Aku menulis maka aku belajar

Friday, January 27, 2012

Parafrase Agama dalam Budaya Lokal


Semalam (Kamis, 26 Januari 2012) saya diajak seorang teman untuk mengikuti pengajian bersama budayawan Emha Ainun Najib – yang lebih dikenal dengan sapaan Cak Nun – di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Ajakan itu tentu saja saya sambut dengan senang hati. Sudah lama saya ingin menyaksikan penampilan Cak Nun dan Kyai Kanjeng-nya secara langsung. Bukan katrok, tapi benar-benar ingin merasakan nuansa kehadiran bersama jamaah Muslim secara langsung. Nuansa itulah yang kemudian benar-benar saya rasakan berbeda ketimbang hanya menonton dari layar tv.

Malam itu saya menyaksikan kepiawaian Cak Nun dalam menyajikan penafsiran Islam dalam bingkai kebudayaan lokal (Jawa). Saya seperti mendapat pencerahan dalam memahami kelenturan Islam dalam mengakomodasi, mengadaptasi, dan mengontekstualisasi ajaran-ajaran dalam serangkaian parafrase kultural kejawaan. Islam dalam kajian Cak Nun kemudian termanifestasi tidak hanya dalam gesture jumud dalam bingkai-bingkai ajaran yang bersifat legalistik. Islam ditransendensikan ke taraf penafsiran yang dalam dan luhur justru dari pemaknaan yang menukik ke dasar-dasar ontologi kebudayaan. Islam mengalir menjadi suatu “way of life” yang jauh dari kesan formalistik namun tertancap sebagai ekspresi kehidupan yang manusiawi, serta berkorelasi secara eksistensial dengan seluruh entitas keduniaan tanpa terdikotomi secara picik pada kutub “sakral” dan “profan”.

Saya tidak tahu apakah di antara sekian jamaah yang hadir di pelataran Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini ada orang-orang lain yang bukan Muslim. Atau mungkin hanya saya yang Kristen di tengah-tengah jamaah Muslim malam itu. Tetapi pesan-pesan Cak Nun, yang dikemas dengan gayanya yang khas menimpali pendapat-pendapat beberapa pejabat yang duduk bersamanya, terdengar di telinga dan terasa di batin saya – yang Kristen Calvinis ini. Saya sering mendengar berbagai ceramah rohani dari para ustadz (kebanyakan yang ditayangkan di tv). Saya mengikuti ceramah-ceramah itu lebih dengan nalar kognitif. Namun malam itu, bersama Cak Nun, saya tenggelam dalam permainan nalar batiniah yang meloncat-loncat di antara tafsir-tafsir Al-Quran yang membumi, dengan lantunan sholawat menyentuh hakikat kemanusiaan saya – yang bukan Islam dan bukan Jawa. Mungkin di situ kekuatan eksplorasi budaya dan keislaman dalam tafsir-tafsir simbol budaya ala Cak Nun.

Kekaguman saya terhadap kemampuan Cak Nun dalam “menjawakan Islam” dan “mengislamkan Jawa” kemudian menjadi semacam cubitan pedis dalam proses memaknai dimensi-dimensi religiositas dalam ekspresi kebudayaan lokal, sekaligus dimensi-dimensi kebudayaan lokal dalam membumikan pesan-pesan religius. Imajinasi saya tiba-tiba tertaut pada nama-nama “raksasa” dalam kajian agama-agama, semisal: Max Weber, Emile Durkheim, Ninian Smart dan Clifford Geertz.

Weber yang gigih menelusuri faktor-faktor esensial dalam agama yang mendorong rasionalitas ke arah masyarakat modern (rasional) yang tampak dalam dinamika ekonomi (kapitalisme) sebagai parameternya. Durkheim yang ngotot bahwa “agama adalah masyarakat” (religion is society) dan sebaliknya (society is religion), karena ia melihat proses transendensi agama melalui ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat melalui simbolisasi-simbolisasi yang disebutnya sebagai “totemisme”. Smart yang mencoba menjembatani polemik para pendahulunya dalam memahami fenomenologi, lalu tiba pada tesis bahwa melalui fenomenologi, agama tidak bisa sekadar ditempatkan sebagai entitas sui generis – ada begitu saja untuk dirinya saja – tetapi mesti dilihat dalam pertautan dengan dimensi-dimensi kemanusiaan yang lain. Upaya menemukan esensi agama sui generis adalah sesuatu yang mustahil. Geertz yang melahirkan tesis kategorisasi Islam Jawa dalam performa abangan-santri-priyayi, yang sebenarnya menjadi titik masuk untuk melihat keberagamaan secara interpretatif melalui aspirasi dan ekspresi sosio-budaya.

Namun, apa yang dilakukan Cak Nun – menurut saya – seolah meleburkan dan melebarkan diskursus keislaman ke dalam ranah-ranah kebudayaan yang dibatinkan, bukan sekadar yang ditampilkan secara kasat mata. Islam menjadi budaya. Islam menjadi ekonomi. Islam menjadi gaya hidup. Islam menjadi ibadah sosial. Islam menjadi identitas yang menyeluruh, bukan parsial. Pada konteks itu, Islam tidak lagi menjadi semacam rangkaian transmisi kebudayaan dan peradaban Arab atau Timur Tengah. Islam dengan sadar diparafrasekan menjadi bahasa, budaya, cara hidup, yang mengakar dalam kesadaran penganutnya, sehingga melahirkan pemikiran dan pembatinan yang berjalan seirama. Bukan tanpa konflik, tetapi konflik itu justru melahirkan sintesa-sintesa baru dan kreatif yang menjadikan Islam bagian eksistensial dalam kehidupan, bukan sekadar kewajiban tanpa membatinkannya.

Refleksi ini membuat saya tersadar tentang kemampuan dan daya tahan agama-agama (termasuk Kristen) dalam melakukan parafrase ajaran-ajarannya yang menukik dan tertancap dalam di kesadaran keberagamaan. Saya sengaja tidak menggunakan istilah “kontekstualisasi” karena pada dasarnya setiap agama terkontekstualisasi pada suatu ruang dan waktu tertentu. Istilah parafrase lebih mengarah pada kemampuan membahasakan ajaran-ajaran agama menjadi bahasa batin yang merasuki ruang-ruang kalbu kemanusiaan, sambil menyadari keterkaitan dan keterikatan eksistensinya dengan entitas-entitas alam semesta lainnya. Semua menjadi terhubung sehingga manusia hanya menjadi manusia sejati dalam relasi-relasi tersebut.

Saya jadi tersadar kemudian bahwa kekerasan atas nama agama terjadi karena kelumpuhan para penganut agama dalam membahasakan agama sebagai bahasa kemanusiaan yang terhubung dengan seluruh entitas alam semesta. Lebih memilih memakai bahasa “langit” dan “surga-neraka” daripada bahasa manusia yang membumi. Agama hanya menjadi parole, belum menjadi langue – pinjam istilah Ferdinand de Saussure.


Read more ...

Thursday, January 19, 2012

Studi Perdamaian dan Kurikulum Pendidikan Teologi


Peluncuran Pusat Studi Perdamaian UKIM (19 Januari 2012) memberikan secercah harapan bahwa realitas konflik dan peacebuilding telah menjadi perhatian utama lembaga pendidikan tinggi ini. Meskipun tentu saja perlu persiapan konsep, program, dan class-action secara sistemik sehingga isu konflik dan peacebuilding tidak hanya tinggal mengawang tanpa upaya menggawangkannya secara konkret.

Cukup menarik bahwa pengelolaan PSP ini dilakukan oleh Program Pascasarjana Teologi UKIM (sejauh yang saya ketahui dari informasi yang beredar). Seakan hendak diasumsikan bahwa kajian konflik dan peacebuilding diintegrasikan ke dalam bangunan epistemik pendidikan teologi (bahkan pada tingkat pascasarjana). Tetapi kemudian, menurut saya, akan terasa kejanggalan ketika menilik lebih cermat pada kurikulum pendidikan teologi yang berlaku di fakultas teologi UKIM dan program pascasarjananya. Sejauh yang saya tahu (bisa saja salah), tidak ada program studi yang berorientasi pada isu konflik dan peacebuilding, yang kemudian secara programatis terimplementasi dalam bentuk matakuliah-matakuliah yang memberi ruang bagi kajian kritis terhadap isu-isu tersebut.

Keberadaan PSP yang melekat pada PPs Teologi UKIM (dan tentu saja juga dengan Fakultas Teologi) tentu bukanlah asal melekat, tapi memiliki pertimbangan-pertimbangan fundamental dan strategis. Fundamental artinya isu konflik dan peacebuilding semestinya ditempatkan dalam struktur kajian ilmiah, yang dengannya isu-isu itu dieksplorasi secara teoretis disertai penguatan kerangka metodologis untuk penelitian yang lebih komprehensif. Itu hanya bisa terjadi jika ada semacam program studi dan/atau matakuliah-matakuliah yang secara intensif mengupas dimensi-dimensi konflik dan peacebuilding. Strategis artinya jika para mahasiswa telah diberikan ruang untuk mendalami dimensi-dimensi konflik dan peacebuilding di kelas, maka PSP bisa menjadi "bengkel" untuk mendaratkan seluruh kerangka teoretis di kelas menjadi program-program aktual sebagai bentuk praksis dari apa yang disebut studi perdamaian itu.

Mengapa harus demikian? Kajian konflik dan studi perdamaian bukanlah sesuatu yang pragmatis belaka, hanya sebatas menanggapi realitas konflik yang terjadi secara kasat mata. Kajian konflik dan studi perdamaian pada hakikatnya membutuhkan suatu keseriusan dan kematangan, dengan wilayah jangkau ilmiah yang multidimensi. Setidaknya itu kesan yang saya peroleh ketika mengambil matakuliah "Peace and Violence in Religions" pada Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta semester lalu. Itupun terasa satu semester tidaklah cukup.

Oleh karena itu, peluncuran PSP ini mesti disambut dengan sukacita sekaligus dilanjutkan dengan perencanaan kurikulum kajian konflik dan peacebuilding yang - bisa saja - terintegrasi dalam kurikulum pendidikan teologi, kendati saya pikir di kemudian hari itu harus menjadi semacam program studi tersendiri. Ini hanya percik-percik kecil pikiran saya.

Read more ...

Pusat Studi Perdamaian UKIM: Agenda Besar


Hari ini, Kamis tanggal 19 Januari 2012, dilakukan peluncuran Pusat Studi Perdamaian UKIM yang bernaung di bawah pengelolaan Program Pascasarjana Teologi UKIM. Pilihan tanggal ini tentu bukan tanpa alasan. Tepat 13 tahun silam, kota Ambon bergolak dengan pertikaian antarkelompok massa yang makin membesar dan meluas hingga ke wilayah pulau-pulau lain. Peristiwa itu merembet dalam ruang dan waktu, memporak-porandakan tatanan sosial-budaya-politik-ekonomi bahkan pendidikan. Masyarakat Maluku terpenggal-penggal dalam kamar-kamar sempit kepicikan nurani yang terkunci rapat oleh fanatisme etnisitas, religiositas, bahkan politis. Semua melebur menyatu menjungkirbalik keharmonisan semu yang diagung-agungkan.

Setelah 13 tahun berlalu sejak awal tragedi pada 19 Januari 1999, baru tahun ini UKIM berhasil merealisasikan Pusat Studi Perdamaian sebagai bagian dari panggilan akademiknya menyikapi realitas sosial yang dirinya menjadi bagian di dalamnya. Terlambat? Tentu tidak. Lembaga ini tidak serta-merta menjadi indikator bahwa baru sekarang UKIM menyikapi secara serius isu konflik dan perdamaian. Sudah sejak 1999 "orang-orang" UKIM terlibat aktif dalam resolusi konflik dan berjuang bagi perdamaian. Tetapi itu masih bersifat sporadis dan fragmentaris. Oleh karena itu, PSP ini pada hakikatnya merupakan akumulasi cita-cita untuk menyikapi realitas konflik dan peacebuilding secara sistematis dan terorganisir.

Tentu saja ada harapan besar bahwa PSP tidak akan bernasib seperti "anak ayam kehilangan induk", yang kebingungan dalam memetakan realitas dan kalang-kabut dalam mengelola potensi bagi peacebuilding. Besar kepercayaan bahwa mereka yang diberi otoritas mengelola PSP mampu menjalankannya dengan baik. Namun, mereka tidak bisa bekerja sendirian. Yang paling dibutuhkan adalah kehendak baik dan motivasi besar dari kalangan sivitas akademika UKIM untuk menjadikan PSP sebagai ujung tombak manajemen konflik dan membangun budaya damai (culture of peace), terutama kalangan mahasiswa.

PSP UKIM hanya bisa hidup dan terus hidup oleh energi mahasiswa yang menyadari sungguh-sungguh potensi konflik dalam dinamika sosial kemasyarakatan di Maluku, juga MAU untuk terus belajar dari sejarah kelam perseteruan hebat yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kebudayaan lokal sejak 1999. Pada titik itu, PSP UKIM mestinya menjadi "sekolah" yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa UKIM untuk belajar dari sejarah kelam, berpikir dan bertindak untuk mengelola masa depan persaudaraan sejati. Ini sebenarnya agenda besar PSP UKIM.

Selamat berkarya!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces