Aku menulis maka aku belajar

Monday, September 16, 2019

Suara GPM untuk Papua?

Beberapa minggu lalu, Walikota Ambon mengundang mahasiswa Papua yang sedang studi di kampus-kampus Ambon untuk makan malam bersama. Sebelumnya memang sudah ada kunjungan dari Kesbangpol Kota Ambon ke kampus UKIM untuk berkoordinasi terkait dengan situasi di Papua, Surabaya dan Malang. Yang menjadi keprihatinan bersama adalah bagaimana mengantisipasi perkembangan di Papua yang berdampak pada keberadaan mahasiswa-mahasiswa Papua di luar Papua, termasuk di Ambon.

Sebenarnya, saat mendampingi 2 mahasiswa Papua yang belajar di UKIM selama acara makan malam itu, beta sangat berharap bahwa ada juga upaya aksi cepat GPM dalam merespons situasi yang menimpa masyarakat atau jemaat Papua. Sayangnya, harapan itu (sebagai pendeta GPM) pupus karena tidak ada pernyataan publik sikap GPM sebagai bagian dari semangat persaudaraan ekumenis merespons kondisi yang dihadapi oleh gereja-gereja di Papua.

Bagi beta, ini cukup mengherankan bin mencemaskan. Heran karena belum lama Sinode GPM menerbitkan buku dengan tajuk yang aduhai "GPM DI HATI BANGSANYA". Malah kemudian diikuti dengan peluncuran Prodi S3 Agama dan Kebangsaan. Rasanya, masalah kebangsaan menjadi wacana yang digumuli serius. Kenyataannya, aktualisasi semangat kebangsaan GPM itu tidak muncul dalam suatu gerakan sosial GPM sabagai refleksi kritis kehadiran dan peran GPM terhadap masalah-masalah kebangsaan saat ini seperti yang terjadi di Papua atau di tempat lain. Cemas karena beta jatuh pada asumsi hipotetik bahwa GPM tampaknya makin kedodoran dalam membangun kepekaan terhadap dinamika politik nasional saat ini, yang cepat atau lambat akan mempengaruhi cara kita menggereja dalam kompleksitas masalah yang kian menggurita di tingkat lokal.

Bisa jadi beta salah berasumsi. Tapi dari kisah-kisah yang dituturkan oleh para mahasiswa Papua dari Unpatti dan UKIM beta merasa ada pesan miris: "Kitong didatangi oleh orang-orang yang kitong tra kenal. Dorang pake baju aparat dan bawa senjata cari kitong di tampa-tampa kos dan asrama. Kitong datang di Ambon mau kuliah. Sekarang kitong rasa sendiri di Ambon". Mereka merasa sendiri. Apa artinya? Seorang anak Papua yang menjadi koordinator Ambon, juga anak pendeta GKI Papua, mengatakan buat beta: "Bapa, sa pung bapa juga pendeta. Sa sebenarnya harap gereja bisa bilang atau bikin apa ka apa buat kitong ana Papua di Ambon ini."

Bisa jadi beta keliru berasumsi. Tapi apakah terlalu berat bagi GPM untuk menangani anak-anak Papua yang untuk beberapa waktu hidup dan beraktivitas dalam wilayah-wilayah pelayanan jemaat GPM? Hanya untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan studi mereka setelah kasus tindakan kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh rekan-rekan mereka di Surabaya dan Malang. Bukankah mereka adalah anak-anak ekumenis GPM? Semoga slogan GOB bukan pepesan kosong dan masturbasi teologis saja.
Read more ...

Sunday, September 15, 2019

Emanuel Gerrit Singgih: Sumur Inspirasi yang Tak Pernah Surut


Meski dikenal sebagai seorang teolog kawakan di bidang tafsir alkitab namun sebenarnya sulit untuk mengurung keluasan pengetahuannya hanya pada bidang itu. Beta bahkan kerap bertemu EGS, demikian sapaan akrab beliau, pada forum-forum bukan biblika, seperti Studi Institut PERSETIA "Filsafat Timur dan Filsafat Barat" atau forum World Alliance of Reformed Churches (WARC) ketika EGS menyajikan makalah mengenai teologi kontekstual.

Hemat bicara. Tapi sekali mengajaknya berdiskusi, hampir semua ranah keilmuan filsafat dan teologi bisa dijelaskannya dengan jernih. Tulisan-tulisannya terpublikasi luas entah dalam bentuk artikel maupun buku-buku yang selalu menjadi rujukan hampir semua angkatan mahasiswa pada sekolah-sekolah atau fakultas-fakultas teologi di Indonesia. Beberapa teman yang studi lanjut di UKDW dan berada di bawah bimbingannya sering menggambarkan sosoknya sebagai profesor "killer"; suatu hipotesis yang tidak pernah beta percaya karena tidak terverifikasi dalam komunikasi beta dengan EGS.

Beta tidak pernah mengikuti kelasnya di UKDW. Selain di forum-forum seperti yang beta sebutkan di atas, kami bertemu ketika beliau menyajikan kuliah pada klas 2003 di Vrije Universiteit Amsterdam. Tahun 2009, EGS memberi kepercayaan kepada beta untuk menerjemahkan disertasi Frans Wijsen dengan tajuk "Buah-buah Roh: Menjalankan Riset Sosial Partisipatif di Belahan Dunia Selatan" (Duta Wacana Press 2010). Kemudian di ICRS mengikuti matakuliah "Religion, Politics and Sacred Texts in South East Asia" yang dikelola oleh Prof. EGS dan Prof. Amin Abdullah.

Tidak cukup kata-kata di sini untuk mengapresiasi karya-karya EGS. Beta dan Nancy Souisa juga pernah menjadi bagian dari limpahan ilmu dan kebaikan EGS. Semangatnya tampak dari derasnya berbagai ide yang terus mengalir melalui buku-buku terbaru yang terpublikasi hingga tak menyangka bahwa tahun 2019 ini EGS sudah menjelang masa purna baktinya sebagai guru besar teologi di UKDW Yogyakarta. Bagi beta, EGS adalah teladan ketekunan dan kegigihan berteologi kontekstual di Indonesia; ibarat sumur yang tak pernah surut airnya. Beta belajar banyak dari sosok EGS. Dalam hal itu, EGS tampaknya tidak pernah "pensiun". Terima kasih guru EGS!

Foto: IRTI Conference 2019 - Vrije Universiteit Amsterdam
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces