Aku menulis maka aku belajar

Sunday, August 27, 2017

Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Jembatan Dua Kosmos ~ Tanggapan terhadap Dieter Bartels


Pengantar
Pertama-tama, saya ingin menyampaikan apresiasi yang tinggi atas penerbitan buku ini sehingga dapat dibaca oleh publik luas berbahasa Indonesia setelah sekian puluh tahun terbit dengan versi bahasa Belanda In De Schaduw Van De Berg Nunusaku (1994). Tentu saja, penerbitan dalam bahasa Indonesia ini tidak hanya soal menerjemahkan tetapi, menurut penulisnya, sudah mengalami proses revisi dan penambahan sebagai upaya menyajikan suatu analisis antropologis yang lebih mutakhir dan kontekstual bagi pembaca masa kini, terutama generasi Maluku pasca-konflik. Saya juga berterima kasih karena mendapat kehormatan untuk memberikan catatan kecil terhadap suatu karya besar atau magnum opus dari seorang peneliti antropologi kawakan sekaliber Dieter Bartels yang menekuni penelitian tentang Maluku selama empat dekade.

Perkenalan saya dengan Dieter Bartels terjadi pertama kali pada akhir 1990-an. Waktu itu akses internet dan alat komunikasi belum secanggih sekarang. Melalui korespondensi surat elektronik saya meminta kepada beliau untuk mengirim buku-buku antropologi guna menambah koleksi pustaka pribadi saya. Melalui perantaraan seorang dosen fakultas teologi, saya mendapat sejumlah buku yang luar biasa untuk ukuran seorang mahasiswa S1 di Ambon saat itu. Sejak saat itulah saya makin jatuh cinta kepada antropologi dan merasa mengalami pencerahan dalam proses menekuni ilmu teologi yang saya geluti pada fakultas teologi UKIM.

Tahun 2000 kami sempat bertemu di Ambon dan berdiskusi mengenai beberapa hal terutama mengenai perkembangan situasi Ambon yang sedang berkecamuk dengan konflik sosial. Itulah perjumpaan terakhir dengan Dieter Bartels. Selanjutnya, percakapan hanya berlangsung melalui surel dan kemudian facebook. Teknologi internet yang makin canggih memudahkan untuk mengakses artikel-artikel Dieter Bartels yang dipasang dan dapat diunduh dari laman situs nunusaku.com.

Momen yang tidak dapat saya lupakan adalah ketika menjelang penulisan disertasi saya harus mengikuti program sandwich atau visiting scholar pada salah satu universitas di luar negeri. Pilihan yang diberikan kepada saya waktu itu ada dua: Universitas Leiden atau Universitas Cornell. Kedua universitas itu ditawarkan karena memiliki keunggulan koleksi literatur dan kajian Asia Tenggara. Promotor saya, Prof. P.M. Laksono, yang lulusan Universitas Cornell, menganjurkan untuk ke Cornell. Di situlah kemudian saya bingung. Kalau ke Leiden, banyak kenalan komunitas Maluku sehingga tidak terlalu canggung dan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di sana. Tapi Cornell di Ithaca, New York? Saya buta sama sekali. Dalam kegalauan itu, saya teringat Dieter Bartels (terima kasih untuk facebook!). Saya lalu mengirim pesan kepada beliau meminta saran apakah ada kenalan di Ithaca yang dapat membantu menampung saya sambil nanti mencari “kamar kos” di sana. Dieter Bartels merespons dengan cepat. Beliau memperkenalkan saya kepada Prof. John Wolff, seorang ahli Indonesia di South East Asia Program (SEAP) Universitas Cornell. Hanya dalam hitungan hari, saya sudah dapat berkomunikasi dengan John Wolff yang kemudian bersedia menampung saya di rumahnya dan membantu saya mencari pemondokan di Ithaca, kota kecil yang indah, dengan jarak tempuh 6 jam dengan bus dari New York City. Jika Dieter Bartels menyebut “antropologi aksi” maka apa yang saya alami adalah sejenis “antropologi pengalaman” (anthropology of experience).

Pada titik itulah, Dieter Bartels, dalam pengalaman hidup saya, adalah “sahabat” dan “guru” bagi saya. Sahabat, karena meskipun usia dan pengalamannya jauh lebih banyak daripada saya tapi tetap terbuka untuk berbagi kepada siapa saja bahkan yang generasi muda Maluku seperti saya (yang ketika beliau menyelesaikan disertasinya saya baru berusia 7 tahun). Guru, karena dari beliaulah saya jatuh cinta pada antropologi sebagai disiplin ilmu yang memperkaya wawasan keilmuan teologi yang saya geluti selama ini. Beliau pula yang kemudian mencorat-coret draft pertama disertasi saya dengan catatan kritis hampir pada setiap halaman.

Antropologi Bartels – Jembatan Dua Kosmos
Dieter Bartels adalah seorang peneliti antropologi yang ulet dan produktif. Selain buku dan artikel, sebagian besar tulisannya dapat dibaca dan diunduh dari laman situs www.nunusaku.com. Pada hampir semua tulisannya dengan segera tampak konsistensinya pada subjek penelitiannya, yaitu manusia dan kebudayaan Maluku. Hampir sulit menemukan celah bagian mana dari subjek manusia dan kebudayaan Maluku (Tengah) itu yang belum dieksplorasi oleh Dieter Bartels. Hal itu sebenarnya cukup menyulitkan bagi para peneliti/antropolog kontemporer untuk menemukan isu-isu baru dalam konteks penelitian Maluku. Rentang epistemik etnografi Dieter Bartels sangat komprehensif merambah pada berbagai dimensi kajian antropologi. Namun, pada saat yang sama, kajian-kajian Dieter Bartels membentangkan tantangan-tantangan baru bagi proyek-proyek penelitian yang melampaui antropologi. Artinya, kajian etnografi Dieter Bartels membuka banyak perspektif baru yang memungkinkan peneliti-peneliti muda pada bidang ilmu lain menemukan nuansa-nuansa kritis dalam kebudayaan (Maluku) yang punya pengaruh signifikan dalam konstruk epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu lain, jadi efeknya lebih bersifat multidisipliner. Gambaran itulah yang secara umum tampak pada magnum opus Dieter Bartels – “Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku”.

Dalam bacaan saya, buku ini merupakan refleksi komprehensif Dieter Bartels yang mencoba merajut data sejarah, sosiologis, antropologis, politis dan keagamaan yang digarapnya melalui suatu proses panjang penelitian etnografis sejak tahun 1970-an hingga sekarang (2017). Membaca buku ini dengan segera membentangkan sebuah perspektif bahwa antropologi Dieter Bartels – yang kemudian disebutnya sebagai “antropologi aksi” – sebenarnya adalah jembatan epistemik dua kosmos: kosmos Salam / kosmos Sarane dan kosmos timur / kosmos barat.

Kosmos Salam / Kosmos Sarane
Konsep Salam-Sarane di Maluku Tengah adalah konsep yang hibrid, yang melahirkan berbagai perspektif polydoxy. Salam-Sarane sekaligus adalah perspektif dan praksis kebudayaan dan keagamaan yang menghidupi dinamika historis dan kemanusiaan orang Maluku. Pada suatu lini-masa (timeline), keduanya berada sebagai oposisi yang dikotomis dan tersegregasi sehingga membentuk worldview-nya masing-masing. Namun, pada lini-masa yang lain, keduanya berjumpa pada satu ranah kebudayaan yang mendorong konstruksi identitas bersama secara dialektis: perbedaan disadari dan diserap menjadi miliknya sendiri. Di situlah antropologi Bartels tidak hanya sekadar cross-cultural juxtaposition tetapi lebih kepada apa yang menjadi landasan epistemik antropologinya sebagai semantic accretion and semantic depletion. Dengan perspektif itulah antropologi Bartels tidak dilakukan agar orang lain memahami orang Maluku, tetapi suatu “jembatan” historis-antropologis yang dengannya orang Maluku memahami (atau memulihkan?) identitasnya sendiri setelah ratusan tahun sejak periode kolonial mengalami sindrom tuna-identitas – sebagaimana tampak dalam sebutan “Belanda-hitam”. Mungkin itu pula yang menyebabkan zwartepiet lebih populer daripada sinterklas di Ambon. Dinanti sekaligus ditakuti oleh anak-anak.

Jembatan historis-antropologis Bartels itu juga menghubungkan dua kosmos religiositas Islam-Kristen berbasis ikatan kultural pela/gandong. Kedua agama ini punya sejarah dan teologinya masing-masing. Keduanya tertanam di ranah kebudayaan Maluku, bertumbuh dan berkembang secara kontekstual, kemudian terkonstruksi dengan tampilan (performa) yang berbeda. Meskipun ikatan-ikatan pela/gandong di Maluku Tengah bersifat sangat eksklusif dan terbatas, tetapi realitas keberagamaan dan politik pasca Orde Baru sampai saat ini membentangkan banyak kemungkinan untuk menjadikannya sebagai model baru melalui proses semantic accretion. Sebagaimana sudah sejak akhir 1970-an Bartels mengafirmasi bahwa “the vehicle of Agama Nunusaku is pela” (1978:320). Muatan, makna dan tujuan hakiki Agama Nunusaku – istilah yang diperkenalkan oleh Jensen – adalah masyarakat Ambon sendiri. Itu berkenaan dengan kekhasan masyarakat, yang memberi makna pada identitas Ambon dan berupaya merawat masyarakat Ambon serta menjaga keseimbangan harmonis-dialektis antara Salam-Sarane.

Bartels mencapai titik hipotetik bahwa agama etnis Ambon memperlihatkan kesejajaran dengan “agama sipil” (civil religion) seperti yang dianalisis oleh Robert Bellah pada masyarakat Amerika Serikat. Namun, lebih lanjut, bagi Bartels, Agama Nunusaku berbeda dengan agama etnis tradisional dan menegaskan bahwa dimensi “agama sipil” di dalamnya mesti dipahami dalam pengertian orang Ambon terlibat tanpa sadar dalam agama yang mentransendensikan konsep umum tentang agama. Agama Nunusaku itu invisible, seperti ranah sucinya yaitu Gunung Nunusaku, yang melalui nilai-nilai dan praksis pela/gandong dijaga oleh Muslim-Kristen Ambon. Di situlah, bagi saya, antropologi Bartels menantang proses-proses hermeneutika kebudayaan bagi penguatan relasi-relasi keagamaan yang belakangan ini makin terkristal dalam wujud politik identitas yang sektarianistik hampir di semua belahan dunia.

Kosmos Timur / Kosmos Barat
Penelitian Bartels tentang situasi hidup komunitas Maluku di Belanda merupakan dekonstruksi terhadap paradigma penelitian antropologi konvensional. Disertasinya yang ditulis pada tahun 1978 di Universitas Cornell tidak hanya menjadi karya akademik yang pada akhirnya berdebu di rak perpustakaan, tetapi malah menjadi semacam cultural guideline bagi penguatan identitas kebudayaan komunitas Maluku diaspora di Belanda. Kajiannya yang tertuang dalam buku Moluccans in Exile (1994) menyajikan suatu perspektif antropologis modern yang mengulas secara detail bagaimana kehidupan suatu “komunitas tradisional Timur” dalam konteks masyarakat modern Barat. Ulasan tersebut memperlihatkan pula bahwa relasi-relasi sosial-politik yang terbentuk dalam “komunitas tradisional” Maluku tidak hanya ditentukan secara eksternal oleh masyarakat modern Barat. Relasi-relasi sosial-politik itu juga dihidupi dan dirawat melalui relasi-relasi mitis-ideologis antara realitas Belanda dan realitas “gunung-tana” Maluku. Inilah yang menjadikan kajian Bartels unik, menantang dan berdaya tahan lama karena seakan-akan menjadi jembatan epistemologis dan kebudayaan postmodern antara Kosmos-Timur dan Kosmos-Barat, yang dalam ilmu-ilmu sosial Barat sering terperangkap pada apa yang disebut Gaston Bachelard sebagai epistemological break.

Penutup
Pada akhirnya, saya hanya bisa menyatakan bahwa buku “Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku” karya Dieter Bartels ini adalah karya antropologis besar (magnum opus) atau thick description tentang manusia dan kebudayaan Maluku Tengah. Karya ini harus menjadi bacaan wajib bagi seluruh jenjang pendidikan di Indonesia sebagai cara lain membaca Indonesia. Kajian antropologi Indonesia – terutama studi agama-agama – selama ini banyak bertumpu pada thick description dari Religion of Java karya Clifford Geertz. Buku ini menjadi tawaran perspektif untuk mencermati dan mengenali postur agama dan kebudayaan masyarakat di luar Pulau Jawa. Jika rezim Orde Baru dikenal karena mampu membangun “satu pusat” (one center), yaitu Jawa dan Jakarta sebagai representasi Indonesia, maka buku ini sedang mendekonstruksi worldview kita untuk melihat “banyak pusat” (many centers) dari konteks masyarakat majemuk Indonesia. Dengannya proses pembangunan tidak lagi terpaku sebagai proses membangun modernitas yang monolitik/tunggal tapi sebagai proses memaknai dinamika multiple modernities. Perspektif dan praksis itu penting untuk melihat setiap keunikan sosial-budaya-agama sebagai kekuatan membangun nasionalisme Indonesia yang sejati.

Proficiat bung Dieter!

Ambon, 23 Agustus 2017
Read more ...

Thursday, August 17, 2017

Catatan di Ufuk 72

Setiap buku punya cerita. Setiap buku punya logika. Cerita adalah pantulan pengalaman kehidupan dalam rangkaian momen-momen kesejarahan. Logika adalah gerak nalar untuk menjernihkan setiap momen tersebut. Simpul keduanya membentuk olah interpretasi yang melibatkan unsur dan aktor yang jamak. Dengan demikian, pembacaan terhadap satu buku pada hakikatnya adalah gerak hermeneutis memahami dunia-buku itu dan dunia sang pembaca buku itu. Itulah yang membuat buku mempunyai "roh"-nya sendiri, yang bergentayangan meninggalkan raga penulis/aktor untuk merasuki dunia-dunia baru pembaca yang menjadi fabrikasi wacana yang unik.

Rabu, 16 Agustus 2017, Lembaga Penelitian (Lemlit) UKIM menggelar acara peluncuran buku bertajuk "Inspirator dari Timur: Jejak Pemikiran dan Perjuangan Johannes Latuharhary dan Johannes Leimena" (UKIM Press 2017). Dalam konteks pendidikan tinggi, acara semacam ini sudah lazim. Tidak ada yang unik. Tetapi buku ini unik, dan karenanya momentum peluncuran buku ini besok, sehari sebelum peringatan Proklamasi Republik Indonesia ke-72, menjadi momentum yang unik. Apa uniknya?

Muatan buku ini bukanlah tulisan-tulisan mutakhir, tetapi bukan berarti bisa dianggap usang. Pada tahun 1995, 1996 dan 1997, secara berturut-turut UKIM menggelar Kuliah Memorial (Memorial Lecture) untuk beberapa tokoh pergerakan nasional dan kemerdekaan Indonesia asal Maluku. Profesi dan peran mereka beragam tapi komitmen mereka untuk mengukuhkan Indonesia merdeka adalah satu.

Tahun 1995 Kuliah Memorial dimulai dengan membahas "Dua Johannes" (Latuharhary dan Leimena), 1996 membahas E.U. Pupella dan Hamid bin Hamid, dan 1997 membahas J.B. Sitanala dan Duba Latuconsina. Ada semangat yang besar bahwa selepas acara itu seluruh materi yang dipresentasikan akan diolah untuk dipublikasikan. Namun, cita-cita itu pupus seiring dengan gonjang-ganjing konflik sosial yang meluluhlantakkan masyarakat Ambon/Maluku selama 1999-2005. Kampus UKIM tak luput dari dampak konflik. Sebagian besar gedung hangus terbakar dan hancur beserta isinya, termasuk arsip Kuliah Memorial tersebut.

Lama sekali peristiwa Kuliah Memorial itu hanya menjadi cerita-cerita dari mulut ke mulut dan sekadar ingatan bersama dari orang-orang yang pada tahun-tahun itu terlibat dalamnya. Sampai kemudian pada awal tahun 2017, ada seorang alumnus (yang tahun 1995 adalah mahasiswa peserta acara Kuliah Memorial) yang menemukan kembali bundel materi Kuliah Memorial "Dua Johannes" di antara tumpukan koleksi pustaka pribadinya. Arsip itu kemudian diserahkan ke pihak Lemlit UKIM, yang kemudian memutuskan untuk mengetik ulang, menyunting dan menerbitkannya tepat sehari sebelum peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-72.

Pilihan momentum tersebut bukan tanpa alasan. Alasan yang utama adalah kedua Johannes ini (Latuharhary dan Leimena) adalah dua aktor sejarah yang turut menyumbang memberi isi "keindonesiaan" sebagai nasionalitas yang jamak. Nasionalitas semacam itu menolak determinasi konsensus kebangsaan yang hanya berpijak pada adagium basi "mayoritas-minoritas". Keduanya mampu memberi argumentasi yang kokoh dalam perdebatan sengit bersama-sama dengan perwakilan kelompok-kelompok sosial-politik-agama Nusantara bahwa pilihan mengindonesia tidak bisa dan tidak boleh disandarkan pada arogansi identitas (etnis dan agama) serta tunduk pada hegemoni monarkhi. Pilihan mengindonesia adalah pada "res-publica", yang serta-merta menjadikan Indonesia sebagai simpul kesepakatan bernegara.

Itulah yang menjadikan buku ini unik. Meskipun berisi catatan-catatan reflektif mengenai kedua Johannes tersebut yang dipaparkan pada tahun 1995, namun tetap terkandung "roh" yang menggerakkan nalar dan praksis keindonesiaan saat ini (2017 ~ 22 tahun kemudian) untuk menjernihkan kembali kesepakatan mengindonesia itu berhadapan dengan kecenderungan arogansi kekuasaan yang berupaya memangkas identitas jamak Indonesia hanya menjadi bonsai identitas monolitik di atas pijakan pseudo-logika "mayoritas-minoritas".

Rabu, 16 Agustus 2017, catatan-catatan reflektif mengenai "Dua Johannes" ini akan dipublikasikan dan ditanggapi oleh beberapa pihak. Besar harapan, publikasi buku ini akan menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk kembali merefleksikan dan menyelami kedalaman makna dan hakikat "menjadi Indonesia" yang pernah disepakati tahun 1945. Besar harapan pula, memasuki usia 72 tahun "menjadi Indonesia" nanti tanggal 17 Agustus 2017, kita tidak hanya meriah dengan lomba makan krupuk, balap karung atau panjat pinang; atau hanya secara formalitas mengikuti upacaranya. Tapi juga mampu menebarkan harapan bahwa angka 72 bukanlah senja melainkan ufuk yang mengarahkan visi kebangsaan kita jauh ke masa depan, serta tidak mengubur cita-cita kemerdekaan itu hanya demi sebutir biji kepentingan kekuasaan yang pongah dan tamak.

Salam Indonesia!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces