Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, July 31, 2019

Resolusi Konflik Berbasis Strategi Kebudayaan

A. Pengantar

Bagi saya, dan pasti juga bagi sebagian besar rakyat Maluku, sulit menepis ingatan kolektif mengenai kegetiran hidup komunal sebagai dampak dari pecah dan berlarut-larutnya konflik sosial di Maluku sejak 19 Januari 1999 hingga menyusur pertengahan tahun 2005. Semua terjadi begitu cepat dan meluluhlantakkan pranata-pranata kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku tanpa seorang pun dapat menduga perubahan dan eskalasinya dalam hitungan jam atau hari. Sementara itu, efek destruktifnya menghujam sangat jauh dalam kesadaran dan nurani kemanusiaan masyarakat Maluku. Realitas sosial yang dijalani pada masa-masa itu sangat kelam dan tak berpengharapan. Tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan pemerintah dan aparat keamanan (TNI/POLRI) sekalipun seolah tidak berdaya mengatasi kekisruhan sosial yang carut-marut saat itu.

Tidak kurang upaya dari berbagai pihak (civil society, pemerintah sipil, otoritas militer/kepolisian) untuk meredakan eskalasi konflik, memediasi kelompok-kelompok yang bertikai, menepis isu-isu provokatif melalui berbagai media, menambah personel pemulihan keamanan, sosialisasi gerakan perdamaian hingga ke grass-roots (akar rumput) dan lain-lain. Namun, bersamaan dengan itu semua harus pula diakui bahwa gejolak konflik tak mampu diatasi segera. Dibutuhkan rentang waktu yang panjang untuk ukuran suatu konflik komunal di wilayah seperti kepulauan seperti Maluku. Intervensi negara memang sudah terjadi sejak pecahnya konflik dalam bentuk pengerahan personel tentara dan polisi yang bahkan didatangkan dari hampir seluruh kesatuan yang ada di Indonesia. Namun tetap tidak berdampak signifikan karena penanganan konflik sosial bukan hanya bertumpu pada absennya pertikaian dan aksi-aksi kekerasan, melainkan pada penguatan kembali rasa saling percaya (trust) yang hancur-lebur selama konflik dan meninggalkan guratan luka kejiwaan mendalam yang residunya masih terwariskan hingga ke generasi-generasi sekarang (yang bahkan tidak pernah mendengar cerita kelam tentang Konflik 1999).

Belajar dari kegagalan demi kegagalan tersebut, intervensi negara kemudian diartikulasikan dalam bentuk yang berbeda, yaitu “perjumpaan dan kesepakatan”. Bukan lagi pada pendekatan keamanan (meskipun ini tetap dilakukan hingga kini). Pendekatan “perjumpaan dan kesepakatan” tersebut diimplementasikan melalui model dialog dengan intervensi negara (pemerintah) sebagai mediator kedua kelompok (agama) yang terlibat perseteruan: Islam dan Kristen. “Kesepakatan Malino II” menjadi forum dialog antara perwakilan selektif Islam dan Kristen Maluku untuk mencari titik temu agar bersama-sama mampu meredakan gejolak konflik yang lebih disebabkan karena tidak ada strategi manajemen konflik yang mumpuni saat itu. Kendati bukanlah “resep” yang super-manjur untuk mengatasi konflik yang kian memanas saat itu tapi “Kesepakatan Malino II” telah mampu menjadi ruang dialogis bersama antara perwakilan Islam dan Kristen yang selama konflik sulit dilakukan. Kesepakatan itu pula yang menjadi titik berangkat sekaligus titik acuan untuk melihat realitas konflik melalu lensa perspektif yang lebih luas dan berjangka panjang. Dari sana pula makin kuat kesadaran bahwa yang dibutuhkan bukan lagi sekadar meredam aksi konflik/kekerasan melainkan bagaimana strategi mengelola (manajemen) konflik dalam konstruk sosial masyarakat kepulauan seperti Maluku.

B. Manajemen Konflik: Dari Senjata ke Budaya

Keterkejutan sosial terhadap konflik yang dialami masyarakat Maluku cukup dapat dipahami. Dalam konfigurasi budaya masyarakat Maluku, terdapat sejumlah pranata sosial-budaya yang sebenarnya menjadi ruang negosiasi ketegangan sosial dan strategi mengelola perbedaan (agama dan etnisitas). Selama ratusan tahun, masyarakat Maluku mengenal, hidup dan menghidupi pranata pela dan gandong. Sederhananya, pela adalah mekanisme mengelola konflik melalui kesepakatan/perjanjian kultural antara beberapa komunitas lokal. Kekuatan pela terletak pada dimensi covenantal (perjanjian/kesepakatan) setelah komunitas-komunitas tersebut terlibat dalam pertikaian karena berbagai sebab. Dengan demikian, pela lebih bernuansa sosiologis-antropologis.

Sementara gandong lebih bernuansa eksistensial karena di dalamnya termuat makna relasi-relasi persaudaraan “sekandung” (gandong = rahim), yang kemudian memilih jalan-jalan kehidupan dan identitas yang berbeda (terutama agama: Islam dan Kristen). Pemaknaan relasi-relasi persaudaraan ini sangat kuat melekat dalam kesadaran kultural dan kenyataan sosial masyarakat Maluku dari generasi ke generasi. Ada mekanisme pewarisan makna kultural tersebut melalui ritual-ritual berkala yang disebut “panas pela” dan “panas gandong”. Kata “panas” di sana mengandung konotasi “menghidupkan / memfungsikan / menyegarkan kembali” makna-makna relasional di antara kelompok-kelompok budaya masyarakat Maluku, sambil belajar mengakui kenyataan hidup dalam berbagai perbedaan.

Dengan demikian, pela dan gandong sebenarnya merupakan kecerdasan lokal (local genius) masyarakat Maluku dalam memahami realitas diri yang berbeda sekaligus mekanisme mengelola perbedaan-perbedaan itu yang berpotensi menjadi konflik sosial (negatif) dan membangun solidaritas sosial (positif). Potensi itu sudah ada dalam kesadaran dan diekspresikan melalui pranata-pranata kebudayaan lokal untuk menjaga keseimbangan dialektis antara berbagai unsur yang saling bertentangan dalam alam dan relasi kemanusiaan. Ini merupakan kekuatan nalar dan tindak budaya yang telah dihidupi ratusan tahun dari generasi ke generasi melalui pewarisan narasi-narasi pela dan gandong.

Akan tetapi, dalam wacana kebudayaan pula tidak dapat dipungkiri kenyataan perubahan sosial. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial. Yang membedakan hanya intensitas dan media pendorong perubahan sosial pada setiap masyarakat. Sesederhana apapun suatu masyarakat, pada dirinya tetap terjadi perubahan sosial meskipun sangat lambat. Asumsinya, setiap masyarakat itu dinamis, bukan statis. Oleh karena itu pula maka pencermatan terhadap realitas sosiokultural harus dipahami dalam bingkai perspektif yang dinamis dan selalu terbuka bagi kejutan-kejutan kebudayaan terjadi.

Tidak terkecuali pranata budaya pela dan gandong. Meskipun sudah ratusan tahun dipercaya dan dihidupi sebagai unsur kebudayaan yang fungsional dalam menjaga keseimbangan relasional antarberbagai konstruksi identitas (geografis, klas sosial, strata sosial, bahasa, agama dan etnisitas), namun keduanya tidak imun terhadap dinamika perubahan sosial, politik, ekonomi dan tata budaya global. Guncangan berbagai perubahan tersebut pada gilirannya menggerus makna-makna asali (original) yang dengan segenap daya dipertahankan dan diwariskan, kendati secara subtil juga mengalami reinterpretasi, rekonstruksi dan kontekstualisasi agar tetap relevan dan fungsional dalam kehidupan komunitas penggunanya.

Aksentuasi pembangunan yang termanifestasi pada jargon utama “pembangunan nasional” selama tiga dekade rezim Orde Baru telah berhasil meneruskan dan makin kuat melestarikan ideologi “tingkat-tingkat pembangunan” dalam idiom-idiom modernisasi maupun pengadaban komunitas-komunitas lokal nusantara. Istilah “pembangunan” berhenti menjadi sebentuk kata kerja dan dimaknai lebih secara instrumental. Relasi-relasi kultural dan religiositas komunitas-komunitas lokal pun menjadi kian jumud dan mengeras ketika ditunggangi oleh semangat kapitalisme yang menjadi “roh” pembangunan[isme] itu. Pada titik itulah pranata-pranata pela dan gandong mengalami disfungsionalisasi secara sistematis. Keduanya dianggap “kolot” dan “kampungan” ketika berhadapan proses-proses modernisasi yang dilihat juga sebagai mekanisme pengadaban kaum “primitif” di kampung-kampung atau pedalaman-pedalaman. Tak pelak, dalam konstruk dan konteks semacam itu kuasa-kuasa agama turut berperan penting mengisolasi dan mengalienasi unsur-unsur budaya lokal sebagai “kafir”, “bidah” dan “sinkretis”. Politisasi agama dan agamanisasi politik pun menjadi diskursus yang bermain gesit dan genit di arena-arena kehidupan masyarakat.

C. Resolusi Konflik dan Strategi Kebudayaan

Pengalaman sosial yang getir selama konflik di Maluku pada hakikatnya telah membuka celah-celah menyeruaknya fajar kesadaran sosial bahwa konflik tersebut tidak dapat diatasi semata-mata secara instrumental. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan eksistensial yang berupaya memahami kedalaman hidup manusia dan kemanusiaan sebagai mahluk sosial. Pendekatan-pendekatan tersebut mesti dilihat sebagai strategi kebudayaan untuk mengelola dinamika kemajemukan atau perbedaan yang menandai identitas masyarakat manusia. Jadi, strategi kebudayaan lebih bersifat substansial dan berkelanjutan dengan mengolah potensi kebudayaan pada suatu masyarakat sebagai modal sosial untuk terus-menerus melakukan negosiasi dengan identitas-identitas liyan bagi kepentingan hidup bersama.

Belajar dari pengalaman konflik Maluku, saya melihat setidaknya ada tiga strategi kebudayaan yang perlu dipertimbangkan oleh masyarakat pascakonflik Maluku:

1. Pembangunan Masyarakat Berbasis Konteks Kepulauan
Pendekatan pembangunan masyarakat berbasis konteks kontinental yang pernah diterapkan selama tiga dekade oleh rezim Orde Baru memperlihatkan banyak sisi ketidakadilan sosial yang dialami oleh komunitas-komunitas lokal nusantara di luar Pulau Jawa. Konotasi pembangunan yang berhimpit dengan politik ekonomi pada masa itu telah melahirkan bentuk-bentuk marjinalisasi berbagai komunitas karena aksentuasi pembangunan lebih pada indikator-indikator kuantitatif melalui data statistik yang sangat instrumentalistik. Sementara pada sisi lain mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan dasar dari berbagai komunitas yang hampir sebagian besar mendiami ruang-ruang geografis kepulauan. Mereka hidup dengan dan menghidupi realitas darat dan laut sebagai konteks kehidupan yang turut membentuk pandangan dunia mereka tentang “kerja”, “sejahtera”, “bahagia” dll.

2. Pendidikan Berorientasi Diferensiasi Budaya
Selepas euforia Reformasi 1998, masyarakat Indonesia umumnya belum mampu terbebaskan dari bayang-bayang ancaman perbedaan identitas. Selama 32 tahun, “perbedaan” menjadi sesuatu yang ditabukan dan ditenggelamkan oleh diskursus penyeragaman “ideologi”, “pikiran” dan “gaya hidup”. Makin lama perbedaan dilihat sebagai ancaman bagi stabilitas sosial. Kesadaran semacam itu tumbuh subur ketika banyak orang seolah-olah melihat tidak ada masa depan dalam demokrasi yang sepertinya membuat orang bebas melakukan apa saja – yang penting punya banyak pengikut atau didukung oleh kekuasaan yang sedang berjaya. Dunia pendidikan umum dan keagamaan dijejali oleh paham-paham eksklusivisme dan sektarianisme yang melihat kelompok sendiri (in-group) sebagai superior berhadapan dengan liyan (out-group) yang dinilai inferior. Untuk itu memang diperlukan paradigma pendidikan yang berorientasi memahami diferensiasi budaya dari berbagai komunitas nusantara.

3. Religiositas Indonesia
Religiositas nusantara merupakan wujud kreatif dari penyerapan dan internalisasi berbagai unsur spiritualitas dan paham ketuhanan (kosmoteologis) yang diekspresikan oleh komunitas-komunitas nusantara sepanjang sejarah peradabannya hingga kini. Agama-agama besar yang masuk dan diperkenalkan di nusantara tidaklah menduduki ruang-ruang kesadaran spiritual yang kosong. Religiositas merupakan dimensi penting dalam eksistensi kemanusiaan. Sebagaimana manusia belajar dan berinteraksi sosial maka religiositas manusia tidak berdiri sendiri tetapi selalu dipahami secara relasional entah dengan “tuhan” maupun dengan “sesama manusia”. Dengan kesadaran historis dan teologis semacam ini maka orang bisa melihat bahwa tidak ada satu pun agama yang dapat mencapai kemurnian total ajarannya karena agama-agama tersebut saling berkelindan dalam aneka rupa ekspresi kebudayaan dan kebahasaan oleh berbagai komunitas nusantara. Ini adalah religiositas yang lahir dari batasan-batasan kebudayaan yang memberinya nuansa kemanusiaan semesta. Itulah pula yang semestinya menjadi dasar dari apa yang disebut Religiositas Indonesia.

D. Penutup

Ulasan sederhana ini hendak memperlihatkan bahwa seluruh upaya resolusi konflik yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam masyarakat Maluku pascakonflik membutuhkan pengenalan secara komprehensif muatan, bentuk dan ekspresi kebudayaan masyarakat setempat. Konflik merupakan bagian hakiki dari setiap masyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa konflik. Dengan perkataan lain, konflik lebih bersifat potensial sehingga dibutuhkan bukan hanya resolusi konflik tetapi strategi kebudayaan untuk mengelola potensi konflik dalam setiap masyarakat.

Strategi kebudayaan yang diajukan dalam tulisan ini merupakan refleksi antropologis dari pengalaman terlibat dalam organisasi Crisis Center UKIM yang selama berlangsungnya konflik berfungsi sebagai “pangkalan data” untuk kemudian dianalisis. Hasil analisis tersebut merupakan olahan temuan-temuan lapangan dan kajian teoretik yang bertujuan bukan hanya untuk sekadar memahami karakteristik konflik komunal Maluku dan menemukan model-model resolusi konflik. Lebih jauh, untuk mengelola kemajemukan sosial-budaya masyarakat Maluku maka diperlukan pendekatan-pendekatan kebudayaan yang lebih strategis ketimbang instrumentalis. Tujuan yang hendak dicapai bukan semata-mata “perdamaian” yang sempit dan berjangka pendek, tetapi justru mengenali modal-modal sosial dan kultural dalam kebudayaan yang semestinya digarap lebih lanjut menjadi fondasi pengelolaan atau manajemen konflik pada konteks masyarakat kepulauan nusantara Indonesia.
Read more ...

Monday, July 22, 2019

Visitation of the Ministry of Foreign Affairs RI


UKIM has a wonderful time for doing conversation with the Center for Education and Training, the Ministry of Foreign Affairs, Republic of Indonesia. Along with the institution there are 10 Afghanistan diplomats who are willing to listen to Ambon experiences during the conflict in the past as well as sharing their stories from Afghanistan.

This group is led by Dr. Yayan G.H. Mulyana, the head of Center for Education and Training MFA-RI. He delivers an introduction about the visitation program and its participants as well as the reason for selecting two universities on Ambon Island (UKIM and IAIN Ambon) to be learning partners to understand the conflict resolution strategies. Professor Bob Mose, a member of the University Foundation of GPM, conveys his welcoming remarks on behalf of the Rector of UKIM. The MFA-RI officially asked me to present some perspectives about Maluku conflict that could be a lesson learned for the Afghanistan diplomats how the Moluccans struggled to overcome the conflict, created peace-building strategies, and vice versa they shared the contemporary political situation they are facing in Afghanistan nowadays.

There is only one female diplomat in this group. She depicts the women's struggle in the Afghanistan society to get their civil rights for equality in public sphere such as education, workplace, governance structure, etc. Two Moluccan Muslim females who are the faculty member of UKIM, and three female students response to her by sharing barely differences about main issues faced by the Indonesian/Moluccan women.

Special thanks for Dr. Dicky Sofjan. For our Afghanistan brothers and sister, thanks for visiting our campus UKIM and sharing with us. Peace be with you.

Saturday, 20 July 2019
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces