Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, November 27, 2012

Menjelang Sidang MPL Sinode GPM Tahun 2012

Perhelatan gerejawi Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 kian dekat. Dapat dibayangkan bahwa kesibukan pun meningkat mempersiapkan segala sesuatu untuk dipertanggungjawabkan, dilaporkan, dievaluasi, dan dipercakapkan untuk tindak lanjut dari seluruh proses menggereja pada semua lini pelayanan. Ada kekecewaan secara pribadi karena saya tidak bisa terlibat dalam peristiwa tersebut. Saya beberapa kali mengikuti persidangan MPL (dulu: BPL) tapi kekecewaan kali ini semata-mata karena tidak bisa menginjakkan kaki di Klasis Pulau-pulau Babar. Sesuatu yang sudah lama menjadi kerinduan tapi belum terwujud.

Penyelenggaraan Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 di Klasis Babar tentu memiliki makna substansial dan strategis. Makna substansialnya terletak pada konteks geografis dan kebudayaan jemaat-jemaat GPM di kepulauan Babar. Jika menggunakan lensa “pusat-pinggiran” (centre-periphery) maka secara geografis gugusan pulau-pulau ini berjarak sangat jauh dari kota/pulau Ambon yang selama ini selalu dilihat sebagai “pusat” (pemerintahan, pendidikan, modernitas, dll). Perspektif tersebut berimplikasi pada menguatnya gerakan menuju “pusat” dalam bentuk urbanisasi. Gerakan menuju “pusat” itu memperlihatkan bahwa konteks sosiobudaya Babar lebih dikonotasikan sebagai “[ter]pinggir[k]an”.

Konotasi “[ter]pinggir[k]an” sudah lazim dalam wacana pembangunan sejak zaman kolonial hingga era kemerdekaan politik sekarang di Indonesia. Konotasi tersebut dengan segera mencuatkan pencitraan tentang “ketertinggalan”, “keterbelakangan”, uncivilized, yang selalu kontras dengan citra modernitas pada “pusat”: melimpahnya fasilitas publik yang memberi kenyamanan dan efisiensi pada warganya. Dengan demikian, perspektif tentang konteks geografis sedemikian pada gilirannya memengaruhi cara pandang kita tentang kebudayaan masyarakatnya, yang juga dianggap [ter]pinggir[k]an.

Sudah cukup lama saya mendengar istilah “blakang tana”. Sejauh saya tahu, ketika disebutkan istilah itu menunjuk pada situasi sosial dan budaya seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari wilayah yang jauh dari Ambon. Biasanya itu ditujukan kepada “orang-orang Tenggara”, suatu istilah lain lagi yang bernada pejoratif ketika dikontraskan dengan situasi sosial “orang Ambon” dan budaya “adiluhung” Ambon (yang terbukti kemudian hanya penjiplakan setengah-hati budaya kolonial Belanda). Penamaan tersebut merupakan reproduksi pencitraan patron-klien yang diciptakan oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda) yang menggunakan strategi segregasi sosiobudaya demi memudahkan pelestarian hegemoni kolonial. Hingga kini pun kita masih bisa melihat dan mendengar pelestarian hegemoni kolonial tetap berlanjut dalam ingatan kolektif dan konstruksi identitas masyarakat dan jemaat kita.

Lantas, apa makna strategisnya? Euforia pemekaran wilayah (kabupaten), termasuk kabupaten Maluku Barat Daya, tentu berdampak ekonomis dan politis yang signifikan bagi proses-proses sosial di Babar. Sudah menjadi opini umum bahwa sebagian besar proses pemekaran wilayah berujung pada keretakan relasi-relasi sosial, bahkan konflik yang berdarah-darah. Wilayah dan komunitas yang semula diagung-agungkan memiliki keharmonisan dan kesatuan hidup, tiba-tiba berubah menjadi kubu-kubu politik identitas yang saling mendaku memiliki otoritas melebihi yang lain.

Parpol-parpol yang mengusung ide pemekaran wilayah saling berbenturan kepentingan politik sehingga tidak lagi fokus pada penguatan fondasi sosiobudaya pasca-pemekaran untuk menentukan prioritas dan strategi pembangunan yang menjadi idealnya semula. Apa yang tampak menguat hanyalah kontestasi kekuatan-kekuatan politik yang mencari celah-celah kesempatan memperkuat posisi kelompoknya sendiri sembari tak peduli pada tujuan-tujuan politik bagi kepentingan rakyat bersama.

Dalam kekalutan situasi politik semacam itu – terbuka maupun terselubung – ada harapan-harapan yang ditujukan kepada institusi-institusi keagamaan (baca: gereja) agar memainkan peranan politik secara strategis. Politik di sini baiknya dipahami dalam pengertian yang luas, sebagai upaya mengelola relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan ideal bersama sebagaimana telah disepakati (konsensus). Dalam konteks sedemikian, gereja (GPM) tidak punya pilihan lagi selain terlibat aktif dalam pengelolaan relasi-relasi kekuasaan agar berjalan seturut dengan visi dan misi menggerejanya. Di sini gereja memerlukan strategi yang bersifat dialektis antara misi teologis dan misi sosiologis/politis. Gereja tidak bisa menghindarinya sebagai pelarian dari tanggung jawabnya.

Bagaimanakah makna substansial dan makna strategis ini dimanifestasikan selanjutnya? Tentu bukan kewenangan saya untuk mengelaborasinya lebih lanjut dan lebih dalam. Setidaknya catatan ini hanya menjadi semacam “lampu kuning” agar percakapan selama sidang MPL tidak hanya menjadi retorika basi atau pepesan kosong. Dana miliaran rupiah yang digelontorkan untuk penyelenggaraan sidang ini mesti menjadi pusat keprihatinan bahwa di baliknya ada tangan-tangan kurus yang memberi dengan hati penuh cinta kepada gerejanya; ada perut-perut kelaparan saat menyuguhkan makanan kepada peserta sidang; ada tangisan-tangisan menyayat hati di balik tawa saat melayani kebutuhan peserta persidangan; ada keinginan tak terucapkan saat mendengar para peserta bicara tentang program pelayanan; dan ada persoalan besar yang tidak terelakkan – “Apa yang kami (jemaat) terima setelah semua ini usai?”

Selamat berlayar dan bersidang!
Read more ...

Belajar dari JM: Catatan Kecil

Catatan singkat ini pertama-tama ditulis sebagai apresiasi atas penghargaan Tannenbaum yang diterima oleh Pdt Jacky Manuputty (selanjutnya: JM) beberapa waktu lalu di New York. Beberapa tahun lampau saya sudah menulis refleksi singkat ketika menghadiri penganugerahan Maarif Award kepada JM di Taman Ismail Marzuki Jakarta (lihat “Maarif Award untuk Rakyat Maluku” dalam buku IMAN TIDAK PERNAH AMIN).

Kendati pemberian ini patut diberi penghormatan yang selayaknya, saya tidak ingin terlalu berbuih-buih dengan pujian-pujian kepada JM. Tegasnya, saya tidak ingin jatuh pada perangkap kultus individu secara berlebihan tapi abai menangkap makna dari proses yang dijalani oleh JM. Saya justru ingin melihat sisi lain yang sempat saya kenal dari pengalaman berdialog dan bekerja bersama-sama JM hingga saat ini. Itulah titik pijak saya untuk menuliskan sesuatu tentang pencapaian JM seperti yang telah kita lihat melalui penganugerahan penghargaan bertaraf internasional kepadanya.

Pencapaian JM tersebut tentu bukan sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja. Ini merupakan salah satu buah dari hasil kerja keras dan konsistensi memperjuangkan sesuatu bagi kepentingan komunitas yang diadvokasi oleh JM. Hal yang paling jelas dalam pengalaman saya bersama JM adalah ketegasannya untuk tidak membeo pada capaian orang lain dan kegigihan untuk menampilkan sesuatu yang orisinal, buah dari pemikiran dan kreativitas diri. Prestasi orang lain menjadi acuan untuk menggarap seluruh potensi diri dan menghasilkan sesuatu yang khas. Itulah yang kemudian ditawarkan dalam proses belajar bersama dengan orang lain. Orang lain – siapapun dia – tidak menjadi patron yang kepadanya kita hanya “tunduk” dan “kagum” sambil bahkan setengah memuja, tetapi orang lain menjadi mitra berpikir dan belajar untuk menemukan kapasitas diri sendiri dalam berkreasi.

Mengikuti langkah-langkah panjang JM, bisa membuat kita pontang-panting. Pernyataan ini bisa dibaca secara harafiah, karena saya pernah mengikuti JM berjalan kaki usai menjadi juri lomba debat dan lomba bertutur dalam dialek Ambon pada Jambore Anak se-Klasis Pulau Ambon beberapa waktu lalu. Kami berdua berjalan kaki dari Seilale sampai ke Amahusu. Anda bisa membayangkan kaki saya yang “imut-imut” ini harus mengikuti langkah-langkah “raksasa” JM. Tidak bisa menyuruhnya berjalan pelan-pelan, jadi terpaksa saya yang harus “gici-gici” mengikuti ayunan langkah JM.

Pernyataan itu bisa juga dibaca secara interpretatif bahwa JM selalu cenderung mengayunkan langkah-langkahnya dengan bentangan yang lebih luas dan dengan kecepatan yang agak sulit diikuti oleh kaum “easy-going” (suka santai). JM tidak pernah berhenti bergerak atau puas pada satu “positioning”. Oleh karena itu selalu saja ada hal-hal yang dipikirkan dan dilakukan untuk mengusik apa-apa yang dianggap orang lain sudah mapan. Apa yang saya pelajari dari situ adalah kepekaan yang terus-menerus diasah menanggapi realitas untuk menembus kemapanan dan menghidupi realitas secara bergairah melalui ide-ide baru yang orisinal. Ekspresi itu tampak dari keterlibatan JM dalam aktivitas seni tari (koreografer) dan teater.

Jika JM memperoleh penghargaan sebagai “provokator perdamaian” maka saya melihatnya sebagai sebuah kelayakan jika melihat bagaimana konsistensi dan persistensi JM terlibat dalam aktivitas resolusi konflik dan perdamaian selama konflik sosial Maluku sejak tahun 1999. Pendekatan resolusi konflik dan perdamaian dengan berbasis pada penguatan “local wisdom” dan jejaring internasional menjadi salah satu karakteristik pendekatan JM. Menurut saya, JM tidak terlalu percaya bahwa teori-teori konflik dan perdamaian pada level yang sangat abstrak mampu meretas jalan perdamaian secara mumpuni. Ia tampaknya sangat yakin pada kapasitas komunitas lokal dalam membangun mekanisme pertahanan diri berbasis penyadaran kebudayaanlah yang sebenarnya menjadi fondasi membangun kesadaran dan praksis perdamaian itu. Kritiknya terhadap pendekatan formal oleh apparatus negara (sipil dan militer) mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan mereka sendiri yang selama ini mengalami pelumpuhan dan pembodohan demi kepentingan [apparatus] negara itu sendiri.

Banyak narasi saya bersama JM. Tapi cukuplah sampai di sini. Narasi reflektif singkat ini hanya ingin membuka sedikit celah kesadaran kita bahwa belajar dari orang lain dan di tempat lain itu penting. Tetapi “belajar” dalam arti sesungguhnya bukanlah membeo, bahkan hanya menjadi subordinasi orang lain. “Belajar” – seperti yang saya pelajari dari JM – adalah mengenal kapasitas diri sendiri, budaya sendiri, komunitas sendiri (lokal) lantas itu menjadi titik berangkat untuk menawarkan sesuatu kepada orang lain agar juga belajar dari diri kita sendiri. JM sudah memperlihatkan bahwa dunia internasional belajar dari orang Maluku. Itu berarti kita punya sesuatu dalam diri kita untuk kita tawarkan sebagai model pembelajaran bersama masyarakat internasional. Yang “Barat” (Western) tidak selamanya harus menjadi acuan pembelajaran kita. Mereka harus juga belajar dari kita. Tentu dengan satu syarat bahwa kita sungguh-sungguh mengenal siapa diri kita, bagaimana kebudayaan kita sendiri, dan sejauh mana kita mampu mengelola kapasitas budaya kita untuk dikenal orang lain, bukan sebagai “objek turisme” belaka tapi sebagai mitra berpikir dan belajar.

Selamat untuk rakyat Maluku melalui penghargaan kepada bung Jacky Manuputty!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces