Aku menulis maka aku belajar

Thursday, May 25, 2023

GPM: Gereja Bagi Semesta - Secuil Refleksi Diri dari Marjin Kiri

Tulisan ini dibuat dalam kurun waktu selama dua minggu saat media sosial penuh sesak dengan berbagai informasi atau berita tentang pembangunan rumah gereja di beberapa jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) sekaligus menyeruaknya perlawanan komunitas adat Marafenfen di Kepulauan Aru. Secara subjektif, wacana pembangunan rumah gereja, di satu sisi, dan gugatan Marafenfen menuntut keadilan di negeri ini, di sisi lain, seolah menampilkan tayangan kontradiktif dari pergulatan spiritualitas kemanusiaan yang pada galibnya menjadi fondasi dari laku dan pikir keberagamaan. 

Pembangunan rumah gereja dengan segala kemegahannya tentu sudah menjadi bagian dari perencanaan jemaat yang bersangkutan, yang pada derajat tertentu sudah diperhitungkan secara matang mulai dari tahap awal hingga peresmiannya. Keberadaan rumah gereja yang memadai, kendati dinilai cukup mewah oleh sejumlah kalangan, sudah pasti disesuaikan dengan kebutuhan jemaat setempat akan fasilitas kebaktian yang mampu menampung warga jemaat dan menjadi wadah bagi seluruh aktivitas pelayanan jemaat. Namun, hal yang tidak dapat disangkali bahwa pembangunan rumah gereja juga dapat dimaknai sebagai penampakan simbol keagamaan yang berhimpitan dengan ekspresi identitas keagamaan. Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, khususnya Maluku, himpitan keduanya kerap termanifestasi di ruang-ruang publik, yang cukup berpotensi menimbulkan gesekan konflik jika tidak dikelola secara bijak dan bajik. 

Pada realitas yang lain, sekelompok komunitas adat sedang bergulat dengan kelindan kuasa yang menganeksasi hak-hak kemanusiaan mereka atas tanah yang telah didiami turun-temurun dan menyatu dalam kosmologi kebudayaan sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Kelindan kepentingan politik-ekonomi tersebut mengerucut pada pertarungan kuasa antara pendakuan kultural tanah hidup yang selama ratusan generasi menjadi pijakan ekspresi identitas mereka sebagai “manusia laut-pulau” (Aru), dengan kuasa institusi negara yang direpresentasikan oleh lembaga militer bentukan negara. 

Pada tautan mana kedua realitas tersebut dapat dipahami? Pada pijakan perspektif eksistensial, tautan kedua realitas tersebut ada pada simpul panggilan solidaritas kemanusiaan yang dengannya nilai-nilai religiositas menjadi preferensi utama untuk memberi bobot makna bagi kehidupan bersama semesta. Dengannya, religiositas tidak terbelenggu secara beku-kaku pada bentuk-bentuk simbolik yang ditampilkan hanya sebagai pengukuhan identitas keagamaan seseorang atau satu komunitas yang menafikan relasi-relasi kemanusiaan sebagaimana akhir-akhir ini kian tenggelam di tengah hiruk-pikuk kapitalisasi gaya hidup. 

Apa yang sedang digaungkan sebagai solidaritas kepada komunitas Marafenfen yang sedang berhadapan dengan kekuatan (institusi) negara, sebenarnya bukan fenomena dan fakta baru. Banyak peristiwa serupa terjadi tanpa sempat direkam. Ada pula sejumlah kasus perseteruan negara dan masyarakat sipil yang sempat direkam, baik melalui artikel-artikel penelitian maupun publikasi buku seperti “Potret Orang Kalah” (terbit tahun 2004 meskipun laporan penelitiannya telah beredar sejak 1993). 

Kasus Marafenfen dan kasus-kasus serupa lainnya, baik yang terjadi di Kepulauan Maluku maupun di wilayah-wilayah lain komunitas budaya Indonesia, memperlihatkan bahwa “tubuh” kemanusiaan sebagian komunitas sedang mengalami sakit kronis yang disebabkan oleh keserakahan dan ketidakadilan oleh sebagian pihak lain (individu atau institusi) yang merasa memiliki kuasa dan/atau menggunakan kuasa pada dirinya secara sewenang-wenang. Dalam konteks semacam itu, panggilan pelayanan kristiani semestinya melampaui segala bentuk simbolik yang hanya berfungsi sekadar sebagai penanda identitasnya. Konteks pelayanan kemanusiaan yang sedang diciderai oleh praktik-praktik ketamakan kapitalistik yang pada gilirannya dimanifestasikan melalui tindakan-tindakan yang tidak adil, sebenarnya mesti menjadi panggilan kristiani untuk berpihak, membela dan memulihkan harkat-martabat kemanusiaan semua orang. Suatu upaya membangun “gereja” kemanusiaan yang bergerak leluasa menjumpai semua orang dan memikul salib sosial yang dibuat dan dipancangkan oleh kepongahan kuasa-kuasa bagi segelintir orang. 

Rumah gereja merupakan simbol yang di dalamnya secara eksklusif gereja merangkul berbagai kelompok manusia dengan beraneka latar belakang kehidupan. Oleh karenanya, pembangunan rumah gereja hanyalah bagian terkecil dari cara orang Kristen melakukan panggilan kristiani di tengah-tengah dunia. Malah pada sudut pandang tertentu, meskipun dianggap penting bagi komunitas Kristen, tetapi itu sebenarnya membatasi ruang gerak komunitas Kristen untuk menjumpai sesamanya yang lain (liyan). Padahal, dari akar katanya ecclesia, gereja itu sendiri adalah suatu gerak keluar dari berbagai sekat identitas, sebagaimana kasih, karya dan pengorbanan Kristus yang bergerak keluar dari dirinya sendiri, egonya sendiri, kenikmatannya sendiri, untuk menjumpai liyan dalam situasi hidup mereka secara konkret. Itulah basis utama eklesiologi. 

Jika demikian halnya, maka eklesiologi gereja (GPM) sudah sejak kelahirannya telah dan masih bergelut dengan realitas pemiskinan struktural dan ketimpangan politik pembangunan seperti yang tampak dari bermacam-macam peristiwa gugatan komunitas-komunitas kepulauan Maluku. Tidak ada pilihan lain dari panggilan kristiani dan pengutusan eklesiologis GPM selain bergelut bersama komunitas-komunitas Kepulauan Maluku ini, bahkan dengan semua komunitas budaya/agama Indonesia, untuk membangun “gereja kemanusiaan” yang melaluinya GPM melibatkan diri secara sengaja, menentukan keberpihakan secara jelas pada nilai-nilai kemanusiaan yang dilindas oleh kepongahan kuasa, dan memikul salib Kristus yang telah dibebankan sebagai misi eternal kristiani. Seluruh proses itu pada hakikatnya hendak mengarahkan orientasi eklesiologis GPM pada tindakan-tindakan etis-pastoral membangun “gereja kemanusiaan” atau yang selalu saya sebut sebagai “gereja bagi semesta” (GBS). [Lihat Steve G. C. Gaspersz & Nancy N. Souisa, “Sailing through the waves: Ecclesiological experiences of the Gereja Protestan Maluku archipelago congregations in Maluku.” HTS Teologiese Studies/Theological Studies 77(4), a6861. https://doi.org/10.4102/hts.v77i4.6861] 

Pada pijakan ontologis “gereja bagi semesta” itu maka seluruh energi eklesiologis GPM seyogyanya diarahkan bagi penguatan pilar-pilar keagamaan dan kebudayaan yang memungkinkan semua orang (dari berbagai latar belakang kehidupan) membangun kehidupan bersama yang setara dan egaliter. Prinsip kesetaraan dan egalitarianisme yang melandasi “gereja bagi semesta” tersebut menempatkan GPM di luar pagar doktrinalnya dalam membangun komunikasi sosio-teologis bagi pembelaan kemanusiaan yang digilas oleh kesewenang-wenangan kuasa. Lebih lanjut, dengan prinsip kesetaraan dan egalitarianisme itu pula “gereja bagi semesta” didobrak untuk melihat ke dalam dirinya sendiri apakah dasar-dasar etika sosial kristiani seperti yang diperlihatkan Kristus masih menjadi acuan bagi pengembangan pelayanan pastoral kristiani yang lebih holistik ketimbang partikularistik dan sektarianistik. 

Catatan kecil ini hanya secuil refleksi dari pinggiran – yang saya sebut sebagai marjin kiri – untuk terus-menerus menyegarkan ingatan akan narasi-narasi kemanusiaan yang selalu digemakan dari mimbar-mimbar gereja. Kehadiran GPM – kendati selalui dibungkus dengan pleidoi teologis yang romantik – adalah karya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, berbagai bentuk tindakan yang terarah pada upaya merusak hakikatnya sebagai “gereja bagi semesta” tidak dapat diabaikan atau disembunyikan di balik kemeriahan membangun rumah/gedung gereja yang hanya berhenti pada pemaknaan simbolik sebagai katup pengaman identitas yang eksklusif.
Read more ...

Thursday, February 9, 2023

Heka-Leka: Telusur Makna Teologis dalam Ide Kebudayaan Maluku




Kontekstualisasi teologi merupakan pergumulan gereja yang tumbuh dalam suatu konteks kebudayaan di suatu tempat dan pada masa tertentu. Kontekstualisasi teologi dapat dipahami sebagai desakan agar seluruh ekspresi kehidupan manusia yang termanifestasi dalam berbagai matra kebudayaan mampu dimaknai sebagai pantulan iman kepada Allah. Dalam perkembangannya, wacana kontekstualisasi teologi berproses dalam berbagai benturan dan kritik yang melahirkan beragam pendekatan dan model. 

Studi ini merupakan bagian dari upaya memaknai “teologi” sebagai ekspresi hidup beriman yang digali dari pandangan dunia suatu masyarakat yang sedang bergumul dengan eksistensi dan identitas kristiani vis-à-vis kebudayaan atau adat. Pergulatan melalui adat telah membentuk karakteristik misi dan eklesiologi yang khas dalam sejarah gereja di Maluku. Di Maluku, khususnya Ambon, pengertian “adat” mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (mores) dan kebiasaan umum (folkways), kendati dalam praktik lebih mendekati pengertian “kebiasaan”. Adat juga dipercaya sebagai tradisi warisan leluhur yang menegakkan persekutuan komunitas negeri dan menjadi pola hidup generasi seterusnya. Interpretasi budaya atas adat dan realitas hidup sosial sehari-hari sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) masyarakat setempat. Pandangan dunia terbentuk sebagai refleksi atas pengalaman hidup masyarakat dalam sejarah dan konteks sosial setempat, juga dari hasil perjumpaan dengan liyan dari berbagai kebudayaan lain. 

Salah satu bentuk pemahaman atas realitas keseharian dan penafsiran makna simbolik membentuk pandangan dunia yang disebut heka-leka, yang secara harfiah berarti “perang /pecah (heka) untuk dilahirkan kembali (leka)”. Secara implisit konsep heka-leka dapat ditemukan dalam setiap masyarakat (dengan terminologi yang beragam). Di Ambon-Lease, khususnya di Negeri Naku yang menjadi fokus penelitian, heka-leka itu tidak lagi begitu dikenal meski secara intrinsik tetap menjadi bagian dari struktur kesadaran adatis dan sosiologis. Selain muncul dalam ungkapan-ungkapan sehari-hari, pandangan heka-leka ini secara mendasar termanifestasi dalam tiga kategori, yakni [1] dalam sistem kepercayaan, [2] dalam narasi mitologi/ritual dan [3] dalam realitas pengalaman sehari-hari. 

Pencarian makna heka-leka melalui penelusuran ketiga kategori tersebut, yang tercermin dari jaringan makna sistem sosial, membawa pada suatu kristalisasi makna yang substansial. Sebagai suatu konsep kebudayaan partikular, heka-leka ternyata menjadi representasi kesadaran reflektif kemanusiaan universal yang mencakup nilai-nilai sebagai berikut: keberanian untuk hidup dalam perbedaan (koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), menjaga keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis), menentang dominasi (ekualitas) dan menolak kemapanan (dinamis). Nilai-nilai tersebut memberi peluang untuk dijadikan dasar bagi refleksi teologis yang dibangun dari praksis kebudayaan. Dalam hal ini, teologi kontekstual tidak hanya dipahami sebagai suatu ikhtiar pempribumian teologi belaka melainkan penggalian hakikat berteologi itu sendiri dalam kebudayaan lokal yang menjadi arena pergulatan kemanusiaan universal pada suatu konteks partikular.

Teologi yang direfleksikan oleh manusia dalam masyarakat tersebut kemudian juga akan dipakai untuk melakukan kritik terhadap komitmen gereja untuk menjadi bagian dari pergulatan riel manusia dalam konteksnya. Jadi, praksis berteologi tidak semata-mata hanya bersinggungan dengan matra-matra dogmatis dan ritual gereja, tapi lebih jauh dapat menjadi kritik budaya berhadapan dengan fenomena sosial kemasyarakatan yang di dalamnya gereja juga mengambil bagian dan berfungsi kritis-kreatif. 

Studi ini merupakan salah satu pantulan eksistensial dan kultural mengenai pokok pergumulan misiologis gereja-gereja yang hidup dalam suatu ranah kebudayaan lokal (Maluku). Jalan panjang sejarah telah membuktikan bahwa hakikat kedirian gereja sebagai suatu entitas religius tidak dapat membentengi diri dari desakan penetrasi nilai-nilai kebudayaan manusia. Demikian pula dengan fenomena pergolakan-pergolakan ideologis sepanjang sejarah gereja di Maluku yang sampai saat ini terus berada dalam ketegangan historis dan kultural yang menggumpal dalam berbagai corak sikap dan pandangan terhadap dialektika Injil dan kebudayaan. Konsern itulah yang mendorong penulisan buku ini sebagai upaya untuk menelusuri matra kebudayaan lokal sebagai basis merekonstruksi refleksi teologis yang penad. Tentu dengan segala konsekuensi dan keterbatasan karena kebudayaan itu sendiri merupakan ekspresi manusiawi yang tidak bebas nilai. Pada titik itulah, karya ini menjadi simpul pertemuan berbagai kritik teologi dan kebudayaan.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces