Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, April 20, 2016

Simposium Tragedi 1965: Catatan Ariel Heryanto


Simposium Tragedi 1965 baru saja berlangsung. Bagi saya, ini tidak hanya peristiwa sejarah tapi sekaligus sebuah pengalaman kolektif yang menyejarah bagi siapapun yang mendaku sebagai “orang Indonesia”. Saya sendiri tidak ikut acaranya. Paling banter hanya bisa mengikuti dari rekaman yang diunggah via situs youtube. Namun demikian, ada beberapa catatan “rekaman” peristiwa yang lebih bersifat reflektif dari Dr. Ariel Heryanto yang mengikuti acara tersebut. Dengan seizinnya, saya mengompilasi catatan-catatan reflektif yang ringkas itu menjadi satu catatan. Niat saya sederhana: ingin menjadikan momentum perjumpaan dalam simposium tersebut sebagai catatan awal dengan harapan wacana yang terbungkam puluhan tahun dan hanya menyeruak senyap melalui berbagai analisis sosial-politik oleh para peneliti luar negeri serta dikunyah sembunyi-sembunyi di balik pintu hegemoni negara oleh para pemerhati dalam negeri, kini terkuak setahap demi setahap. Pro-kontra jelas tak terhindari. Yang terpenting, simposium itu - dengan segala titik temu dan titik tengkarnya - makin menguak harapan bahwa kebisuan itu makin bersuara kendati masih lirih.

***

Simposium Tragedi 1965 (1/4)
IKUT ATAU BOIKOT?

Nyesel banget nggak bisa ikutan Hari Kedua Simposium Tragedi 1965, karena alasan kesehatan. Tapi ikutan hari pertama kemarin bener-benar sebuah berkah. Salut dan terima kasih saya untuk semua teman mau pun lawan politik saya yang mau bekerja sama untuk memungkinkan terjadinya pertempuran mulut dan pemikiran yang langka semacam ini. Dan terima kasih atas undangannya.

Terlepas dari isi perbincangan di hari pertama yang sudah banyak dilaporkan dan dibahas banyak pihak, ada satu hal yang masih menggoda benak untuk direnungkan lebih jauh sesudah berakhirnya Simposium 2 hari itu. Yang saya maksud adalah reaksi negatif beberapa pihak kawan dan lawan terhadap acara simposium itu sendiri. Sebagian mengejek, memaki, atau memboikot acara itu.

***

Simposium Tragedi 1965 (2/4)
MENGAPA SAYA MEMILIH IKUT

Sudah berpuluh tahun Orde Baru dan pendukungnya memonopoli ruang publik resmi untuk berbicara tentang kejahatan sosok yang dibayangkan dan sebut sebagai “G-30-S/PKI” dan “Orde Lama”. Yang tidak sepakat dibungkam. Penjejalan propaganda berpuluh tahun itu bisa membuat kita muntah-muntah.

Sudah berpuluh tahun pula saya ikut mendengar dan berbicara dalam kelompok lebih kecil dengan kawan-kawan seiman yang “anti-Orde Baru” untuk berbagi curhat soal kejahatan rezim itu. Banyaknya pengulangan “ayat-ayat dan kotbah” moral dan ideologis yang sama selama berpuluh tahun bukan tidak menimbulkan kejenuhan. Apalagi kalau ada yang berlomba mendaku lebih radikal atau lebih menderita sebagai korban Orde Baru.

Kemarin, untuk pertama kali dalam hidup, saya menyaksikan sebuah forum yang bisa mempertemukan sebagian dua kubu itu secara terbuka dan blak-blakan, dalam sebuah acara yang memang dirancang untuk bentrok gagasan dan emosi tanpa sensor atau ancaman fisik, dan direkam puluhan kamera, baik yang resmi dari panitia dan mau pun dari peserta untuk disebarkan langsung ke seluruh penjuru dunia. Mereka bukan sekedar berdebat, tetapi mau saling mendengar lawan debat. Ini langka.

Di luar tempat pertemuan, ada pasukan pengamanan berlapis-lapis dengan seragam mau pun yang tidak berseragam, untuk melindungi dan bukan membubarkan acara itu! Tentu saja, tidak semua pihak dan tidak semua pihak terwakili disitu. Tidak mungkin ada satu atau dua pertemuan yang mampu menampung semua.

Acara dibuka dengan pidato pejabat. Termasuk pidato pejabat negara (Menko Polhukam) Luhut Panjaitan dan mantan perwira tinggi militer (Sintong Panjaitan) yang sangat provokatif dan pro-Orde Baru. Karena pernyataan yang sangat bermasalah dari mulut tokoh penting akan selalu menjadi berita yang paling panas, tidak mengherankan bila pernyataan paling buruk mereka beberapa menit dari acara yang berdurasi 10 jam itu menjadi berita utama di media arus utama dan media sosial. Salah besar, jika kita mengabaikan berbagai pesan penting lain yang diangkat di forum dua hari itu; tidak semuanya baru, tetapi sebagian memang sangat baru untuk orang seperti saya.

Indonesia dan masalah 1965 terlalu besar bila dibandingkan dengan kedua tokoh purnawirawan militer itu. Dalam waktu dekat (beberapa tahun), keduanya akan mirip seperti senior mereka (mantan pejabat tinggi negara dan purnawirawan militer) yang duduk diam di samping saya selama acara, dan diperlakukan tidak lebih istimewa dari peserta lain selama Simposium. Sementara masalah Indonesia, dan “tragedi 1965” masih akan tetap berderap dalam puluhan tahun ke depan, tanpa mereka dan orang-orang seusia saya.

***

Simposium Tragedi 1965 (3/4)
MEREKA YANG MENOLAK

Saya memahami dan menghormati pilihan kawan-kawan yang mengejek, memaki atau memboikot acara Simposium kemarin. Saya juga berterima kasih atas berbagai kritik yang sudah mereka publikasikan, karena semua itu berjasa mengingatkan semua yang hadir agar tetap kritis dan waspada pada kemungkinan terjungkalnya acara itu tidak lebih dari selubung untuk membenarkan skenario yang sudah dipasang pemerintahan Jokowi untuk memaksakan sebuah cara mengubur masalah 1965 dengan gaya yang tidak berbeda jauh dari gaya Orde Baru.

Resiko negatif itu jelas ada pada Simposium. Tetapi saya tetap ikut acara Simposium, dengan tiga alasan. Pertama, pada dasarnya, saya penggemar resiko, walau selalu dalam skala kecil-kecilan dan sebatas yang kira-kira mampu saya atasi. Kedua, saya tidak berharap hasil yang sangat besar dan positif bagi korban 1965 dari Simposium ini, apalagi semacam “penyelesaian”. Selagi masih bisa, saya hanya ingin mengamati sebuah mata-rantai dari sebuah proses sangat panjang yang saya yakin akan berusia lebih panjang dari hidup saya.

Ketiga, yang paling penting, ini sebuah pilihan resiko yang didukung oleh kepercayaan pada integritas banyak rekan-rekan aktivis HAM yang bekerja dalam dan di samping kepanitiaan. Mereka ini bekerja keras di balik layar untuk bernegosiasi dengan pihak lawan, mendapat berbagai tekanan, dan tetap bertahan untuk sebuah kepentingan bersama yang lebih besar. Mereka tidak tampil sebagai pembicara, walau kualitas mereka dalam topik bahasan Simposium jauh di atas rata-rata pembicara simposium, seperti saya.

Ketika rekan-rekan aktivis lain memaki-maki Simposium, jauh hari sebelum berlangsungnya acara, rekan-rekan aktivis di dalam dan di samping kerja kepanitian itu memilih diam, karena alasan-alasan yang saya duga Anda tahu sendiri. Mereka tidak atau belum merasa perlu membela diri. Tetapi kawan-kawan aktivis ini tidak sendirian berada dalam posisi terjepit.

Dari pihak pemerintah dan militer yang berada dalam kepanitiaan itu juga mengalami posisi tidak berbeda jauh dari rekan-rekan aktivis. Lebih dari satu sumber terpercaya menjelaskan pada saya bahwa para pejabat negara itu mendapat tekanan keras – sangat keras – dari rekan-rekan mereka sendiri. Sebagian meminta Simposium itu dibatalkan. Beberapa nama mereka sudah dijadwalkan, tetapi mereka menolak hadir.

Jika para aktivis yang anti-Simposium menuduh acara ini hanya tipu-muslihat untuk membenarkan kejahatan 1965, sejumlah pejabat dan perwira tinggi menuduh Simposium ini sebagai “acara PKI”. Ini bukan sekedar tuduhan dari Front Pancasila yang sudah banyak disiarkan, tetapi tuduhan dari para tokoh senior pemerintahan dan militer. Berbeda dari Front Pancasila dan sebagian para aktivis HAM yang sama-sama menolak, mengejek atau memboikot Simposium dengan suara lantang di muka publik, para pejabat dan perwira tinggi yang anti-Simposium ini memilih bungkam di muka publik.

***

Simposium Tragedi 1965 (4/4)
PASCA-SIMPOSIUM

Jadi, apa yang akan terjadi pasca-Simposium merupakan sebuah pertanyaan-terbuka. Yang jelas, tidak bisa terburu dirayakan atau dikutuk. Perbedaan pandangan dan kepentingan yang tampil dalam Simposium akan berlanjut. Dan apa pun hasilnya, semua itu hanya bagian dari sebuah proses yang panjang dan meletihkan, tetapi perlu.

Mungkin akan ada acara lain di masa depan yang mirip Simposium ini. Pertanyaanya, apa yang dapat kita kerjakan di luar Simposium, dan dimana (jika ada) peluang untuk saling menguatkan perjuangan rekan-rekan di dalam dan di luar acara semacam Simposium ini di masa depan. Saya ingat kritik seorang rekan aktivis dari Filipina, Randy David, pada kelompok kiri di negerinya semasa terjadi proses suksesi rezim Marcos ke Aquino.

Setelah terdesak oposisi, Marcos mengadakan Pemilu sebagai upaya merebut kembali legitimasi kekuasaannya. Tentu, sebagai presiden petahan, ia punya peluang dan kepentingan untuk menyiapkan berbagai strategi jahat untuk memenangkan pemilihan itu. Kelompok kiri menyerukan boikot. Pemilu berlangsung, Marcos melakukan berbagai kecurangan, kecurangan itu dibongkar. Rakyat marah dan didukung kelompok “konservatif”. Terbentuklah gelombang besar gerakan rakyat yang menumbangkan Marcos. Kelompok Kiri tidak ikut berpesta sebagai pemenangnya.
Read more ...

Friday, April 15, 2016

Lelaki Harimau

Setahun lalu saat mendapat kesempatan nyantri sejenak di padepokan Cornell University, momen yang paling menyenangkan adalah duduk ndlosor di lantai Olin Library lantai 2. Di salah satu pojoknya berjejer-bertumpuk novel-novel karya novelis Indonesia. Itu adalah kesempatan membaca novel-novel terutama karya Pramoedya Ananta Toer yang belum sempat kubaca (salah satunya karena "kanker" atau kantong kering). Sesekali membuka-buka buku-buku kecil Kho Ping Ho yang menjadi bacaan favorit sewaktu SMP/SMA di Malang.

Sebagian besar novel Pram sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris (dan beberapa bahasa asing lainnya). Ditulis dalam bahasa Indonesia tapi punya daya dan pesona yang menarik kalangan sastra internasional untuk menerjemahkannya ke berbagai bahasa lain. Tak perlu "keminggris" demikian istilah bung Joss Wibisono. Pustakawan Cornell University, Ben Abel, pun pernah bertutur saat mengajakku berkeliling kampus dan kota mungil Ithaca, Pram pernah diundang oleh Ben Anderson ke Cornell sebagai salah satu narasumber penting mengenai sastra dan sejarah Indonesia.

Kini dunia sastra Indonesia pasca Pram menggeliat ketika novel "Lelaki Harimau" karya Eka Kurniawan mampu menembus nominasi Man Booker International, suatu penghargaan prestisius terhadap karya sastra berbahasa Inggris. Nama Eka (jebolan Fakultas Filsafat UGM) ini pun berjajar dalam nominasi bersama penulis ternama lain, seperti Han Kang (Korsel), Yan Lianke (Cina), Kenzaburo Oe (Jepang), Marie NDiaye (Prancis), Elena Ferrante (Italia), dan Orhan Pamuk (Turki). Dalam dunia sastra internasional, Man booker disebut-sebut berada hanya setingkat di bawah Hadiah Nobel sastra.

Novel ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Adalah Ben Anderson, dedengkot kajian Indonesia di Cornell, yang mendesak Eka untuk menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Ben Anderson pula yang pada akhirnya mencari koleganya untuk membantu Eka menerjemahkan novel-novelnya, terutama "Lelaki Harimau". Kini "Lelaki Harimau" sudah diterjemahkan ke lima bahasa dan "Cantik Itu Luka" ke 24 bahasa. "Brilliant, tight-knit and frightening village tragedy," demikian catatan Benedict Anderson terhadap "Lelaki Harimau" dalam New Left Review.

Bisik-bisik teman di sebelah: "Ekspresikan saja jiwamu lewat bahasamu. Orang akan merasakannya tanpa kau harus keminggris." Begitukah?

Selamat untuk Eka Kurniawan! Sayang sekali, Eka tak punya akun facebook. "Aku sudah detoksifikasi dari media sosial. Satu-satunya yang aku punya adalah blog, karena blog adalah penemuan yang ajaib... Aku menikmati dan bertahan menulis blog," kilahnya menutup percakapan dengan TEMPO (14-20 Maret 2016).
Read more ...

Thursday, April 14, 2016

Koimin

Namanya Pak Koimin. Tidak usah mencarinya di mesin pencari Google. Percuma karena nama maupun fotonya tidak akan ditemukan. Lagi pula dia tak punya akun di media sosial apapun. Sosoknya kurus. Tinggal sebatang kara di sebuah rumah kecil super sederhana pinggir sarean (kuburan). Kalau kuterka usianya sekitar 70 tahun. Kegiatannya sehari-hari biasa berjalan keliling seputaran kampung tempat tinggalku sambil menenteng karung beras. Dari rumah ke rumah mengais-ngais tempat sampah mencari penggalan-penggalan sampah bersih.

Aku mengenalnya lebih dekat ketika suatu hari dia datang menawarkan jasa untuk membersihkan selokan dan pinggiran rumah kontrakanku yang sudah lebat ditumbuhi rumput liar. Sudah lama ingin kubersihkan tapi selalu saja ada alasan untuk tidak melakukannya. Tidak tega juga mengiyakan permintaan orang tua ini tapi karena dia mendesak halus maka “deal” saja tanpa sepakat berapa ongkos jasanya.

Kalau tak salah ingat sudah 3 kali dia datang membersihkan rumput liar di sekitar rumah kontrakanku. Kalau rumput belum tumbuh biasanya aku atau istriku memberikan beberapa “sampah bersih” kepadanya. Belakangan aku tahu dari percakapan dengan Pak Koimin ketika kami bersama-sama membersihkan rumput liar bahwa “sampah bersih” itu dikumpulkan dan disortir di rumahnya yang kecil-sumpek itu untuk kemudian dijual kembali kepada agen pemulung yang bermodal menengah. Demikianlah caranya mendapatkan sedikit uang untuk makan sehari-hari.

Tak banyak yang diceritakannya tentang istri dan anaknya. Aku malah tahu sedikit tentang keluarganya dari ibu Sumirah, tetangga Pak Koimin, yang juga kenalan kami di kampung situ. Kata bu Sumirah, Pak Koimin dan istrinya tidak punya anak. Mereka kemudian mengambil keponakan Pak Koimin (anak dari adik Pak Koimin) sebagai anak angkat. Keponakannya ini ditelantarkan oleh orang tuanya sehingga dipelihara dan dibesarkan oleh Pak Koimin dan istrinya. Sekarang anak ini sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di desa pinggiran kota Salatiga. Rumah tangga Pak Koimin juga tidak utuh lagi karena sudah lebih 10 tahun dia dan istrinya berpisah. Lagi menurut bu Sumirah, tak seorang pun (termasuk Pak Koimin) di kampung yang tahu dimana keberadaannya. Tinggallah Pak Koimin sebatang kara melanjutkan hidupnya di rumah kecil sederhana pinggir sarean itu.

Salah satu kegiatan Paskah di GPIB Salatiga yang lalu adalah mengumpulkan busana bekas layak pakai untuk kemudian disumbangkan kepada saudara/keluarga yang bersedia menerimanya karena membutuhkannya. Aku dan istriku berpartisipasi tapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengumpulkannya di gereja tapi memberikannya kepada Pak Koimin. Nanti terserah dia saja mau diapakan “pemberian” kami ini.

Sudah lebih sebulan “paket” Paskah untuk Pak Koimin mangkrak di rumah kami karena orang yang kami tunggu tak kunjung lewat depan rumah kontrakan kami. Beberapa kali kusempatkan lewat sarean setiap mengantar anak kami ke sekolah. Biasanya Pak Koimin lesehan di depan rumahnya. Tapi beberapa kali pula tak kulihat sosoknya. Mungkin dia sedang menengok anaknya di desa pinggiran kota Salatiga, pikirku. Aku dan istriku saling bertanya kemana Pak Koimin selama ini. Sempat terpikir untuk membawa saja “paket” Paskah ini langsung ke rumahnya. Tapi harus diberikan kepada siapa kalau tidak ada orang lain selain dirinya di rumah itu?

Baru kemarin kami tahu dari bu Sumirah bahwa ternyata Pak Koimin sudah berpulang ke rahmatullah 3 minggu lalu. “Kenapa tidak ada berita duka yang biasa kudengar dari corong masjid?”, tanyaku pada bu Sumirah. “Iya, Pak Koimin itu orangnya gak masuk masjid sana maupun sini,” kata bu Sum. Sedih sekali kami mendengarnya sambil menatap “paket” Paskah Pak Koimin yang teronggok di ruang tamu.

Sayup-sayup terngiang pesan-pesan Paskah tentang spiritualitas ugahari dan persahabatan kemanusiaan yang kian terkoyak egoisme surgawi yang marak dijajakan saat ini. Mungkin pesan itu mencuat karena religiositas kita makin mewah dalam kemasan-kemasan ritual nan rumit dengan bahasa dan anggaran yang melangit. Kali ini Pak Koiminlah yang mengajarkan dan membumikan spiritualitas ugahari itu kepada keluargaku. Hidup dan pergi sebatang kara.

Inalilahi wainalilahi rojiun...
Read more ...

Sunday, April 10, 2016

HAMBALANG (Habis Makan Buang Tulang)

Presiden Jokowi melakukan kunjungan mendadak ke lokasi proyek Hambalang yang telah mangkrak selama kurang lebih 3 tahun. Menurut paparan sejumlah media cetak dan media elektronik, segera setelah peninjauan proyek mubazir ini presiden melakukan rapat koordinasi kabinet untuk membahas nasib Hambalang.

Mubazir? Setidaknya dari pernyataan Presiden sendiri memperjelas ketidakjelasan untuk melanjutkan proyek ini, jika tidak ingin dikatakan mubazir. Mau dilanjutkan untuk apa; kalau tidak dilanjutkan malah menjadi monumen aib bancakan uang proyek negara trilyunan rupiah yang dinikmati para elite rakus uang.

Detail kronologis penetapan proyek, nominal proyek, mekanisme bagi-bagi jatah proyek yang entah secara langsung atau tidak melambungkan nilai proyek menjadi trilyunan rupiah, sudah dirilis berlapis episode oleh berbagai jenis media. Tak perlu mengulangnya lagi di sini. Atau tanyakan saja pada para pakar studi pembangunan.

Soal proyek mangkrak seperti Hambalang jelas bukan fenomena dan fakta baru di republik ini. Apa yang menarik dari kasus hambalang ini adalah itu terjadi di tengah gempuran dua gelombang besar zaman ini yang menandai dinamika sosial-politik dan kebudayaan masyarakat Indonesia pasca-1998: (1) gerakan anti-korupsi dan pemerintahan bersih dan (2) politik hedonisme yang berakar pada relasi-relasi sosial klientelistik.

Dengan perkataan lain, jika saja semangat zaman tidak berpihak pada kontrol sosial dan kebebasan media massa maka sudah tentu kongkalikong bagi-bagi proyek negara hanya berlangsung senyap di kalangan segelintir pemburu rente. Hanya keberpihakan sejarah pula yang membuka celah cukup lowong untuk mengintip dan menguntit pola-pola penelikungan anggaran negara semacam itu saat ini. Deus ex machina.

Namun, ironisnya, ruang kebebasan berekspresi melalui apa yang dijargonkan dengan demokratisasi tersebut juga mengundang efek bola salju radikalisasi lokalitas. Membuncahnya semangat desentralisasi yang dilihat sebagai manifestasi demokratisasi ternyata makin memperkokoh konstruk relasional patron-klien di berbagai wilayah Indonesia. Suatu fenomena waktuwi yang kian menyuburkan politik klientelisme pasca gelombang pasang desentralisasi.

Memang adalah fakta yang tak terhindari bahwa konstruk sosiologis masyarakat nusantara yang mengindonesia secara politis (state) ini belum tuntas berproses menjadi suatu "nasion". Maka benturan-benturan ideologis yang penuh citarasa primordial (etno-geografis) masih kental mewarnai relasi-relasi sosiobudaya masyarakatnya. Termasuk dengan menebarkan aroma keselamatan surgawi melalui komodifikasi agama di ruang-ruang publik hanya demi penguatan politik pengakuan "ini punyaku" dan "persetan dengan yang lain".

"State" sendiri tampaknya masih kelimpungan menata kejamakan dirinya secara demokratis-prosedural sehingga berkali-kali gagal paham dan lumpuh aksi mengelola multikulturalisme yang sejak semula telah menjadi habitusnya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa di tengah kegamangan tersebut selalu muncul utopia kembali ke zaman "rust en orde" seperti jargon mbah Harto "piye, isih penak jamanku tho?". Atau, terperangkap pada relasi-relasi jumud klientelistik demi menyamankan diri dan kroni-kroninya sendiri. Maka jadilah dramaturgi politik kekerabatan, perkoncoan dan kroni.

Di mana posisi rakyat dan seluruh kerumitan meningkatkan kesejahteraannya? Ah, itu tampaknya hanya status-status klise nan basi yang sekadar membumbui kasak-kusuk nominal anggaran belanja dan pendapatan negara oleh para "yang mulia" di padepokan sejuk senayan. Rakyat tetap penting sebagai jargon negosiasi anggaran yang hendak digelontorkan. Soal kemana dana itu mengalir sampai jauh tentu hanya mereka yang mengetahui dan menikmati sepuas-puasnya.

Tapi tak baik berburuk sangka. Tetap ada sisa yang masih dapat dinikmati oleh rakyat. Sisa? Ya, sisanya saja. Malah mungkin cuma puing-puing bangunan yang mangkrak seperti Hambalang itu. Trilyunan coi. Ini permainan anggaran yang bukan main-main. Toh, yang kita saksikan kini cuma kerangka bangunan tak berbentuk dengan tumpukan asesorisnya yang turut melapuk. Sungguh ini suatu gambaran kedegilan dan pesta pora para cecunguk politik yang penuh kebiadaban di tengah realitas rakyat yang jatuh-bangun sendiri mengurus perut mereka plus beban pajak sana-sini yang hanya berakhir tragis di lahan Hambalang.

Inilah gambaran politik hambalang yang merasuki nurani mereka yang mendaku sebagai "wakil rakyat" dan "pejabat". Politik hambalang yang jelas-jelas berarti "habis makan buang tulang". Mereka sudah kenyang menggerogoti semua isi daging proyek pembangunan dan hanya menyisakan tulang-tulang kering untuk dijilat ramai-ramai oleh rakyat dengan program-program mercusuar pembangunan tanpa jelas apa manfaatnya untuk rakyat.

Hambalang, habis makan buang tulang. Oh iya, masih soal politik hambalang, kita juga perlu mengintip dan menguntit proyek-proyek pembangunan nun jauh dari metropolis Jakarta. Kalau sulit menelusuri jejak-jejaknya, setidaknya siapkan saja kamera atau smartphone untuk sekadar berselfie. Termasuk pula jangan melewatkan sesi-sesi berselfie di JMP yang baru diresmikan.

Kalau sudah puas, mari kita berselfie ria di sepanjang jalan trans Pulau Seram dengan latar jembatan-jembatan putus yang mangkrak bertahun-tahun. Atau sempatkan juga ke Pulau Buru, Kei, Yamdena dan Aru. Sambil berselfie di jembatan putus, jangan lupa memotret bagaimana rakyat berjerih tertatih-tatih menjaga jiwa mereka dalam kubangan hidup miskin di tengah lalu lalang fortuner dan pajero para pejabat yang menyambangi mereka hanya untuk sekadar menyatakan "selamat miskin". Karena kemiskinan rakyat punya nilai jual mahatinggi melanggengkan pesta pora berhambalang. Habis makan buang tulang.

Anti pembangunan? Tidak. Justru kita harus tetap kritis pada setiap detail program pembangunan dengan orientasi jelas apa visi dan bagaimana implementasinya. Tanpa itu, bersiap saja menikmati tulang yang dagingnya habis digerogoti para pelahap anggaran negara (yang terkumpul dari butiran-butiran keringat pajak rakyat yang kerja, kerja, kerja). Mungkin JMP bisa menjadi jargon baru kita agar tidak silau dengan proyek-proyek mercusuar pembangunan. Yang kumaksud bukan jembatan itu tapi "Jang Makang Puji" agar nalar dan nurani kerakyatan kita tidak ditumpulkan dan dilumpuhkan demi "tulang" yang terpaksa kita jilat ramai-ramai karena tak lagi berdaging.
Read more ...

Tuesday, April 5, 2016

Jembatan

Presiden Joko Widodo telah meresmikan Jembatan Merah Putih (JMP) pada 4 April 2016. Sebagai orang Ambon aku turut bangga. Tapi itu hanya jadi kebanggaan semu jika tidak disertai kesadaran akan fungsi esensial suatu jembatan. Jembatan adalah penghubung dua bagian yang terpisah yang sulit dijangkau. Dengan perkataan lain, ada ceruk yang dalam atau kesenjangan yang curam sehingga dua bagian terpisah tadi sulit dihubungkan. Di situlah jembatan sebagai penghubung diperlukan.

Dalam perspektif geografis, konteks kepulauan Maluku memang memerlukan sarana penghubung. Sarana penghubung itu tidak harus jembatan. Masyarakat kepulauan Nusantara sudah sejak berabad-abad lampau membangun sarana penghubung antarwilayah, antarkomunitas dan antarkebudayaan bukan dalam wujud jembatan fisik tapi transportasi laut, yaitu kapal layar dan perahu. Sarana penghubung inilah – yang jangkauannya melebihi jembatan terpanjang manapun di dunia – telah melahirkan beragam bentuk interaksi sosial, beraneka model hibridisasi tradisi dan kebudayaan, serta membangun peradaban yang heterokultural. Faktor-faktor itulah yang menjadi karakteristik masyarakat kepulauan yang terbuka dan kaya corak warna budayanya.

Dengan perspektif geografis tersebut maka dari sudut kemanfaatannya, fungsi JMP tidaklah terlalu signifikan sebab “kesenjangan” – jika bisa disebut demikian – sebenarnya sudah lama terjembatani oleh sarana penghubung perahu layar, feri penyeberangan Galala-Poka dan jalur darat mengitari setengah badan dalam Pulau Ambon (jika tujuannya ke airport atau negeri-negeri selanjutnya hingga ke Tanjung Alang). Maka kemungkinan signifikansi JMP adalah seputar efisiensi waktu, penghematan bbm, dan landmark Pulau Ambon (menggantikan eksotisme Teluk Ambon sebagaimana yang digambarkan dengan sentimentil dalam syair lagu “Amboina Bay”).

Dari perspektif sosiohistoris dan kebudayaan, kemajemukan masyarakat selalu membutuhkan jembatan komunikasi yang tidak mesti berwujud konstruksi fisik tapi konstruksi ide. Dari perspektif sosiohistoris, JMP ini seolah-olah menjadi simbol penghubung antara dua jazirah (Leihitu dan Leitimor) yang sudah sejak zaman kolonial Belanda dipetakonflik sebagai dua wilayah dengan oposisi biner Islam-Kristen. Oposisi biner tersebut kemudian merambah menjadi konstruksi kesadaran ide budaya dan identitas agama yang selalu ditempatkan secara konfrontatif satu terhadap yang lain, terutama sejak masa singkat Pendudukan Militer Jepang yang mengguratkan oposisi biner keagamaan itu sebagai warisan hingga kini.

Apakah dengan begitu JMP menjadi signifikan fungsinya jika ditelisik dari perspektif sosiohistoris dan kebudayaan? Aku rasa tidak terlalu signifikan juga. Jazirah Leihitu dan Jazirah Leitimor punya sejarah panjang perjumpaan yang diwarnai oleh berbagai periode historis yang bervariasi, peristiwa-peristiwa politik yang dinamis dan komunikasi budaya yang dialektis-fungsional.

Beberapa waktu lalu, aku bertandang ke Negeri Wakal di Leihitu. Di sana aku bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa sesepuh masyarakat. Mereka tahu aku berasal dari Naku, salah satu negeri di Leitimor. Yang membuatku kagum dan takjub adalah mereka sama sekali tidak menggubris oposisi biner yang kerap digembar-gemborkan dalam catatan-catatan sejarah kolonial. Mengapa? “Katong ini sebenarnya punya hubungan moyang-moyang. Tagal itu katong ini basudara,” demikian ujar seorang sesepuh Wakal kepadaku seolah menjawab pertanyaan mengapa tadi. Jawaban sederhana tapi bernas tadi dengan segera menegaskan bahwa “jembatan kebudayaan” antara dua wilayah yang kerap digambarkan senjang hanya karena berbeda agama sudah lama terbangun kokoh dalam ingatan-ingatan kolektif masyarakat. Narasi yang sama yang aku dapatkan ketika melakukan penelitian di Naku tahun 2000 saat Ambon sedang berada pada titik nadir konflik sosial.

Catatan kecil ini sama sekali tidak berpretensi mereduksi pentingnya JMP. Itu tak lagi penting karena jembatannya sudah diresmikan dan siap pakai, kendati signifikansi JMP sekali lagi ditentukan oleh beragam interes baik dari pihak pemprov, pemkot, berbagai pemangku kepentingan dan sudah pasti masyarakat penggunanya. Tentu saja, adalah non-sense jika proyek miliaran rupiah ini hanya didasarkan pada alasan efisiensi waktu menuju airport atau kampus Unpati. Teman-temanku yang kuliah di Unpati dulu selalu bangga menyebut bahwa mahasiswa paling keren di Indonesia ini ya cuma mahasiswa Unpati karena pergi-pulang kuliah naik feri. Tentu saja itu bagi mereka yang tinggal di Leitimor dan kota Ambon, tapi tidak bagi yang tinggal di Leihitu dan Baguala.

Peresmian JMP ini dan penggunaannya seyogyanya dimaknai lebih jauh untuk melihat berapa banyak (lagi) kesenjangan-kesenjangan antarwilayah kepulauan di Maluku yang perlu dijembatani secara proporsional dan eksistensial. Pertumbuhan ekonomi kota Ambon telah menarik gelombang investasi dan manusia yang massif. Sementara itu kelangkaan lahan makin menjadi isu penting yang perlu diperhatikan oleh semua pihak. Komposisi demografi kota dan pulau Ambon yang kian majemuk turut memicu kesenjangan antarbudaya yang mesti disertai dengan membangun konstruksi ide dan praksis multikulturalisme sebagai jembatan komunikasi lintas budaya. Belum lagi memperhitungkan proyeksi dan signifikansi Henahetu yang secara sosiologis punya pengaruh besar bagi perkembangan kota Ambon tapi secara administratif masih tersekat karena berada pada wilayah otoritas pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Kita masih bisa menambah deretan panjang kesenjangan di Maluku yang membutuhkan “jembatan-jembatan” ideologis dan antropologis. Setidaknya agar kita, orang Maluku, tidak hanya terpasung pada pesona-pesona kemegahan fisik proyek-proyek pembangunan lantas malah rapuh dalam pemaknaan pembangunan itu sendiri.

Presiden Joko Widodo sudah meresmikan JMP. Kini saatnya kita, orang Maluku, membuktikan bahwa itu bukan sekadar landmark untuk dipuja-puji dan menjadi arena selfie belaka. Namun menjadi simbol dari kekayaan khazanah kebudayaan Maluku yang sudah terbukti menjadi simpul perjumpaan berbagai kebudayaan dan peradaban manusia. Menjadi Maluku adalah menjadi manusia lokal dengan perspektif global dan daya komunikatif berjangkauan lintas budaya. Tampaknya, jauh sebelum Manuel Castells menelorkan tesisnya tentang “network society”, para leluhur kita sudah berabad-abad membangun kebudayaan sebagai network society dengan rasionalitas zamannya. Hanya saja kita kemudian selalu dilumpuhkan oleh nalar dan praksis pembangunan yang berideologi monolitik dan monopoli. JMP hanya tanda kecilnya. Kita perlu pembuktian tanda besarnya: bertahan dalam era network society dan glokalisasi kebudayaan, serta menjadi masyarakat komunikatif.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces