Aku menulis maka aku belajar

Thursday, May 23, 2019

Jakarta 22 Mei 2019

jakarta, jakarta
selalu merasa jadi lensa
dunia memandang indonesia
segala media menarik mata
memandang dirimu diterpa murka

jakarta, jakarta
hikmah puasa seakan sirna
ditelan syahwat kuasa
orang-orang kecil mengadu nyawa
para pembesar berpesta pora

jakarta, jakarta
berlagak sebagai wajah indonesia
tiada belajar mengolah jamak budaya
diksi agama cuma topeng belaka
tanpa peduli manusia nestapa

jakarta, jakarta
hari ini kucatat dalam agenda
kau kian jauh dari luapan asa
menjadi kota penuh bangga
tiadalah kau belajar dari puing-puing derita
demi setangkup permainan kuasa
berceceran darah di mana-mana

jakarta, jakarta
hari ini engkau terluka
hanya karena hitung suara
di mana mereka yang keras bersuara?
berselimut nyaman di hotel-hotel bintang lima
hanya anak-anak muda tunadewasa
mabuk murka di jalanan ibukota
terkapar dan terluka
jadi pesakitan tanpa.dibela

jakarta, jakarta
tiada menang tiada merana
setelah ini mereka duduk semeja
menikmati makan sedap bersama
sambil mengatur bisnis merajalela
kau, aku dan kita cuma dapat cerita
heroisme, patriotisme dan pancasila
di lorong-lorong kumuh tempat hidup kita

jakarta, jakarta...

Read more ...

Wednesday, May 22, 2019

Peziarah Sunyi Sejarah Sepi: kisah kecil di balik sebuah buku

"Cuma ada naskah asli disertasi yang beta simpan. Ada coretan-coretan penguji di dalamnya. Beta seng bisa kasi akang. Coba cek Anes Makatita. Dia sempat fotokopi," demikian kata beliau. Siang itu kami sengaja menyambangi rumah beliau di kawasan Kudamati untuk meminjam disertasi beliau tentang "Sejarah Gereja Protestan Maluku". Ketika beliau baru pulang studi doktor sekitar tahun 1992, beta sempat menjadi moderator dalam diskusi mahasiswa dengan narasumber Pdt. Dr. Mesakh Tapilatu, M.Th., atau yang akrab disapa Pa Eca.

Angkatan kami semasa kuliah (1990) tidak sempat bersua beliau yang sedang menjalani studi doktor. Matakuliah Sejarah Gereja diasuh oleh Jacob Seleky, M.Th. atau Pa Jop. Pada pertengahan masa studi sarjana barulah MT selesai studi dan menangani matakuliah tersebut. Jadi tidak banyak berinteraksi dengan beliau di dalam klas.

Interaksi intensif dengan MT justru terjadi selesai studi sarjana. Dalam beberapa kesempatan terlibat diskusi sejarah dengan MT. Misalnya, dalam rangkaian Memorial Lecture Johannes Leimena dan Johannes Latuharhary di UKIM tahun 1995. Saat itu pula bertemu dengan Dr. Zakaria Ngelow, M.Th. yang disertasinya baru diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan tajuk "Kekristenan dan Nasionalisme di Indonesia".

Tulisan-tulisan MT tersebar pada beberapa buku. Beliau kerap diundang sebagai narasumber-sejarawan dalam sejumlah proyek penulisan sejarah jemaat-jemaat GPM dan GPI. Yang termutakhir, seingat beta, adalah sebagai salah seorang kontributor artikel dalam buku tebal "History of Christianity in Indonesia" yang digarap kolaboratif bersama Prof. Thom Van den End, Prof. Karel Steenbrink dan Prof. Jan Aritonang.

Penolakannya secara halus untuk meminjamkan disertasinya bisa dipahami. Begitulah seorang sejarawan memperlakukan sebuah naskah atau teks. Sangat berhati-hati dan "pelit" sebab mereka menghargai proses sejarah lahirnya suatu naskah, buku atau teks. Meskipun alasan beta waktu itu adalah membantu mengetik ulang agar bisa disunting untuk diajukan kepada penerbit, lalu dipublikasi. Mengapa? Karena disertasi MT adalah karya akademik sejarah pertama yang mengulas Sejarah Gereja Protestan Maluku. Beta berasumsi disertasi itu harus dipublikasi agar menjadi referensi sejarah GPM yang ditulis oleh "orang" GPM sendiri. Selama ini, pembelajaran sejarah setia merujuk sejumlah karya Thom Van Den End. Baru belakangan, penulisan sejarah secara serius dilakukan oleh Cornelis Alyona dan Johan Saimima.

Jarak generasi mereka sangat jauh. "Tidak mudah mencari peminat kajian sejarah yang serius menekuni dokumen-dokumen atau arsip masa lalu," kata MT. Kondisi itulah yang sempat membuatnya prihatin dengan keberlanjutan ilmu sejarah dalam proses pembelajaran pada Fakultas Teologi UKIM. Untunglah, Cornelis Alyona melanjutkannya dengan aksentuasi pada studi kearsipan. Optimisme makin menguat dengan kehadiran Johan Saimima, generasi muda yang menekuni ilmu sejarah di bawah bimbingan Mesakh Tapilatu, digembleng di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sejarah UGM dan akan segera menjalani ujian disertasinya.

Penerbitan buku penghormatan kepada Mesakh Tapilatu ini bukannya tanpa kesulitan. Cukup lama proyek penulisan buku ini mangkrak. Kesulitan serupa saat bersama Jusuf Anamofa menggarap buku penghormatan kepada Jacob Seleky. Seperti beta bilang, minim sekali para pengaji sejarah di lingkungan UKIM sehingga pengumpulan artikel bernuansa sejarah juga sulit dan lama dikumpulkan. Target terbit pada usia MT yang ke-70 pun meleset. Ketika Agus Batlajery mengajak bekerja sama untuk merampungkannya, beberapa bulan setelah beta selesai studi di UGM, setahap demi setahap proses pengumpulan tulisan dan penyuntingan mulai dilakukan. Sejumlah nama yang cukup dikenal dalam jagat teologi Indonesia pun turut berkontribusi, seperti Jan Aritonang, Robert Borong, dan Eben Nuban Timo. Sayangnya, Zakaria Ngelow urung menyumbang tulisan karena sedang konsentrasi pada proyek penelitian dan publikasi yang sementara digawanginya waktu itu. Demikian pula dengan Cornelis Alyona.

Apa mau dikata? Proses penggarapan buku ini harus terus jalan. Harapan besar, setelah ini harus dilanjutkan dengan penggarapan dan penerbitan disertasi Mesakh Tapilatu untuk menambah khazanah referensi sejarah yang ditulis oleh sarjana-sarjana penekun sejarah di Maluku. Penyuntingan dan publikasi buku ini tak lepas dari kerja keras murid Mesakh Tapilatu, Johan Saimima. Sudah pasti, tugas besar Johan Saimima adalah melanjutkan apa yang sudah dimulai dan dilakukan oleh Mesakh Tapilatu dan juga Cornelis Alyona.

Ini hanyalah catatan kecil tentang sejarah lahirnya satu buku tentang seorang sejarawan, sekaligus apresiasi atas segala karya yang pernah dilahirkannya tapi belum sempat dikenal luas. Semoga ketika anda membeli dan membacanya makin terkuak noktah-noktah sejarah yang masih terselimuti kabut dan menantang untuk ditelisik lebih jauh dan dalam. Sembari kita bersama terus berusaha melahirkan karya-karya ilmiah yang orisinal bagi pengembangan studi teologi di Tanah Lapang Kecil. Selamat membaca!

Read more ...

Jakarta 22 Mei 2019

Dini hari Bawaslu mengumumkan penetapan Pasangan Calon 01 (Joko Widodo/Maaruf Amin) sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019. Kubu Paslon 02 (Prabowo Subianto/Sandiaga Uno) tidak menerima keputusan tersebut. Sudah sejak jauh hari sebelum penetapan, Paslon 02 dan koalisi partai pengikutnya menyatakan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif sehingga dengan jelas memperlihatkan gelagat menolak hasil penghitungan suara cepat (quick count) dan final count. Bahkan secara gamblang mendeklarasikan kemenangan sebanyak empat kali dengan klaim kemenangan 62%, meskipun prosentase itu berubah beberapa kali.

Tak berselang lama, gema people power dikumandangkan dan mereduksi kewibawaan institusi-institusi negara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilpres, jika memang tuduhan kecurangan itu hendak ditarik ke jalur hukum nasional, yaitu Mahkamah Konstitusi. Berbagai bentuk agitasi dan penghinaan kepada figur Presiden Joko Widodo menyebar melalui media sosial (gambar dan video). Bahkan ada yang dengan sok jagoan mengancam akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo (JW). Lapisan-lapisan kepentingan berkelindan sehingga tidak jelas lagi kemana arah ketidakpuasan terhadap hasil pilpres dan tuduhan kecurangan ini tertuju.

Pecahnya bentrokan antara aparat kepolisian yang bersiaga di Gedung Bawaslu, serta penumpukan kerumunan orang pada beberapa titik area di Jakarta, memperlihatkan dengan jelas kompleksitas kepentingan politik yang menunggangi momentum pilpres sebagai kesempatan untuk memenuhi syahwat berkuasa yang tidak lagi mampu dikendalikan. Konsekuensinya, segala cara, strategi dan agitasi pun dianggap "halal" untuk dilakukan. Permainan politik identitas primordial lantas menjadi amunisi yang diledakkan melalui pernyataan-pernyataan politik yang dibumbui dengan sangat tegas oleh citarasa diksi-diksi keagamaan.

Tuntutan apa yang hendak disampaikan melalui aksi-aksi vandalistik kerumunan orang-orang marah ini? Makin tidak jelas. Para elite yang sempat "membakar" kemarahan massa dengan orasi-orasi jalanan tiba-tiba menghilang dan "cuci tangan" lalu berdalih para pelaku kerusuhan bukan kelompok pendukung atau sahabat mereka. Sementara pada saat yang sama, tidak ada ajakan atau anjuran agar massa mundur atau pulang. Jalur hukum melalui gugatan ke MK pun seakan menguap karena tidak tersedia barang bukti yang kuat memperlihatkan indikasi kecurangan pilpres 2019.

Suhu publik Jakarta memanas dengan kekacauan pada beberapa titik. Aparat polisi masih dalam posisi bertahan menghadapi agresivitas sekelompok orang yang melempari dan memaki pasukan polisi. Entah berapa lama benteng kesabaran polisi bisa bertahan di tengah khaos yang sepertinya didesain secara sengaja. Apalagi asrama Brimob di kawasan Petamburan turut dibakar.

Situasi khaos ini jelas bukan kebetulan dan ketidaksengajaan belaka. Wacana-wacana khilafah, "ganti presiden", dan penolakan terhadap sistem demokrasi, sudah tampak sejak tumbangnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pertarungannya melawan Anies Baswedan untuk menduduki kursi Gubernur DKI. Amunisi politik identitas dengan berbagai bentuk agitasi "penolakan pemimpin kafir" dan "penista agama" berhasil menembus jantung nalar publik sehingga kualifikasi kepemimpinan yang berkualitas dan profesional pun tak lagi determinan. Fenomena itu lantas menjadi parameter dalam sejumlah proses pilkada di daerah-daerah lain, bahkan pilpres dengan pembentukan opini publik "Jokowi PKI" atau "Jokowi antek asing/aseng" dll.

Tidak ada khaos di daerah-daerah lain seperti di Jakarta. Itulah yang menjadi makanan empuk media sehingga menarik semua mata hanya melihat Jakarta dan tidak melirik ketenangan pasca penetapan di banyak daerah luar Jakarta. Maka sebenarnya sentrum pamer syahwat kuasa dan pertarungan politik hanya berputar-putar di Jakarta. Tidak ada model kedewasaan berdemokrasi yang diperlihatkan elite-elite politik Jakarta. Hanya ada kepongahan politik dengan tetap menjadikan rakyat biasa sebagai tumbal dari ritual-ritual politik yang dikendalikan oleh oligarkhi politik.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces