Aku menulis maka aku belajar

Thursday, November 14, 2019

Pendeta GPM dan Sidang Raya Ke-17 PGI: Catatan Post-Factum

Sebagai pendeta yang tidak terlibat Sidang Raya (Sidra) ke-17 PGI di Sumba, sebenarnya beta berharap ada cerita yang bisa dibagi oleh rekan-rekan pendeta yang beruntung mendapat kesempatan mengikuti perhelatan gerejawi nasional tersebut (termasuk pertemuan pemuda dan perempuan pra-sidra). Setiap hari beta memeriksa adakah catatan-catatan harian sebagai refleksi iman dalam pergumulan bersama GPM dan gereja-gereja lainnya merespons realitas bergereja dan bermasyarakat akhir-akhir ini.

Ada tergurat sedikit kecewa karena dari sekian banyak pendeta GPM yang terlibat ternyata tidak banyak yang bersedia berbagi narasinya. Di antara yang sedikit itu, sejauh amatan beta, catatan harian (status FB) bung Jacky Manuputty dan bung Elifas Tomix Maspaitella cukup dominan terutama meliput realitas sosial masyarakat Sumba dan perjumpaan-perjumpaan langsung dengan orang Sumba. Sebagian besar status FB lebih memuat foto-foto dan video live yang bertebaran tanpa narasi, kecuali keterangan singkat.

Untunglah, Pdt. Harley Pattianakotta, putra Loki yang berkarya sebagai pendeta Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan baru saja ditugaskan oleh Sinode GKP sebagai Pendeta Kampus di Universitas Kristen Maranatha Bandung, dengan setia dan tekun berbagi narasi-narasi kritis yang ditulisnya setiap hari. Dari situlah beta bisa turut mencermati dinamika Sidra PGI dari jauh dan didesak pula untuk masuk dalam pergumulan gereja-gereja Indonesia, terutama dalam kurun 5 tahun terakhir.

Catatan-catatan harian Sidra PGI itu penting dibagikan kepada publik agar perhelatan gerejawi tersebut tidak hanya menjadi omong-omong para elite yang berkerumun menikmati fasilitas dan layanan jemaat-jemaat Gereja Kristen Sumba (GKS) yang pada kenyataannya bergelut dengan masalah-masalah eksistensial kehidupan mereka, seperti kritik dalam tulisan pada tautan ini. Lantas, aksentuasi berlebihan hanya dimuarakan pada momen pemilihan Ketua MPH PGI ~ yang oleh Pdt. Dr. Albertus Patty disebut sebagai "momen krusial". Mengapa hanya momen itu yang disebut "krusial"? Apa yang dimaknainya sebagai "krusial"? Tidak jelas, karena itu hanya ditulisnya sebagai status FB. Namun, yang jelas, bagi beta, suksesi kepemimpinan masih berkutat sebagai orientasi utama dalam sidra-sidra PGI sembari abai pada tujuan utama dari "persekutuan gereja-gereja" yang sedang berlangsung dalam konteks sosial, budaya, politik dan ekonomi jemaat-jemaat GKS yang menjadi host sidra tahun 2019.

Padahal, sidra 2019 ini berlangsung tak lama setelah GPM menggelar Sidang MPL penuh keprihatinan di Jemaat Haruku-Sameth (Hasa), Klasis Lease. Semestinya pergumulan-pergumulan GPM turut mendorong penguatan berbagai diskursus sosial-politik dan ekonomi, yang ditautkan sebagai simpul refleksi dan praksis berteologi dengan situasi problematik GKS. Secara geografis, wilayah pelayanan GPM dan GKS berdekatan dengan karakteristik kepulauan yang tidak berbeda jauh. Secara sosio-teologis, pergumulan GPM dan GKS bertumpu pada realitas ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan ekonomi nasional, yang baru-baru saja diwarnai ketegangan antar-elite politik setelah pernyataan Gubernur NTT mengenai saham 5% dari investasi Blok Masela untuk Provinsi NTT. Pernyataan itu pun memicu reaksi dari para elite daerah, terutama Bupati Kepulauan Tanimbar.

Apa artinya itu? Sederhananya, para elite politik ~ baik di daerah (Maluku dan NTT) maupun di Jakarta ~ sedang bertarung berebut kuasa (politik dan ekonomi) dengan mempertaruhkan harkat-martabat rakyatnya sendiri. Isu yang diributkan cuma soal investasi dan rebutan dana pembangunan nasional. Di situlah sebenarnya perhelatan sidra 2019 patut dijadikan sebagai ajang konsolidasi seluruh kekuatan sosial (social capital) dan budaya (cultural capital) untuk melakukan negosiasi nasional dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) entah itu pemerintah (pusat/daerah) atau korporasi transnasional.

Mengapa sidra mesti diposisikan sebagai ajang konsolidasi gereja-gereja? Alasannya jelas terang-benderang: PGI makin luruh wibawanya dalam konstelasi sosial-politik-ekonomi nasional, dan tidak lagi menjadi "avant-garde" dalam gerakan-gerakan pemberdayaan berbasis pada keberpihakan sejati terhadap situasi problematik kemanusiaan Indonesia. Meskipun ketidakhadiran Presiden, Wapres dan Menteri Agama terlalu sumir untuk dijadikan sebagai parameter mengenai insignifikansi momen Sidra PGI, namun tak bisa dipungkiri itu tetap ditafsir sebagai makin menciutnya makna kehadiran PGI di mata pemerintah Indonesia. Kritik pedas oleh seorang pendeta GKS melalui tulisan ini dengan tegas memperlihatkan ironi semacam itu. klik di sini

Benarkah seperti itu? Beta merasa tidak bisa menjawabnya karena hanya bisa mengamati dari jauh. Semoga saja argumentasi kritis dari rekan-rekan pendeta yang mengikuti sidra bisa memverifikasi kritik pendeta GKS ini bahwa kehadiran GPM bersama yang lain tidak hanya "numpang berapat" (termasuk numpang tidur dan menikmati layanan klas-1). Argumentasi yang setidaknya menegaskan bahwa kehadiran GPM dalam Sidra 2019 bukan sekadar plesiran dan aneka selfie sana-sini. Yang lebih penting tentu saja dengan selalu ingat bahwa ada doa dan dana dari jemaat-jemaat kita ~ yang juga sementara bergulat dengan kemiskinan dan bencana ~ yang menopang partisipasi para pendeta GPM di Sumba.

Catatan kecil ini adalah catatan "post-factum" dan karenanya lebih berorientasi refleksi (pantulan) dari momen sidra. Jika ada rekan-rekan pendeta yang bersedia berbagi, beta dengan senang hati menyediakan forum KANJOLI UKIM sebagai forum berbagi dengan ade-ade mahasiswa UKIM (bukan hanya fakultas teologi).

MENA!
Read more ...

Thursday, October 31, 2019

Berani Keluar dari Zona Nyaman


BERANI KELUAR DARI ZONA NYAMAN UNTUK MELAKUKAN TEROBOSAN BAGI KEMASLAHATAN
Catatan singkat dari khotbah Pdt. Dr. Steve Gaspersz, M.A.

Oleh: Pdt. Alfred Ohman, M.Si

Video singkat tentang profil Nadiem Makarim dan dr. Terawan, menjadi pengantar khotbah Pdt. Dr. Steve Gaspersz yang menohok dalam ibadah minggu kemarin (27 Oktober 2019) di gedung gereja Nehemia.

Dengan lugas, Pendeta Steve mengulas tentang dua menteri pilihan presiden Jokowi itu, yang dinilai tidak hanya punya kecerdasan dan mindset yang brilian, tetapi juga keberanian dalam melakukan terobosan di bidangnya masing-masing secara konsisten meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan.

Poin ini sekaligus memberi jawaban atas debat hangat beberapa hari belakangan tentang posisi orang Maluku yang tidak masuk dalam jajaran kabinet. Kendala kita bukan soal tidak ada orang cerdas, melainkan ketidakberanian dalam melakukan inovasi, tandasnya.

Kalau begitu, apa penyebabnya? Pendeta Steve kemudian menguraikan teks Lukas 9:57-62 tentang hal mengikut Yesus. Di sini beliau menjelaskan tentang ucapan Yesus bahwa Ia tidak punya tempat untuk meletakan kepala-Nya. Menurutnya pengertian ini bukan tentang Yesus yang tak punya tempat tinggal (homeless) tetapi lebih kepada seorang yang bebas dan tidak hidup dalam bayang-bayang patron seperti orang-orang Yahudi pada saat itu yang berada di bawah kekaisaran Romawi. Ucapan ini sekaligus menjadi kritikan bagi para pemberontak tetapi juga para "alim ulama" yang cenderung bermain aman daripada bernyali profetik.

Selanjutnya, saya menangkap bagaimana pendeta Steve mengulas tentang ajakan Yesus "ikutlah aku" yang kemudian diresponi dengan dua jawaban. Yang pertama izinkan aku menguburkan bapakku dan kedua izin pamit dari keluarga. Dari dua jawaban ini ia lalu menjelaskan bahwa tradisi dan ikatan keluarga juga menyebabkan seseorang tidak berani melakukan terobosan. Yesus tentu tidak bermaksud tidak menghargai tradisi dan keluarga. Dalam pelayanannya, Yesus sendiri telah menampilkan bahwa ia berani menembusi tradisi dan ikatan keluarga dengan mengunjungi langsung setiap orang tanpa memilah-milah status sosialnya serta memberi jawaban atas setiap persoalan yang dihadapi. Yesus sang pemuda 33 tahun itu mampu melihat apa yang dibutuhkan manusia dan karena itu ia berani melakukan terobosan. Bagi pendeta Steve, terobosan dan inovasi adalah spirit Kekristenan.

Lebih lanjut, dari khotbahnya juga mengingatkan agar kita tidak terbius oleh romantisme masa lalu sembari mempertanyakan dimana sesungguhnya posisi kita. Apakah berada di barisan orang-orang yang berinovasi ataukah sama seperti orang-orang yang hidup di bawah bayang-bayang tradisi dan ikatan keluarga. Gereja mesti berani melihat keluar tentang kemana arah pendidikan kita, gumulan keumatan, begitupun tentang anak-anak muda kita.

Dalam khotbahnya, ia mengungkapkan bahwa mengikut Yesus tidak cukup hanya mengagumi simbol salib Yesus tapi mampu menjadi teladan Kristus.

Mengikut Yesus tidak hanya berkaitan dengan kesibukan ritual tetapi bagaimana menjadi ASN atau Anggota TNI/Polri yang disiplin, menjadi mahasiswa yang menghargai keringat orang tua dan mampu berprestasi, tidak cepat puas dan merasa cukup dengan apa yang kita ketahui, sebab di situlah pertaruhan kita. Beliau pun mengingatkan bahwa dunia hari ini bicara tentang data dan bukan berdasarkan perasaan dalam pengambilan keputusan ataupun ikatan keluarga.

Ia juga memberi pesan bahwa orang tua perlu membangun komunikasi dalam menyiapkan anak-anak sebagai pemimpin, tentu bukan dengan umpatan dan makian tetapi dorongan yang memotivasi. Sementara di lain sisi, ia menantang para pemuda untuk keluar dari kenyamanan dan melakukan terobosan-terobosan bagi kemajuan.

Terima kasih, Pendeta Steve atas khotbahnya yang menukik dan menginspirasi beta serta kawan-kawan pemuda di perayaan 91 tahun Sumpah Pemuda untuk lebih produktif melalui berbagai terobosan.

Bagi beta Sumpah Pemuda adalah momentum yang menegaskan keberanian orang-orang muda untuk melakukan terobosan sama seperti seperti yang telah dilakukan Yesus sebelumnya.

Teruslah bergerak, pemuda Maluku. Kobarkan semangatmu untuk melakukan terobosan. Jang takisu. Tarus maju voor hal bae. Biar apa datang dari muka, jangan undur eee..

Tabea!
Read more ...

Tuesday, October 22, 2019

Refleksi Ambon Memuji - Lapangan Merdeka Ambon, 21 Oktober 2019


Read more ...

GEMPA BUMI AMBON - Kamis, 26 September 2016

Pagi hari Nancy sudah bertolak menuju Pelabuhan Tulehu untuk naik kapal cepat jurusan Masohi. Ada undangan dari Klasis Masohi untuk mengisi salah satu sesi dalam kegiatan di sana. Beta bersiap pergi ke kampus sekaligus mengantar Kailani ke sekolah.

Baru saja selesai berpakaian, tiba-tiba terdengar bunyi seperti gemuruh hujan yang kemudian diikuti getaran makin hebat yang mengguncang dinding-dinding rumah. Sontak beta berlari ke ruang tamu dimana Kaila sedang bermain, sambil berteriak keras “Kaila!”. Beta segera menggendongnya lari keluar rumah. Di luar rumah, para tetangga di kompleks sudah berhamburan keluar rumah sambil berteriak panik. Getaran gempa terasa sekitar 10 detik. Selang beberapa menit kemudian terasa sejumlah gempa susulan dengan getaran yang lebih lemah. Namun, kecemasan dan kepanikan akibat getaran 6,8 SR yang pertama telanjur mewabah.

Sontak, gelombang “pengungsi” makin membesar memenuhi jalan-jalan utama kota. Kampus, sekolah, kantor dan pertokoan langsung tutup. Para orangtua menjemput anak-anak di sekolah-sekolah mereka, para siswa dipulangkan, aktivitas perkuliahan di kampus-kampus dihentikan. Kemacetan terjadi pada semua ruas jalan kota Ambon karena akumulasi warga yang bergerak menuju rumah-rumah mereka dan yang mengungsi ke dataran tinggi.

Beta dan Kailani sempat terjebak kemacetan pada pertigaan Belakang Soya (Belso) dan jalan LIN-5 karena bertemunya arus kendaraan yang turun dari Karpan, yang memakan lebih separuh badan jalan, dan arus orang/kendaraan yang menuju Karpan. Hanya tersisa ruang gerak yang cukup untuk dilewati sepedamotor saja dari arah kota (bawah). Dengan susah-payah menahan panas terik matahari siang itu, akhirnya kami tiba di rumah Karpan. Beta menitipkan Kailani kepada Mama An, lalu turun kembali ke rumah Wainitu. Tak berapa lama tiba di rumah, selang beberapa jam Nyong Eby mengirim mobil untuk mengangkut Mami Tin ke rumah Karpan. Dengan demikian, beta bisa lebih leluasa untuk mengemas dokumen-dokumen penting dan membawanya nanti ke rumah Oma Nen (Karpan kompleks).

Suasana Kota Ambon, terutama kompleks pemukiman kami, terasa mencekam. Jalan-jalan lengang. Tampaknya semua orang berjaga-jaga dengan cemas bercampur waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan gempa susulan. Hingga tanggal 22 Oktober 2019 BMKG merilis laporan sudah terjadi 1.670-an gempa-gempa susulan. Suatu fenomena yang unik, menurut beberapa pakar geologi. Dalam kecemasan dan kewaspadaan, kami tetap berdoa penuh harap Tuhan Penguasa Alam ini menjaga seluruh masyarakat Kota Ambon.
Read more ...

Sunday, October 13, 2019

Pertemuan Nasional Pimpinan Bidang Kemahasiswaaan LKPTKI 2019

Senin, 7 Oktober 2019

Berangkat menggunakan maskapai penerbangan Lion Air jam 8.35 WIT. Tiba di Bandara Sultan Hasanudin Makassar jam 9.10 WITA. Tim penjemputan panitia menjemput dari bandara dan mengantarkan saya untuk beristirahat di Guest House UKI Paulus. Tim penjemputan akan membawa semua peserta yang tiba hari ini melalui Makassar dan akan bersama-sama dengan tiga mobil menuju Toraja pada jam 19.00 WITA. Selain saya (UKIM), peserta lain yang tiba hari ini adalah: Universitas Kristen Maranatha Bandung (2 orang), Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (2 orang), Universitas Ciputra (2 orang), Universitas Triatma Mulia Bali (1 orang). Kami tiba di Toraja Heritage Hotel, Toraja Utara, sekitar jam 5.00 WITA dan langsung ditempatkan pada kamar masing-masing oleh panitia. Beberapa peserta dari kampus-kampus lain kemudian menyusul berdatangan pada hari ini, terutama yang melalui Bandara Palopo. Setelah beristirahat dan makan siang, kami melakukan registrasi dan menerima “seminar kit”.

Selasa, 8 Oktober 2019

Sekitar jam 13.00 WITA seluruh peserta diangkut ke Kampus 1 UKI Toraja di pusat kota Makale. Acara pembukaan dimulai pada jam 15.00 dengan diawali Ma’Parapa’ (kata-kata sambutan dalam Bahasa Toraja) mengiringi rombongan peserta memasuki hall kampus. Di dalam sudah menunggu Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr., IPU (Rektor UKI Toraja), Dr. (HC) Jonathan Parapak, M.Sc (Rektor UPH sekaligus pembicara utama). Kemudian menyusul kemudian Bupati Tana Toraja, Ir. Nikodemus Biringkanae, yang datang mengenakan busana khas Toraja. Acara Pembukaan diawali dengan ibadah yang dilayani oleh Pdt. Dr. Johana Tangirerung, M.Th (dosen Fakultas Teologi UKI Toraja) dengan persembahan pujian secara atraktif oleh Paduan Suara Mahasiswa UKI Toraja.

Setelah ibadah, acara dilanjutkan dengan penyampaian laporan ketua panitia, kemudian diteruskan dengan serangkaian kata sambutan oleh Rektor UKI Toraja, Dr. Rocky Taanamah, M.Si (PR-3 UKSW dan Koordinator Forkom LKPTKI) dan Bupati Tana Toraja. Usai foto bersama, Bupati Tana Toraja mengundang seluruh peserta untuk makan malam bersama di rumah jabatan bupati. Setelah menikmati jamuan makan malam bersama Bupati Tana Toraja, peserta kembali diantar menuju hotel dan beristirahat.

Rabu, 9 Oktober 2019

Setelah sarapan, peserta diantar menuju Kampus 1 UKI Toraja di Makale. Ada tiga sesi diskusi sepanjang hari kedua ini:

Sesi pertama
Moderator : Pdt. Dr. Johana Tangirerung, M.Th
Pembicara : Dr. (HC) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc (Rektor Universitas Pelita Harapan)
Topik : Krisis Kader Muda Kristen pada Aras Kepemimpinan Nasional

Sesi Kedua
Moderator : Dr. Selvia Panggua, M.Pd
Pembicara : Corneles Galanjinjinay (Ketua Umum PP GMKI) dan Jery Parimba (Ketua PPGT)
Topik : Intelektual Muda Kristen di Panggung Nasional

Sesi Ketiga
Moderator : Dr. Berthin Simega, M.Pd
Pembicara : Jerry Sumampouw (PGI) dan Broery Pater Tjaja (GAMKI)
Topik : Pola Pembinaan Pemuda Kristen

Setelah mengikuti ketiga sesi tersebut, peserta kembali ke hotel untuk beristirahat. Acara dilanjutkan pada jam 16.30 di ruang konferensi Toraja Heritage Hotel dengan Pengantar Materi Sidang oleh Dr. Wilson Therik, M.Si (dosen pascasarjana UKSW dan Admin Forkom LKPTKI), Pemilihan Pimpinan Sidang, Pembagian dan Diskusi Kelompok, serta Sidang Pleno. Pimpinan Sidang yang terpilih adalah Candra Sinuraya, S.E., M.Si (Universitas Kristen Maranatha Bandung). Peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing membahas tiga isu seputar pembinaan mahasiswa: [1] SIMKATMAWA; [2] Strategi dan Pola Pembinaan Mahasiswa; dan [3] Penguatan Kelembagaan dan Jejaring. Saya bergabung dengan kelompok SIMKATMAWA yang dipandu oleh Arya Sadjiarto (PR-3 Universitas Kristen Petra). Kelompok kami membahas secara langsung beberapa bagian dalam Panduan SIMKATMAWA dan berbagi pengalaman mengenai peluang dan tantangan masing-masing universitas dalam mengimplementasikan program-program SIMKATMAWA, termasuk pula strategi menyiasati kemungkinan meningkatkan point kegiatan kemahasiswaan berbasis SIMKATMAWA dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing universitas.

Selama hampir 1 jam, setiap kelompok memanfaatkan waktu untuk mendiskusikan tiga isu tersebut. Acara kemudian dilanjutkan dengan Sidang Pleno untuk mendengarkan hasil pembahasan setiap kelompok. Catatan proses dan hasil Sidang Pleno akan diuraikan tersendiri pada laporan ini.

Kamis, 10 Oktober 2019

Sejak dini hari, peserta sudah bergerak menuju Lolai, suatu kawasan di dataran tinggi Toraja, yang dikenal dengan “Negeri di Awan”. Dari Lolai, peserta kembali ke hotel untuk bersiap menuju Buntu Burake, dataran tinggi yang lain di Toraja dimana pada salah satu puncaknya didirikan patung raksasa Yesus yang merentangkan kedua tangannya sebagai simbol akta pemberkatan. Dari sana, perjalanan dilanjutkan ke Londa dan Ke’te Kesu. Keduanya adalah situs-situs pemakaman khas Toraja yang terkenal. Kami menikmati makan siang di pelataran depan situs Ke’te Kesu dimana berjajar sekitar enam tongkonan yang sudah berusia ratusan tahun dan deretan alang (lumbung padi) yang juga sering dipakai untuk melakukan pertemuan adat di Toraja. Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi pusat pertokoan di Rantepao untuk membeli oleh-oleh khas Toraja.

Acara penutupan digelar di rumah jabatan Bupati Toraja Utara, Dr. Kalatiku Paembonan, M.Si, di Rantepao. Diawali dengan ibadah singkat dan sambutan-sambutan dari Ketua Bakor LKPTKI yang baru terpilih, Joko Purwadi, S.Kom., M.Kom. (Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta), Rektor UKI Toraja, dan Bupati Toraja Utara (sekaligus menutup secara resmi Pertemuan Nasional Pimpinan Bidang Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Kristen Indonesia tahun 2019). Dari rumah jabatan Bupati Toraja Utara, sekitar jam 21.00 WITA saya dan lima orang peserta lainnya (Universitas Kristen Maranatha, Universitas Ciputra dan Ketua GAMKI) langsung menuju ke Makassar untuk kembali ke kota asal kami masing-masing. Setelah menempuh perjalanan selama 8 jam, sekitar jam 5.00 WITA kami sudah tiba di Bandara Sultan Hasanudin Makassar.
Read more ...

Pendeta Tidak Boleh Sakit?

Sejak mendengar kabar sakitnya Elsa Engel dari bung Jacky Manuputty beberapa tahun lampau, beta sangat prihatin. Keprihatinan itu pula yang membuat beta tidak mau memberi respons dalam bentuk tulisan ataupun status FB mengenai Elsa dan teman-teman [pendeta] lain yang sedang bergulat dengan sakit yang mereka derita. Kenyataan itu juga membuat beta merenung dengan melihat sisi lainnya. Ada banyak kisah tentang rekan-rekan pendeta yang bergumul dengan penyakit dalam tubuh mereka. Namun, ternyata ada yang lebih menyakitkan daripada penyakit mereka, yaitu minimnya – atau bahkan tidak adanya – dukungan biaya dan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh institusi gereja. Pandangan ini bisa disanggah dengan memperlihatkan bahwa para pendeta sudah difasilitasi dengan BPJS Kesehatan, asuransi kesehatan, dan lain-lain. Itu betul. Namun, pada kenyataannya, dukungan biaya dan fasilitas kesehatan lebih banyak diperoleh dari kemampuan pembiayaan jemaat-jemaat yang dilayaninya. Tidak bisa disangkali bahwa sulit sekali mendapatkan dukungan biaya dan fasilitas kesehatan dari jemaat-jemaat yang tidak mempunyai “pendapatan” jemaat yang memadai untuk alokasi biaya kesehatan pendeta. Banyak tercecer kisah-kisah para pendeta GPM yang harus berjuang habis-habisan untuk mengobati penyakit mereka. Yang lebih ironis adalah mereka berpulang dengan kondisi kesehatan yang sama sekali tidak tertangani. Entah karena ketiadaan biaya dan fasilitas kesehatan selama pelayanan mereka di jemaat, entah karena tantangan medan pelayanan yang minim fasilitas kesehatan (puskesmas atau rumahsakit daerah).

Kembali ke kasus Elsa Engel. Di antara sekian banyak hal yang telah diposting mengenai Elsa, ada satu postingan yang berisi chatting Elsa dengan seorang pendeta (kalau tidak salah, karena namanya tidak kelihatan jelas), yang mengungkapkan tentang kerinduannya yang besar untuk menjadi “pendeta”. Tapi apa daya, kanker telanjur menggerogoti tubuhnya hingga ia meninggal dunia dengan membawa serta kerinduannya yang tak terpenuhi. Fakta yang sama juga dalam kasus Renza Tahalele beberapa waktu lalu (bisa ditambahkan lagi). Sebagai dosen pada fakultas teologi UKIM, beta mengenal Elsa dan teman-temannya sejak sebelum berangkat studi lanjut. Ketika pulang studi lanjut (5 tahun), beta masih mendapati Elsa dan teman-teman seangkatannya “menganggur” menunggu proses penerimaan vikaris. Beta tidak tahu sudah berapa lama Elsa dkk menunggu hingga mendapat penugasan sebagai vikaris GPM. Soal waktu itu relatif. Beta juga menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun (lulus tahun 1996, ditahbiskan tahun 2008). Untunglah, Elsa dkk masih bisa beraktivitas sebagai relawan di Balitbang GPM. Hal yang sama dulu beta dan beberapa teman menjadi tenaga magang di LPJ-GPM yang dibesut oleh Pdt. Wim Davidz saat itu.

Di balik sedikit kasus tersebut, sebenarnya tersembul suatu persoalan fundamental, yaitu [1] Bagaimanakah GPM secara bertahap menangani masalah menumpuknya tenaga vikariat dari tahun ke tahun? [2] Model penanganan kesehatan vikaris/pendeta seperti apa yang mesti didesain untuk mengatasi konteks pelayanan yang beragam dari jemaat-jemaat kepulauan (pesisir/pegunungan) yang sama sekali tidak tersedia fasilitas dan sistem layanan kesehatan yang memadai?

Untuk persoalan pertama, kita bisa menyanggahnya dengan mengatakan bahwa GPM sudah menyusun strategi yang dibicarakan dari sidang-sidang MPL yang sudah berlangsung sekian lama. Umumnya, yang beta dengar, GPM sulit mengatasinya karena itu lebih merupakan masalah animo calon vikaris yang tidak mau atau tidak berminat untuk menerima tantangan menjadi pendeta di luar wilayah GPM. Padahal, dari pengalaman beta menjalani masa vikariat di luar Maluku, banyak sekali sinode-sinode gereja anggota PGI yang membuka diri menerima kehadiran tenaga-tenaga pelayan yang “surplus” dari GPM. Hanya segelintir saja yang mengambil kesempatan itu. Selebihnya dalam jumlah besar lebih memilih “setia” kepada GPM.

Sedangkan untuk persoalan kedua, beta secara jujur harus mengakui bahwa sama sekali belum paham mengenai strategi GPM menangani masalah kesehatan para vikaris/pendeta. Beta hanya bersandar pada asupan data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber di jemaat-jemaat mengenai para pendeta yang berjuang sendiri mengatasi penyakit yang bercokol dalam tubuh mereka hingga putus nafas. Kemewahan menikmati dukungan biaya dan fasilitas kesehatan hanya bisa dinikmati oleh rekan-rekan pendeta yang melayani jemaat-jemaat dengan tingkat pendapatan ekonomi menengah/tinggi. Dalih bahwa itu adalah “harga” dari pelayanan sebagai pendeta, dalam hal ini, tentu tidak bisa diterima akal sehat. Malah, itu bisa dilihat sebagai eskapisme dari ketidakmampuan mendukung penyelenggaraan pelayanan melalui model strategis perawatan kesehatan para pendeta.

Catatan kecil ini hanya mencoba meretas peta-peta pemikiran yang masih kabur dalam menanggapi kenyataan rekan-rekan vikaris/pendeta yang terpapar penyakit kronis tanpa dukungan biaya dan kesehatan yang memadai. Sekaligus membuang jauh-jauh mitos bahwa “penyakit” adalah resiko dari pelayanan yang harus dipikul oleh pendeta GPM. Biasanya mitos itu ditanggapi dengan pernyataan beriman “sombayang saja nanti tuangala yang berperkara” atau sikap arogansi “pendeta seng boleh sakit”.
Read more ...

Monday, September 16, 2019

Suara GPM untuk Papua?

Beberapa minggu lalu, Walikota Ambon mengundang mahasiswa Papua yang sedang studi di kampus-kampus Ambon untuk makan malam bersama. Sebelumnya memang sudah ada kunjungan dari Kesbangpol Kota Ambon ke kampus UKIM untuk berkoordinasi terkait dengan situasi di Papua, Surabaya dan Malang. Yang menjadi keprihatinan bersama adalah bagaimana mengantisipasi perkembangan di Papua yang berdampak pada keberadaan mahasiswa-mahasiswa Papua di luar Papua, termasuk di Ambon.

Sebenarnya, saat mendampingi 2 mahasiswa Papua yang belajar di UKIM selama acara makan malam itu, beta sangat berharap bahwa ada juga upaya aksi cepat GPM dalam merespons situasi yang menimpa masyarakat atau jemaat Papua. Sayangnya, harapan itu (sebagai pendeta GPM) pupus karena tidak ada pernyataan publik sikap GPM sebagai bagian dari semangat persaudaraan ekumenis merespons kondisi yang dihadapi oleh gereja-gereja di Papua.

Bagi beta, ini cukup mengherankan bin mencemaskan. Heran karena belum lama Sinode GPM menerbitkan buku dengan tajuk yang aduhai "GPM DI HATI BANGSANYA". Malah kemudian diikuti dengan peluncuran Prodi S3 Agama dan Kebangsaan. Rasanya, masalah kebangsaan menjadi wacana yang digumuli serius. Kenyataannya, aktualisasi semangat kebangsaan GPM itu tidak muncul dalam suatu gerakan sosial GPM sabagai refleksi kritis kehadiran dan peran GPM terhadap masalah-masalah kebangsaan saat ini seperti yang terjadi di Papua atau di tempat lain. Cemas karena beta jatuh pada asumsi hipotetik bahwa GPM tampaknya makin kedodoran dalam membangun kepekaan terhadap dinamika politik nasional saat ini, yang cepat atau lambat akan mempengaruhi cara kita menggereja dalam kompleksitas masalah yang kian menggurita di tingkat lokal.

Bisa jadi beta salah berasumsi. Tapi dari kisah-kisah yang dituturkan oleh para mahasiswa Papua dari Unpatti dan UKIM beta merasa ada pesan miris: "Kitong didatangi oleh orang-orang yang kitong tra kenal. Dorang pake baju aparat dan bawa senjata cari kitong di tampa-tampa kos dan asrama. Kitong datang di Ambon mau kuliah. Sekarang kitong rasa sendiri di Ambon". Mereka merasa sendiri. Apa artinya? Seorang anak Papua yang menjadi koordinator Ambon, juga anak pendeta GKI Papua, mengatakan buat beta: "Bapa, sa pung bapa juga pendeta. Sa sebenarnya harap gereja bisa bilang atau bikin apa ka apa buat kitong ana Papua di Ambon ini."

Bisa jadi beta keliru berasumsi. Tapi apakah terlalu berat bagi GPM untuk menangani anak-anak Papua yang untuk beberapa waktu hidup dan beraktivitas dalam wilayah-wilayah pelayanan jemaat GPM? Hanya untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan studi mereka setelah kasus tindakan kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh rekan-rekan mereka di Surabaya dan Malang. Bukankah mereka adalah anak-anak ekumenis GPM? Semoga slogan GOB bukan pepesan kosong dan masturbasi teologis saja.
Read more ...

Sunday, September 15, 2019

Emanuel Gerrit Singgih: Sumur Inspirasi yang Tak Pernah Surut


Meski dikenal sebagai seorang teolog kawakan di bidang tafsir alkitab namun sebenarnya sulit untuk mengurung keluasan pengetahuannya hanya pada bidang itu. Beta bahkan kerap bertemu EGS, demikian sapaan akrab beliau, pada forum-forum bukan biblika, seperti Studi Institut PERSETIA "Filsafat Timur dan Filsafat Barat" atau forum World Alliance of Reformed Churches (WARC) ketika EGS menyajikan makalah mengenai teologi kontekstual.

Hemat bicara. Tapi sekali mengajaknya berdiskusi, hampir semua ranah keilmuan filsafat dan teologi bisa dijelaskannya dengan jernih. Tulisan-tulisannya terpublikasi luas entah dalam bentuk artikel maupun buku-buku yang selalu menjadi rujukan hampir semua angkatan mahasiswa pada sekolah-sekolah atau fakultas-fakultas teologi di Indonesia. Beberapa teman yang studi lanjut di UKDW dan berada di bawah bimbingannya sering menggambarkan sosoknya sebagai profesor "killer"; suatu hipotesis yang tidak pernah beta percaya karena tidak terverifikasi dalam komunikasi beta dengan EGS.

Beta tidak pernah mengikuti kelasnya di UKDW. Selain di forum-forum seperti yang beta sebutkan di atas, kami bertemu ketika beliau menyajikan kuliah pada klas 2003 di Vrije Universiteit Amsterdam. Tahun 2009, EGS memberi kepercayaan kepada beta untuk menerjemahkan disertasi Frans Wijsen dengan tajuk "Buah-buah Roh: Menjalankan Riset Sosial Partisipatif di Belahan Dunia Selatan" (Duta Wacana Press 2010). Kemudian di ICRS mengikuti matakuliah "Religion, Politics and Sacred Texts in South East Asia" yang dikelola oleh Prof. EGS dan Prof. Amin Abdullah.

Tidak cukup kata-kata di sini untuk mengapresiasi karya-karya EGS. Beta dan Nancy Souisa juga pernah menjadi bagian dari limpahan ilmu dan kebaikan EGS. Semangatnya tampak dari derasnya berbagai ide yang terus mengalir melalui buku-buku terbaru yang terpublikasi hingga tak menyangka bahwa tahun 2019 ini EGS sudah menjelang masa purna baktinya sebagai guru besar teologi di UKDW Yogyakarta. Bagi beta, EGS adalah teladan ketekunan dan kegigihan berteologi kontekstual di Indonesia; ibarat sumur yang tak pernah surut airnya. Beta belajar banyak dari sosok EGS. Dalam hal itu, EGS tampaknya tidak pernah "pensiun". Terima kasih guru EGS!

Foto: IRTI Conference 2019 - Vrije Universiteit Amsterdam
Read more ...

Wednesday, July 31, 2019

Resolusi Konflik Berbasis Strategi Kebudayaan

A. Pengantar

Bagi saya, dan pasti juga bagi sebagian besar rakyat Maluku, sulit menepis ingatan kolektif mengenai kegetiran hidup komunal sebagai dampak dari pecah dan berlarut-larutnya konflik sosial di Maluku sejak 19 Januari 1999 hingga menyusur pertengahan tahun 2005. Semua terjadi begitu cepat dan meluluhlantakkan pranata-pranata kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku tanpa seorang pun dapat menduga perubahan dan eskalasinya dalam hitungan jam atau hari. Sementara itu, efek destruktifnya menghujam sangat jauh dalam kesadaran dan nurani kemanusiaan masyarakat Maluku. Realitas sosial yang dijalani pada masa-masa itu sangat kelam dan tak berpengharapan. Tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan pemerintah dan aparat keamanan (TNI/POLRI) sekalipun seolah tidak berdaya mengatasi kekisruhan sosial yang carut-marut saat itu.

Tidak kurang upaya dari berbagai pihak (civil society, pemerintah sipil, otoritas militer/kepolisian) untuk meredakan eskalasi konflik, memediasi kelompok-kelompok yang bertikai, menepis isu-isu provokatif melalui berbagai media, menambah personel pemulihan keamanan, sosialisasi gerakan perdamaian hingga ke grass-roots (akar rumput) dan lain-lain. Namun, bersamaan dengan itu semua harus pula diakui bahwa gejolak konflik tak mampu diatasi segera. Dibutuhkan rentang waktu yang panjang untuk ukuran suatu konflik komunal di wilayah seperti kepulauan seperti Maluku. Intervensi negara memang sudah terjadi sejak pecahnya konflik dalam bentuk pengerahan personel tentara dan polisi yang bahkan didatangkan dari hampir seluruh kesatuan yang ada di Indonesia. Namun tetap tidak berdampak signifikan karena penanganan konflik sosial bukan hanya bertumpu pada absennya pertikaian dan aksi-aksi kekerasan, melainkan pada penguatan kembali rasa saling percaya (trust) yang hancur-lebur selama konflik dan meninggalkan guratan luka kejiwaan mendalam yang residunya masih terwariskan hingga ke generasi-generasi sekarang (yang bahkan tidak pernah mendengar cerita kelam tentang Konflik 1999).

Belajar dari kegagalan demi kegagalan tersebut, intervensi negara kemudian diartikulasikan dalam bentuk yang berbeda, yaitu “perjumpaan dan kesepakatan”. Bukan lagi pada pendekatan keamanan (meskipun ini tetap dilakukan hingga kini). Pendekatan “perjumpaan dan kesepakatan” tersebut diimplementasikan melalui model dialog dengan intervensi negara (pemerintah) sebagai mediator kedua kelompok (agama) yang terlibat perseteruan: Islam dan Kristen. “Kesepakatan Malino II” menjadi forum dialog antara perwakilan selektif Islam dan Kristen Maluku untuk mencari titik temu agar bersama-sama mampu meredakan gejolak konflik yang lebih disebabkan karena tidak ada strategi manajemen konflik yang mumpuni saat itu. Kendati bukanlah “resep” yang super-manjur untuk mengatasi konflik yang kian memanas saat itu tapi “Kesepakatan Malino II” telah mampu menjadi ruang dialogis bersama antara perwakilan Islam dan Kristen yang selama konflik sulit dilakukan. Kesepakatan itu pula yang menjadi titik berangkat sekaligus titik acuan untuk melihat realitas konflik melalu lensa perspektif yang lebih luas dan berjangka panjang. Dari sana pula makin kuat kesadaran bahwa yang dibutuhkan bukan lagi sekadar meredam aksi konflik/kekerasan melainkan bagaimana strategi mengelola (manajemen) konflik dalam konstruk sosial masyarakat kepulauan seperti Maluku.

B. Manajemen Konflik: Dari Senjata ke Budaya

Keterkejutan sosial terhadap konflik yang dialami masyarakat Maluku cukup dapat dipahami. Dalam konfigurasi budaya masyarakat Maluku, terdapat sejumlah pranata sosial-budaya yang sebenarnya menjadi ruang negosiasi ketegangan sosial dan strategi mengelola perbedaan (agama dan etnisitas). Selama ratusan tahun, masyarakat Maluku mengenal, hidup dan menghidupi pranata pela dan gandong. Sederhananya, pela adalah mekanisme mengelola konflik melalui kesepakatan/perjanjian kultural antara beberapa komunitas lokal. Kekuatan pela terletak pada dimensi covenantal (perjanjian/kesepakatan) setelah komunitas-komunitas tersebut terlibat dalam pertikaian karena berbagai sebab. Dengan demikian, pela lebih bernuansa sosiologis-antropologis.

Sementara gandong lebih bernuansa eksistensial karena di dalamnya termuat makna relasi-relasi persaudaraan “sekandung” (gandong = rahim), yang kemudian memilih jalan-jalan kehidupan dan identitas yang berbeda (terutama agama: Islam dan Kristen). Pemaknaan relasi-relasi persaudaraan ini sangat kuat melekat dalam kesadaran kultural dan kenyataan sosial masyarakat Maluku dari generasi ke generasi. Ada mekanisme pewarisan makna kultural tersebut melalui ritual-ritual berkala yang disebut “panas pela” dan “panas gandong”. Kata “panas” di sana mengandung konotasi “menghidupkan / memfungsikan / menyegarkan kembali” makna-makna relasional di antara kelompok-kelompok budaya masyarakat Maluku, sambil belajar mengakui kenyataan hidup dalam berbagai perbedaan.

Dengan demikian, pela dan gandong sebenarnya merupakan kecerdasan lokal (local genius) masyarakat Maluku dalam memahami realitas diri yang berbeda sekaligus mekanisme mengelola perbedaan-perbedaan itu yang berpotensi menjadi konflik sosial (negatif) dan membangun solidaritas sosial (positif). Potensi itu sudah ada dalam kesadaran dan diekspresikan melalui pranata-pranata kebudayaan lokal untuk menjaga keseimbangan dialektis antara berbagai unsur yang saling bertentangan dalam alam dan relasi kemanusiaan. Ini merupakan kekuatan nalar dan tindak budaya yang telah dihidupi ratusan tahun dari generasi ke generasi melalui pewarisan narasi-narasi pela dan gandong.

Akan tetapi, dalam wacana kebudayaan pula tidak dapat dipungkiri kenyataan perubahan sosial. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial. Yang membedakan hanya intensitas dan media pendorong perubahan sosial pada setiap masyarakat. Sesederhana apapun suatu masyarakat, pada dirinya tetap terjadi perubahan sosial meskipun sangat lambat. Asumsinya, setiap masyarakat itu dinamis, bukan statis. Oleh karena itu pula maka pencermatan terhadap realitas sosiokultural harus dipahami dalam bingkai perspektif yang dinamis dan selalu terbuka bagi kejutan-kejutan kebudayaan terjadi.

Tidak terkecuali pranata budaya pela dan gandong. Meskipun sudah ratusan tahun dipercaya dan dihidupi sebagai unsur kebudayaan yang fungsional dalam menjaga keseimbangan relasional antarberbagai konstruksi identitas (geografis, klas sosial, strata sosial, bahasa, agama dan etnisitas), namun keduanya tidak imun terhadap dinamika perubahan sosial, politik, ekonomi dan tata budaya global. Guncangan berbagai perubahan tersebut pada gilirannya menggerus makna-makna asali (original) yang dengan segenap daya dipertahankan dan diwariskan, kendati secara subtil juga mengalami reinterpretasi, rekonstruksi dan kontekstualisasi agar tetap relevan dan fungsional dalam kehidupan komunitas penggunanya.

Aksentuasi pembangunan yang termanifestasi pada jargon utama “pembangunan nasional” selama tiga dekade rezim Orde Baru telah berhasil meneruskan dan makin kuat melestarikan ideologi “tingkat-tingkat pembangunan” dalam idiom-idiom modernisasi maupun pengadaban komunitas-komunitas lokal nusantara. Istilah “pembangunan” berhenti menjadi sebentuk kata kerja dan dimaknai lebih secara instrumental. Relasi-relasi kultural dan religiositas komunitas-komunitas lokal pun menjadi kian jumud dan mengeras ketika ditunggangi oleh semangat kapitalisme yang menjadi “roh” pembangunan[isme] itu. Pada titik itulah pranata-pranata pela dan gandong mengalami disfungsionalisasi secara sistematis. Keduanya dianggap “kolot” dan “kampungan” ketika berhadapan proses-proses modernisasi yang dilihat juga sebagai mekanisme pengadaban kaum “primitif” di kampung-kampung atau pedalaman-pedalaman. Tak pelak, dalam konstruk dan konteks semacam itu kuasa-kuasa agama turut berperan penting mengisolasi dan mengalienasi unsur-unsur budaya lokal sebagai “kafir”, “bidah” dan “sinkretis”. Politisasi agama dan agamanisasi politik pun menjadi diskursus yang bermain gesit dan genit di arena-arena kehidupan masyarakat.

C. Resolusi Konflik dan Strategi Kebudayaan

Pengalaman sosial yang getir selama konflik di Maluku pada hakikatnya telah membuka celah-celah menyeruaknya fajar kesadaran sosial bahwa konflik tersebut tidak dapat diatasi semata-mata secara instrumental. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan eksistensial yang berupaya memahami kedalaman hidup manusia dan kemanusiaan sebagai mahluk sosial. Pendekatan-pendekatan tersebut mesti dilihat sebagai strategi kebudayaan untuk mengelola dinamika kemajemukan atau perbedaan yang menandai identitas masyarakat manusia. Jadi, strategi kebudayaan lebih bersifat substansial dan berkelanjutan dengan mengolah potensi kebudayaan pada suatu masyarakat sebagai modal sosial untuk terus-menerus melakukan negosiasi dengan identitas-identitas liyan bagi kepentingan hidup bersama.

Belajar dari pengalaman konflik Maluku, saya melihat setidaknya ada tiga strategi kebudayaan yang perlu dipertimbangkan oleh masyarakat pascakonflik Maluku:

1. Pembangunan Masyarakat Berbasis Konteks Kepulauan
Pendekatan pembangunan masyarakat berbasis konteks kontinental yang pernah diterapkan selama tiga dekade oleh rezim Orde Baru memperlihatkan banyak sisi ketidakadilan sosial yang dialami oleh komunitas-komunitas lokal nusantara di luar Pulau Jawa. Konotasi pembangunan yang berhimpit dengan politik ekonomi pada masa itu telah melahirkan bentuk-bentuk marjinalisasi berbagai komunitas karena aksentuasi pembangunan lebih pada indikator-indikator kuantitatif melalui data statistik yang sangat instrumentalistik. Sementara pada sisi lain mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan dasar dari berbagai komunitas yang hampir sebagian besar mendiami ruang-ruang geografis kepulauan. Mereka hidup dengan dan menghidupi realitas darat dan laut sebagai konteks kehidupan yang turut membentuk pandangan dunia mereka tentang “kerja”, “sejahtera”, “bahagia” dll.

2. Pendidikan Berorientasi Diferensiasi Budaya
Selepas euforia Reformasi 1998, masyarakat Indonesia umumnya belum mampu terbebaskan dari bayang-bayang ancaman perbedaan identitas. Selama 32 tahun, “perbedaan” menjadi sesuatu yang ditabukan dan ditenggelamkan oleh diskursus penyeragaman “ideologi”, “pikiran” dan “gaya hidup”. Makin lama perbedaan dilihat sebagai ancaman bagi stabilitas sosial. Kesadaran semacam itu tumbuh subur ketika banyak orang seolah-olah melihat tidak ada masa depan dalam demokrasi yang sepertinya membuat orang bebas melakukan apa saja – yang penting punya banyak pengikut atau didukung oleh kekuasaan yang sedang berjaya. Dunia pendidikan umum dan keagamaan dijejali oleh paham-paham eksklusivisme dan sektarianisme yang melihat kelompok sendiri (in-group) sebagai superior berhadapan dengan liyan (out-group) yang dinilai inferior. Untuk itu memang diperlukan paradigma pendidikan yang berorientasi memahami diferensiasi budaya dari berbagai komunitas nusantara.

3. Religiositas Indonesia
Religiositas nusantara merupakan wujud kreatif dari penyerapan dan internalisasi berbagai unsur spiritualitas dan paham ketuhanan (kosmoteologis) yang diekspresikan oleh komunitas-komunitas nusantara sepanjang sejarah peradabannya hingga kini. Agama-agama besar yang masuk dan diperkenalkan di nusantara tidaklah menduduki ruang-ruang kesadaran spiritual yang kosong. Religiositas merupakan dimensi penting dalam eksistensi kemanusiaan. Sebagaimana manusia belajar dan berinteraksi sosial maka religiositas manusia tidak berdiri sendiri tetapi selalu dipahami secara relasional entah dengan “tuhan” maupun dengan “sesama manusia”. Dengan kesadaran historis dan teologis semacam ini maka orang bisa melihat bahwa tidak ada satu pun agama yang dapat mencapai kemurnian total ajarannya karena agama-agama tersebut saling berkelindan dalam aneka rupa ekspresi kebudayaan dan kebahasaan oleh berbagai komunitas nusantara. Ini adalah religiositas yang lahir dari batasan-batasan kebudayaan yang memberinya nuansa kemanusiaan semesta. Itulah pula yang semestinya menjadi dasar dari apa yang disebut Religiositas Indonesia.

D. Penutup

Ulasan sederhana ini hendak memperlihatkan bahwa seluruh upaya resolusi konflik yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam masyarakat Maluku pascakonflik membutuhkan pengenalan secara komprehensif muatan, bentuk dan ekspresi kebudayaan masyarakat setempat. Konflik merupakan bagian hakiki dari setiap masyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa konflik. Dengan perkataan lain, konflik lebih bersifat potensial sehingga dibutuhkan bukan hanya resolusi konflik tetapi strategi kebudayaan untuk mengelola potensi konflik dalam setiap masyarakat.

Strategi kebudayaan yang diajukan dalam tulisan ini merupakan refleksi antropologis dari pengalaman terlibat dalam organisasi Crisis Center UKIM yang selama berlangsungnya konflik berfungsi sebagai “pangkalan data” untuk kemudian dianalisis. Hasil analisis tersebut merupakan olahan temuan-temuan lapangan dan kajian teoretik yang bertujuan bukan hanya untuk sekadar memahami karakteristik konflik komunal Maluku dan menemukan model-model resolusi konflik. Lebih jauh, untuk mengelola kemajemukan sosial-budaya masyarakat Maluku maka diperlukan pendekatan-pendekatan kebudayaan yang lebih strategis ketimbang instrumentalis. Tujuan yang hendak dicapai bukan semata-mata “perdamaian” yang sempit dan berjangka pendek, tetapi justru mengenali modal-modal sosial dan kultural dalam kebudayaan yang semestinya digarap lebih lanjut menjadi fondasi pengelolaan atau manajemen konflik pada konteks masyarakat kepulauan nusantara Indonesia.
Read more ...

Monday, July 22, 2019

Visitation of the Ministry of Foreign Affairs RI


UKIM has a wonderful time for doing conversation with the Center for Education and Training, the Ministry of Foreign Affairs, Republic of Indonesia. Along with the institution there are 10 Afghanistan diplomats who are willing to listen to Ambon experiences during the conflict in the past as well as sharing their stories from Afghanistan.

This group is led by Dr. Yayan G.H. Mulyana, the head of Center for Education and Training MFA-RI. He delivers an introduction about the visitation program and its participants as well as the reason for selecting two universities on Ambon Island (UKIM and IAIN Ambon) to be learning partners to understand the conflict resolution strategies. Professor Bob Mose, a member of the University Foundation of GPM, conveys his welcoming remarks on behalf of the Rector of UKIM. The MFA-RI officially asked me to present some perspectives about Maluku conflict that could be a lesson learned for the Afghanistan diplomats how the Moluccans struggled to overcome the conflict, created peace-building strategies, and vice versa they shared the contemporary political situation they are facing in Afghanistan nowadays.

There is only one female diplomat in this group. She depicts the women's struggle in the Afghanistan society to get their civil rights for equality in public sphere such as education, workplace, governance structure, etc. Two Moluccan Muslim females who are the faculty member of UKIM, and three female students response to her by sharing barely differences about main issues faced by the Indonesian/Moluccan women.

Special thanks for Dr. Dicky Sofjan. For our Afghanistan brothers and sister, thanks for visiting our campus UKIM and sharing with us. Peace be with you.

Saturday, 20 July 2019
Read more ...

Wednesday, June 19, 2019

Kailani


Kurang beberapa menit pukul 24.00 hari Sabtu 14 Juni 2014, Nancy membangunkan beta dan bilang bahwa perutnya sakit. Kandungannya waktu itu memang sudah 9 bulan. Beta bangun dan bergegas menelepon Andre, teman yang biasa menyewakan mobilnya. Dia mengontrak rumah hanya satu rumah di sebelah rumah kami di kompleks Purisatya Permai Salatiga. Tak lama dia datang dan kami bergegas membawa Nancy ke Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Mutiara Bunda. Sesampai di sana langsung ditangani oleh para suster piket di IGD. Memang sejak bulan pertama kehamilannya yang kedua, Nancy ditangani oleh dokter Robby Hernawan yang praktek di RSIA Mutiara Bunda. Tapi ternyata pada hari itu, dr. Robby sedang berangkat ke Jakarta. Nancy ditangani oleh seorang dokter spesialis kandungan yang lain.

Beta mengurus semua ihwal administrasi dan menunggui Nancy dalam saat-saat kritisnya. Hampir 4 jam Nancy bergumul dengan bayi dalam kandungannya. Hingga pukul 5 dini hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 tanda-tanda kelahiran masih belum tampak jelas. Sang bayi belum menembus bukaan 2. Diagnosa dokter menyatakan bahwa leher sang bayi terlilit tali pusar. Tapi dokter belum bisa mengambil keputusan lebih jauh. Masih meminta Nancy bertahan sementara mereka melakukan beberapa upaya dan melihat perkembangan. Hampir jam 6 pagi, beta dengan berat hati harus meninggalkan Nancy sendirian ditangani oleh para perawat karena harus mempersiapkan diri untuk memimpin pelayanan Ibadah Minggu di GKI Jalan Jendral Sudirman (Jensud) Salatiga jam 7.00 pagi, berlanjut ke ibadah jam 9.00, dan sore hari jam 18.00. Dengan hati berat, beta meninggalkan RSIA Mutiara Bunda kembali ke rumah untuk mempersiapkan diri. Sepanjang ibadah, beta berusaha berkonsentrasi pada pelayanan sambil terus berdoa untuk Nancy dan bayi kami. Beta baru bisa kembali ke RSIA Mutiara Bunda sekitar jam 11.30 usai ibadah kedua.

Sampai di RSIA Mutiara Bunda, beta langsung menuju ke IGD. Tapi sudah kosong. Seorang perawat di sana bertanya. Sebelum beta sempat menjawab, dia bilang bahwa bayi kami sudah dilahirkan dan sekarang mereka berada di kamar. Seluruh badan beta lemas karena cemas bercampur bahagia. Beta pun bergegas menuju ke kamar. Ternyata sudah ada tante Ida Imam Titaley, istri dari Prof. John Titaley (Rektor UKSW saat itu). Beliau adalah orang pertama yang menjenguk Nancy dan bayi kami. Perawat kemudian mengambil si nona kecil dan membawanya ke kamar agar beta bisa melihatnya. Nona kecil yang manis dengan teriakan tangis yang menggelegar. Kami menamainya KAILANI STACY GASPERSZ. "Kai" berarti "laut"; "lani" berarti "dewi". Dewi Laut. Nama itu kami ambil dari bahasa Pasifik (Hawaii). Sama seperti nama kakaknya, KAINALU, yang berarti "ombak laut".

Nancy pun bercerita bahwa proses melahirkannya tadi adalah melalui operasi caesar karena tali pusar melilit leher Kailani kecil. Nancy sendiri yang menandatangani surat kesediaan operasi karena beta tidak bisa dihubungi pada saat keputusan tersebut diambil. Operasi berjalan lancar dan bayi Kailani dilahirkan pada jam 10.00 tanggal 15 Juni 2014. Kebahagiaan yang menutupi seluruh kelelahan studi dan pergumulan karena beberapa minggu sebelum Nancy melahirkan, Mami Tin (mamanya Nancy) yang sedang bersama dengan kami untuk membantu mendampingi Nancy dalam persiapan melahirkan, terserang stroke. Beliau dirawat di RSUD Salatiga. Selama beberapa minggu setelah Kailani dilahirkan, beta harus bolak-balik dua rumahsakit untuk menjenguk Mami Tin dan Nancy/Kailani. Sampai kemudian Mama Eci, adik Mami Tin, bersedia datang ke Salatiga membantu kami dalam situasi yang sulit saat itu. Beliau datang bersama Alex (Lexy), putranya yang ketiga.

Ketika catatan kecil kenangan indah ini beta tulis, Kailani baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-5 di Ambon, 15 Juni 2019.

Selamat ulang tahun nona manis! Papa, mama dan kakak Kainalu (Kanu) sangat mencintaimu. Kainalu dan Kailani adalah sepasang malaikat yang Tuhan anugerahkan dalam hidup beta dan Nancy.
Read more ...

Tuesday, June 4, 2019

Guru Besar Sagu


Prof. Dr. Ir. Julius Elseos Louhenapessy, MS. menjadi Rektor UKIM periode 2004-2009. Pada periode itu beta dan keluarga sedang berdomisili di Jakarta. Beta mengikuti Nancy yang mendapat tugas sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) PERSETIA sejak tahun 2000. Tanggung jawab yang dijalaninya selama dua periode. Itulah yang menahan kami tinggal di Jakarta selama 10 tahun. Anak kami yang sulung, Kainalu Anariosa, lahir di Jakarta, bertumbuh dan mengenyam Pendidikan TK hingga kelas 4 SD di ibukota negara ini. Baru tahun 2009, tepat ketika Nancy mengakhiri masa kerja periode keduanya di PERSETIA, Fakultas Teologi UKIM meminta kami pulang untuk memperkuat staf pengajar pada almamater kami ini.

Tidak kerap perjumpaan dan dialog dengan Pak Co, demikian sapaan akrab beliau. Beta sempat mengenalnya ketika pada tahun 2001 terlibat dalam tim kerja pengembangan Program Pascasarjana Teologi UKIM “Injil dan Adat”. Kami mengundang beliau dalam semiloka tiga hari sebagai salah satu narasumber dengan kapasitas mewakili BAN-PT. Tegas dan langsung, ditambah gaya bicaranya ekspresif dan bersemangat, demikian kesan beta saat melihat penyajian gagasan beliau dalam semiloka itu. Sehari-hari beliau juga adalah seorang guru besar ilmu pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Seorang ahli pangan sagu yang komit dan tekun meneliti kemanfaatan sagu sebagai alternatif pangan masyarakat Maluku dan Indonesia.

Tak dinyana beliau kemudian terpilih menjadi Rektor UKIM periode 2004-2009. Masa-masa kepemimpinan beliau adalah masa-masa krisis dan sulit bagi UKIM. Kota Ambon didera konflik sosial antarkelompok beragama. Nyaris seluruh aktivitas sosial dan pendidikan lumpuh. Tapi UKIM harus tetap hidup. Pada masa-masa inilah karakter kepemimpinan Pak Co sangat berperan dalam menakhodai UKIM. Aktivitas kuliah tersendat-sendat, jumlah mahasiswa menyusut drastis, aktivitas akademik para dosen tidak berjalan, bahkan beberapa dosen keluar dari Ambon karena situasi yang tidak pasti dan sebagainya.

Sebagai seorang guru besar yang juga aktif dalam kerja-kerja pengawasan mutu perguruan tinggi melalui lembaga Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Pak Co sangat tegas dalam memberlakukan apa yang sudah menjadi aturan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Bahkan nyaris tidak ada kompromi kalau sudah bicara aturan meskipun kondisi UKIM pada waktu itu terengah-engah dalam menata pola kerja kelembagaan karena fasilitas yang sangat minim. Karakter kepemimpinan yang tegas dan lugas semacam itulah yang ternyata membuktikan bahwa dalam segala keterbatasan akibat konflik sosial saat itu, UKIM teruji dalam mengatasi masalah-masalah administrasi pengelolaan perguruan tinggi dan selalu setia memperhatikan produk-produk regulasi nasional di bidang pendidikan tinggi. Itu pula yang membuktikan bahwa UKIM tetap kokoh berdiri dari puing-puing kehancurannya dan makin tegak melangkah dengan segala keterbatasan yang dimilikinya sebagai salah satu perguruan tinggi swasta di Maluku.

Terima kasih Pak Co. Selamat menempuh keabadian. Kami akan selalu mengenangmu dalam setiap langkah UKIM di masa depan.
Read more ...

Thursday, May 23, 2019

Jakarta 22 Mei 2019

jakarta, jakarta
selalu merasa jadi lensa
dunia memandang indonesia
segala media menarik mata
memandang dirimu diterpa murka

jakarta, jakarta
hikmah puasa seakan sirna
ditelan syahwat kuasa
orang-orang kecil mengadu nyawa
para pembesar berpesta pora

jakarta, jakarta
berlagak sebagai wajah indonesia
tiada belajar mengolah jamak budaya
diksi agama cuma topeng belaka
tanpa peduli manusia nestapa

jakarta, jakarta
hari ini kucatat dalam agenda
kau kian jauh dari luapan asa
menjadi kota penuh bangga
tiadalah kau belajar dari puing-puing derita
demi setangkup permainan kuasa
berceceran darah di mana-mana

jakarta, jakarta
hari ini engkau terluka
hanya karena hitung suara
di mana mereka yang keras bersuara?
berselimut nyaman di hotel-hotel bintang lima
hanya anak-anak muda tunadewasa
mabuk murka di jalanan ibukota
terkapar dan terluka
jadi pesakitan tanpa.dibela

jakarta, jakarta
tiada menang tiada merana
setelah ini mereka duduk semeja
menikmati makan sedap bersama
sambil mengatur bisnis merajalela
kau, aku dan kita cuma dapat cerita
heroisme, patriotisme dan pancasila
di lorong-lorong kumuh tempat hidup kita

jakarta, jakarta...

Read more ...

Wednesday, May 22, 2019

Peziarah Sunyi Sejarah Sepi: kisah kecil di balik sebuah buku

"Cuma ada naskah asli disertasi yang beta simpan. Ada coretan-coretan penguji di dalamnya. Beta seng bisa kasi akang. Coba cek Anes Makatita. Dia sempat fotokopi," demikian kata beliau. Siang itu kami sengaja menyambangi rumah beliau di kawasan Kudamati untuk meminjam disertasi beliau tentang "Sejarah Gereja Protestan Maluku". Ketika beliau baru pulang studi doktor sekitar tahun 1992, beta sempat menjadi moderator dalam diskusi mahasiswa dengan narasumber Pdt. Dr. Mesakh Tapilatu, M.Th., atau yang akrab disapa Pa Eca.

Angkatan kami semasa kuliah (1990) tidak sempat bersua beliau yang sedang menjalani studi doktor. Matakuliah Sejarah Gereja diasuh oleh Jacob Seleky, M.Th. atau Pa Jop. Pada pertengahan masa studi sarjana barulah MT selesai studi dan menangani matakuliah tersebut. Jadi tidak banyak berinteraksi dengan beliau di dalam klas.

Interaksi intensif dengan MT justru terjadi selesai studi sarjana. Dalam beberapa kesempatan terlibat diskusi sejarah dengan MT. Misalnya, dalam rangkaian Memorial Lecture Johannes Leimena dan Johannes Latuharhary di UKIM tahun 1995. Saat itu pula bertemu dengan Dr. Zakaria Ngelow, M.Th. yang disertasinya baru diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan tajuk "Kekristenan dan Nasionalisme di Indonesia".

Tulisan-tulisan MT tersebar pada beberapa buku. Beliau kerap diundang sebagai narasumber-sejarawan dalam sejumlah proyek penulisan sejarah jemaat-jemaat GPM dan GPI. Yang termutakhir, seingat beta, adalah sebagai salah seorang kontributor artikel dalam buku tebal "History of Christianity in Indonesia" yang digarap kolaboratif bersama Prof. Thom Van den End, Prof. Karel Steenbrink dan Prof. Jan Aritonang.

Penolakannya secara halus untuk meminjamkan disertasinya bisa dipahami. Begitulah seorang sejarawan memperlakukan sebuah naskah atau teks. Sangat berhati-hati dan "pelit" sebab mereka menghargai proses sejarah lahirnya suatu naskah, buku atau teks. Meskipun alasan beta waktu itu adalah membantu mengetik ulang agar bisa disunting untuk diajukan kepada penerbit, lalu dipublikasi. Mengapa? Karena disertasi MT adalah karya akademik sejarah pertama yang mengulas Sejarah Gereja Protestan Maluku. Beta berasumsi disertasi itu harus dipublikasi agar menjadi referensi sejarah GPM yang ditulis oleh "orang" GPM sendiri. Selama ini, pembelajaran sejarah setia merujuk sejumlah karya Thom Van Den End. Baru belakangan, penulisan sejarah secara serius dilakukan oleh Cornelis Alyona dan Johan Saimima.

Jarak generasi mereka sangat jauh. "Tidak mudah mencari peminat kajian sejarah yang serius menekuni dokumen-dokumen atau arsip masa lalu," kata MT. Kondisi itulah yang sempat membuatnya prihatin dengan keberlanjutan ilmu sejarah dalam proses pembelajaran pada Fakultas Teologi UKIM. Untunglah, Cornelis Alyona melanjutkannya dengan aksentuasi pada studi kearsipan. Optimisme makin menguat dengan kehadiran Johan Saimima, generasi muda yang menekuni ilmu sejarah di bawah bimbingan Mesakh Tapilatu, digembleng di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sejarah UGM dan akan segera menjalani ujian disertasinya.

Penerbitan buku penghormatan kepada Mesakh Tapilatu ini bukannya tanpa kesulitan. Cukup lama proyek penulisan buku ini mangkrak. Kesulitan serupa saat bersama Jusuf Anamofa menggarap buku penghormatan kepada Jacob Seleky. Seperti beta bilang, minim sekali para pengaji sejarah di lingkungan UKIM sehingga pengumpulan artikel bernuansa sejarah juga sulit dan lama dikumpulkan. Target terbit pada usia MT yang ke-70 pun meleset. Ketika Agus Batlajery mengajak bekerja sama untuk merampungkannya, beberapa bulan setelah beta selesai studi di UGM, setahap demi setahap proses pengumpulan tulisan dan penyuntingan mulai dilakukan. Sejumlah nama yang cukup dikenal dalam jagat teologi Indonesia pun turut berkontribusi, seperti Jan Aritonang, Robert Borong, dan Eben Nuban Timo. Sayangnya, Zakaria Ngelow urung menyumbang tulisan karena sedang konsentrasi pada proyek penelitian dan publikasi yang sementara digawanginya waktu itu. Demikian pula dengan Cornelis Alyona.

Apa mau dikata? Proses penggarapan buku ini harus terus jalan. Harapan besar, setelah ini harus dilanjutkan dengan penggarapan dan penerbitan disertasi Mesakh Tapilatu untuk menambah khazanah referensi sejarah yang ditulis oleh sarjana-sarjana penekun sejarah di Maluku. Penyuntingan dan publikasi buku ini tak lepas dari kerja keras murid Mesakh Tapilatu, Johan Saimima. Sudah pasti, tugas besar Johan Saimima adalah melanjutkan apa yang sudah dimulai dan dilakukan oleh Mesakh Tapilatu dan juga Cornelis Alyona.

Ini hanyalah catatan kecil tentang sejarah lahirnya satu buku tentang seorang sejarawan, sekaligus apresiasi atas segala karya yang pernah dilahirkannya tapi belum sempat dikenal luas. Semoga ketika anda membeli dan membacanya makin terkuak noktah-noktah sejarah yang masih terselimuti kabut dan menantang untuk ditelisik lebih jauh dan dalam. Sembari kita bersama terus berusaha melahirkan karya-karya ilmiah yang orisinal bagi pengembangan studi teologi di Tanah Lapang Kecil. Selamat membaca!

Read more ...

Jakarta 22 Mei 2019

Dini hari Bawaslu mengumumkan penetapan Pasangan Calon 01 (Joko Widodo/Maaruf Amin) sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019. Kubu Paslon 02 (Prabowo Subianto/Sandiaga Uno) tidak menerima keputusan tersebut. Sudah sejak jauh hari sebelum penetapan, Paslon 02 dan koalisi partai pengikutnya menyatakan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif sehingga dengan jelas memperlihatkan gelagat menolak hasil penghitungan suara cepat (quick count) dan final count. Bahkan secara gamblang mendeklarasikan kemenangan sebanyak empat kali dengan klaim kemenangan 62%, meskipun prosentase itu berubah beberapa kali.

Tak berselang lama, gema people power dikumandangkan dan mereduksi kewibawaan institusi-institusi negara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilpres, jika memang tuduhan kecurangan itu hendak ditarik ke jalur hukum nasional, yaitu Mahkamah Konstitusi. Berbagai bentuk agitasi dan penghinaan kepada figur Presiden Joko Widodo menyebar melalui media sosial (gambar dan video). Bahkan ada yang dengan sok jagoan mengancam akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo (JW). Lapisan-lapisan kepentingan berkelindan sehingga tidak jelas lagi kemana arah ketidakpuasan terhadap hasil pilpres dan tuduhan kecurangan ini tertuju.

Pecahnya bentrokan antara aparat kepolisian yang bersiaga di Gedung Bawaslu, serta penumpukan kerumunan orang pada beberapa titik area di Jakarta, memperlihatkan dengan jelas kompleksitas kepentingan politik yang menunggangi momentum pilpres sebagai kesempatan untuk memenuhi syahwat berkuasa yang tidak lagi mampu dikendalikan. Konsekuensinya, segala cara, strategi dan agitasi pun dianggap "halal" untuk dilakukan. Permainan politik identitas primordial lantas menjadi amunisi yang diledakkan melalui pernyataan-pernyataan politik yang dibumbui dengan sangat tegas oleh citarasa diksi-diksi keagamaan.

Tuntutan apa yang hendak disampaikan melalui aksi-aksi vandalistik kerumunan orang-orang marah ini? Makin tidak jelas. Para elite yang sempat "membakar" kemarahan massa dengan orasi-orasi jalanan tiba-tiba menghilang dan "cuci tangan" lalu berdalih para pelaku kerusuhan bukan kelompok pendukung atau sahabat mereka. Sementara pada saat yang sama, tidak ada ajakan atau anjuran agar massa mundur atau pulang. Jalur hukum melalui gugatan ke MK pun seakan menguap karena tidak tersedia barang bukti yang kuat memperlihatkan indikasi kecurangan pilpres 2019.

Suhu publik Jakarta memanas dengan kekacauan pada beberapa titik. Aparat polisi masih dalam posisi bertahan menghadapi agresivitas sekelompok orang yang melempari dan memaki pasukan polisi. Entah berapa lama benteng kesabaran polisi bisa bertahan di tengah khaos yang sepertinya didesain secara sengaja. Apalagi asrama Brimob di kawasan Petamburan turut dibakar.

Situasi khaos ini jelas bukan kebetulan dan ketidaksengajaan belaka. Wacana-wacana khilafah, "ganti presiden", dan penolakan terhadap sistem demokrasi, sudah tampak sejak tumbangnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pertarungannya melawan Anies Baswedan untuk menduduki kursi Gubernur DKI. Amunisi politik identitas dengan berbagai bentuk agitasi "penolakan pemimpin kafir" dan "penista agama" berhasil menembus jantung nalar publik sehingga kualifikasi kepemimpinan yang berkualitas dan profesional pun tak lagi determinan. Fenomena itu lantas menjadi parameter dalam sejumlah proses pilkada di daerah-daerah lain, bahkan pilpres dengan pembentukan opini publik "Jokowi PKI" atau "Jokowi antek asing/aseng" dll.

Tidak ada khaos di daerah-daerah lain seperti di Jakarta. Itulah yang menjadi makanan empuk media sehingga menarik semua mata hanya melihat Jakarta dan tidak melirik ketenangan pasca penetapan di banyak daerah luar Jakarta. Maka sebenarnya sentrum pamer syahwat kuasa dan pertarungan politik hanya berputar-putar di Jakarta. Tidak ada model kedewasaan berdemokrasi yang diperlihatkan elite-elite politik Jakarta. Hanya ada kepongahan politik dengan tetap menjadikan rakyat biasa sebagai tumbal dari ritual-ritual politik yang dikendalikan oleh oligarkhi politik.
Read more ...

Tuesday, April 30, 2019

Telusur Jejak Masyarakat Hukum Adat dan Pembangunan: Warisan Ronald Z. Titahelu

Tahun 1997 saat menjadi mahasiswa angkatan pertama dari Program Pascasarjana Teologi UKIM, matakuliah "Masyarakat Hukum Adat Kepulauan" menjadi salah satu yang paling beta minati. Melalui diskusi dan bahan bacaan yang disodorkan waktu itu, banyak sekali isu-isu yang selama ini tersembunyi di balik permukaan menjadi bahan kajian yang menantang. Tugas-tugas makalah yang diberikan oleh dosennya juga lebih banyak berupa pengamatan lapangan terhadap kasus-kasus marjinalisasi masyarakat hukum adat -- demikian istilah yang digunakan -- di berbagai wilayah baik di kepulauan Indonesia maupun yang lainnya di luar Indonesia akibat aktivitas pembangunan oleh pemerintah/negara. Sering juga, sebagai mahasiswa, kami diundang untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi yang beliau tangani berkaitan dengan aktivitas-aktivitas pembangunan oleh pemerintah yang pada kenyataannya mengabaikan eksistensi masyarakat hukum adat, serta hak-hak hidup di atas wilayah ulayat mereka.

Bersama dengan Prof. Jop Ajawaila (alm.), yang mengampu matakuliah "Antropologi Masyarakat Pesisir", kami dilibatkan dalam kerja-kerja penelitian untuk mendesain model-model analisis dan pemetaan isu sosial-budaya dari apa yang disebut "masyarakat pesisir". Suatu istilah yang pada akhir tahun 1990an masih belum dikenal luas karena paradigma kajian ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi, masih berporos pada hampiran ilmiah berbasis pendekatan kontinental. Maka meskipun Program Pascasarjana Teologi UKIM masih tergolong belia dibandingkan yang lain seperti STT Jakarta, UKSW atau UKDW, tapi pendampingan kedua guru besar Universitas Pattimura ini telah mampu membidani suatu pendekatan ilmiah terhadap dinamika dan isu-isu problematik dari masyarakat pesisir atau masyarakat kepulauan yang menjadi ciri khas program pascasarjana ini. Sampai sekarang, Program Pascasarjana Teologi UKIM konsisten dengan konteks kajian masyarakat pesisir atau kepulauan sebagai kritik terhadap cara pandang pembangunan yang sangat berorientasi kontinental.

Konflik sosial 1999-2004 mengandaskan keinginan untuk memilih beliau sebagai pembimbing tesis karena situasi yang mendesak beliau "mengungsi" ke luar Maluku. Draft proposal penelitian awal sempat dibahas bersama Prof. J. Ajawaila meskipun tidak lancar karena eskalasi konflik yang kian tinggi. Rencana penelitian di Pulau Buru pun batal meskipun sudah sempat melakukan observasi awal lokasi penelitian di sana. Atas saran Prof. Ajawaila, lokasi penelitian dipindah ke Pulau Ambon. "Konflik tidak boleh mematikan pendidikan di Maluku", demikian tandas Prof. John Titaley yang waktu itu masih menjadi Direktur Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW dan Ketua PERSETIA. Prinsip itulah yang membuat beta dan beberapa teman seangkatan mendapat kesempatan dan bantuan untuk menyelesaikan penulisan tesis di UKSW.

Sejak itu, lama sekali beta tidak mendengar kabar beliau. Baru tahun lalu (2018) akhirnya bertemu dalam satu forum FGD yang digelar oleh beberapa anggota MPR RI di Ambon. Meski sudah uzur dan tertatih-tatih berjalan dengan tongkatnya, pikirannya masih jernih terartikulasi melalui ulasan-ulasannya yang tetap tajam. Kami sempat berbincang tapi beliau sudah lupa siapa beta. Pertemuan kedua dan terakhir terjadi awal bulan April 2019 saat beta memoderasi panel diskusi mengenai hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Pattimura. Beliau menjadi salah seorang pembicara. Masih sangat bersemangat. Bahkan pada saat acara usai, beliau masih mengajak berdiskusi bersama Jusnick Anamofa dan Leo Sahuburua tentang penelitian dampak penambangan di Gunung Botak Pulau Buru yang sedang mereka lakukan.

Itulah pertemuan terakhir dengan Prof. Ronald Z. Titahelu, M.S., yang tetap memberi kesan mengenai konsistensi geliat akademik dan komitmen advokasi terhadap eksistensi masyarakat hukum adat yang selalu menjadi rujukan keberpihakannya sebagai akademisi ilmu hukum (perdata). Hingga tadi malam mendengar kabar bahwa beliau telah mengakhiri peziarahan panjangnya dengan tenang.

Terima kasih Prof. Ronny Titahelu!
Read more ...

Monday, April 29, 2019

Sunday, April 21, 2019

The Year Without Summer

10 April 1815, Gunung Tambora meledak dengan menyemburkan 160.000 km2 material vulkanik dengan kandungan sulfur, asap debu dan aerosol hingga mencapai ketinggian 43 m dari kaldera. Erupsi Tambora meluluhlantakkan hutan, kebun dan desa-desa di sekitar lerengnya. Muntahan magma dan awan panasnya melesat dengan kecepatan 700 km/jam membunuh sekitar 70.000 orang dan menghancurkan tiga kerajaan di Sumbawa: Sanggar, Pekat dan Tambora. Guncangan bumi akibat gelegar Tambora menyebabkan gelombang laut tsunami mencapai Flores, Bali, Sulawesi dan Maluku. Magma yang mengalir hingga ke pesisir membentuk dinding batu setinggi 10 m.

Yang lebih dahsyat dari ledakan Tambora 1815 adalah hembusan angin membawa debu vulkanik menutupi hampir separuh bumi. Debu vulkanik bahkan menembus lapisan stratosfer (lapisan kedua setelah troposfer) sehingga menghalangi sinar matahari sampai ke permukaan bumi dan menimbulkan anomali cuaca terutama pada kawasan-kawasan Eropa dan Amerika Utara. Bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus 1816 yang seharusnya adalah musim panas (summer) tapi karena anomali cuaca kemudian suhu menjadi sangat ekstrem dingin karena merosot hingga 10 derajat Celcius dari suhu normal, disertai hujan es dan badai salju. Kondisi itu menyebabkan gagal panen besar-besaran dan kelaparan yang parah di Eropa dan Amerika. Suatu bencana yang kemudian dikenal sebagai “the year without summer” (tahun tanpa musim panas) atau “poverty year” (tahun kelaparan). Ratusan ribu orang dan binatang mati. Di Amerika, ribuan keluarga mengungsi dari utara dan “west-coast” ke bagian tengah barat (midwest). Ladang-ladang pertanian pun membeku.

Namun, kisah derita dan kemuraman musim panas yang dingin itu ternyata membangkitkan inspirasi pada beberapa orang untuk menciptakan karya-karya fenomenal yang tak pupus hingga kini. Bahkan menjadi penanda lahirnya kebudayaan dan agama yang baru dalam sejarah kemanusiaan.

Mary Shelley menciptakan novel horor “Frankestein” di Swiss. Di Jerman, Karl von Drais menciptakan moda transportasi menggunakan 2 roda karena kuda-kuda banyak yang mati selama musim panas yang dingin itu. Teknologi moda transportasi yang menjadi cikal-bakal sepeda ini tetap digunakan orang hingga saat ini. Di Amerika, seorang pemuda bernama Joseph Smith, yang mengikuti keluarganya bermigrasi ke “midwest” kemudian membuat aliran baru dalam Kristianitas yang kemudian dikenal sebagai The Church of Jesus Christ of the Latter-Day Saints atau Mormonisme. Kemuraman yang dingin dari “the year without summer 1816” mendorong dirinya melahirkan visi akhir zaman yang tertuang melalui tulisan-tulisan dalam Kitab Mormon.


Bencana alam menghubungkan berbagai kelompok manusia yang hidup di wilayah-wilayah bumi yang berbeda dalam keprihatinan bersama. Penderitaan dan kekalutan hidup yang diakibatkannya mempunyai risiko terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Namun, penderitaan dan kemuraman hidup tidak selalu membawa pada kemurungan yang panjang. Di balik kisah derita dan bencana, selalu ada dorongan untuk melahirkan inspirasi-inspirasi kebudayaan dan spiritualitas baru dalam sejarah kemanusiaan. Pada setiap retakan, akan tampak cahaya yang menyusup sejauh imajinasi kita terbebaskan untuk menjelajah keluasan semesta. Demikianlah kebudayaan dan agama berkembang dalam kehidupan umat manusia.

Selamat Paskah!
Read more ...

Tuesday, January 1, 2019

Berjumpa Lagi dengan Harley Pattianakota

Perjumpaan awal 1 Januari 2019. Perjumpaan yang tak terduga setelah cukup lama kami tak bersua. Harley Pattianakotta adalah anak Maluku yang menjadi pendeta pada Gereja Kristen Pasundan (GKP). Setelah memimpin Jemaat GKP Tanah Tinggi beberapa tahun, kini ia ditugaskan sebagai pendeta kampus Universitas Kristen Maranatha Bandung. Kami dulu kerap bertemu dan berdiskusi saat ia masih studi sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Waktu itu, Nancy Souisa masih bekerja sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) yang berkantor di salah satu ruang lantai 4 STT Jakarta.

Ia juga salah seorang pentolan aktivis mahasiswa yang waktu itu beberapa kelompoknya sering berkumpul salah satunya di kantin kampus STTJ (selain di Salemba 10 atau UKI Jakarta). Kalau tak salah ingat, ia juga pernah menjadi "kapten" FORMAMA (Forum Mahasiswa Maluku) simpul Jakarta. Beberapa kali diskusi juga sempat dilakukan di rumah "dinas" kami, di kawasan Kelapa Gading Vespa, Jakarta Utara, bersama beberapa yang lainnya seperti Dani Pattinaja Talakua dkk.

Pengalaman unik bersamanya adalah ketika dia dan Peter Salenussa membantu mengusung buku-buku dari rumah kami yang kebanjiran hampir selama sebulan pada tahun 2007. Kami mengungsi ke Guest House STTJ agar Nancy dapat tetap bekerja selama Jakarta "tergenang" air. Barang-barang yang lain tak bisa diselamatkan. Beta, Harley dan Peter bolak-balik antara Jalan Proklamasi (lokasi STTJ di Jakarta Pusat) dan Jalan Perintis Kemerdekaan (Jakarta Utara/Timur) untuk tetap mengawasi rumah yang kami tinggalkan terendam air dan lumpur. Kami hanya berusaha menyelamatkan buku-buku saja. Karena kondisi transportasi dan angkutan yang terbatas, kami hanya bisa mengangkut secara bertahap. Bahkan hingga malam hari, di tengah kegelapan karena aliran listrik terputus di seluruh kawasan perumahan Kelapa Gading Vespa. Kami bertiga seperti "tentara" yang sedang menyusuri daerah rawa-rawa dengan ketinggian air berwarna hitam kecoklatan sebatas pinggang orang dewasa.

Sukses untuk studi lanjutnya dan pelayanan kampusnya, bro Harley.
Perjumpaan awal ini adalah berkah sulung 2019. Gusti mberkahi!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces