Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, April 21, 2009

Caleg = Calon Lego?

Sore itu Etus ada dudu papalele duriang di Batumeja. Seng lama Dace langgar Batumeja pulang dari iko tim pemantau independen par anana SMA pung ujian nasional (UN). Tagal lia Etus su dudu muka takoro tagal balong ada duriang yang laku, Dace su bale kasiang lalu dudu batamang Etus papalele duriang.

Dace: Sudara tuang hati jantong ee... mangapa ale muka takoro macang bagitu? Seng dapa suara kapa ee?

Etus: Woe, Dace, beta tau lai ale baru pulang mangawas anana skolah par dong pung ujian. Maar jang ale haga beta deng beta pung kehidopang ni.

Dace: Hahahaeee... beta tatawa sadiki dolo. Ale ni baru dudu papalele duriang saja su macang bagini. Co ale lia katong pung basudara yang baru abis papalele dong pung diri abis-abis te... Akang bagumana lai tu?!

Etus: He, tamang, beta ni memang orang kasiang. Beta cuma bisa papalele beta pung duriang 50 buah ni. Maar beta masi tau diri. Beta tar dudu maniso par papalele diri tagal kadera politik tu...

Dace: Jang ale kapanasang bagitu gandong... Kalo ale masi tau diri, itu beta angka capeu. Tagal itu nikmati saja to ale pung kahidopang ni. Jang iko modo pasang badang par baku manggurebe kadera sampe jual karsang. La abis itu pas dapa tau seng dapa suara, mulai tarewas kas sala kiri-kanang. Lebe lai, otak su senu lalu mulai tatawa sandiri. Seng lama katong dengar su tadudu di Nania.

Etus: Iyo, Dace, beta hati susa lai dengar dong yang buang samua cuma par akang kadera tu. La ini bukang manusia sadiki. Ribu-ribu orang yang tacolo par manggurebe akang... Beta pung isi kapala bodo ni jua masi bisa barekeng kata itu dong mau dapa apa?

Dace: Itu akang te... Ada yang sampe su tarobe abis, mangkali kurang jual bini-ana saja. Dong orang pintar maar beta kira su bale bodo lai. Mangapa tar bisa lia bagumana kalo akang kepeng tu kasi akang par orang-orang macang ale dong bagini Etus.

Etus: He, Dace, jang ale bicara bagitu ee... beta ni orang kasiang tapi beta masi bisa bakabong deng mancari di aer masing par ator beta pung hidop bini-ana. Beta seng dudu maniso par tada tangang tarima sumbangan-sumbangan dari orang-orang macang bagitu.

Dace: Good, good, itu baru nama beta pung konyadu. Ale tau ka seng, tagal seng dapa suara sumbangan-sumbangan dong bale tarek akang. Hahahaeeee.... dasar otak karbou... seng tau malu...

Etus: Istaganaga, ini ale baru pulang mangawas anana ujian basa inggris kapa kong su balaga deng "good-good"... Suda jua Dace, kas tinggal dong pikol dong pung hahalang tu. Jang se kewel talalu, mari capat kas kaluar kepeng la ale borong beta pung duriang ni dolo. Beta panta su kram dari pagi papalele akang maar balong sorang lai yang loko akang.

Dace: Ayooo eee batul tu. Jadi ale kira beta ni pemborong kapa. Sorong dua buah kamari la beta rasa akang dolo. Jang se mulu baskoim deng se pung duriang padahal duriang su dinging.

Etus: Oee, beta ni seng pernah jual janji kawan. Yang beta kasi par ale ni hasil berkualitas dari beta pung karingat sandiri. Co ale rasa sandiri. Maar jang se abis itu putar badang lalu bilang bayar bulang muka. Beta tau se ada dapa kepeng transport mangawas. Mari suda...

Dace: Hahahaeeee.... mantap! Ale papalele maar ale taru kira katong pung isi sak bagus lai....

Etus: Pastinya... tagal itu nanti putaran berikut ale musti pili caleg macang beta bagini. Visi-misi jelas...

Dace: Iyo, iyo, asal jang jadi calon lego saa....
Read more ...

Friday, April 17, 2009

Teologi Kelautan dalam Konteks Pembangunan Indonesia - [artikel lawas]

Lebih dari dua pertiga bumi kita ini ditutupi oleh air. Menurut para pakar hidrologi sebagian besar air yang ada di bumi ini berada di lautan sehingga 71 persen permukaan bumi ini tertutup air di mana 80 persen dari semua air itu berada di lautan. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa vitalnya lautan bagi ekosistem di muka bumi. Lingkungan air khususnya lautan yang begitu luas sangat berpengaruh terhadap iklim, tidak hanya di lautan tetapi juga kehidupan di darat dan udara.

Negara Indonesia yang terletak di antara Benua Asia dan Australia dikenal juga sebagai “negara bahari”, karena dari luas wilayah 5.193.252 km2, memiliki lautan seluas 3.288.863 km2 dan terdiri dari 13.000 pulau. Adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis laut-pulau membentuk karakteristik tersendiri bagi manusia yang hidup dan berinteraksi secara intens dengan alam hidup mereka.

Tersebarnya pulau-pulau besar dan kecil dari Pulau Sumatera hingga ke Papua secara gamblang menampilkan suatu realitas hidup manusia yang sarat dengan nuansa-nuansa etnik dan kebudayaan dengan latar pandangan hidup yang beraneka ragam. Keseluruhan eksistensi kemanusiaan Indonesia terbentuk dalam bingkai konteks pulau dan laut yang termanifestasi dalam kemajemukan kultural. Oleh karena itu, pluralism menjadi realitas kebangsaan yang tidak terelakkan dalam wacana kebudayaan manusia Indonesia secara holistik.

Laut sebagai Realitas Kontekstual
Secara sosiologis, realitas kepulauan dan laut yang mendominasi interaksi kemanusiaan Indonesia sedemikian rupa pada gilirannya membawa serta suatu pandangan hidup yang khas dan unik masyarakatnya. Berbagai pandangan yang terungkap sangat kental terasa dalam istilah sehari-hari yang digunakan dalam komunikasi masyarakat. Ungkapan-ungkapan seperti “ke laut”, “tanoar”, “ikan makan ikan”, dsb., yang dikenal di kalangan masyarakat pesisir di Maluku, misalnya, sudah menjadi ungkapan yang digeneralisasi sehingga maknanya meluas sampai pada kalangan masyarakat lebih besar di mana intensitas relasional dengan laut sudah tidak lagi begitu terasa. Disadari atau tidak, ungkapan-ungkapan tersebut sudah menjadi bagian inheren dalam masyarakat Maluku.

Fenomena sosial demikian tidak terbentuk begitu saja, melainkan merupakan produk dari suatu proses interaksi yang panjang dan lama dengan konteks kehidupan masyarakat semenjak zaman leluhur mereka. Dengan perkataan lain, konteks laut dan pulau membentuk eksistensi dan karakter masyarakat (pesisir) yang khas. Ekspresi kultural yang mereka tampilkan benar-benar merupakan manifestasi kontekstual.

Orientasi Kelautan dalam Praksis Pembangunan
Sebagai suatu negara-bangsa (nation-state) yang sementara bergiat dengan program pembangunan, maka konteks kelautan dan kepulauan mau tidak mau harus menjadi pertimbangan yang urgen dari setiap kebijakan pembangunan nasional. Paradigma pertumbuhan ekonomi yang begitu gencar dilaksanakan selama masa Orde Baru mengindikasikan dengan sangat jelas pengerahan maksimal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, tidak terkecuali potensi kelautan. Ironisnya, kebijakan pembangunan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi justru telah menjadi boomerang bagi keseimbangan ekosistem baik di darat maupun di laut. Kendati selalu ada dalih bahwa pemanfaatan sumber daya laut sampai saat ini belumlah maksimal, namun dalam banyak praksis pembangunan itu sendiri terungkap dengan sangat gamblang bahwa pengelolaan sumber daya kelautan telah membawa dampak yang cukup fatal bagi keberlanjutan proses pembangunan (sustainable development) bangsa ini pada masa depan. Rusaknya ekosistem laut seperti terumbu karang yang menjadi habitat ikan, matinya ribuan ikan dan berbagai jenis hewan air karena limbah buangan industri, serta tumpahan minyak di laut, maraknya bisnis pariwisata kelautan tanpa suatu manajemen yang tepat menyebabkan tercemarnya sejumlah pantai, dll., menjadi indikator empiris bahwa proses pembangunan yang terselenggara sejauh ini belum menetapkan suatu orientasi kelautan yang clear and distinc.

Membangun Teologi Kelautan: Sudah Siapkah Kita?
Pertanyaan yang terlontar di atas hendaknya menyentak kesadaran kita sebagai bagian integral dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sedang membangun. Kita hidup dalam suatu konteks kepulauan dan kelautan yang konkret. Namun sungguh merupakan ironi bahwa orientasi kelautan sebagai bagian penuh dan substansial dari keutuhan ciptaan Allah belum mampu membuat kita gelisah dan merangsang aktivitas berteologi kita, khususnya di zona seribu pulau, Maluku. Segenap perhatian dan konsentrasi berteologi kita selama ini terlalu lama mengabaikan kajian teologis tentang makna laut sebagai anugerah Allah yang bermuara pada lahirnya sebuah teologi baru. Praksis berteologi dengan orientasi kelautan sama sekali belum menyentuh esensinya, padahal kita hidup dalam konteks laut dan pulau. Apakah ada yang salah dengan doing theology kita? Ataukah sudah saatnya kita membutuhkan paradigma berteologi yang baru dan kritis serta kontekstual?

Kalau memang paradigma berteologi yang lama sudah terbukti tidak mampu lagi menolong kita mengembangkan suatu refleksi teologis yang segar, maka menurut saya, sudah saatnya kita melahirkan sebuah teologi baru dengan paradigma baru yang secara konsisten berorientasi ke konteks kelautan dan segenap perangkat sosio-kulturalnya. Sebuah teologi yang mampu memberi jawab atas segala tantangan perubahan zaman yang melaju pesat dan menopang kita selaku warga gereja menyikapinya secara arif tanpa kehilangan perspektif iman kristiani.

Teologi baru dimaksud adalah tercetusnya pemikiran-pemikiran teologis yang sistematis dan metodis tentang peranan umat Allah yang hidup dalam suatu situasi yang begitu akrab dengan lingkungan hidupnya. Bahwa kehadiran dan kehidupan mereka di pulau-pulau merupakan tindakan kasih karunia Allah yang tidak berhingga di mana melaluinya mereka memuliakan Allah. Segenap eksistensi mereka di pulau-pulau diimani sebagai yang berada di bawah rencana penyertaan Allah. Allah menyertai para leluhur dan membimbing mereka dalam pelayaran mereka melalui gelombang dan badai laut sampai tiba di pulau di mana mereka beranak-cucu serta membentuk suatu komunitas. Pulau di mana mereka berpijak dan mengolah tanah serta menikmati hasilnya dan laut di mana mereka menikmati hasilnya serta hidup dalam irama gelombang dan anginnya.

Allah mengaruniakan berkat-Nya yang berlimpah-limpah dari dalam tanah dan laut. Segenap umat yang telah menikmati kasih karunia Allah harus hidup dalam kesaksian yang benar, serta berbagi dengan sesamanya. Melalui akta berbagi berkat terkandung makna berbagi hidup. Dalam akta perjamuan kudus, Yesus tidak memberikan satu roti utuh kepada masing-masing murid-Nya. Yesus dengan sadar memecah-mecahkan roti (baca: membagi-bagi) sehingga setiap orang yang duduk di sekitar-Nya menerima bagian dari roti yang satu.

Tanah (pulau) dan laut merupakan satu “roti” pemberian Allah di mana semua manusia “makan” dari bagian-bagian yang diusahakannya. Dengan demikian, tidak boleh ada seorang manusia pun yang bisa mengklaim bahwa dia menguasai dan berhak atas seluruh hasil yang keluar dari dalam tanah dan laut. Dengan berbagi, manusia selalu diingatkan agar menjaga keseimbangan hidup. Pada satu pihak, segala sesuatu yang berlebihan hanya akan membentuk karakter tamak; sedangkan pada pihak lain, hidup dalam kekurangan menjadi tanda bahwa manusia tidak menghargai pemberian Allah. Keadilan menjadi basic value yang melandasi kehidupan persekutuan umat Allah di pulau dan pesisir.

Keseimbangan dapat dilihat pada contoh “perahu semang”. Gelombang laut yang tidak menentu dengan tidak terduga dapat mengempaskan perahu. Oleh karena itu dibutuhkan “semang” (cadik) agar perahu tetap berada dalam keseimbangan dan tidak terbalik kendati gelombang besar menghantam. Keseimbangan juga menjadi kekuatan hidup yang selalu berupaya menghadirkan harmoni dan perdamaian. Dari sini dapat dikonkretisasi apa yang selama ini dikenal sebagai “keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan” (justice, peace and integrity of creation).

Konsep-konsep teologis di atas merupakan sebagian kecil upaya untuk membangun suatu teologi kontekstual. Tentu saja masih terbuka peluang untuk diperdebatkan. Tetapi paling tidak kita sudah memulai. Hanya yang jadi soal: Sudah siapkah kita?
Read more ...

Tuesday, April 7, 2009

124 Tahun Pendidikan Teologi: Pembaruan dan Pewarisan

Senin, 6 April 2009 yang lalu Fakultas Filsafat UKIM Ambon menyelenggarakan Seminar Sehari dengan pembedahan dua topik: [1] Politik untuk Kesejahteraan Rakyat; [2] Jabatan Gereja dan Spiritualitas Pendeta GPM. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka peringatan 124 tahun pendidikan teologi di Maluku – yang bermuara pada terbentuknya institusi Fakultas Filsafat UKIM.

Penetapan dua topik tersebut tentu mempunyai alasan-alasan signifikan yang lahir dari tuntutan konteks. Saya tidak tahu secara jelas apa alasan-alasan tersebut karena belum membaca kerangka acuan kegiatan seminar itu. Tetapi menarik untuk mencermati garapan dua topik tersebut dikaitkan dengan pendidikan teologi di Maluku – yang kini telah dijalankan oleh dua lembaga: Fakultas Filsafat UKIM dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN). Namun yang menjadi sorotan di sini ketika berbicara tentang pendidikan teologi adalah eksistensi Fakultas Filsafat UKIM, yang merupakan buah dari pergumulan gereja (GPM) untuk memikirkan dan mengembangkan suatu tindakan berteologi pada aras ilmu pengetahuan dan aplikasinya bagi praksis bergereja.

Dua panelis pertama, Dr. Rumadi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Prof. Dr. M.J. Saptenno (Universitas Pattimura), mencoba membedah realitas kontekstual “agama-agama” dan “politik-hukum” di Indonesia. Dengan penelusuran yang komprehensif Rumadi memaparkan postur beragama secara global dan lokal yang sering berada pada ayunan bandul pendulum “penegak moralitas” dan “penjaga benteng kebenaran transendental”. Ayunan pendulum pada kedua sisi tersebut jelas memperlihatkan bahwa sikap dan tindakan beragama tidak bisa disekap hanya pada wilayah privat semata, tetapi berimplikasi sosiologis sehingga matra-matra keberagamaan pada hakikatnya tidak mampu diceraikan dari matra-matra kehidupan sosial secara menyeluruh. Namun demikian, Rumadi tiba pada hipotesis bahwa tampilnya agama ke ruang publik harus dibatasi agar tidak merambah ke masalah politik dan ajang kontestasi perebutan kekuasaan. Ini dilihatnya sebagai faktor determinan yang merusak profetisme agama. Toh, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan agama harus dipanggil keluar dari liang persembunyiannya. Sementara itu, Saptenno, dengan kecermatan sebagai pakar hukum tata negara, mendasari elaborasinya dengan asumsi “kekuasaan membutuhkan hukum untuk mendapat legitimasi, sebaliknya hukum membutuhkan kekuasaan untuk dapat diimplementasikan atau upaya penegakkan hukum”.

Empat panelis pada sesi kedua lebih banyak mengupas matra-matra teologis dalam membicarakan “spiritualitas”. Bahkan lebih khusus lagi, seluruh perhatian ditujukan pada figur pendeta, yang dalam hal ini dilihat sebagai produk atau outcome lembaga pendidikan tinggi teologi. Metamorfosis institusional – jika bukan reformasi substansial – dalam beberapa dasawarsa jelas memperlihatkan perubahan-perubahan signifikan yang dipengaruhi oleh terbitnya peraturan-peraturan dan undang-undang di bidang pendidikan tinggi. Dinamika perubahan tersebut dicermati sebagai salah satu penyebab terjadinya pergeseran-pergeseran pada tingkat pemahaman mahasiswa teologi terhadap konteksnya (jemaat) dan juga spiritualitasnya yang inheren dalam pilihannya menggeluti ilmu teologi.

Ulasan sesi kedua ini cukup komprehensif. Hampiran historis mengenai jabatan gereja dikupas oleh Dr. Cornelis Alyona dengan memaparkan temuan-temuan dalam studi dokumen sejarah sehingga konsep “pejabat gereja” atau “pendeta” dapat ditemukan makna konotatif dan denotatifnya di sepanjang jejak-jejak sejarah gereja di Maluku. Berpindah ke ranah teologi alkitabiah, Dr. I.W.J. Hendriks memulai dengan asumsi bahwa telah terjadi penurunan kesadaran panggilan para pelayan gereja (pendeta) di lingkungan GPM. Hendriks menunjuk sejumlah indikator yang menjadi titik berangkat untuk membicarakan “pendeta dan spiritualitas”. Dr. M.M. Ririmasse-Hendriks dan Pdt. Ruth Elwarin-Rumthe, S.Th. sebagai dua panelis (perempuan) terakhir menyajikan wawasan-wawasan kelembagaan dari perspektif formal BPH Sinode GPM dan perspektif praktis pendeta jemaat yang telah melayani selama 34 tahun.

Penyajian materi dalam dua sesi tersebut dapat dipahami sebagai upaya membaca realitas kontekstual sekaligus menjawab tantangan-tantangan yang muncul dari realitas tersebut. Dengan demikian, “teologi” hendak ditempatkan sebagai suatu diskursus keilmuan yang mesti berinteraksi secara interdisipliner dengan kajian-kajian kemasyarakatan (sosial, politik, budaya, hukum, dsb). Sebagai yang demikian, dosen dan mahasiswa teologi mau tidak mau harus membedah konteks dengan pisau analisis sosial serta instrumen-instrumen penelitian sosial, sehingga realitas itu tidak terpahami secara mentah tetapi dikaji dengan disiplin keilmuan yang matang. Apa yang dihasilkan oleh teologi itu sendiri bukanlah suatu rumusan-rumusan mengambang melainkan suatu terobosan-terobosan teoretik yang dibangun melalui alur induktif.
Namun, teologi ternyata tidak cukup dipahami dalam lingkup diskursus keilmuan.

Pembelajar teologi selama ini dilihat pula sebagai pengemban nilai-nilai moralitas publik. Fungsi itu melekat karena teologi tidak hanya terekspresi sebagai ilmu tetapi juga internalisasi nilai-nilai transendental yang diyakini berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi. Bobot fungsi itu makin bertambah ketika si pembelajar teologi diharapkan mampu menjaga karakter-karakter ideal tersebut sebagai “pendeta” atau “pemimpin jemaat”. Pemahaman semacam ini menggiring pada aktivitas berteologi (doing theology), bukan sekadar belajar teologi secara formal.
Menempatkan teologi sebagai ilmu dan praksis, maka kita akan menyadari bahwa teologi mesti menjalankan fungsinya sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial. Fungsi transformasi ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar teologi tidak tergelincir hanya menjadi problem-solver sendirian, tetapi dilakukan karena diperkuat oleh jejaring diskursus keilmuan sehingga memampukan pembelajar teologi membaca dan menafsir realitas sosial secara tepat sambil menghadapkannya secara kreatif dengan refleksi nilai-nilai transendental yang melekat pada keyakinan-keyakinan religiusnya.

Di lain pihak, teologi sebagai praksis tidak dapat dilepaskan dari determinasi institusional gerejawi sebagai tempat dipeliharanya tradisi berteologi. Gereja hidup dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah. Gereja tidak bisa mengisolasi diri dari efek-efek perubahan sosial yang terjadi. Tetapi sikap gereja terhadap perubahan itulah yang membuatnya berbeda dengan sikap organisasi-organisasi sosial lainnya. Perubahan disikapi dalam perspektif penghayatan iman yang diawetkan dalam berbagai bentuk tradisi gerejawi. Tradisi iman inilah yang menjadi fondasi kehidupan bergereja, bahkan roh gereja, dalam menyiasati perubahan sosial. “Praxis” di sini berkonotasi teologis dan sosiologis. Ajaran-ajaran kebenaran dalam gereja (ortodoksi) hanya dapat diimplementasikan secara komunal dalam tubuh institusi gerejawi, yang sekaligus mensyaratkan tersusunnya hierarkhi organisasi dengan pembagian otoritas yang tegas. Ortodoksi tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan komunal yang menjalankan tindakan-tindakan kebenaran (ortopraksis). Kendati disadari bahwa ortodoksi kerap menimbulkan ketegangan interpretatif sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tak sejalan.

Dengan konstatasi tersebut, saya mencermati bahwa pendidikan teologi pada hakikatnya adalah upaya membangun jembatan-jembatan konseptual yang secara imajinatif menghubungkan matra-matra “transendental” (Ultimate Being) dan “kultural”. Matra transendental sebagian dapat ditemukan dalam dialog teologis dan historis dengan pengungkapan-pengungkapan iman dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda (masa lampau). Di sinilah kita bicara tentang pewarisan. Sedangkan matra kultural dapat menjadi media berteologi yang kaya dengan berbagai ekspresinya (bahasa, simbol, ritual, dll) untuk menemukan sebagian lain yang transendental itu dalam konteks kekinian (kontemporer). Pada lingkup ini kita bicara tentang pembaruan.

Jadi, teologi pada akhirnya memang menjadi suatu muara perjumpaan, yang sekaligus menimbulkan putaran arus, antara pewarisan dan pembaruan. Perjumpaan ini bisa menjadi perjumpaan yang kreatif yang melahirkan pemikiran dan tindakan berteologi yang baru dan relevan. Tetapi juga bisa menjadi perjumpaan yang tidak seimbang jika yang satu mendominasi yang lain (antara ilmu dan praksis). Di sini yang muncul adalah kejumudan (rigidity), yang menghalangi seluruh proses kreatif karena mempertahankan tradisi. Lantas, percakapan tentang spiritualitas pun menjadi menarik dan menantang. Spiritualitas “pendeta” semacam apakah yang mampu menampung pusaran arus pewarisan dan pembaruan dalam konteks GPM? Adakah “spiritualitas” itu hanya terpasung pada romantisme masa lalu yang lebih banyak terbangun dari kecenderungan narsistik (pengagungan diri)? Ataukah “spiritualitas” itu sebentuk keberanian untuk melepaskan seluruh atribut kehormatan tanpa takut mengambil pilihan berisiko untuk menjadi “pelayan” dalam arti denotatifnya? Ini memang sulit karena “pelayan” atau “hamba” dalam gereja telah melekat dengan “Tuhan” (pendeta adalah hamba Tuhan), yang pada gilirannya malah mengaburkan taraf kehambaannya, karena orang yang dekat dengan “Tuhan” dipastikan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan kaum jemaat-jelata, yang – konon – hidupnya [dianggap] jauh dari Tuhan. Apalagi kalau keberjarakan dengan sang Tuhan diukur dari “siapa yang belajar [ilmu] teologi” dan “siapa yang menjadi objek dari [aktor] teologi”. Suatu anggapan yang melahirkan dikotomi “pendeta” dan “kaum awam”.

Nah, kalau sudah begitu, spiritualitas itu seharusnya menjadi milik “pendeta” ataukah milik “jemaat”, atau keduanya? Pendeta meneladani jemaat atau jemaat meneladani pendeta? Tentu ini bukan catatan akhir, melainkan awal dari proses menorehkan narasi dan tindakan berteologi kita. Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces