Aku menulis maka aku belajar

Monday, December 17, 2007

Ekososiologi: Menuju Masyarakat Berkesadaran Lingkungan

ABSTRACT

Technology and environment are the two main issues within the dynamic of third world's development processes. An attitude and understanding of these concepts are mainly determined by its practical meaning in social life. However, in the implementation, their relationship become a big since both are only slightly understood. In this article, the problem of technology and environment will be discussed in wider perspective, i.e. in ecosociology framework. Through such a framework both will be analyzed as a cultural problem rather than technical one. In that way, therefore, a contextual cultural strategy is needed to-bring it into critical discourses.

Keywords: cultural strategy, ecosociology, environment awareness

Pengantar

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah menjadi suatu fenomena sosial yang nyata. Hampir tidak ada satu pun ruang hidup manusia yang tidak tersentuh olehnya, bahkan mengalami pergeseran secara signifikan. Perubahan yang mencolok terjadi pada alam pemikiran manusia menyangkut eksistensinya dan relasinya dengan lingkungan hidupnya (sosial dan alam). Pada gilirannya, perubahan dalam alam pemikiran manusia mengakibatkan terjadinya perubahan dalam seluruh struktur kebudayaan manusia (gaya hidup, pergaulan sosial, pemahaman praktis mengenai alam dan fungsinya, dan sebagainya).

Kekuatan dan pengaruh kemajuan teknologi pada tataran ideologis dan empiris juga mempercepat runtuhnya tembok pembatas kebudayaan antarkelompok manusia. Hal itu makin menggumpal dalam proses yang disebut globalisasi. Gerakan globalisasi memang sudah terjadi sejak dulu, khususnya pada masa ekspedisi perdagangan dan pembentukan koloni bangsa Barat di Asia dan Afrika. Namun, gerakan itu semakin intens pada abad ke-19 dan abad ke-20 dengan pesatnya berbagai inovasi dan ekstensifikasi jaringan informasi mondial. Konsep global village yang dikemukakan Marshall McLuhan pada dasawarsa 1960an menjadi sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Malah, kalau melihat bagaimana proses globalisasi itu menerjang dan menjungkirbalikkan seluruh pakem relasi antarmanusia dan manusia dengan lingkungannya, dunia itu makin mengecil seperti sebuah “kamar” (global room). Tidak ada lagi sekat sosial yang menghalangi perjumpaan antarmanusia dari berbagai latar belakang kebudayaan. Semua orang saling bersentuhan, bergesekan, dan saling terpengaruh oleh gerakan orang lain. Intensifikasi interaksi manusia juga berjalan dalam sebuah ruang nirwaktu (timeless). Ruang dan waktu tidak lagi menjadi stumbling block karena interaksi tersebut berlangsung dalam dunia maya.

Sebagai realitas yang tak terhindari, umat manusia kini harus menghadapi dan menjalani hidupnya dalam dinamika kemajuan teknologi (dan implikasinya) seperti itu dengan segala risikonya. Tidak ada pilihan lain. Gerakan untuk mengembalikan tatanan dunia (sosial dan alam), seperti abad pra-modernisasi dan pra-industrialiasasi tidak lebih sebuah romantisme historis. Pada pihak lain, mengharapkan bahwa modernisasi dan kemajuan teknologi mampu membuat hidup manusia sejahtera secara paripurna akan menjadi sebuah jebakan utopisme yang memabukkan. Apa yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dunia seperti saat ini, khususnya berkaitan dengan kualitas kehidupan manusia dan lingkungan hidup, menurut saya, adalah ”etika ekososiologi”. Sebuah etika hidup bersama dalam dunia sosial dan dunia natural yang kesetaraan (equality) menjadi sebuah nilai utama. Hanya di dalam hubungan yang setara, setiap elemen dunia akan diperlakukan secara adil dan tidak ada yang menjadi subordinasi dari yang lain.

Dunia yang Tercabik-cabik

Dunia tempat hidup sekarang ini adalah sebuah dunia yang tercabik-cabik. Fragmentarisasi bidang kehidupan manusia—sebagaimana yang ada kini—merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya spesialisasi ilmu pengetahuan. Jika pada suatu masa filsafat sebagai sebuah sistem pengetahuan yang komprehensif dan radikal (radix = akar) menjadi sebuah keniscayaan dalam dialektika epistemologis maka pasca era Cartesian dengan cogito ergo sum-nya rasionalitas menjadi pusat tradisi berpikir yang baru. Dalam tradisi berpikir modern, pengetahuan bukan lagi sebuah kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu dalam jejaring realitas secara utuh, melainkan sebuah metodologi berpikir untuk mengenal secara mendalam sebuah subject matter yang terbatas. Atau, dengan perkataan lain, paradigma keilmuan tidak lagi bertumpu pada ”memahami seluruh realitas” tetapi pada ”tahu banyak tentang yang sedikit” atau ”memahami salah satu bagian dari realitas secara mendalam”.

Pergeseran paradigma keilmuan dan tren berpikir dari model filosofis ke model empiris pada gilirannya menjadi sebuah titik awal terspesialisasinya ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi terdorong untuk berpikir dalam sistem yang menyeluruh tentang segala sesuatu, tetapi lebih kepada bagaimana menemukan cara praktis pemecahan suatu masalah konkret sehari-hari dalam hidupnya. Tindakan ”berpikir” tidak lagi ditempatkan sebagai salah satu ”seni hidup” tetapi bergeser secara substantif menjadi upaya solusi praktis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang berkembang kemudian lebih memberi penekanan kepada masalah empirik. Tumpuan ilmu pengetahuan tidak lagi di atas ”kecintaan pada hikmat” (philosophia) yang melibatkan hampir seluruh dimensi kemanusiaan seorang individu tetapi pada ”wilayah” pengetahuan yang makin tersekat untuk tujuan yang jelas dan segera.

Selanjutnya, pendekatan positivistik yang semula dikenakan pada bidang ilmu pengetahuan exact. pada gilirannya merambah ke dalam wilayah humaniora. Manusia dan masyarakatnya berusaha dibedah dan dipahami menurut kerangka ”ilmu pasti” dan semua hasilnya mesti terukur (measurable). Untuk mencapai hasil yang diinginkan, suatu cabang, ilmu pengetahuan dapat melakukan rekayasa sosial (social engineering). Konsekuensi penerapan rekayasa sosial itu ialah eliminasi signifikan sejumlah gejala sosial tanpa memperhitungkan unsur terkait atau bahkan fundamental dalam diri manusia. Manusia” dan ”masyarakat” hanyalah setumpukan data kuantitatif yang dapat dikonstruksi menurut rangkaian formula tertentu.

Kenyataan yang paling mencolok dalam pendekatan positivistik itu telah dirasakan dalam implementasi konsep developmentalism. Istilah seperti ”pertumbuhan ekonomi”, ”investasi”, ”kapital”, ”sumber daya alam”, ”sumber daya manusia”, ”teknologi tepat guna”, dan istilah lain semacamnya, telah menjadi terminologi baku yang memberi isi bagi makna pembangunan. Kendati manusia yang menjadi aktor dalam konsep dan praksis pembangunan, namun pengaplingan ruang hidup sosial – seperti termanifestasi dalam istilah itu – telah menggiring ”pembangunan” menjadi suatu tindakan yang memarjinalisasi keutuhan dimensi kemanusiaan demi suatu tujuan (ekonomi) jangka pendek. Sebagai contoh nyata, dapat disaksikan bagaimana parameter kemajuan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat ibukota Jakarta semata-mata dititikberatkan pada menjamurnya pusat perbelanjaan kelas menengah ke atas hampir di semua wilayah Jabodetabek. Sementara di pihak lain, human development terabaikan karena tidak lagi tersedia ruang publik yang memberi kesempatan masyarakat Jakarta berinteraksi dalam perjumpaan sosial yang alamiah. Kualitas kemanusiaan tereduksi menjadi ”binatang ekonomi” yang hanya berorientasi profit dan menegasi pentingnya relasi humanis dalam sebuah sistem hidup bermasyarakat. Bukan tak mungkin bahwa dalam waktu singkat, gejala itu akan merambah ke wilayah lain Indonesia.

Kemajuan Teknologi dan Pergeseran Paradigma Hidup Sosial

Membahas tentang ”pembangunan” agaknya selalu menempatkan kita dalam posisi dilematis. Ibarat makan buah simalakama. Adakah kemungkinan menghindarinya jika dalam kenyataan seluruh mekanisme hidup telah terperangkap dalam jejaringnya? Atau, mampukah melakukan perubahan paradigm secara revolusioner saat ini di tengah derasnya arus pasar global? Atau, lebih sederhana (tetapi sulit) ialah masihkah tersedia gaya hidup alternatif yang ”pembangunan” menjadi sebuah konsep yang fungsional dan kontekstual, tidak lagi artifisial? Rentetan pertanyaan itu sebenarnya secara implisit dapat dikerucutkan pada masalah yang lebih fundamental, yakni pembangunan sebagai sebuah masalah kebudayaan. Sebagai masalah kebudayaan, hal itu merupakan masalah manusia secara universal karena menyangkut bagaimana masyarakat manusia menciptakan berbagai kemungkinan dalam rangka survive di tengah dinamika zaman. Sebagai contoh, bagaimana pembangunan merupakan masalah kebudayaan dapat dilihat dari pergeseran gaya hidup masyarakat di dua negara supermodern, Jepang dan Amerika Serikat.

Amerika Serikat

Telah lazim diketahui bahwa masyarakat Amerika Serikat (AS) merupakan pengguna energi alam terbesar di dunia. Konsumsi energi di negara itu hampir 100 kali lipat lebih besar dari negara dunia ketiga dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan publik. Dengan perkataan lain, dalam perhitungan kasar, dapat dikatakan bahwa 60% eksplorasi pertambangan bahan penghasil energi di dunia dihabiskan hanya untuk orang Amerika. Tidak mengherankan jika seluruh kebijakan politik pemerintah AS juga disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional mereka. Hal itulah yang sebenarnya mendasari legitimasi invasi kekerasan ke sejumlah negara kaya minyak, seperti Irak.

Jargon globalisasi dengan Amerika Serikat sebagai centrum telah menempatkan masyarakat AS sebagai parameter kebudayaan dunia. Fenomena ”McDonalisasi” dan ”Marlboromania” telah menjadi sebuah gerakan budaya baru yang dengannya masyarakat bukan-Amerika mendapat label ”masyarakat modern”. Hal yang paling mencolok dari gejala derivasi labelisasi tersebut tampak dalam shoping libido atau nafsu berbelanja (konsumerisme) yang berlebihan. Dari tuntutan;untuk hidup, ”belanja” bergeser menjadi hobi. Stimulasi itu makin menguat dengan dukungan sarana telekomunikasi supercanggih internet dan mekanisme negosiasi pasar yang hanya tinggal bergantung pada click and order pada keyboard komputer.

Pada wilayah domestik, konsumsi rumah tangga tetap membutuhkan energi yang besar. Dalam batasan tertentu, ada kelompok pencinta lingkungan yang mencoba untuk merancang-bangun pola pemukiman baru yang ramah lingkungan dan hemat energi. Paolo Soleri, misalnya, mengajukan konsep tata kota yang disebut architectural ecologies atau arcologies. Dia membuat sketsa rencana arkologi dan mencoba membangun sebuah prototip kecil di Arizona tanpa membutuhkan suntikan modal. Konsep arkologi merupakan konsep tata kota di bawah satu atap. Seluruh area ”kota” itu berada di bawah ”atap” gelas yang pada siang hari mampu menyerap sinar matahari untuk pertanian dan menjaga agar suhu tetap stabil. Energi matahari juga dapat digunakan untuk menjalankan mesin pabrik dan kelebihannya diubah menjadi energi listrik untuk kebutuhan lain (Cobb, Jr., 1992:37).

Kendati masih dalam taraf uji-coba, konsep itu bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah alternatif kebudayaan baru masyarakat AS. Lahirnya konsep semacam itu tentu bukan hasil mimpi semalam, melainkan sebuah kegelisahan mendalam atas masa depan bumi dan umat manusia.

Jepang

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh AS, masyarakat Jepang juga mengalami krisis kebudayaan sebagai konsekuensi perkembangan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan. Jepang merupakan satu-satunya negara Asia yang mampu tampil sebagai pesaing utama negara Barat dalam hal industri otomotif dan teknologi elektronik digital. Negara kuat lainnya yang sedang bangkit adalah Korea Selatan.

Pada pihak lain, Jepang juga adalah sebuah negara yang masyarakatnya masih sangat kuat bersandar pada nilai tradisi dan kebudayaan mereka. Bangsa itu mampu menerapkan suatu strategi kebudayaan yang cerdik dengan cara menggali inspirasi progresivitas dari dalam kebudayaan dan agama tradisional mereka sendiri. Banyak inovasi kreatif di bidang teknologi modern yang lahir dari pemikiran bangsa Jepang bersumber dari penghayatan primordial mereka terhadap agama dan tradisi. Hampir sebagian besar penemuan dan rekayasa teknologi Jepang telah makin memudahkan manusia melakukan pekerjaannya. Namun, hal yang menarik untuk diperhatikan ialah keseimbangan psikologis antara upaya menjaga tradisi dan kebudayaan Jepang dan pesatnya kemajuan teknologi, kini mulai goyah. Hal itu tampak dalam berubahnya gaya hidup sosial karena pergeseran pemahaman masyarakat Jepang tentang waktu dan etos kerja.

Orang Jepang dikenal dengan kesetiaannya, termasuk pada pekerjaan. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonominya, pandangan seperti itu berubah. Tidak seperti sebelumnya, kaum muda Jepang kini lebih suka bekerja part-time dan menggeluti pekerjaan yang bervariasi. Mereka yang memilih gaya hidup itu disebut furita. Alasan mereka sederhana: hidup ini terlalu singkat dan karenanya hiduplah untuk kesenangan. Setelah bekerja selama beberapa waktu dan berhasil mengumpulkan uang, mereka akan menghabiskannya untuk bertualang dan berkeliling dunia.

Berlawanan dengan furita adalah NEET – Not in Education, Employment, or Training (tidak sedang sekolah, pengangguran, atau tidak mengikuti pelatihan dan di bawah usia 25 tahun). Pada tahun 1997, hanya ada 80 ribu neet di Jepang. Tahun 2000 angkanya meningkat hingga 400 ribu orang. Fenomena furita dan neet tersebut mencemaskan pemerintah Jepang. Hideaki Omura, seorang anggota legislatif dari Partai Demokrat Liberal (LDP), mengatakan 4 juta furita adalah masalah yang sangat serius. Dia merasa cemas menyaksikan kecenderungan remaja Jepang yang hanya mau bekerja jika ingin.

Gambaran mengenai kemajuan teknologi dan pergeseran gaya hidup yang diambil dan contoh dua masyarakat negara maju di atas harus dicermati secara serius. Fenomena dan tren tersebut – dengan dukungan akselerasi informasi dan komunikasi – akan merambah ke seluruh belahan dunia lainnya. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap untuk menghadapinya, jika gelombang kebudayaan baru tersebut menerjang bangsa Indonesia? Sementara pada sisi yang lain, kita masih bergumul dengan masalah pemanfaatan energi dan dampak kerusakan lingkungan yang akut. Di Indonesia, jawaban atas pertanyaan sederhana tersebut tentu akan sangat bergantung pada political will pemerintah untuk secara konsisten dan kritis menyikapi masalah teknologi dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam. Setidaknya, pada bagian berikut ini ada sebuah tawaran konseptual yang – mungkin – dapat menjadi sebuah alternatif.

Ekososiologi: Masyarakat yang Sadar Lingkungan

Belum selesai bangsa Indonesia menarik nafas lega, setelah menguras hampir seluruh energinya untuk program pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan target ”tinggal landas”, hantaman krisis multidimensi telah mendera dengan pukulan yang bertubi-tubi. Krisis multidimensi telah membuat Indonesia kelimpungan.

Pasca 1998-2004, Indonesia mengalami empat kali suksesi kepemimpinan nasional (Habibie/Abdurahman Wahid/Megawati/Susilo Bambang Yudhoyono). Mereka semua memberi perhatian yang besar dalam program pemulihan ekonomi, antara lain dengan cara memberi jaminan keamanan bagi para investor asing, menggali sumber alam yang dapat digunakan untuk mendongkrak kegairahan ekonomi nasional, stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan sebagainya. Sektor ekonomi memang masih menjadi primadona. Seolah-olah mati-hidup bangsa ini memang selalu bergantung pada tingkat pertumbuhan ekonominya. Asumsi itu harus diuji kembali. Pada kenyataannya, meski sedikit terhibur dengan tayangan iklan kampanye bahwa salah seorang (kandidat) presiden telah terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari zona degradasi ekonomi, namun krisis sosial tetap berlanjut. Hal itu berarti, masih ada wilayah yang – mungkin – luput dari perhatian, atau dianggap tidak signifikan dibandingkan pamor ”ekonomi”. Manusia adalah makhluk individual sekaligus sosial. Hal itu adalah sebuah realitas empirik yang tak terbantahkan. Prof. Anton Bakker pernah mengatakan bahwa:

”kepastian akan kebertentuanku itu diperoleh oleh karena hubungan dengan substansi-substansi kosmis lainnya. Justru dalam konfrontasi dengan mereka sebagai pengkosmos bertentu itu, aku mendapat identitasku pribadi, yaitu karena aku berhadapan dengan orang ini atau itu, dengan sapi, dengan laut. dengan mesin. Kesadaran akan keberlainan mereka mengkonstitusikan kesendirianku dan kemandirianku; seperti terjadi misalnya dalam hubungan antara guru dan murid, antara gembala dan kambing, antara petani dan sawah, dan sebaliknya kesadaranku akan diriku menjamin kesendirian mereka itu di hadapanku.” (Bakker, 1995:55).

Hal itu berarti manusia tidak dapat dipahami dan diperlakukan sebagai makhluk yang berdimensi tunggal (one dimensional man – Herbert Marcuse), tetapi sebagai makhluk kompleks yang tak pernah usai bereksistensi (human being). Pembahasan mengenai seluruh kompleksitas manusia tidak akan dilakukan di sini. Apa yang hendak dilakukan di sini hanyalah elaborasi ringkas mengenai tiga dimensi manusiawi yang menurut penulis tidak dapat diabaikan dalam proses membangun manusia, di Indonesia khususnya. Ketiga dimensi tersebut ialah (1) Dimensi spiritual; (2) Dimensi sosial; dan (3) Dimensi natural.

1. Dimensi Spiritual
Dimensi spiritual lebih tertuju kepada relasi manusia dengan Realitas Ultim
(Ultimate Concern – Paul Tillich). Realitas Ultim itu adalah sebuah imajinasi dan konstruksi kesadaran manusia tentang adanya KUASA yang melebihi kapasitas volume otak dan rasionalitasnya untuk memahami misteri ilahi. Dia adalah imajinasi karena apa yang disebut ”Tuhan” (dengan berbagai namanya) hanyalah eksis dalam kekuatan imajinasi manusia. DIA dibayangkan ADA dan dipercaya BERKUASA atas nasib manusia, tetapi sulit untuk dibuktikan ke-ada-annya secara empiris. Pada saat yang sama, dia disebut konstruksi karena apa yang dibayangkan itu dipercaya ADA dan KUASA-Nya diakui nyata dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia mengonstruksi mitos dan simbol untuk menunjukkan eksistensi dan kekuasaan sang Tuhan itu. Mitos dan simbol tidak menggambarkan identitas sang Tuhan secara paripurna, tetapi membuat analogi tentang Tuhan itu dalam perspektif kemanusiaannya (antropomorfis). Dimensi spiritual adalah dimensi subjektif yang berfungsi memandu batin manusia mengenal realitas yang lebih luas dari dirinya, masyarakatnya, maupun dunianya. Sebagai salah satu kualitas karakter manusia, dimensi itu selalu mempersoalkan hakikat kebenaran dan tujuan utama hidup manusia. Tak mengherankan pada tataran dimensi spiritual itulah lahir diskursus mengenai etika hidup: sebuah sistem berpikir dan berperilaku yang pergulatan dan pencarian kebenaran menjadi acuan utama. Manusia tanpa dimensi spiritual atau pengalaman batin yang melahirkan tindakan etis, pada hakikatnya telah kehilangan kualitas utamanya sebagai manusia.

2. Dimensi Sosial

Jika dimensi spiritual (iman) bergerak di wilayah subjektivitas manusia maka dimensi sosial merupakan manifestasi dari objektivitas manusia (agama). Artinya, jika ”iman” adalah masalah personal dalam hubungan dengan sang Tuhan maka ”agama” lebih merupakan perwujudan sosial iman tersebut. Iman hanya dapat tampak dalam wajah agama: ritual, simbol, kitab suci dan etika. Oleh karena itu, agama merupakan sebuah fenomena sosial dan entitas sejarah.

Agama bukan bentukan a priori tetapi sebuah konstruksi sosial; yang menjembatani pengalaman batin manusia dengan realitas sosial empirik dalam hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, agama yang dimaksud di sini tidak terbatasi dalam konsepsi lima agama dunia yang dikenal, melainkan lebih sebagai sebuah ekspresi spiritual yang universal.

Upaya membangun manusia memang tidak mudah. Namun, agama dapat menjadi salah satu tool pembentukan kualitas manusia yang lebih baik. Meskipun demikian, bukan berarti agama menjadi sebuah wacana bebas-nilai. Agama tidak dapat menjadi sebuah media bebas-nilai karena eksistensinya sangat bergantung pada interpretasi manusia. Pada titik itulah agama berada di persimpangan. Agama dapat berperan menopang sistem kehidupan manusia dan sekaligus terdistorsi menjadi sekadar jargon demi vested interests segelintir orang. Dengan perkataan lain, agama dapat menjadi sumber berkat sekaligus konflik sosial. Masalah kelangkaan sumber ekonomi mungkin dapat terselesaikan melalui mekanisme pembagian yang jelas dan transparan namun dapatkah Tuhan dibagi-bagi? Jika demikian, bukankah kebenaran tidak lagi tunggal tetapi banyak. Kalau sudah demikian, siapa yang benar dan siapa yang kurang atau tidak benar? Perdebatan itu dengan mudah akan terkumulasi pada bidang hidup manusia lainnya.


3. Dimensi Natural

Merujuk pada pernyataan Anton Bakker tersebut, dengan segera tampak bahwa manusia mengambil peran sebagai simpul yang menyatukan relasi dengan makhluk lain. Dalam konteks itu, lingkungan hidup manusia memiliki andil besar dalam menopang kehidupannya. Kesadaran akan lingkungan hidup manusia yang seimbang, berkualitas dan berkelanjutan mulai menguat ketika modernisasi dan industrialisasi nyatanya menghancurkan ekosistem bumi. Eksplorasi alam secara massif juga merupakan konsekuensi dari penafsiran agama (Kristen) bahwa manusia diberikan hak oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukkan alam (Kitab Kejadian pasal 1 tentang kisah Penciptaan). Teks itu kemudian secara harfiah diinterpretasi semata-mata sebagai anjuran untuk menguras habis-habisan seluruh perut bumi selagi tersedia karena itulah berkat yang Tuhan sediakan kepada umat manusia. Menurut saya, hal itu adalah sebuah kerancuan teologis yang parah dan harus terus dikritisi.


Dalam perspektif yang lebih holistik, alam harus dilihat sebagai bagian utama dalam denyut nadi bumi. Oleh karena itu, alam tidak dapat dipandang peyoratif atau ditempatkan secara subordinatif di bawah hegemoni manusia. Alam atau lingkungan hidup, adalah mitra sejajar masyarakat manusia untuk melanjutkan hidupnya di dunia. Sebenarnya, istilah ”ekonomi” dan ”ekologi” sangat bertaut erat. Keduanya berkaitan dengan oikos atau ”rumahtangga”; yang satu dengan nomos atau ”aturan rumahtangga”; yang lain logos atau ”struktur rumahtangga”. Sayangnya, meski secara etimologis keduanya memiliki makna yang berhimpitan, berbagai disiplin akademik malah menjauhkannya satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kini kedua konsep itu saling teralienasi dan kehilangan tautan makna esensialnya.


Penutup
Ketiga dimensi manusiawi tersebut tidak dapat dipahami secara kronologis,
melainkan siklis dan interpenetratif. Pemahaman terhadap dimensi yang satu akan diperkuat oleh pemahaman dimensi yang lain. Sebaliknya, distorsi pada yang satu akan berdampak pada yang lain. Meski tidak menggambarkan kompleksitas manusia secara penuh, ketiga dimensi dapat dilihat sebagai entry point upaya pembangunan manusia dalam era teknologi sekarang ini. Dibutuhkan sebuah etika pembangunan yang kontekstual. Akan tetapi, etika semacam itu mesti disandarkan pada pemahaman dinamika tantangan zaman dan bukan hanya sekadar pilihan hitam-putih, ini boleh/itu tidak boleh.

Setidaknya, ketiga dimensi itu membuka perspektif bersama bahwa sebelum tiba pada cita-cita global ethics (Hans Kung), mungkin perlu dirancang-bangun sebuah model ekososiologi, dan lingkungan hidup menjadi sebuah masalah sosial bersama dan tidak lagi terkapling pada wilayah kajian terbatas (ekonomi, studi pembangunan, teknik industri, dan sebagainya). Dengan perkataan lain, ekososiologi ingin menempatkan masalah ekologi sebagai sebuah masalah kebudayaan dari masyarakat yang merasakan dampaknya. Sebagai yang demikian, pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan yang holistik, bukan parsial.

Daftar Pustaka

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

Cobb, Jr. and John B. 1992. Sustainability: Economics, Ecology, and Justice. New York: Orbis.

Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jakarta: Gramedia.

Goldthorpe, J.E. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kung, Hans. 1991. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad.

Lilburne, Geoffrey R. 1989. A Sense of Place: A Christian Theology of the Land. Nashville: Abingdon.

Marcuse, Herbert. 1970. One Dimensional Man. London: Sphere.

Permata, Alviani et al. (tim penyunting). 2001. ”Menuju Pendidikan yang Berorientasi Teknologi Berwawasan Kemanusiaan.” Bunga Rampai Peringatan Dies Natalis ke-39 Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta: Duta Wacana press.



* Tulisan ini dimuat dalam Jurnal "Character Building" Universitas Bina Nusantara.

Read more ...

Tuesday, December 11, 2007

Diskusi 5 - Lagi Tentang Amsal

Diskusi ini saya kira menjadi penting karena kembali mengarahkan seluruh orientasi akademik kita kepada substansi pendidikan itu sendiri. Pemerian sejarah kenapa tulisan itu diterakan oleh bung Theo justru menyadarkan betapa "hal-hal yang biasa dilihat" sering terabaikan dalam telusuran historisnya. Sehingga tampilannya hanya dilihat dalam performa dekoratif dan simbolis, tetapi awamakna.

Kita sendiri tidak bisa memungkiri bahwa langgam intelektual kita [sebagai negara pewaris tradisi intelektual Eropa] masih kental terpetakan dalam rasionalitas Pencerahan yang positivistik. Ilmu-ilmu dan teori-teori seolah-olah mengalami kemarau spiritualitas etis yang memberi ruang bagi bernafasnya humanisme yang egaliter. Ujung-ujungnya, ilmu pengetahuan menjadi sebuah ranah perdebatan teoretik yang jauh dari solusi kemelut kemanusiaan. Dalam konteks itulah saya kira penawaran "etika" menjadi sebuah cita-cita agar ilmu pengetahuan tidak makin mandul dalam menyumbang keberlanjutan habitus baru yang memberi kegairahan dalam intersubyektivitas manusia.

Mungkin itu sebabnya meski terengah-engah dalam maraton epistemologinya, postmodernisme terus melakukan pencarian nilai-nilai etis yang selama ini tenggelam dalam "grand-narrative" ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan sebaliknya. Label "Kristen" dalam akronim UKSW tentu bukan sebuah "kebetulan" tapi suatu "kesengajaan" yang mesti terus dimaknai dalam konteks gumul baru. Kekristenan itu bukan sebuah cap atau stempel supaya kita beda dengan "yang lain" atau menjadi "lain dari yang lain". Melainkan sebuah "peristiwa" yang selalu berkelindan dengan konteksnya. Kita tidak bisa melepaskan "peristiwa Kristen" itu dari historisitasnya. Karena menjadi kristen tidak sama maknanya dengan beragama kristen. Menjadi kristen adalah sebuah proses demitologisasi institusionalisasi spiritualitas agar tidak terperangkap dalam struktur-struktur kepongahan despotik.

Meskipun tidak ada lagi pertanyaan dari Pak Wasi, saya malah berpendapat percakapan kita justru baru dimulai. Asumsi saya: seluruh proses pencarian dan pengejawantahan keilmuan kita ternyata tidak dapat terelakkan dari pendasaran teologis dalam praksis berilmu kita. "Teologi" tentu bukan suatu ranah epistemik eksklusif bagi orang-orang yang menyebut diri "teolog". "Teologi" bukan persoalan kaum pendeta yang rajin berkhotbah. Tetapi "teologi" adalah roh dari seluruh proses kita untuk terus "menjadi" sahabat bagi bumi dan seluruh penghuninya.

Ilmu pengetahuan [yang katanya berawal dari perintah Tuhan untuk "menguasai bumi"] ternyata telah menjadi biang kerok eksploitasi lingkungan hidup dan penghancuran tatanan relasional manusia dan bumi. Kita sedang terseret dalam krisis ekologis yang mengerikan [bayangkan saja bagaimana nasib saudara-saudari kita yang sedang "ditenggelamkan" oleh semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo]. Mereka sedang menjadi komunitas tanpa identitas [hilang tanah, hilang sejarah, hilang masa depan].

Kalau dulu, kakek-kakek kita doyan sabung ayam demi kesenangan, sekarang ilmu pengetahuan memberi "ayam" yang lebih canggih dalam wujud senjata nuklir. Negara-negara sedang siap menyabung nuklir. Konflik sosial tidak lagi mengerikan tapi menjadi sebuah guyonan realitas yang menghibur kaum opresor dan meninabobokan rakyat dalam mitos SARA.

Di situlah pengujian terhadap seluruh karakter berilmu kita berlangsung. Apakah kita hanyalah pengecer-pengecer teknologi dan ilmu pengetahuan, ataukah sudah menjadi pencipta-pencipta yang "rasa tahu diri" (etis) dan bukannya "rasa diri tahu" (rigid) sehingga kita tidak [lagi] terperangkap dalam kepongahan bak "gajah" yang merasa diri besar dan siap melabrak siapa saja.

Read more ...

Diskusi 4 - Kenapa Harus "Takut Akan Tuhan"?

Diskusi ini berawal dari pahatan teks Alkitab di tembok kampus UKSW. Terima kasih kepada bapak Wasi yang sudah “menjewer” kita yang muda-muda ini untuk siuman kembali terhadap suatu teks yang mungkin selama ini kerap kita baca [dan mungkin hafal] tapi lalai untuk membumikannya dalam sebuah wujud spiritualitas akademik yang bernas.

Menurut saya, ke-ngalor-ngidul-an yang dikhawatirkan jika wacana ini diperbincangkan adalah suatu kecemasan yang tergesa-gesa. Demikian pula dengan prapaham bahwa diskusi ini akan menjadi sebuah “jalan tak berujung” adalah sebentuk a priori yang [rasanya] tak perlu dirasa begitu. Bukankah hidup ini sendiri adalah sebuah “percakapan tak berujung” dengan banyak hal yang [mungkin] hanya berjeda dalam kematian? [Kendati tak seorang pun tahu apakah di balik kematian itu kita masih berdialog dengan Sang Tuhan yang tak terdefinisikan oleh lingkup-lingkup rasionalitas kemanusiaan]. Simpulannya: mari kita terus bercakap-cakap dalam terang pencerahan rasionalitas yang gelisah mencari sepenggal “Kebenaran”.

Karena pak Wasi mulai dari pahatan di tembok Satya Wacana, saya juga ingin memulai dari situ. Bukan dari temboknya atau pahatannya, tetapi dari teksnya sebagai sebentuk simbolisasi yang hanya bermakna dalam tradisi [intelektual] yang sudah, sedang dan terus dibangun dalam praksis ber-UKSW.

Kalau saya tidak salah, ungkapan itu dikutip dari Amsal 1:7. Amsal adalah bagian dari sekumpulan kitab yang dijilid dalam bundel Perjanjian Lama. Saya kira, kita jangan cepat-cepat melompat untuk meng-”yesus”-kan kata TUHAN yang ada di situ. Kata Gaston Bachelaard, nanti kita bisa mengalami “keretakan epistemologis”.

Setiap kitab mempunyai konteks dan tradisi penulisannya sendiri. Karena itulah, kekristenan tidak mengenal istilah “Firman Tuhan yang turun dari langit” sebagaimana yang dihayati oleh saudara-saudari Muslim atas kitab suci Al-Quran. Tetapi Firman Tuhan yang berproses dalam kesejarahan manusia dan dunia. Alkitab bukan Firman Tuhan, tetapi mengandung Firman Tuhan. Artinya, Firman Tuhan itu tidak termanifestasi dalam “kata-kata” Sang Tuhan [apa benar Tuhan hanya bisa bahasa Arab, bahasa Ibrani atau Yunani?], tetapi dalam “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” [perang, kemiskinan, pemerkosaan, perselingkuhan kekuasaan, dsb]. Dalam hermeneutika sosial, seperti yang dilakukan oleh Ricoeur, “pengalaman-pengalaman manusia” adalah transposisi tekstual menjadi diskursus [wacana?]. Ricoeur melihat bahwa kalau kita ingin memahami suatu teks maka kita mesti “membaca”-nya dalam satu keutuhan sistem linguistik dan tanda-tanda bahasa. “Membaca” bagi Ricoeur adalah sebuah cara menafsir (hermeneutik). Karena itulah Ricoeur melihat bahwa realitas pengalaman manusia sebenarnya adalah sebuah diskursus yang menyembunyikan makna tertentu dan oleh karena itu perlu ditafsir. Dalam kerangka itu, alkitab hanyalah sebuah media menampilkan pengalaman manusia yang [sempat] ditulis dalam berbagai bentuk literer, yang kemudian [mestinya] ditafsir agar terkuak apa maknanya [bagi siapa saja yang membacanya].

Amsal adalah kumpulan ungkapan bijak bestari yang didesas-desuskan dalam suatu konteks masyarakat tertentu. “Dia” tidak bisa dimengerti jika dilepaskan dari akar konteksnya. Karena saya bukan “orang Ibrani” saya harus tahu dulu bagaimana sih asal muasal dan penggunaan amsal ini dalam konteks masyarakat ibrani. Asas itu saya kira tidak beda jauh dari kerangka metodologi keilmuan sekarang ini: petakan dulu konteksnya, tentukan akar masalahnya, cermati implikasinya dsb. Sama juga dengan kebingungan saya kenapa kata “by the way” kok bisa jadi “ngomong-ngomong” dalam pembahasaan indonesianya. Atau bagaimana mesti memahami “mangan ora mangan ngumpul” dalam logika kultural kejawaan. Atau kenapa orang Papua [laki-laki] hanya memakai koteka untuk menutupi “burung”nya [lalu yang perempuan?], jika alasannya hanya takut digigit nyamuk, padahal seluruh bagian tubuh lain terbuka lebar untuk dilahap si nyamuk.

Kata “takut” dalam kajian psikologi agama sebenarnya adalah asal-muasal religiositas itu sendiri. Mau diterjemahkan sebagai “hormat” atau “segan”, intinya ya karena manusia merasa takut terhadap “sesuatu” yang tidak mampu dikendalikannya [misal: kekuatan alam]. Upaya mengendalikan “rasa takut” inilah yang melahirkan temuan-temuan teknis agar hidup tidak lagi terpenjara dalam keterbatasan diri. Termasuk kemudian bagaimana cara mengendalikan “tuhan” yang [katanya] ada di balik kekuatan-kekuatan alam. Pengendalian itu [dianggap] berhasil ketika apa yang terjadi ternyata bisa dijelaskan dalam korelasi dengan sang tuhan itu. Inilah yang dialami Max Weber ketika mengatakan bahwa “kekristenan adalah agama yang rasional”. Artinya, orang kristen bisa menjelaskan kenapa begini-begitu atau harus buat ini-itu dalam korelasi dengan sang tuhan yang semula ditakuti itu.

Weber adalah seorang keturunan yahudi. Dia mengenal tradisi religius nenek moyangnya. Apa yang khas dari Yudaisme ialah keberanian mereka untuk memunculkan konsep “perjanjian” antara “Yahweh” dan manusia. Yahweh ini sebuah nama yang tak jelas. Penamaan ini hanyalah menunjuk pada superioritas tuhan israel dalam pantheon dewa-dewa bangsa-bangsa sekitar (Amon, Kanaan, dsb). Tuhan Israel dipercaya [oleh orang Israel] lebih unggul atas dewa-dewa lain. Jadi secara implisit eksistensi dewa-dewa lain dipercaya, hanya jabatannya di bawah Yahweh. [Katanya sih, superioritas Yahweh itu hanya bikinan orang Israel yang terserang demam sindrom minoritas dan cognitive dissonance pecundang.] Keunikan si Yahweh ini hanya pada kemauannya untuk “berdialog” dengan manusia. Ini konsep religius yang tak lazim karena jarang dipraktikkan oleh bangsa-bangsa non-Israel. Lantas lahirlah konsep “perjanjian”. Sederhananya, manusia bisa kok berdialog bahkan bernegosiasi dengan si Yahweh itu. Lihat saja bagaimana Abraham bernegosiasi dengan Tuhan soal keputusan Tuhan untuk membumihanguskan Sodom dan Gomora.

Itu kalau kita mau lihat kasusnya Israel alkitab. Fenomena religiositas sejenis juga terjadi dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan, seperti nampak dalam berbagai kajian fenomenologi agama oleh Mircea Eliade. Atau juga banyak kajian antropologis agama. Semua kajian itu sebenarnya membuka perspektif kita untuk melihat bahwa apa yang disebut “kebenaran” agama pada hakikatnya adalah quasi-kebenaran. Kemeriahan “kebenaran” yang dipamerkan agama-agama baiknya dilihat sebagai wujud kekuataan tafsir manusia yang terekspresi dalam simbol-simbol kultural, termasuk bahasa. Karena itu saya sih setuju-setuju aja dengan tesis John Hick (lihat “God Has Many Names”) bahwa penamaan realitas ultima itu sebenarnya hanyalah suatu penamaan budaya. “Tuhan” adalah hasil konstruksi sosial manusia. Itu juga yang digarap Max Dimont dalam bukunya [yang kemudian dilarang beredar di Indonesia beberapa tahun lalu] “Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan”.

Kesimpulan:

  • Ilmu pengetahuan itu lahir dari ketakutan manusia pada realitas yang melampaui dirinya.
  • Ketakutan itu mendorong manusia untuk mencari cara mengendalikan kekuatan itu.
  • Cara mengendalikan itu semakin tersistematisasi ke dalam kerangka epistemologi dan aplikasinya yang makin valid.
  • Dari situ terbentuk genealogi pengetahuan. Karena itulah Francis Bacon menggelari temuannya dalam rumusan “knowledge is power”; atau Michel Foucault yang mendekonstruksi pengetahuan sebagai “metode untuk memenuhi hasrat berkuasa”.

Dalam konteks pahatan di dinding kampus saya melihatnya sebagai nasihat agar jangan takut untuk “menjadi takut” kepada apapun atau siapapun, termasuk Tuhan. Karena ketakutan kepada yang “paling ditakuti” [Tuhan] justru akan melahirkan sikap berani untuk menghadapi apa yang “tidak ditakuti” [realitas hidup]. Jadi, orang yang “takut Tuhan” justru adalah orang yang tidak boleh berdiam diri atau berhenti berpikir, melainkan mestinya terus bereksperimen dengan imannya agar tidak “cengeng” dan bisanya minta “permen” terus dari Tuhan. Orang yang takut Tuhan adalah orang yang berusaha tidak tergantung sepenuhnya pada Tuhan tapi berusaha bernegosiasi dengan Tuhan. Berdialog dengan Tuhan bukan dalam relasi tuan-hamba, tapi “sahabat” (kayaknya Yesus pernah bilang begitu tapi lupa di injil mana). Konsekuensi “perjanjian” atau “persahabatan” adalah kedua belah pihak harus dalam posisi setara, baru bisa terjadi percakapan. Kekristenan Barat [mungkin] lupa itu sehingga lebih suka conversion daripada conversation dengan budaya-budaya yang belum di”Barat”kan.

Jadi “Satya Wacana”, menurut saya, tidak bisa disempitkan menjadi [hanya] kesetiaan pada “alkitab”, karena Firman Tuhan itu tidak terpasung dalam “alkitab”. Mestinya kita “satya” pada “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” atau dalam bahasa Whitehead “occasion of experience”, yang mesti terus menjadi diskursus keilmuan dan keimanan kita [kristen, islam, dll]. Pengalaman manusia itu bukan jargon tapi realitas. Teks yang sesungguhnya itu adalah konteks. Apakah UKSW sudah sungguh-sungguh mengkontekstualisasikan ke-“satya wacana”-annya?

Read more ...

Diskusi 3 - Lagi Tentang Creative Minority

Catatan ringkas berikut ini merupakan tanggapan terhadap beberapa pendapat beberapa rekan mengenai topik "Meruntuhkan Mitos Creative Minority". Terima kasih untuk tanggapan dan penjelasannya yang insightful.

Sebenarnya saya hanya mengajukan presuposisi saya berdasarkan perspektif saya tentang interpretasi wacana creative minority. Saya tidak bermaksud menjelaskan karena konsep itu sudah dicetuskan dan dijelaskan oleh Arnold J. Toynbee dalam magnum opus-nya A Study of History. Terima kasih rekan Theo Litaay yang sudah membantu menjernihkan sedikit tentang creative minority dari sang empunya.

Rekan Eka mengatakan ”sepertinya anda salah memahami apa yang dimaksud dengan creative minority”. Memang apa yang saya deskripsikan “panjang lebar” itu adalah presuposisi interpretatif saya terhadap diskursus creative minority. Jika ada yang melihatnya dari perspektif yang berbeda, silahkan. Tetapi bukan berarti saya harus menilainya sebagai “salah memahami” kan?! Tentu saja, perspektif teman-teman sama sekali “tidak melenceng” karena melihatnya dari angle yang berbeda. Bagi saya, perspektif rekan Eka malah makin menjernihkan sudut-sudut yang masih gelap dalam perspektif saya tentang creative minority.

Sebagai diskursus, saya agak ragu bisakah kita memahami creative minority dalam sebuah ranah epistemik yang terisolasi [entah dari konteksnya, entah dari bias interpretatifnya]? Maksudnya, pendasaran logis apa yang membuat creative minority dikatakan ”tidak ada hubungan dengan mayoritas atau minoritas agama, suku, ras, dll”? Apalagi dikapling dalam ”konteks pembicaraan kita”?

Mari kita lihat sejenak apa yang dikatakan Arnold J. Toynbee dalam A Study of History:

{p. 26} When we are confronted with something that we do not understand, we try to make it intelligible to ourselves by tracing a connexion between it and something else that we believe we understand better. Explanation is essentially an act or process of reference.

One step towards explaining a phenomenon is to find its context. 'Research into meaning cannot be free from synthesis, for only by putting anything into a wider context can its meaning be seen.' A fact cannot be established or made intelligible unless it is related to other facts or is part of a larger system.

Toynbee melihat bahwa peradaban dapat dibangun dan berdaya tahan lama ketika tersedia creative minority yang mampu melahirkan ide-ide dan metode-metode untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam suatu masyarakat. Ide-ide dan tantangan-tantangan itu kemudian dijiplak oleh mayoritas. Artinya, creative minority itu mampu mengonstruksi suatu mode of thought (gaya bernalar) and mode of ought (etika).

Nah, creative minority itu bukan malaikat, bukan? Creative minority itu kan juga manusia yang struktur penalarannya sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial-budaya masyarakatnya. Demikian pula dengan etika sebagai seperangkat nilai yang dilihat sebagai ”baik”, ”bermoral”, ”bermanfaat” dsb. Artinya, merujuk pada statement Toynbee di atas, penjelasan suatu fenomena harus dilihat dalam konteksnya.

Saya bukan Toynbeean. Saya tidak tahu apakah Dr Noto adalah Toynbeean atau hanya sekadar memanfaatkan istilah Toynbee itu karena dianggap sesuai dengan visi/misinya dan semangat zamannya. Saya hanya ingin melihat creative minority sebagai sebuah diskursus yang mesti dipahami dalam lalu-lintas diskursus keindonesiaan yang sarat dan padat dengan multi-interpretasi. Saya ragu apakah memang Toynbee sendiri tidak melihatnya dalam sebuah jejaring makna dengan bidang-bidang kehidupan lain.

Mari kita lihat sejenak lagi apa katanya:

A disintegrating civilization was apt to enter into intimate relations with one or more other representatives of its species; and these encounters between civilizations gave birth to societies of another species: higher religions. At the beginning of the inquiry I had tried to explain the higher religions, like the national and other varieties of parochial states, in terms of civilizations. The last stage of my survey of the history of civilizations convinced me that this way of looking at the higher religions did not, after all, give anything like an adequate explanation of them.

Bukankah sesuatu yang unik ketika Toynbee mengatakan bahwa perjumpaan peradaban-peradaban ternyata melahirkan “spesies” baru dalam masyarakat yaitu “agama-agama tertinggi” yang sudah pasti bukan agama seperti yang kita pahami (Kristen, Islam, Budha, dsb). Nah di situlah persoalan saya dengan Toynbee karena dia hanya memahami jatuh-bangunnya peradaban dalam sebuah perspektif yang sangat Barat dan sangat individual. Mari kita lihat lagi apa katanya:

Civilizations arise not because of genetically superior individuals (there are none) or because of favorable geographical environment, but because of a creative response by a minority of individuals to a situation of special difficulty.

Edward Said dalam bukunya Orientalism mencoba untuk mendekonstruksi civilization yang konotasinya sangat dipengaruhi oleh ”cara pandang” Barat terhadap ”non-Western” yang kemudian dalam sejarah ternyata membentuk identitas ”kita” yang bukan Barat dalam posisi diametral dengan identitas Barat. Kita melihat Barat sebagai “individu” tetapi Barat melihat kita hanya sebagai “kerumunan tanpa identitas” (crowd). Pendekatan Said ini yang kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dengan interpretasi post-colonial. Tujuannya adalah untuk mendekonstruksi proyek-proyek rasionalisasi Barat (sosiologi, antropologi, sejarah, sastra dll) yang hanya berujung pada pelestarian hegemoni Barat atas non-Barat.

”Sejarah” ala Toynbee itu juga yang dikritik oleh Chr. Dawson sebagai yang tidak bebas nilai dan jika tidak hati-hati malah kecemplung dalam lubang hegemoni. Demikian Dawson,

There is as yet no history of humanity, since humanity is not an organised society with a common tradition or a common social consciousness. All the attempts that have hitherto been made to write a world history have been in fact attempts to interpret one tradition in terms of another, attempts to extend the intellectual hegemony of a dominant culture by subordinating to it all the events of other cultures that come within the observer's range of vision. (Chr. Dawson, The Dynamics of World History, p. 273)

Kembali kepada creative minority. Saya percaya bahwa ketika Toynbee bicara soal creative minority dia tidak bicara dalam sebuah “ruang hampa” tapi dalam sebuah konteks sosial masyarakat tertentu. Dalam hal itu Toynbee pun tak bisa mengelak bahwa apa yang dia sebut peradaban itu (apalagi peradaban Barat) tidak bisa dilepaskan dari intervensi agama-agama. Karena apa? Karena agama-agama mampu memberikan kekuatan legitimasi moral yang sangat dibutuhkan agar sebuah peradaban mampu bertahan lama. Seperti yang diyakini oleh Peter Beger dan Thomas Luckman bahwa religion is an effective agency of legitimation because it creates an ordered and total world in which all experience has a meaningful place (Nicholaus Abercombe, Class, Structure and Knowledge: Problems in the Sociology of Knowledge, 1980, hlm. 156).

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity (2003) menyajikan 14 artikel tentang pertautan agama dan etnisitas yang melahirkan kesadaran identitas, nasionalisme, resistensi, konflik sosial, dsb:

  1. “A Servant of Servants Shall He Be”: The Construction of Race in American Religious Mythologies – Paul Harvey
  2. Myth and African American Self-Identity – Eddie S. Glaude, Jr.
  3. Almost White: The Ambivalent Promise of Christian Missions among the Cherokees – Joel Martin
  4. Indigenous Identity and Story: The Telling of Our Part in the Sacred Homeland – Nimachia Hernandez
  5. Jew and Judaist, Ethnic and Religious: How They Mix in America – Jacob Neusner
  6. Blackness in the Nation of Islam – Aminah Beverly McCloud
  7. Theologizing Race: The Construction of “Christian Identity” – Douglas E. Cowan
  8. Loathsome unto Thy People: The Latter-day Saints and Racial Categorization – Craig R. Prentiss
  9. Our Lady of Guadalupe: The Heart of Mexican Identity – Roberto S. Goizueta
  10. Myths, Shinto, and Matsuri in the Shaping of Japanese Cultural Identity – John K. Nelson
  11. Islam, Arabs, and Ethnicity – Azzam Tamimi
  12. Cosmic Men and Fluid Exchange: Myths of Arya, Varna, and Jati in the Hindu Tradition – Laurie L. Patton
  13. Religious Myth and the Construction of Shona Identity – Chirevo V. Kwenda
  14. Sacral Ruins in Bosnia-Herzegovina: Mapping Ethnoreligius Nationalism – Michael A. Sells

Di Indonesia, kita bisa menemukan proyek intelektual “membangun peradaban” dalam karya-karya Nucholish Madjid (alm.) yang hendak menempatkan Islam sebagai fondasi sivilisasi Indonesia (masyarakat madani). Cak Nur sangat terpengaruh dengan gagasan “civil religion” di Amerika Serikat yang dikembangkan oleh Robert Bellah berdasarkan analisisnya terhadap agama Tokugawa di Jepang yang ternyata menjadi pendorong utama kemajuan masyarakat Jepang [jelas di sini creative minority tak dapat dilepaskan tautannya dari nilai-nilai agama dan etnisitas].

Saya sengaja menulis judul-judul ke-14 artikel itu hanya untuk menawarkan betapa perspektif kita tentang peradaban dan lahirnya creative minority tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas diskursus yang mengitari dan melilitnya. Saya tidak tahu apakah menurut teman-teman judul-judul artikel di atas bisa dianggap merefleksikan diskursus peradaban atau tidak. Saya hanya ingin menempatkan creative minority sebagai sebuah diskursus kontekstual di Indonesia. Bahwa itu dilahirkan oleh Toynbee, okelah... Tapi ketika ”dia” dibaca dan dialami oleh orang lain, ”dia” tidak lagi menjadi milik Toynbee sehingga kita harus menempatkannya dalam struktur penalaran manusia Indonesia dengan pengalaman-pengalamannya yang khas.

Saya setuju dengan rekan Neil bahwa kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap ideologisasi ”mayoritas-minoritas” yang sempit, serta ”perlu merujuk kembali kepada kira-kira apa yang sebetulnya ingin dikatakan dengan pemilihan konsep ini”.

Jika rekan Neil melihat bahwa ”konsep creative minority yang dirujuk pak Noto dari Toynbee tampaknya lebih menekankan peran kepemimpinan”, saya kira itu akan menjadi lebih menarik dan kontekstual dalam bidang pendidikan.

Itu pula yang sebenarnya saya maksudkan dalam paragraf

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Melahirkan seorang pemimpin tidaklah ekuivalen dengan mencetak teknokrat atau spesialis ilmu pengetahuan. Sebagaimana kritik filsuf Spanyol Jose’ Ortega Y. Gasset (1883-1955) yang pada tahun 1930 menyimpulkannya dalam “The Revolt of the Masses” bahwa peradaban diruntuhkan oleh “the masses and creative minorities”.

Ortega menulis: The prototype of the mass man is the technocrat or the specialist, the person who knows very well a small corner of the universe, but who is ignorant of the rest. The creative minority is a man of dynamic excellence. This man is a hero in that he exerts his will in service to values and goals that are larger than himself; he lives the noble, rather than the common life, in that he lives it as a discipline for which he constantly trains.

Kalau rekan Eka berpendapat bahwa “Cita-citanya UKSW diharapkan menghasilkan orang-orang yang kreatif, yang berbeda dengan sarjana pada umumnya, orang-orang yang jumlahnya sedikit, tetapi memberi warna pada dunia”. Di mana perbedaannya? Dari sudut ilmu pengetahuan? UKSW tidak menyajikan genre ilmu pengetahuan yang baru. Dari sudut penelitian? Mungkin. Tapi tema-tema penelitian toh tidak berbeda dalam kerangka teoretiknya dengan universitas2 lain (daftar pertanyaan bisa diperpanjang).

Dalam pandangan saya, UKSW harus berbeda dari caranya memahami konteks keindonesiaan yang multikultural ini sehingga karakter intelektual yang dibentuk di dalamnya tidak hanya melahirkan teknokrat dan spesialis untuk memenuhi tren dunia kerja kontemporer (meski itu bukan tak penting), tetapi dari UKSW lahir intelektual-intelektual yang memiliki karakter ”Indonesia”: artinya, tidak terperangkap dalam arogansi ”kebarat-baratan” yang ”sok tahu” tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ”Indonesia”. Ujung-ujungnya, kita malah menciptakan hegemoni baru. Para intelektual UKSW mestinya berbeda karena memiliki kompetensi untuk membangun ”strategi kebudayaan” (pinjam istilah Van Peursen, Strategi Kebudayaan). Tapi bagaimana bisa membangun strategi kebudayaan jika kita sendiri tidak mengenal karakteristik masyarakat kita dan mengalami kehidupan multikultural (agama, etnis, bahasa, dsb) sebagai bagian dari praksis pengalaman komunitas ”kampus”?

”Menuju Kampus Populis” hanyalah gagasan eksperimental berdasarkan pengalaman ber-UKSW dan ber-Salatiga yang sangat singkat. Dan itu adalah refleksi intelektual dan spiritual saya yang sebenarnya juga dicerahi oleh Berger dan Luckmann yang believe that one of the main weakness of analyses in the sociology of knowledge, besides their determinism, is their concentration on theoretical thought or, worse, on the written ideas of intellectuals…Within knowledge defined in this way, theoretical speculation plays only a minor role. What is of much greater importance is the knowledge appropriate to the conduct of everyday life and, following Schutz, Berger and Luckmann believe that the reality of everyday life is the paramount reality. (Abercombe, hlm. 146).

Begitulah!

Read more ...

Diskusi 2 - Meruntuhkan Mitos Creative Minority

Hal pertama yang saya rasa sangat mengusik karena kerap muncul, bahkan seolah menjadi mitos ialah konsep “creative minority”. Indonesia ini kan rumah kita bersama to? Ataukah masih ada yang merasa “ngontrak” atau “indekos” di Indonesia? [Istilah “ngontrak” di sini beda maknanya dengan social contract-nya mbah Rosseau]. Kalau rasa “teralienasi” itu masih ada, saya rasa di situlah pekerjaan rumah kita untuk terus menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa negara-bangsa ini lahir karena tuntutan proyek nasionalisme bersama lintas golongan [etnis, agama, kebudayaan, aliran politik dll]. [nah, saya rasa kontrak sosialnya Rosseau bisa dipakai dalam proyek ini] Ya karena itulah namanya “Indonesia”, bukan Republik Islam karena Islam [anggap diri] mayoritas atau Republik Jawa [karena etnis Jawa anggap diri lebih banyak jumlahnya]. Namanya “Indonesia” supaya saya yang berkulit sawo matang dan rambut keriting tetap bisa ngobrol bahkan berdebat tegang dalam kesetaraan dengan teman-teman berkulit kuning dan rambut lurus. [nb: tesis itu saya pinjam dari Prof. John Titaley]. Dan obrolan kita bukan siapa yang lebih banyak atau lebih jago tapi tentang kemungkinan-kemungkinan agar hidup bersama yang kental dengan potensi konflik ini bisa dijalani sebagai konsensus budaya.

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Nah, di situlah saya melihat bahwa proses mengejawantahkan ideal-ideal itu tidak mesti terjadi dalam bentuk-bentuk formal [penerbitan buku, diskusi, dll], melainkan bisa saja mewujud dalam interaksi alamiah. Komunitas “askarseba” saya kira bisa menjadi refleksi “benturan peradaban” yang tidak harus menuju konflik tetapi malah melahirkan kreativitas menyiasati hidup bersama dalam perbedaan. Di situlah, saya mencoba berjarak kritis dengan Mpu Samuel Huntington dan mungkin juga Francis Fukuyama yang nampaknya cenderung mengintip fenomena Asia dan Indonesia dalam “kaca pembesar” Amerikanisme. Dengan “kaca pembesar” itu memang nampak semua yang kecil-kecil di Asia atau Indonesia, tetapi dalam beberapa konseptualisasi mereka lupa bahwa “Ini bukan Amerika, bung!”

Saya tidak merasa nyaman dengan “creative minority” karena saya curiga jangan-jangan konseptualisasinya sebenarnya sudah terserang “sindrom kompleks minoritas” yang malah melumpuhkan kreativitas kita sehingga kita malah jadi salah kaprah dalam banyak kiprah.

Saya sekarang [masih] Kristen Protestan dan dilahirkan dalam kultur Ambon. Apakah itu tanda bahwa saya adalah “minoritas” [entah ukurannya kualitatif atau kuantitatif]? Setidaknya, di kampung saya di Ambon saya masih punya keluarga besar yang menerima saya bukan sebagai “alien”. Dan di kampus pun saya merasa tidak harus berdialek Ambon dan enjoy dengan slank Salatiga. Demikian pula dengan teman2 lain yang dengan enteng ber-“beta”-ria “sonde” dengan aksentuasi daerah mereka yang menimbulkan efek bunyi yang menggelikan di telinga. Tetapi itulah Indonesia kita, kan?

Dalam konteks keagamaan, apakah tepat mengatakan Islam adalah agama mayoritas. Secara umum mungkin ya. Tapi kenyataannya, seorang teman NU sendiri mengakui betapa kuatnya fragmentasi karena banyaknya faksi dalam Islam Indonesia. Misalnya, kelompok Ahmadiyah tetap merasa “teralienasi” dalam arus utama keislaman Indonesia [yang lebih banyak ditentukan oleh tradisi-tradisi besar seperti NU dan Muhammadiyah].

Jadi menurut saya soalnya adalah bagaimana kita mengelola “otherness” kita bukan sebagai upaya pengerucutan kategorial “minoritas” atau “mayoritas”.

Itulah pula sebenarnya yang saya alami sebagai eksperimentasi UKSW untuk mengejawantahkan idealisme keindonesiaan dan ideal-ideal lainnya dalam konteks yang lebih konkrit. Saya kira UKSW serius dengan itu karena pengalaman saya studi di UKSW baru pertama kali saya temukan genre ilmu pengetahuan seperti “Sosiologi Menurut Indonesia” yang sekarang menjadi “Sosiologi Indonesia”. Saya percaya karakteristik sejenis juga bisa ditemukan di fakultas-fakultas lainnya di UKSW.

Sebenarnya itu yang saya maksud dengan pertanyaan “menuju kampus populis”. Itu sebuah pertanyaan retoris yang hendak menggugat kembali apa yang pernah menjadi praksis UKSW [sekarang pun masih hanya tampil dalam performa dan intensitas yang berbeda].

Konsientisasi saya kira berlangsung pada semua aras pendidikan [yang mungkin maknanya mesti lebih luas dari sekadar “mengajar”]. Jika kehadiran UKSW sudah “disadari” sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Salatiga [yang masih wilayah Indonesia] itu saja sudah merupakan revolusi paradigma pendidikan tinggi Indonesia, menurut saya. Maksudnya, janganlah kita terjebak untuk mengukur yang “nasional” itu selalu harus “made in Jakarta”. Dampak positif kehadiran UKSW [performa, kontribusi iptek, dll] DI SALATIGA, bagi saya itu sudah sebuah prestasi nasional. Hanya banyak orang yang memang enggan belajar dari “yang kecil”. Padahal dari peristiwa biasa “apel jatuh” oleh seorang Newton bisa melahirkan teori gravitasi yang menginspirasi manusia untuk mengatasinya agar bisa menyentuh “big apple” [maksudnya: bulan].

Catatan untuk rekan Neil Rupidara, saya kira artikulasi “grassroot” dan “academic role” mungkin sebaiknya tidak dilihat sebagai aral tapi misi humaniora ilmu pengetahuan. Muhammad Yunus peraih Nobel yang lalu membuktikan bahwa konsep perbankan populis bisa menjadi teladan bahwa misi itu bukan sebuah utopia.

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces