Aku menulis maka aku belajar

Monday, September 12, 2016

25 Tahun Program Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW: Coretan dari Balik Panggung

Sulit sekali menolak ajakan Bung Izak Y. M. Lattu untuk terlibat sebagai editor buku “Sosiologi Agama: Pilihan Berteologi di Indonesia” yang [akan] diluncurkan pada tanggal 10 September 2016 untuk merayakan usia ke-25 tahun Program Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW. “Kesulitan” itu disebabkan oleh dua hal: [1] ada semacam kebiasaan yang tampaknya mengakar sebagai habitus sejak bekerja sebagai editor buku teologi pada Penerbit BPK Gunung Mulia beberapa tahun silam; [2] kebiasaan itu kemudian menjadi strategi “mencuri” ilmu dengan membaca suatu naskah sebelum diterbitkan entah sebagai text book atau antologi. Pada titik itulah saya terlibat dalam semangat perayaan ulang tahun perak PPs Sosiologi Agama UKSW, meskipun secara emosional saya ini hanya "setengah alumni" (untuk ini perlu catatan tersendiri).

Namun, coretan kecil ini bukan tentang isi buku tersebut melainkan tentang beberapa figur yang saya kenal dan pernah studi di PPs MSA dan DSA UKSW. Kenapa mereka yang pilih di antara sekian banyak yang lain dengan kualifikasi personal dan keilmuan yang setara? Alasan paling gampang adalah karena saya mengenal mereka. Alasan lain, karena mereka memilih untuk “tampil beda” (atau bisa dibaca “tampil berani”) untuk meretas jalan yang dalam lingkungan sosial dan agama mereka dianggap sebagai sebentuk penyimpangan dari arus utama. Sebagian besar mereka adalah sarjana-sarjana Islam muda Nahdlatul Ulama (NU) yang terus-menerus berjihad untuk menghindari perangkap kejumudan beragama dengan mengembangkan diskursus keberagamaan yang berakar dan bercitarasa pada realitas kemajemukan sosial-budaya masyarakat setempat. Istilah “setempat” di sini mengandung konotasi elastis dan dialektis antara menolak kecenderungan universalisme dan kritis terhadap partikularisme. Keduanya ditempatkan bersamaan dalam kritik terhadap tradisi keberagamaan mereka.

Sumanto Al-Qurtuby. Dia adalah lulusan sarjana dari IAIN Walisongo Semarang yang kemudian melanjutkan studi S2 pada Magister Sosiologi Agama UKSW. Waktu di Salatiga, kami jarang bertemu karena dia terdaftar sebagai mahasiswa dua tahun setelah saya selesai menulis tesis di UKSW. Kami berkenalan dalam satu atau dua acara di kampus. Perkenalan intensif adalah ketika saya membantu penelitian disertasinya (Boston University) di Ambon tahun 2010. Lulus dari Boston University, dia masih “bertualang” di negeri Paman Sam dengan menjadi peneliti pada Universitas Notre Dame Amerika Serikat, kemudian menjadi profesor tamu pada King Fahd University, Arab Saudi, dan sekarang menjadi profesor peneliti pada National University Singapore.

Tedi Kholiludin. Dia adalah lulusan sarjana dari IAIN Walisongo Semarang dan “adik ideologis” Sumanto. Sumanto pula yang menyarankan dia untuk studi lanjut di UKSW. Dia menyelesaikan magister dan doktor pada PPs Sosiologi Agama UKSW dengan disertasi tentang Pancasila dan religiositas sipil di Indonesia. Modal “sosiologi agama” itulah – menurutnya – yang memampukan dia memotori dan mengelola Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Semarang. Lembaga ini secara konsisten melakukan penelitian dan kajian mengenai demokrasi dan relasi-relasi keberagamaan di beberapa wilayah, terutama Jawa Tengah, dan secara rutin menggelar diskusi dengan mengundang narasumber dari berbagai latar belakang etnis dan agama.

Masroer. Dia adalah lulusan sarjana dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menyelesaikan studi magister dan doktor pada PPs Sosiologi Agama dengan penelitian mengenai pesantren di Salatiga (tesis) dan komunitas Masjid Pathok Negoro di Ploso Kuning Yogyakarta (disertasi). Sekarang dia adalah staf pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN-SuKa dan menjadi perintis terbentuknya program studi Sosiologi Agama di sana. Dalam beberapa kesempatan dia mengundang saya berbicara di UIN-SuKa dan saya melihat ada pergeseran paradigma yang cukup signifikan dalam perspektif dan corak keilmuan dari para mahasiswa prodi Sosiologi Agama, yang tampaknya kian bergairah mempelajari agama sebagai suatu realitas sosiologis ketimbang teologis. Tentu saja, dalam hal itu mereka sering “berbenturan” dengan rekan-rekannya di Fakultas Syariah.

Abdul Manaf Tubaka. Dia adalah lulusan IAIN Ambon. Kemudian melanjutkan studi S2 pada PPs Sosiologi Agama UKSW dan sekarang tengah menyelesaikan penulisan disertasi pada prodi antropologi Universitas Hasanudin Makassar. Kami tidak sering bertemu tetapi sedikit pertemuan itu menjadi ruang yang cukup untuk mempertemukan secara kritis perspektif sosiologis agama dari dia yang Ambon-Muslim (Salam) dan saya yang Ambon-Kristen (Sarane). Sekarang dia menjadi staf pengajar pada IAIN Ambon. Dalam beberapa diskusi dengannya dan membaca sebagian tulisan-tulisannya saya melihat dia mencoba menggumuli realitas keislaman dan kebudayaan lokal di Maluku sebagai ranah perjumpaan kreatif tidak hanya dengan Kristen tetapi juga dengan ekspresi-ekspresi religiositas lokal.

Halimun Saulatu. Dia adalah lulusan IAIN Ambon. Gelar magister dia dapatkan dari PPs Sosiologi Agama UKSW. Saya jarang sekali bertemu dengannya. Hanya sekali beberapa tahun lampau dalam satu diskusi di Gedung KNPI Ambon. Kabar terakhir yang saya dengar dia sudah menjadi anggota parlemen DPRD Maluku Tengah. Rupanya, minatnya pada nisbah agama dan politik yang tertuang dalam kajian tesisnya menjadi rujukan praksis politiknya secara riel.

Kelima figur yang saya introduksi secara ringkas di atas, dalam amatan saya, memperlihatkan suatu contoh bagaimana orang-orang ini tidak hanya bermodal “omdo” (omong doang) dan berkoar-koar tentang “dialog antaragama” atau “kerukunan umat beragama” tetapi sudah mencapai tahap “out of the box” (ajaran dan institusi keagamaan mereka). Mereka tetap Islam dengan pijakan tradisi NU. Meski belajar di kampus Kristen (dengan dosen-dosen yang sebagian besar adalah pendeta) dan mengkaji Alkitab secara serius, tapi mereka tidak [perlu] “bertobat” menjadi Kristen. Malah, misalnya, selama penelitian di Ambon, Sumanto tinggal di pastori jemaat Rumahtiga di bawah bimbingan “bapa piara” Pdt Elifas Tomix Maspaitella. Beberapa kali dia malah “berkhotbah” di ibadah-ibadah pelpri jemaat tersebut. Dengan kata lain, kajian teologi Kristen dan tafsir Alkitab tidak diposisikan semata-mata sebagai sesuatu yang berujung pada "spiritualitas eksklusif" tetapi - melalui pendekatan sosiologis/antropologis - menjadi ruang eksplorasi mengenai model-model keberagamaan kontekstual yang sangat dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi tekstual kitab keagamaan dan kepentingan-kepentingan sosial-politik-ekonomi.

Perspektif dan karakter keberagamaan mereka yang kritis-dialektis terhadap realitas kemajemukan sosial-agama-budaya Indonesia, tidak hanya terbangun melalui relasi-relasi eksperiensial dengan liyan, tetapi juga mengalami dekonstruksi-rekonstruksi melalui ruang-ruang kajian akademik. Artinya, dengan contoh kecil ini, proses membangun dialektika fungsional di kalangan agama-agama juga penting dilakukan pada tataran akademik. Sebab pada tataran akademik itulah dekonstruksi epistemik memungkinkan eliminasi prasangka dan stereotip yang telanjur dipuja sebagai ortodoksi truth-claim dalam relasi-relasi dengan liyan. Dalam konteks ini, adagium “jangan hanya berteori, tapi praktik” tampaknya tidak sepenuhnya memadai jika teori dan praktik tidak ditempatkan dalam posisi kausalitas tetapi relasional-fungsional. Apa yang diformulasi sebagai teori adalah simpul-simpul analisis dan metodologis terhadap fakta praktik individual dan sosial. Ini yang kemudian meluluhkan batasan imajiner subjektivisme dan objektivisme dalam kosmos keilmuan yang selama ratusan tahun tampaknya masih enggan meloloskan diri dari jebakan positivisme.

Bagaimana dengan Talake? Sebagai angkatan pertama (1997) Program Pascasarjana Teologi “Injil dan Adat” (kemudian berubah menjadi “Agama dan Kebudayaan”) UKIM, saya merasa bangga dengan pilihan area studi S2 Fakultas Teologi UKIM. Masih terang-benderang dalam ingatan saya bagaimana menggumuli teori-teori sosiologi dan antropologi yang diampu oleh Prof. Jacob Ajawaila, Prof. Mus Huliselan, Prof. John Lokollo, Prof. Ronie Titaheluw yang dikombinasikan secara dialektis-kritis dengan pendekatan kajian teks-teks Alkitab oleh Dr Nico Radjawane dan Dr Broery Hendriks, sambil merajut data sejarah bersama Dr Mesakh Tapilatu dan Etika Budaya oleh Dr Hein Sapulete. Saya merasa “teologi” menjadi hidup melalui serangkaian tesis-antitesis-sintesis dalam berbagai ranah keilmuan poros dinamis teks dan konteks (melalui serangkaian penelitian lapangan).

Pada angkatan-angkatan berikutnya, saya dengar program pascasarjana teologi UKIM makin diminati oleh rekan-rekan muda Muslim progresif. Tentu saja ini sesuatu yang menggembirakan. Artinya, seperti yang saya ulas ringkas di atas, perjumpaan-perjumpaan kritis-dialektis pada ranah-ranah akademis pada gilirannya akan melahirkan cara pandang dan cara sikap kontekstual yang dalam prosesnya akan membuahkan hasil saling-paham dan saling-kritik, bukan karena “malu hati” atau “makan hati”, melainkan karena kesadaran bahwa penghormatan kita pada eksistensi dan identitas liyan sangat ditentukan oleh cara kita membuka diri untuk bercermin melalui kritik liyan terhadap kita. Sebaliknya, mesti pula diikuti oleh keterbukaan untuk melihat saling-kritik sebagai metabolisme yang sehat dalam tubuh sosial dan kebudayaan masyarakat kita yang kian lama kian terjaring dalam simpul-simpul jaring makna kemanusiaan. Pada simpul makna itulah, teologi adalah antropologi.

Begitulah.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces