Aku menulis maka aku belajar

Saturday, September 24, 2011

Provokasi Damai

Rekan saya, Ricardo Nanuru, baru saja posting “Ambon update” yang ditulis oleh bung Jacky Manuputty. Posting tersebut cukup panjang dan detil, sekaligus penting untuk menyebarluaskan gambaran situasi terkini kota Ambon pasca bentrokan massal pada Minggu, 11 September 2011. Sebelumnya, atas izin bung Jacky Manuputty pula, saya mereformulasi catatan pemutakhiran data pasca bentrokan tersebut. Sengaja saya menyebut “bentrokan massa” tanpa embel-embel apa-apa, karena memang peristiwa tersebut tidak perlu diembel-embeli apa-apa, apalagi embel-embel “konflik agama”. Aksentuasi ini perlu dilakukan agar kita yang telah mengunyah pemberitaan di berbagai media cetak dan media elektronik tidak serta-merta latah untuk mengasumsikan mentah-mentah dalam konstruk perspektif yang bias.

Tulisan ini saya sajikan dengan andaian anda sudah mencermati posting Ricardo Nanuru tersebut. Jadi saya tidak akan mengulangnya lagi. Apa yang akan saya tulis di sini hanyalah secuil upaya untuk memahami peristiwa tersebut sebagai suatu insiden yang tak kebetulan. Maksudnya, kita sebaiknya membaca peristiwa itu melalui sebuah lensa sosiologis yang sebenarnya memperlihatkan tautan-tautan proses-proses sosial. Setiap proses memiliki dinamikanya masing-masing, dengan implikasi yang berbeda pula intensitas atau derajatnya. Dengan demikian, kita tidak tergopoh-gopoh memahami peristiwa itu sebagai replikasi konflik bernuansa agama seperti yang terjadi sebelumnya.

Apakah ini sebuah eskapisme? Bisa ya. Bisa tidak. “Ya” karena memang kehati-hatian untuk tidak begitu saja menautkan itu dengan agama adalah untuk menghindari perangkap mengkambinghitamkan perbedaan agama sebagai biang kerok; lantas kemudian membawa kita pada debat kusir kebenaran tiada berujung. “Tidak” karena memang peubah agama tidak bisa dihindari untuk dibicarakan tetapi mesti diposisikan pada suatu lalu-lintas percakapan yang tertib agar tidak belok kiri-kanan tanpa memberi tanda, dan akhirnya bertabrakan. Setidaknya ini posisi saya.

Selanjutnya, dengan bingkai lensa tersebut saya ingin mengajak anda untuk melihat bahwa mengurai penyebabnya tidaklah semudah menyebar isu-isu provokatif yang mengagitasi orang/kelompok untuk tetap berada dalam kepanikan sosial. Oleh karena itu, amatan kita tidak perlu terkuras habis energinya hanya untuk mendebat apa penyebabnya. Yang menurut saya cukup urgen adalah memagari dampaknya dan mengantisipasi kemungkinan menggelembungnya balon kecurigaan yang sewaktu-waktu bisa pecah lagi. Itulah yang sedang dilakukan oleh sahabat-sahabat perdamaian di Maluku.

Sejauh ini ternyata upaya memerangi proliferasi isu-isu provokatif yang mengadudomba tidak cukup dengan sekadar himbauan-himbauan basi. Lebih jauh para sahabat perdamaian itu membangun suatu paradigma dan praksis “provokasi damai”. Dekonstruksi konotasi provokasi yang negatif dilakukan sebagai sebentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan melumpuhkan kekuatan civil society. Gerakan-gerakan tersebut masih getol menjadikan agama sebagai senjata. Nah, di sini tampak bahwa agama bukan menjadi peubah utama, melainkan peubah gayut yang berayun karena adanya impuls-impuls katalis.

Yang menarik bahwa “provokasi damai” ini maknanya jauh melampaui anjuran-anjuran atau himbauan-himbauan yang sangat formalistik. Provokasi damai ini secara perlahan telah merambat menjadi semacam spiritualitas yang melampaui sekat-sekat etnisitas dan religiositas antarkelompok di Maluku. Spiritualitas inilah yang merasuki nurani setiap orang sehingga tiap geraknya kemudian menjadi gerak damai yang merangkul, bukan menegasi. 

Dari situ, terjadi semacam transformasi religiositas yang membawa agama-agama untuk belajar memanusia. Artinya, agama-agama tidak hanya terus-menerus diperkosa untuk memperlihatkan kegenitan transendentalnya saja. Tetapi juga mesti belajar merendah hati mengutamakan hakikat dan martabat kemanusiaan untuk hidup sebagai manusia bersosial.
Sosialitas manusia mengajar agama-agama untuk tidak pongah mengakui keperkasaannya tetapi gigih mengusung solidaritas. Solidaritas itulah menjadikan hidup terbuka bagi aneka kelainan dalam relasi sehari-hari manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alamnya, atau bahkan manusia dengan tuhannya. Di situlah provokasi damai, menurut saya, mesti menjadi sebuah gerak perlawanan terhadap tendensi mengkooptasi martabat manusia hanya menjadi predator bagi yang lain (homo homini lupus). Spiritualitas inilah yang mesti terwarisi dari generasi ke generasi, tak pandang apa pilihan beragama dan etnisitas kita.
Read more ...

Semai Damai Maluku

Liputan media lokal dan nasional biasanya gaduh saat terjadi suatu peristiwa yang tidak biasa atau abnormal, semisal konflik yang terjadi di Ambon pada 11 September 2011 lalu. Kegaduhan media itu pun bisa berangsur-angsur surut ketika situasi mulai membaik. Begitulah. Kata para bijak bestari, “bad news is good news“. Tetapi bagaimanakah narasi-narasi populis yang berkembang pascakonflik itu, mungkin tak terlalu menarik perhatian media. Itu kemungkinan. Padahal dalam amatan saya, narasi-narasi populis atau bahkan praksis-praksis komunitas pencari damai justru berkembang mencari jalannya sendiri untuk memutuskan stigmatisasi negatif dan tendensi pelanggengan konflik, yang tercipta melalui konstruksi kepanikan sosial secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau diuntungkan dengan konflik tersebut.

Saya hanya ingin kita bersama-sama melihat kegigihan menegakkan damai di Maluku (kota Ambon) berlangsung dalam semangat persaudaraan. Semangat tersebut melampaui batas-batas identitas keagamaan mereka dan bahkan melampaui ketakutan terhadap berbagai ancaman yang membahayakan nyawa mereka sendiri. Inilah sekelumit narasi di balik realitas konflik yang mendorong sekelompok orang untuk tetap menyemai damai dengan segala upaya yang mereka lakukan. Tulisan ini merupakan adaptasi informasi yang saya terima dari seorang sahabat pecinta damai, yang dengan izinnya saya narasikan kembali. Terima kasih bung JFM.

Segera setelah konflik pecah, pada malamnya berkumpul beberapa orang (Islam dan Kristen) di suatu tempat untuk melakukan koordinasi lintas kawasan dan berbagai simpul komunitas yang bertujuan mempertahankan jejaring perdamaian lokal. Sejumlah reaksi memperlihatkan bahwa bentrokan massa yang terjadi sebenarnya jauh dari perkiraan masyarakat kota Ambon. Mari kita lihat lebih rinci:

1. Segera setelah benturan, warga masyarakat Jazirah Salahutu yang terdiri dari beberapa negeri Muslim (Tulehu, Liang, Tengah-Tengah) dan 1 negeri Kristen (Waai) berinisiatif melakukan pertemuan kawasan pada hari Minggu malam, dan mendeklarasikan Jazirah Salahutu sebagai wilayah aman. “Raja” Negeri Tulehu, John Ohorella, mengeluarkan maklumat bagi masyarakatnya dan meminta tidak terprovokasi dengan perkembangan situasi di pusat kota Ambon.

2. Masih malam yang sama, teman-teman jejaring perdamaian lokal mulai membangun kontak via telepon untuk berbagi informasi, sekalipun jaringan telepon sangat terganggu. Beberapa kelompok pemuda mengupayakan pertemuan lintas iman, tetapi situasi yang berkembang tidak memungkinkan.

3. Pada hari Senin pagi, 12 September 2011, dilakukan pertemuan antara Muspida Maluku dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan pemuda di Kantor Gubernur Maluku. Dibuat kesepakatan untuk melokalisir dan meredakan konflik pada titik-titik benturan warga (hanya terdapat 3 titik benturan pada hari Minggu. Sampai Senin pagi bertambah lagi satu titik benturan, namun 2 titik sebelumnya telah reda).

4. Pada Senin siang, dewan Latupati Maluku yang diketuai oleh “Raja” Amahusu bersama sekretaris Dewan Latupati, “Raja” Sirisori Salam (Islam) mengeluarkan seruan penghentian kekerasan dan membangun perdamaian.

5. Senin Sore, “Raja” negeri Kailolo (Islam) mengeluarkan 2 maklumat. Yang pertama berisi seruan untuk masyarakat umum supaya tidak mengembangkan konflik. Yang satunya lagi ditujukan secara khusus untuk warga negeri Kailolo di mana saja supaya tidak terprovokasi untuk terlibat konflik.

6. Masih pada hari Senin, teman-teman muda jaringan perdamaian dari kelompok “Ambon Bergerak” (lintas iman) memutuskan melakukan “perlawanan” media terhadap pemberitaan media-media nasional yang dianggap bias dan memicu ketegangan.

7. Juga di hari Senin itu teman-teman jaringan LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku) meningkatkan koordinasi lintas wilayah untuk mengatur sebaran anggota ke berbagai wilayah, serta membangun komunikasi terus-menerus untuk mengklarifikasi perkembangan isu yang menyebar sangat cepat di kalangan masyarakat. Pada beberapa wilayah perbatasan (Muslim-Kristen) teman-teman mencoba menginisiasi pembentukan simpul-simpul koordinasi di antara warga perbatasan.

8. Pada Senin sore, beberapa teman Muslim memberanikan diri berjumpa dengan teman-teman Kristen di kantor Litbang Gereja Protestan Maluku (GPM), dan berbagi cerita serta foto-foto yang diambil di wilayah komunitas Muslim.

9. Pada Senin malam, jam 21.40, pertemuan ditingkatkan dengan melibatkan lebih banyak teman dari kedua komunitas (Islam dan Kristen). Pertemuan dilanjutkan di kawasan jalan A.Y. Patty, berdekatan dengan Masjid Raya Al-fatah. Pertemuan berlangsung penuh keakraban, sekalipun sesekali terdengar bunyi tembakan. Dalam pertemuan itu disepakati beberapa agenda untuk dilakukan bersama. Antara lain, secara terus-menerus memantau perkembangan di wilayah masing-masing dan mengumpulkan semua berita untuk dikompilasi oleh seorang teman. Selain itu dianggap perlu untuk bersama-sama melanjutkan pengawalan dan klarifikasi terhadap berbagai bias pemberitaan yang umumnya dilakukan oleh banyak media nasional, baik cetak maupun elektronik. Pertemuan dengan pendekatan pertemanan itu berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan bentuk-bentuk provokasi perdamaian di dalam masyarakat, antara lain mempersiapkan gelar seni bersama di lokasi monumen “Gong Perdamaian.”

10. Melalui telepon dari “Raja” negeri Kailolo di Pulau Haruku, diperoleh informasi bahwa pertemuan negeri-negeri Pulau Haruku dan Nusalaut (Muslim-Kristen) akan dilangsungkan siang nanti di wilayah Waimital, Negeri Pelau (Islam). Pertemuan ditujukan untuk mengatur koordinasi bersama untuk mencegah meluasnya konflik, serta membangun perdamaian.

11. Sejak pecahnya konflik pada hari Minggu, tidak ditemukan adanya kasus pembunuhan warga di luar titik-titik panas (hotspot) yang bergolak. Banyak warga Muslim yang pada saat pecah bentrokan sedang berada di pemukiman Kristen, namun tidak diapa-apakan (bahkan diantar pulang ke wilayah perbatasan). Sebaliknya, banyak sekali warga Kristen di komunitas Muslim yang mengalami perlakuan serupa. Ini menandakan bahwa sejauh ini masyarakat di kedua belah pihak, dengan komitmen tinggi, berupaya melokalisir dan meredusir konflik pada beberapa area benturan, dan tidak mengembangkannya ke wilayah lainnya.

12. Informasi korban sampai saat pemutakhiran ini diterima: 5 korban meninggal pada komunitas Muslim dan 3 korban meninggal pada komunitas Kristen. Hampir semua korban meninggal akibat tertembak aparat keamanan. Sementara itu ratusan korban luka-luka dirawat di berbagai rumah sakit.

Ke-12 poin ini merupakan salinan ulang informasi yang saya terima. Dengan sengaja saya membaginya di sini sebagai bagian dari penyebaran berita alternatif yang mencoba melihat sisi lain dari peristiwa bentrokan massa di kota Ambon beberapa hari lalu. Di balik riuh-rendah berita konflik, terselip upaya-upaya civil society yang gigih berjuang menyemai damai kendati nyawa mereka terancam. Namun, setidaknya dengan informasi ini kita bisa melihat bahwa bukan soal meneriakkan damai semata, bukan soal himbauan-himbauan basi, bukan soal pengerahan pasukan keamanan, tetapi ini soal bagaimana media menjadi kekuatan membangun kapasitas civil society untuk mengatasi masalah mereka dengan pelbagai model kearifan lokal.

Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!
Read more ...

Ketenangan Mencekam di Ambon

Kendati penumpukan dan bentrok antarkelompok massa telah berhasil diredam, namun pantauan situasi di beberapa titik lokasi masih memperlihatkan suasana mencekam. Pada beberapa lokasi pemukiman tiba-tiba berkobar nyala api yang ternyata berasal dari bangunan rumah penduduk yang terbakar di kawasan Batumerah dan Mardika serta Galala dan Tantui. Tidak jelas siapa pelaku pembakaran rumah-rumah penduduk tersebut. Tetapi situasi tersebut menambah ketegangan sepanjang malam hingga pagi hari, meskipun para petinggi POLDA secara resmi telah menyatakan situasi berhasil dikendalikan.

Beredarnya rumor bahwa akan didatangkan pasukan Brimob dari Makassar menimbulkan tanda tanya di kalangan warga kota Ambon. Seorang pemuda, AB, mengatakan, “Katanya situasi terkendali, kok minta bantuan dari Makassar?” Kegalauan tersebut cukup dipahami karena pengalaman awal konflik 1999 kedatangan pasukan TNI dari KODAM Wirabuana Makassar ternyata tidak berdampak siginifikan bagi pemulihan kondisi keamanan saat itu. Malah ditemukan fakta bahwa anggota-anggota TNI dari luar Maluku tersebut turut terpengaruh psikologi massa yang saling bentrok sehingga alih-alih menjaga keamanan malah beberapa oknumnya tidak disiplin pada misi penugasannya di Ambon.

Aktivitas warga kota berjalan seperti biasa. Namun banyak yang masih menghindari jalur-jalur yang dianggap rawan. Sebagai konsekuensinya, sebagian warga terpaksa harus menyusuri jalan perbukitan untuk pergi ke kantor atau ke sekolah karena sarana angkutan umum belum beroperasi normal. Banyak yang menyesalkan pecahnya bentrokan massa kemarin. Warga kota Ambon sungguh menyadari bahwa tidak ada keuntungan apapun dengan peristiwa pertikaian semacam ini. Ujung-ujungnya, rakyat menderita dan mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi serta pendidikan.

 “Mari katong buka biji mata la lia katong dapa apa dari samua ini. Sampe jua” [Mari kita buka mata untuk melihat apa yang kita dapat dari semua ini. Cukuplah.], demikian ratap EN, seorang ibu muda, yang terpaksa harus meliburkan anaknya dari sekolah dan tidak bisa pergi berjualan. Sementara sepeda motor suaminya turut menjadi korban amuk massa, padahal kreditnya belum lunas.
Read more ...

Carita Orang Basudara

“Carita orang basudara” adalah ungkapan khas orang Maluku yang secara harfiah berarti “cerita di antara kaum kerabat”. Carita orang basudara biasanya terjadi pada saat pesta-pesta rakyat/budaya atau acara-acara keagamaan yang mempertemukan seluruh kaum kerabat kendati berbeda agama, latar belakang sosial, asal kampung dan tingkat pendidikan. Dalam suasana itu tidak ada segregasi sosial. Semua menyatu menjadi satu ikatan saudara. Di dalam momen semacam ini relasi-relasi formal luluh dan yang ada hanyalah “pawela” (senda gurau) dan “mop” (saling menceritakan kisah-kisah lucu). Bahkan hal yang paling sensitif pun ditanggapi sebagai ekspresi persaudaraan tanpa kecurigaan atau pretensi menghina. Semua ditanggapi sebagai bagian dari memperkuat ikatan persaudaraan. Itu sebabnya, salah satu kekuatan budaya orang Maluku adalah bercerita.

Nuansa itu sempat pudar saat Maluku digempur oleh konflik sosial beberapa tahun silam. Banyak sekali carita orang basudara kemudian terkubur dan digantikan oleh cerita-cerita formal yang sarat nuansa hipokrit atau bahkan cerita-cerita persaudaraan itu berubah menjadi cerita-cerita heroik penuh kekerasan dan darah. Setelah kondisi berangsur-angsur pulih - terutama pasca perjanjian Malino II - narasi-narasi rakyat itu kembali bermunculan yang kemudian membentuk mozaik perdamaian yang dituturkan kepada generasi berikut untuk menjadi pelajaran berharga.

Tak disangka saya turut merasakan nuansa carita orang basudara itu. Bukan di Ambon tapi justru di udara, dalam penerbangan dari Ambon menuju Jakarta. Saya duduk di tengah. Sebelah jendela duduk seorang Ambon (Kristen) dan di sebelah gang duduk seorang Ambon (Islam). Sejak pesawat take-off kami bertiga masih berdiam diri. Kebisuan pun pecah ketika di sebelah kiri saya hendak pergi ke toilet. Terpaksa saya (tengah) dan teman di sebelah kanan harus berdiri memberi jalan. Dari situ mulai terbangun percakapan.
Percakapan makin hangat ketika ternyata kami bertiga mempunyai teman atau kenalan yang juga dikenal bersama-sama. Alur cerita pun mulai maju-mundur. Bahkan mundur sampai masa-masa pertemanan di bangku SMA. Terus maju sampai komunikasi pertemanan yang sempat terputus akibat situasi konflik. Namun ternyata di balik riuh-rendah berita-berita konflik Maluku, banyak sekali narasi rakyat yang cukup menarik untuk disimak.

Kami bertiga - yang berbeda latar agama - saling bercerita bagaimana peliknya mengatur “strategi” untuk tetap berkomunikasi, berjumpa, dan bercerita di tengah-tengah situasi masyarakat yang tersegregasi secara geografis maupun sosiologis. Selalu saja ada cara sembunyi-sembunyi untuk saling melakukan kunjungan ke rumah para sahabat yang berbeda agama. AC pesawat yang semula dingin lambat-laun terasa hangat karena percakapan kami bertiga menjadi sebuah carita orang basudara. Kami membicarakan konflik dengan jujur dan transparan, hingga pada akibat yang harus ditelan oleh rakyat kecil. Serta-merta ada sebuah pesan penuh makna yang mengalir dari percakapan saya, Ris, dan Rus - yang menjadi disatukan oleh cerita kami bersama. Bukan oleh ideologi politik. Bukan pula oleh kepentingan ekonomi. Tapi semata-mata kami merasa identitas budaya kami menjadi lebih bermakna untuk menyatukan perbedaan yang ada.

“Carita orang basudara” itu terus mengalir hingga pesawat mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Berat mengakhiri percakapan tersebut tapi toh kami harus berpisah menjalani tujuan kami masing-masing. Kendati demikian, penerbangan sekitar 3 jam itu telah menjadi sebuah diskursus yang mahal dan berharga tentang makna hidup dalam keberlainan. Keberlainan sebagai anugerah, bukan ancaman.

Percakapan 3 jam di atas wilayah angkasa Indonesia (Ambon-Jakarta) telah membawa kami ke dalam sebuah komitmen batin bahwa narasi-narasi persaudaraan mesti menjadi spirit perlawanan terhadap dominasi narasi-narasi formal yang tak berhati nurani; menjadi protes terhadap berbagai upaya membisukan aspirasi rakyat; menjadi bara yang terus menghangatkan arti hidup bersama dalam perbedaan. Pada titik itu, narasi-narasi persaudaraan semestinya terus mendasari hakikat “menjadi Indonesia”. Kita sedang terus “menjadi” dan karena itu benturan-benturan tak terhindarkan. Namun itu tetap bukanlah tujuan menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia tetap adalah merajut persaudaraan melalui narasi-narasi kehidupan dan kemanusiaan.

Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
Read more ...

Monday, September 12, 2011

Ambon: Akankah Kembali ke Titik Nol?


Sulit dipercaya bahwa kota Ambon kembali terpuruk setelah diguncang bentrokan massal pada Minggu, 12 September 2011. Upaya panjang, berliku, dan melelahkan untuk membangun kepercayaan antarkomunitas yang pernah terlibat perseteruan panjang hingga ke ranah etnisitas dan religiositas beberapa waktu lampau seakan nyaris terpuruk hingga ke titik nol lagi. Itu jika melihat betapa mudahnya situasi meledak dan tak terkendali hanya oleh hembusan isu sepele yang tidak terklarifikasi secara jelas. Siapakah yang berkepentingan [lagi] dengan situasi rusuh Ambon? Bagaimana pengondisian situasi Ambon hingga aparat keamanan tampaknya “kewalahan”? Seberapa jauh fungsi intelijen mencermati dan mengantisipasi berbagai peristiwa prakondisi yang menyuburkan psikologi sosial masyarakat kota untuk dengan cepat tersulut isu tersebut?


Sejumlah pertanyaan bisa ditambahkan lagi. Tetapi peristiwa Ambon 1999 mesti menjadi acuan pembelajaran sejarah kelam yang penting untuk melihat situasi mencekam yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Ambon. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ekses yang lebih besar dan luas apalagi jika sudah diboncengi berbagai kepentingan di tengah carut-marut krisis nasional di negeri ini. Tulisan sederhana ini hanyalah upaya untuk berbagi pengalaman dan wawasan agar bersama-sama sebagai anak bangsa kita tidak lagi dengan mudah terpolarisasi ke dalam kubu-kubu ideologis berlabel etnisitas maupun agama untuk kembali saling menghantam. Mari kita lihat beberapa catatan berikut.


Pertama, terdapat kemiripan peristiwa pemicu bentrokan massal. Peristiwa pemicu konflik 1999 adalah isu pemalakan sopir angkot oleh seorang preman pasar, yang - entah bagaimana - tiba-tiba sudah meluas menjadi kerusuhan di seluruh wilayah kota dan bermunculan simbol-simbol yang seragam. Pemicu bentrokan massal 12 September 2011 adalah isu pembunuhan seorang pengemudi ojek. Setelah dicek ulang pihak kepolisian daerah Maluku menyatakan bahwa kematian tukang ojek itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Lantas, bagaimana hal itu bisa diisukan sebagai pembunuhan jika memang tidak ada kepentingan untuk menjadikannya sebagai faktor pemicu konflik? Siapa yang berkepentingan jika Maluku atau Ambon kembali rusuh? Apakah warga kota Ambon berkepentingan dengan kerusuhan yang justru menghancurkan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri? Rasanya sulit membayangkan bahwa itu ada di benak masyarakat kota Ambon.


Kedua, implikasi dari konflik 1999 adalah pembentukan Komando Daerah Militer (KODAM) XVI Pattimura dan penguatan kapasitas kepolisian Daerah Maluku. Sudah tentu alokasi pasukan dan strategi pengamanan harus lebih canggih dibandingkan dengan ketika masih menjadi KOREM. Lantas, kenapa selalu muncul alasan klasik bahwa aparat keamanan kewalahan karena jumlah yang tidak sebanding? Rasanya bukan rahasia lagi bahwa ini bukan soal jumlah tapi strategi pengamanan mulai dari deteksi intelijen hingga ke operasi pengendalian situasi. Apakah bisa dikatakan aparat keamanan kita kecolongan [lagi]? Kecolongan oleh siapa? Jika melihat luas geografis kota Ambon, sulit sekali untuk membayangkan bahwa strategi, teknik, dan pasukan/persenjataan aparat keamanan kita begitu mudahnya kecolongan.


Ketiga, hanya dalam hitungan jam sejak pecahnya pertikaian ada pernyataan dari petinggi POLRI bahwa akan ada pengiriman pasukan dari luar Maluku (200 Brimob dari Makassar) untuk membantu aparat keamanan di Maluku. Dari kacamata awam, apakah situasinya sudah sedemikian tidak terkendali oleh kepolisian daerah Maluku hingga perlu didatangkan pasukan dari luar? Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya strategi pengamanan yang sedang diupayakan oleh polisi. Tetapi kita juga harus terus bertanya apakah yang menjadi akar masalahnya sehingga satu isu yang tidak jelas bisa merembet dengan cepat menjadi penumpukan dan bentrok kelompok massa. Mana sebab dan mana akibat? Jangan sampai yang dipadamkan hanyalah akibat tapi sebabnya terabaikan.


Keempat, hanya dalam hitungan jam pula pemantauan saya terhadap beberapa media online telah memperlihatkan pemberitaan yang tendensius bahwa “kerusuhan” 2011 ini diasumsikan sama dengan kerusuhan 1999-2004 yang lalu. Hal ini tentu perlu dicermati secara bijaksana mengingat media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, peran media sangat signifikan dalam upaya turut mendinginkan situasi yang telah telanjur panas di kota Ambon.


Keempat catatan ringkas di atas sengaja saya paparkan agar kita mampu mencermati perkembangan situasi di kota Ambon dengan lebih arif. Catatan ini bukan sebuah tulisan teoretik atau upaya provokasi, melainkan sebuah refleksi pengalaman selama bergulat dengan krisis kemanusiaan akibat konflik sosial Maluku beberapa tahun silam. Perseteruan ini bukanlah keinginan rakyat [kecil] Ambon karena hingga saat ini pun banyak yang masih tertatih-tatih memulihkan kondisi perekonomian keluarga yang hancur pada waktu konflik lalu. “Kerusuhan” ini, menurut saya, juga bukan demi kepentingan rakyat [kecil] yang lebih merasakan penderitaan daripada senangnya selama konflik.


Lantas, untuk kepentingan siapa? Mari kita bersama-sama menjawabnya dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa kita sebenarnya sedang berada pada titik nadir peradaban kemanusiaan karena berbagai krisis yang tak jelas arah penyelesaiannya. Jauh lebih penting daripada mempertanyakan ini kepentingan siapa, kita semua punya hati nurani untuk melihat bahwa membangun kehidupan bersama dalam Indonesia jauh lebih indah dan bermakna ketimbang mengumbar emosi menyingkirkan liyan hanya karena kita berbeda. Indonesia adalah rahmat Tuhan bagi kita dan kita bertanggung jawab menjaga serta mengembangkan rahmat Tuhan ini bagi kebaikan seluruh ciptaan.


Steve Gaspersz, pernah bekerja pada Crisis Center PGI
Read more ...

Thursday, September 8, 2011

Pendeta Laki-laki di antara Impotensi, Potensi, dan Omnipotensi

Refleksi Ibadah Penutup Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM 2011

Bacaan: 2 Samuel 11:1-27

Tema: Pendeta Laki-laki di antara impotensi, potensi, dan omnipotensi


Kalau kita mencermati iklan-iklan yang dimuat pada sejumlah suratkabar maka kita akan menemukan iklan yang selalu muncul adalah iklan “obat kuat” untuk laki-laki. Pengertian “kuat” di sini tentu saja berkonotasi “seksual”. Artinya, obat itu dianggap mujarab untuk kaum laki-laki yang merasa “sudah tidak kuat” untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Atau istilah yang kerap kita dengar adalah impotensi.


Ternyata, meskipun Pdt. Eta Hendriks menyebutkan tentang laki-laki yang macho (perkasa), kaum laki-laki selalu dihantui rasa takut kehilangan “keperkasaannya” dan karena itu membutuhkan obat kuat untuk membuktikan keperkasaannya (secara seksual). Kalau “keperkasaannya” loyo maka kelaki-lakiannya dianggap tidak ada lagi.


Bacaan Alkitab kita ini tentu bukan bacaan baru atau asing bagi kita. Mungkin sudah ratusan kali kita khotbahkan dalam berbagai acara ibadah kita selama pelayanan kita sebagai pendeta. Saat ini saya hanya ingin kita melihat beberapa pokok refleksi untuk mengantar kita menutup seluruh rangkaian kegiatan temu raya selama empat hari ini. Perikop ini bisa dibagi ke dalam tiga episode.


Episode pertama. Daud sudah menjadi raja dan sementara menikmati masa kejayaannya. Dulu dia dianggap sebagai anak ingusan yang tidak diperhitungkan masuk bursa pemilihan pemimpin Israel. Tapi Daud dipilih oleh Tuhan untuk memimpin Israel sebagai raja. Dari orang yang dianggap “impoten”, dia kemudian menjadi seseorang yang sangat berpotensi (berkuasa dan perkasa) hingga mampu mendirikan kerajaan Israel Raya. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya, Daud lupa diri dan merasa bahwa dia kini adalah seorang yang maha perkasa atau OMNIPOTEN. Dengan begitu dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk menguasai tubuh perempuan bernama Batsyeba dan menjadikan Batsyeba sebagai pelampiasan nafsu syahwatnya.


Episode kedua. Namun demikian, kendati merasa omnipoten (maha perkasa dan berkuasa) Daud terbukti bernyali pengecut. Begitu mengetahui bahwa Batsyeba hamil, dia berusaha menutupi akibat perbuatannya itu dengan berbagai aksi manipulatif. Dia sengaja menjebak Uria, suami Batsyeba dan salah satu komandan pasukan perangnya, dengan cara menyuruh Uria untuk beristirahat, pulang ke rumah dan tidur dengan istrinya. Daud berharap Uria bersetubuh dengan Batsyeba supaya kehamilan Batsyeba bisa ditimpakan kepada Uria. Tetapi Uria ternyata tidak pulang ke rumah. Didorong oleh rasa tanggung jawab, komitmen, dan loyalitasnya kepada raja, dia tidur di depan istana. Rencana Daud gagal.


Episode ketiga. Gagal dengan rencana tadi, Daud merancang skenario penyingkiran Uria dengan lebih kejam lagi. Dia menyuruh pemimpin pasukan tertinggi, Yoab, untuk menempatkan Uria pada garis depan pertempuran melawan musuh yang paling kuat. Rencana jahat ini berhasil dilakukan dan Uria tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Tampaknya Daud tampil sebagai “pemenang” karena berhasil melakukan rencana jahat penyingkiran Uria hanya demi menutupi kebejatannya terhadap Batsyeba, istri Uria.


Ketiga episode itu memperlihatkan gambaran figur dua laki-laki yang berbeda. Daud adalah seorang laki-laki yang semula dianggap impoten, namun kemudian setelah bergelimang kekuasaan, dia pun merasa diri omnipoten atau maha perkasa/berkuasa. Dia merasa mampu mendapatkan apa saja yang diinginkannya karena punya kekuasaan. Semuanya dapat diambil atau direbut bagi dirinya sendiri kendati itu bukan haknya. Sedangkan figur Uria menggambarkan sosok laki-laki bertanggung jawab, punya komitmen, loyal dan berdedikasi kepada tuannya (raja). Dia rela mengorbankan perasaan pribadinya, bahkan keluarganya (hubungan dengan istrinya) hanya demi mempertahankan kesetiaan dan dedikasinya kepada raja.


Refleksi kita pada saat ini hanya ingin mengajak kita belajar dari karakter dua laki-laki ini: Daud dan Uria. Kita telah menyelesaikan serangkaian kegiatan selama empat hari temu raya ini. Seluruh proses yang telah kita jalani hendak mengajak kita untuk melihat posisi kita dalam pelayanan di jemaat-jemaat: POTEN, IMPOTEN, atau OMNIPOTEN? Apakah seluruh geliat pelayanan kita masih sangat kuat ditentukan oleh cara kita mencitrakan diri kita sebagai pendeta dan laki-laki? Integritas kita adalah kekuatan utama kita, seperti yang ditunjukkan oleh Uria. Tapi seberapa sering kita merasa harus bersembunyi di balik “kuasa” yang kita miliki.


Kita mesti jujur mengakui bahwa dalam realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM, sejak zaman dulu hingga sekarang, kita bisa menemukan ada suatu pendekatan dominan yang tampaknya sudah menjadi ciri kependetaan kita. Sering kita lebih nyaman memakai HOKMAT untuk menundukkan warga jemaat; bukan HORMAT untuk membuka ruang bagi proses mendengarkan keluhan mereka. Tak jarang pula terdengar pengalaman bahwa ada pendeta-pendeta yang lebih “perkasa” memakai TOGA untuk menentukan mati/hidup warga jemaat yang keras kepala dan pembangkang; bukan TOMA untuk mendorong mereka menemukan potensi mereka dan keluar dari masalah mereka sendiri. Kerap juga kita dengar atau bahkan kita alamai bahwa para pendeta menggunakan kuasa DOA untuk mengutuk warga jemaat yang kepala batu dan tidak mau bertobat; bukannya DATA untuk mencari tahu mengapa mereka tidak mau berubah.


Semua itu hanyalah sebagian kecil dari pengalaman dan sejarah yang mesti kita refleksikan bersama untuk membawa kita pada suatu visi dan misi pelayanan yang bernas dan kontekstual. Temu raya ini mau memposisikan kita sebagai para pelayan yang membangun potensi bersama. Oleh karena itu diperlukan semangat TIM. Ini bukan zamannya lagi pendeta McGiver, yang bisa bikin semua hal meskipun mungkin kita bisa melakukannya. Tetapi tentu saja tidak semua orang punya kemampuan unik semacam itu. Dan apakah memang kemampuan semacam itu yang menjadi ideal profil pelayan GPM? Kita tidak ingin menjadi pendeta yang OMNIPOTEN sebab itu merupakan perangkap untuk melemahkan jemaat-jemaat kita membangun dirinya sendiri. Dalam khotbah pembukaan oleh Pdt. (em) Bram Soplantila disebutkan mengenai istilah TTS (Tekun-Tabah-Setia) yang selalu diingatkan kepada para pendeta yang baru ditahbiskan pada masa beliau masih menjabat sebagai ketua sinode GPM. Sekarang pun kita masih tetap diminta untuk TTS. Tetapi istilah itu juga mengingatkan jangan sampai seluruh “kuasa” yang kita miliki malah membuat kita merasa omnipoten lalu menjadi TTS yang lain, yaitu “Tuan-Tuan Senang”.


Steve Gaspersz

Rumah Gereja Maranatha, 5 September 2011

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces