya perjanjian damai ini langgeng. Juga pernyataan seorang pemuka agama bahwa "orang di luar Tolikara sebaiknya diam". Ini sungguh ketegasan hebat yang mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid sebelumnya. Meskipun saya miris karena kalau ditilik dengan saksama, soalnya bukan semata-mata lokal. Bersamaan dengan itu pula saya membaca berita tentang kesiapan kelompok-kelompok tertentu untuk - lagi-lagi - "membela kebenaran" ala "superhero" dan berniat berangkat ke Tolikara.

Masih percaya ini suatu "kebetulan"? Dari lubuk hati paling dalam, saya hanya mampu berharap perdamaian terwujud di Indonesia. Bukan karena kita sudah lelah berkelahi dan berdarah-darah, tapi karena kita belajar dari pengalaman bahwa kita "rakyat sipil" hanya "pahlawan tanpa tanda jasa" yang dikenang melalui batu nisan alias korban (syukur-syukur masih diingat). Negara ini dibangun di atas kesepakatan bersama dengan mengakui keragaman budaya dan agama masyarakatnya. Jangan dibodohi dengan buaian "mayoritas-minoritas" dengan utak-atik kuantitatif. Hasil penataran P4 yang pernah saya peroleh dulu mengingatkan saya bahwa kita abai pada "kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Hidup Pancasila!

Omong-omong, saya selalu penasaran dengan kehebatan "aktor intelektual" yang selalu dibicarakan. Mungkin "dia" atau "mereka" ini sejenis mutan dalam sequel film X-Men.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces