Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 14, 2018

Melepas Pergi, Menahan Kenangan: Sekelumit Kisah tentang Bruno Betaubun

Selama 2 minggu terakhir linimasa fb menautkan kabar dukacita tentang kepergian sejumlah kenalan, teman dari kenalan, sahabat, ortu dari sahabat. Hanya ucapan turut berbelarasa yang bisa disampaikan melalui kolom-kolom komentar.

Satu dari beberapa kabar dukacita adalah kepergian seorang rekan semasa masih menjadi mahasiswa di kampus UKIM, Bruno Betaubun (BB). Sudah lama tidak mendengar kabarnya apalagi bersua sejak kami lulus dari perguruan talake tahun 1996.

Kabar kepergian BB sangat mengejutkan. Pasalnya, semasa kuliah tahun 1990an, BB dikenal sebagai salah seorang pemain andalan dalam tim volley UKIM. Beta sendiri bergabung dengan tim basket UKIM. Kami sering berlatih bersama karena memang lapangan yang tersedia hanya satu. Jadi, biasanya tim volley dan basket melakukan pemanasan bersama dan menggunakan lapangan secara bergiliran.

Intensitas pertemuan juga terjadi dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus. Kami sama-sama bergiat di Senat Mahasiswa Fakultas. BB adalah fungsionaris SMF dan GMKI Komisariat Fakultas Ekonomi UKIM.

Pengalaman tak terlupakan bersama BB adalah ketika kami turut bergelut dalam euforia reformasi 1998. Setelah peristiwa Semanggi yang menewaskan rekan-rekan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, berbagai gelombang demonstrasi mahasiswa terjadi di berbagai kampus, termasuk UKIM. Waktu itu, kami mendesain format demo damai bersama-sama dengan hitungan-hitungan yang cermat agar demo itu tidak menjadi anarkhis dan kisruh. Desain demo adalah membuat replika peti mati dibungkus kain hitam sebagai simbol matinya demokrasi (terima kasih untuk bung Jacky Manuputty atas ide teatrikal itu). Demo dikawal ketat oleh unsur mahasiswa UKIM dibantu aparat polisi. Pada beberapa titik perhentian, ada orasi, puisi dan aksi teatrikal diiringi oleh beberapa mahasiswa yang bisa meniup trompet.

Ketika demo, BB mendapat peran mengusung gambar Presiden Soeharto. Nah, di sini BB beraksi. Selama perjalanan arak-arakan demo menuju beberapa titik kumpul untuk berorasi, BB mengangkat gambar Soeharto yang sudah dicoret silang dengan posisi terbalik (kepala di bawah). Berulangkali kami mengingatkan BB agar gambarnya diposisikan normal (kepala di atas) tapi dia tetap bersikeras. Sempat terjadi ketegangan di antara kami tapi akhirnya mengalah dengan sikap keras BB meski tetap terbersit cemas jika ada tindakan tegas dari aparat keamanan mengingat gambar presiden adalah simbol yang sangat “sakral” selama Orde Baru.

Syukurlah, demo mahasiswa UKIM saat itu berjalan lancar dan aman meski pada beberapa titik berhadapan dengan pasukan polisi dan tentara PRC (Pasukan Reaksi Cepat). Kami harus mengakui bahwa aksi BB waktu itu tergolong berani dan riskan sebab kondisi politik nasional saat itu sedang dalam transisi yang kritis. Polisi dan tentara bisa saja menjadikannya sebagai alasan menindak tegas demo kami.

Kekisruhan yang kami cemaskan justru terjadi pada kelompok demo mahasiswa setelah kami usai dan bubar. Kisruh dan bentrok antara aparat polisi/tentara dengan mahasiswa yang kemudian dikenal sebagai “Insiden Batugajah”.

Beta menuliskan hal ini untuk menjadi ingatan bersejarah tentang sosok dan aksi rekan Bruno Betaubun dalam rangkaian demo mahasiswa sebagai efek gelombang reformasi 1998 yang turut menyeret UKIM sebagai bagian penting dalam sejarah demokratisasi yang sejenak menjanjikan perubahan sosial-politik Indonesia.

Selamat beristirahat dalam keabadian sobat! Kau telah menaruh noktah kecil dalam satu gerakan besar Reformasi Total 1998. Semoga anak-anakmu membacanya dan bangga dengan aksimu yang hebat dan berani.
Read more ...

Wednesday, December 12, 2018

Presentation at The First International Conference on Religion and Public Civilization


Read more ...

Bedah Buku John Ruhulessin


Bedah Buku "Gereja dan Kepemimpinan Publik" karya Dr. John Ruhulessin, M.Si digelar oleh IAKN Ambon di Hotel Marina Ambon, 10 Desember 2018. Beta dan Dr. Abdul Manaf Tubaka menjadi pembahas terhadap buku tersebut. Sedangkan Dr. John Ruhulessin menjadi narasumber. Beta memetakan konstruk berpikir John Ruhulessin pada 3 skema yang didasarkan pada bacaan beberapa karya Ruhulessin:

Skema 1
Pengaruh studi sosiologi agama di UKSW terutama oleh mazhab Berkeley melalui Bernard Adeney dan John Titaley, juga oleh Eka Darmaputera dan Theodorus Sumartana. Mazhab Berkeley dengan pendekatan inter-area studies membentuk postur akademik yang lintas ilmu. Oleh karena itu, teologi yang dipelajari lebih berwajah multidisipliner dimana teologi berdialog kritis dengan dan turut dideterminasi oleh ilmu-ilmu lain. Pengalamannya selama menjadi visiting scholar di Berkeley sangat mempengaruhi paradigma berpikirnya.

Skema 2
Partisipasi dan pemikiran politik di Ambon. Kombinasi analisis dan praksis politik yang membentuk teologi politik JR. Itu salah satu keunikan pemikiran teologi sosial JR yang berbeda dari pembelajar teologi di Ambon atau di Indonesia. Pemikiran teologi pluralisnya dibentuk dalam konteks dialog-dialog dengan berbagai komunitas agama dan politik.

Skema 3
Agama dan masyarakat dalam konteks konflik sosial di Ambon. Analisis JR tentang RMS menjadi referensi penting sebagai kontra-wacana separatisme selama konflik. Itu merupakan momentum untuk mendudukkan perspektif historis dari RMS yang selama ini sangat dideterminasi oleh sejarah ala penguasa Orba. Konflik juga menjadi sandaran analisis penelitian disertasinya mengenai pela sebagai etika publik.
Read more ...

Saturday, November 10, 2018

Sindrom Anak Emas

Istilah tersebut sudah sejak era 1990-an dimunculkan oleh John Titaley, Guru Besar Sosiologi Agama (dulu UKSW sekarang UKIM), untuk memperlihatkan tendensi sosiologis dan politis yang selalu berada pada ketegangan tarik-ulur antara identitas nasional dan identitas primordial dalam proses "menjadi Indonesia". Terbingkai oleh perspektif Durkheimian, Titaley masih kukuh pada tesis bahwa Indonesia sejak 1945 adalah fenomena entitas politik baru yang terbuka bagi kesetaraan setiap warga negaranya untuk mengekspresikan matra-matra religiositas dan etnisitas nusantara dalam rajutan semangat "menjadi Indonesia" yang sangat majemuk.

Mulanya istilah itu dipakai sebagai kritik Titaley terhadap corak Kekristenan Indonesia pasca-1945 yang tampaknya masih kuat berkutat dalam kubangan nostalgia kolonial sehingga mengabaikan realitas keindonesiaan sebagai konteks sosio-politis baru yang dihidupinya sejak kesepakatan menjadi Indonesia itu. Padahal nostalgia semacam itu sebenarnya memperlihatkan gejala "kejiwaan" yang tidak sehat atau tidak kontekstual, yang disebutnya sebagai "sindrom anak emas".

Secara sosiologis dan politis, istilah itu mengalami perluasan makna yang menunjuk pada kecenderungan psiko-sosial dari orang atau kelompok orang yang merasa diri besar secara kuantitatif lantas selalu merasa harus diistimewakan, dimanja, dan difasilitasi. Sindrom ini berimplikasi pada pemikiran dan tingkah-polah yang lembek dan cengeng karena selalu merasa diri benar dan lebih utama dibandingkan liyan. Sindrom ini juga menyebabkan amnesia historis bahwa dasar dari berdirinya masyarakat Indonesia ini adalah pada kesepakatan sosial-politik untuk hidup bersama dengan seluruh perbedaan yang menggelayuti identitas masing-masing.

Dalam pertemuan agamawan dan budayawan yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI beberapa hari lalu, istilah itu kembali disebutkan oleh John Titaley. Namun, secara kritis pula, sebagaimana dipertanyakan oleh Omar Faturahman dalam rubrik opini KOMPAS, "Lalu Apa?". Pertanyaan itu bisa dibaca sebagai kontemplasi politik untuk melangkaui sindrom itu yang rupanya belakangan ini kian menjadi jaringan "kanker kronis" yang menggerogoti semangat dan geliat keindonesiaan kita, termasuk kontemplasi "untuk apa kita memperingati hari pahlawan?".

Read more ...

Thursday, November 8, 2018

Pengukuhan Guru Besar Al Makin - UIN Sunan Kalijaga


Pengelolaan lembaga pendidikan tinggi di negeri ini rumit dan sarat tahapan serta persyaratan yang berbelit. Regulasi nasional di bidang pendidikan tinggi berubah, bertambah dan penuh tikungan yang kerap membuat banyak tenaga pendidik tergelincir. Tak jarang harus "turun mesin" alias stagnan. Salah satu tikungan itu adalah produksi publikasi berbasis penelitian yang mesti memenuhi perpindahan "persneling" secara kreatif pada tiga "gigi" tridharma perguruan tinggi.

Standar "high-class university" terus diuber dengan menggeber akselerasi pembenahan prosedur penjenjangan akademik. Ditambah dengan mimpi mengubah paradigma "teaching university" menjadi "research university". Lantas, melepas peluru-peluru publikasi ke jurnal-jurnal bereputasi, terakreditasi bahkan terindeks. Tidak semua peluru mengenai sasaran. Kurang meneliti? Mungkin ya, mungkin tidak. Kurang gairah publikasi? Mungkin tidak, mungkin ya. Masalah inti diduga adalah standar tinggi yang dipasang dan hanya bisa digenjot oleh kampus-kampus berumur panjang dan mapan, dengan akses ke sumber-sumber dana dan daya yang mumpuni. Bagi kampus-kampus minor dan swasta, perlu infus energi dan konsistensi mengejar mimpi itu.

Seabreg hasil penelitian menumpuk. Mengapa tidak dipublikasi di jurnal-jurnal internasional? Harus berbahasa Inggris. Bukankah bisa pakai jasa penerjemah bersertifikat atau kolega "native speaker"? Harus sedia dana. Belum lagi beban mengajar yang menyita waktu dan menguras energi para dosen (yang seharusnya juga meneliti dan publikasi hasil penelitiannya). Tak kurang tenaga pendidik (dosen) jebolan kampus-kampus top markotop di Amrik dan Eropa yang berkiprah di kampus-kampus Indonesia. Tapi tak cukup geliat dan gigih menerapkan model pembelajaran dari kampus-kampus luar negeri itu di kampus-kampus sendiri. Hanya pulang berbekal ijazah, foto dan cerita kuliah di luar negeri, tapi lagi-lagi stagnan dalam menggugah geliat penelitian pada dan bersama mahasiswa di negeri sendiri. Kritik keilmuan pun dibungkam oleh perburuan jabatan-jabatan struktural di kampus-kampus sendiri.

Pencapaian Al Makin ini, di antara kolega-kolega profesor muda lainnya di bidang humaniora, tentu menjadi pemicu dan pemacu untuk menantang arus regulasi pendidikan tinggi yang cukup deras untuk menghempaskan diri pada kevakuman dan rutinitas birokrasi akademik belaka. Kepiawaiannya mengelola Jurnal Al-Jamiah hingga ke tingkat pengakuan internasional, bagi beta, adalah konsistensinya untuk mengembangkan strategi mengatasi gempuran regulasi yang ketat di negeri ini. Masih teringat pesannya ketika bertandang ke Ambon: "Pengelolaan jurnal sebagai strategi pengembangan akreditasi institusi dan kapasitas dosen tidak bisa tambal-sulam. Harus ada yang nongkrongin. Kalau tidak, ya tidak pernah jadi."

Mubaarok Prof. Al Makin!
Read more ...

Tuesday, November 6, 2018

MPP AMGPM Ke-31


Musyawarah Pimpinan Paripurna Angkatan Muda GPM Ke-31 tahun 2018 berlangsung di Latdalam, desa/jemaat terujung di pesisir barat Pulau Yamdena, Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tahun lalu (2017) di Wooi, Pulau Obi, Maluku Utara. Ini adalah agenda tahunan Pengurus Besar AM-GPM untuk mengevaluasi program kerja setahun, melakukan pemetaan masalah di 34 daerah pelayanannya, dan rencana strategis mengatasi isu-isu problematiknya.

Fokus studi dan agenda program kali ini adalah pada megaproyek nasional Blok Masela dengan seluruh derivasi dampaknya pada berbagai bidang kehidupan masyarakat Tanimbar. Salah satu isu terberat adalah cara menghadapi para kabir serakah yang sama sekali tak menggubris efek destruktif megaproyek itu terhadap keberlanjutan daya hidup masyarakat dan hanya berkacamata kuda "investasi/pembangunan".

Di balik segala formalitasnya, momen ini juga menjadi momen perjumpaan dan pembelajaran dari rekan-rekan pemuda yang bergelut dengan situasi problematik di daerah pelayanan mereka. Beta belajar banyak dari mereka.

Terima kasih Rynchard Tupan untuk semangat, idealisme dan kegigihan yang terus ditularkan selama MPP AMGPM Ke-31 di Latdalam dan Saumlaki, Tanimbar Selatan.
Read more ...

Tuesday, October 16, 2018

Kuliah Bersama UKIM-IAIN

Dialog pada sesi panel diskusi bersama Dr. Abdul Manaf Tubaka dan Pdt. Maryo Manjaruni, M.Cs. pada Sabtu lalu (13/10/2018) di Gereja Ebenhaezer Rumahtiga, ternyata bersambung. Beta dan Manaf bersepakat untuk melakukan “kuliah bersama” antara mahasiswa fakultas teologi UKIM dan mahasiswa fakultas ushuludin jurusan sosiologi agama IAIN Ambon. Kebetulan pada semester ini Manaf mengampu matakuliah “Agama dan Masalah Minoritas” dan beta mengampu “Teologi Publik”. Kami melihat ada beberapa simpul gagasan yang bisa ditautkan dan didialogkan bersama-sama baik antarmatakuliah maupun antarmahasiswa pesertanya.

Hari ini, Selasa (16/10/2018), sekitar 40-an mahasiswa fakultas teologi UKIM bertandang ke Kampus IAIN Ambon, Fakultas Ushuludin Jurusan Sosiologi Agama. Bergabung bersama sekitar 20-an mahasiswa IAIN. Manaf, yang adalah Ketua Jurusan (kajur) Sosiologi Agama, menyambut kami. Sekitar 10 menit kami berbincang sambil menunggu ruangan disiapkan dengan penambahan beberapa kursi.

Ruang klas yang tampak luas ketika kosong, dengan segera penuh sesak ketika semua mahasiswa UKIM-IAIN berada di dalamnya. Beberapa mahasiswa IAIN rela berdiri di bagian belakang karena tidak kebagian kursi.

Kuliah dibuka dengan perkenalan singkat dan pengantar oleh Manaf. Ia dengan fasih mengulas alasan-alasan mengapa matakuliah Agama dan Masalah Minoritas disajikan di IAIN Ambon, serta capaian pembelajarannya. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sejumlah isu kontekstual berkaitan dengan stereotip minoritas di Indonesia.

Beta menyambung dengan menjelaskan dinamika historis dan sosiologis Kekristenan pada abad-abad ke-17 s.d. ke -19 yang masih sangat kental bercorak kolonial di Indonesia, benturan-benturan interpretatif teologis yang membentuk postur Kekristenan Indonesia termasuk perjumpaan dan ketegangannya dengan Islam Indonesia, dan gerakan kontekstualisasi Kekristenan dalam relasi dengan agama-agama lain serta berbagai spiritualitas lokal masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Beberapa mahasiswa dengan antusias mengacungkan tangan saat diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan tanggapan. Manaf harus membatasi menjadi hanya 6 mahasiswa: 3 UKIM dan 3 IAIN. Pertanyaan-pertanyaan tajam pun diluncurkan, seperti “keselamatan”, “poligami”, “kiamat”, “akidah”, “tafsir teks kitab suci”, “agama ibrahimik dan agama lokal” dan lain-lain. Beta dan Manaf secara bergantian menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jelas, perspektif yang kami bangun bukan pada tataran doktrinal atau apologetika, tapi memahami realitas keberagamaan sebagai fenomena sosial-budaya. Dengan perspektif itu, kami membentangkan kemungkinan-kemungkinan membangun religiositas yang lebih humanis, bukan semata-mata pada sekat moralitas dan doktriner yang serba hitam-putih dalam mencermati realitas hidup yang kompleks dan berwarna-warni.

Kuliah sore tadi kami akhiri dengan kesepakatan (lagi) untuk melanjutkan percakapan dalam kunjungan balasan mahasiswa IAIN ke Kampus UKIM. Terima kasih Dr. Abdul Manaf Tubaka dan para mahasiswa sosiologi agama IAIN Ambon.

Sampai jumpa di Kampus UKIM!
Read more ...

Wednesday, September 26, 2018

67 Tahun UIN Sunan Kalijaga

Secara pribadi, beta merasa bangga pernah (dan selalu) menjadi bagian dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta. ICRS adalah kolaborasi tiga universitas, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana, yang menyelenggarakan program pascasarjana jenjang S3. Menurut beta, ini kolaborasi yang keren dan menantang. Betapa tidak, tiga universitas dengan latar sejarah dan tradisi akademik yang berbeda-beda berkolaborasi menggelar program doktor untuk studi agama-agama.

Ketika masih studi 2011-2016, mahasiswa ICRS punya akses untuk terlibat dalam proses-proses kuliah dan diskusi di tiga kampus ini. Maka tidak heran, semasa berjibaku kuliah dulu mahasiswa ICRS dikenal sebagai spesies "omnipresence". Hadir dimana-mana. Apalagi kalau ada hajatan seminar atau ujian disertasi di tiga kampus ini.

Yang paling menantang tentu saja adalah kesempatan untuk belajar dari para guru yang mempunyai kapasitas keilmuan yang beragam dan pengalaman penelitian yang sangat kaya. Berbagai tradisi akademik dan kekayaan perspektif tersebut telah banyak melahirkan dialektika kritis mengenai studi agama-agama di berbagai kawasan. Dengan model kolaborasi semacam itu, maka mahasiswa ICRS sebenarnya adalah "mahluk" hibrid yang berkelana dalam rimba aneka ilmu, metode dan tradisi keilmuan, yang dalam konteks studi agama-agama, didesak masuk terlibat dalam wacana dan praksis religiositas yang sangat majemuk.

Dari UIN Sunan Kalijaga, ada nama-nama seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Noorhaidi Hasan, Dr. Siti Syamsiyatun, Dr. Sahiron dan beberapa lainnya; dari UKDW ada nama-nama, Prof. Gerrit Singgih, Dr. Hehanussa Jo, Dr. Farsijana Adeney-Risakotta, Prof. Banawiratma, Dr. Paulus Wijaya dan beberapa lainnya. Plus sejumlah guru dari Universitas Gadjah Mada, seperti Prof. Pm Laksono, Prof. Bernie Adeney-Risakotta, Dr. Dicky Sofjan, Dr. Samsul Maarif, Dr. Wening Udasmoro, Dr. Leo Epafras dan yang lainnya. Bahkan harus juga disebut nama-nama seperti Dr. Haryatmoko dan Dr. Tri Subagya dari Universitas Sanata Dharma.

Dengan "wajah" yang hibrid semacam itu, sulitlah untuk mengatakan universitas mana yang menjadi almamater dari para lulusan ICRS. Selain mengakui bahwa ketiga universitas itulah yang semuanya menjadi almamater.

Maka ketika hari ini, UIN Sunan Kalijaga merayakan 67 tahun eksistensinya berkiprah dalam dinamika pendidikan tinggi di Indonesia, beta pun menjadi bagian dari sukacita bersama seluruh civitas academica dan para alumninya.

Terima kasih para guru di UIN Sunan Kalijaga yang pernah menjadi penantang-penantang keilmuan yang andal dan membagi semangat persaudaraan lintas-agama dan lintas-ilmu bagi beta dan rekan-rekan lain alumnus ICRS. Terima kasih pula untuk para sahabat yang berkarya sebagai guru di UIN Sunan Kalijaga: Dr. Moch Nur Ichwan, Dr. Masroer Ch Jb, Dr. Ahmad Salehudin dan yang lainnya, yang turut membentuk karakter persahabatan yang terbuka bagi kekayaan tradisi ilmu dan keberagamaan.

Selamat untuk almamaterku UIN Sunan Kalijaga! Tetap berkarya bagi kemanusiaan dan keindonesiaan yang kaya warna identitas ini.

Photo courtesy: Masroer Ch Jb
Read more ...

Wednesday, September 19, 2018

Gereja Bersyukur: Mencintai Kebenaran dan Damai - Refleksi 83 Tahun GPM

Jalan panjang meniti setiap pijakan zaman selama 83 tahun bagi Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah perjalanan yang penuh dinamika dan liku-liku historis, sosiologis, antropologis dan politis. Pada setiap dimensinya perjalanan panjang tersebut telah menjadi faktor determinan yang membentuk eklesiologi GPM terutama sebagai gereja kepulauan.

Konteks pulau-pulau yang menjadi ranah geografis jemaat-jemaat GPM yang terentang dari kawasan Maluku Utara hingga Maluku Barat Daya berhadapan langsung dengan zona perairan internasional, diapit oleh musim timur dan musim barat, serta persebaran negri-negri sepanjang pesisir dan pegunungan, telah membentuk karakteristik eklesiologis GPM yang majemuk. Sejarah dan dinamika eksistensi agama-agama Abrahamik (Kristen dan Islam) dan berbagai ekspresi religiositas lokal pun menambah semarah wajah warna-warni komunitas-komunitas lokal yang mendiami ribuan pulau di kawasan ini. Dengan perkataan lain, bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan suatu format pelayanan yang seragam dan tertib yang mampu diimplementasikan begitu saja. Diperlukan komitmen yang kuat dan dedikasi yang tinggi dalam setiap derap langkah penatalayanannya sehingga mampu melangkaui batas-batas kemajemukan yang inheren pada dirinya sebagai gereja.

Ada sejumlah tantangan yang menyeruak sebagai implikasi eklesiologis GPM dalam konteks lokal Maluku dan konteks nasional Indonesia. Tiga tantangan GPM yang berikut ini merupakan sudut pandang lain dari 13 isu strategis yang dirumuskan dalam Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) GPM 2016-2025.

[1] Pembangunan Masyarakat Berbasis Kepulauan
Sudah sejak abad ke-15 wilayah Kepulauan Maluku telah menjadi incaran para saudagar pemburu rempah-rempah dari berbagai benua. Kedatangan para saudagar dan persaingan di antara mereka telah mengubah secara signifikan peta demografis komunitas kepulauan Maluku, pola relasi kuasa antara para penguasa lokal dan para pedagang (Nusantara dan Barat), dan perjumpaan dan peleburan lintas-budaya yang makin membentuk karakter multikultural masyarakat kepulauan ini. Namun demikian, kekayaan alam yang mengundang para saudagar dari berbagai kawasan di dunia tersebut ternyata tidak berdampak pada kemakmuran masyarakat. Sebaliknya, masyarakat kepulauan ini hanya menjadi bulan-bulanan dari berbagai kekuatan ekonomi global yang datang untuk mengeruk kekayaan alam (laut dan hutan) sambil membiarkan mereka terlantar dalam lautan kemiskinan yang kronis.

Pergantian rezim kolonial dengan pemerintahan dari negara baru bernama Republik Indonesia telah memberikan secercah harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, lagi-lagi, paradigma pembangunan yang diimplementasikan oleh pemerintahan pascakolonial Indonesia tidak beranjak jauh dari pendekatan kolonial yang lebih memusatkan seluruh perhatian dan energi pembangunan pada kawasan barat Indonesia, terutama Pulau Jawa. Kawasan timur Indonesia dengan kontur geografis kepulauan makin ditinggalkan dalam derap pesat pembangunan sebagai kawasan tertinggal. Kejayaan rempah-rempah yang pernah menjadi primadona perdagangan dunia pun tersisa sebagai nostalgia.

Belakangan, dengan pendekatan pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi perhatian lebih serius pada pembangunan masyarakat dengan berbasis pada konteks kepulauan. Meskipun demikian, diperlukan energi yang cukup besar untuk membenahi pertama-tama infrastruktur dan sarana transportasi laut yang menjadi faktor utama pemerataan pembangunan kawasan kepulauan ini. Pada sisi lain, pendekatan pembangunan poros maritim ini berdampak pada akselerasi pembangunan jemaat, terutama dalam jejaring komunikasi antarpulau yang makin melancarkan proses dan interaksi pembangunan jemaat-jemaat GPM. Keterisolasian secara bertahap mulai ditembus. Batasan-batasan komunikasi mulai dilangkaui.

Akan tetapi, bersamaan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi, masyarakat kepulauan ini mulai menghadapi tantangan baru dengan gelombang imigran baik secara spontan (sebagai konsekuensi lancarnya transportasi dan komunikasi) maupun melalui program transmigrasi oleh pemerintah; beroperasinya perusahaan-perusahaan multinasional yang merambah hutan-hutan dan laut sambil mendesak komunitas-komunitas lokal ke kawasan periferi yang makin menyempit; benturan-benturan kebudayaan “urban” dan “rural” yang menggiring berbagai komunitas kepulauan ini pada satu suasana transisi yang bergejolak mencari bentuk-bentuk sosial yang cocok dan sebagainya. Selain itu, masih terasa kecenderungan warisan pendekatan pembangunan yang masih kuat berorientasi kontinental sehingga prosentase dana pembangunan masih terserap lebih besar pada wilayah daratan.

[2] Partisipasi Politik Kewargaan
Keterbukaan katup politik demokrasi pasca Gerakan Reformasi 1998 telah membawa dampak sangat besar dalam budaya politik Indonesia yang selama ini dikekang oleh rezim pemerintahan otoriter Orde Baru. Salah satu konsekuensinya adalah otonomi daerah dan sistem multipartai. Otonomi daerah berhasil mendorong pembelahan beberapa wilayah menjadi dua atau lebih wilayah pemerintahan baru pada tingkat kabupaten/kota. Pembelahan atau pemekaran tersebut mampu menyerap banyak tenaga kerja untuk mengisi posisi-posisi birokrasi pemerintahan baru dan memberi kesempatan kepada pemerintahan kabupaten/kota yang baru untuk mengembangkan potensi-potensi lokal bagi pembangunan wilayah tersebut.

Sementara itu, sistem multipartai membuka peluang sangat besar bagi penyaluran aspirasi politik kewargaan melalui partai-partai baru. Hal yang tak terhindari adalah kian sengitnya pertarungan politik antarpartai untuk berebut pengaruh dalam menentukan wakil-wakilnya di parlemen atau pemerintahan yang diasumsikan dapat memuluskan kerja-kerja mesin partai masing-masing. Pertarungan politik dalam sistem multipartai ini sangat kompetitif sehingga kerap terperosok pada godaan untuk menggunakan segala macam cara demi meraih kekuasaan politik (dan ekonomi). Implikasi terbesar dari pertarungan politik tersebut adalah pengerasan identitas primordial sebagai instrumen politik, yang kini menjadi paradigma politik yang meluas, yaitu politik identitas.
Pluralitas yang semestinya menjadi kekayaan budaya masyarakat Indonesia mengalami penggerusan makna menjadi ancaman yang mendorong berbagai kelompok untuk saling menihilkan eksistensi masing-masing. Wajah politik kewargaan Indonesia dan Maluku yang “bineka” kini dijumudkan menjadi tendensi-tendensi penunggalan identitas yang mencurigai liyan, termasuk dalam hal penyaluran ekspresi politik. Budaya politik demokrasi diciderai oleh hasrat untuk mendominasi liyan, bukan melalui diskursus politik yang sehat dan negosiasi kepentingan yang cerdas melainkan dengan intimidasi dan persekusi terhadap liyan yang diklasifikasi sebagai “minoritas”. Wacana-wacana ideologis makin termarjinalkan dalam arena-arena politik kewargaan dan masyarakat luas makin terbiasa untuk berpikir dan bertindak secara dikotomis “mayoritas-minoritas” sambil mengabaikan realitas kemajemukan masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam konteks kepulauan, tendensi-tendensi politik identitas menggiring pada kategorisasi-kategorisasi identitas pulau-pulau, yang bertumpang tindih dengan etnisitas dan agama.

[3] Glokalisasi Ekonomi dan Kebudayaan
Ekstensi dan ekspansi teknologi informasi-komunikasi serta makin tersedianya berbagai infrastruktur transportasi antarpulau (penerbangan dan pelayaran) telah berhasil membuka akses berbagai komunitas kepulauan untuk membangun relasi dengan berbagai pihak dari luar. Kawasan Kepulauan Maluku tidak lagi menjadi penerima dampak dari globalisasi tapi juga menjadi aktor-aktor lokal penting yang mempengaruhi situasi global. Fenomena globalisasi tidak lagi berlangsung satu arah tapi menjadi banyak arah serta menciptakan banyak-pusat (multi-center) yang melahirkan fenomena glokalisasi.

Masuknya investasi asing dalam berbagai bentuk korporasi multinasional, pada satu sisi, menciptakan peluang mengembangkan bisnis-bisnis berbasis hasil laut (mutiara dan ikan) yang diminati pasar internasional. Namun, pada sisi lain, glokalisasi ekonomi tersebut turut mengubah pola-pola kebudayaan altruistik menjadi lebih individualistik. Rekatan-rekatan komunalitas kultural kian renggang dan rapuh sehingga mudah tersulut oleh persinggungan-persinggungan antar-identitas kelompok yang hidup bersama-sama.
Pengembangan kawasan-kawasan tertentu pada beberapa pulau seperti Seram dan Buru makin memperlihatkan wajah miris komunitas-komunitas lokal yang termarjinalisasi oleh desakan perubahan masyarakat urban dan semi-urban. Penjualan tanah-tanah ulayat secara serampangan hanya karena rayuan konsumerisme yang aduhai secara sistematis mempersempit kemungkinan perluasan wilayah mukim suatu komunitas lokal. Gesekan-gesekan sosial kerap terjadi karena perebutan lahan, bahkan menjadi alasan konflik antarkelompok karena yang satu merasa dipinggirkan dan kehilangan hak-hak utama mereka untuk memperoleh kehidupan yang layak secara ekonomi. Sementara pihak yang satu makin mendominasi karena menganggap diri mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih tangguh untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah. Pembelahan identitas sosial antara “orang asli” dan “pendatang” makin mengeras dalam situasi ketidakadilan ekonomi tersebut. Sebagian besar jemaat-jemaat GPM terlibat dalam pusaran arus glokalisasi ekonomi dan kebudayaan semacam ini.

Sekelumit realitas menggereja GPM menjelang akhir dekade kedua abad ke-21 ini dengan sengaja dikemukakan justru sebagai landasan untuk menjadi gereja yang bersyukur. Bersyukur adalah suatu pilihan sikap untuk dengan kerendahan hati menyadari kekurangan dan keterbatasan diri, dan pada saat yang sama, berjuang menanggapi tantangan-tantangan dengan cara melakukan perubahan-perubahan dalam suatu bingkai orientasi visioner masa depan. Jadi, bersyukur bukanlah sikap pasif dan reaktif, melainkan kontekstual-transformatif.

Pijakan pada tiga realitas yang telah dijabarkan di atas adalah pada upaya memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Keadilan seyogyanya menjadi acuan eklesiologis GPM dalam konteks kemajemukan jemaat-jemaatnya (secara geografis maupun demografis) yang tidak punya pilihan selain terlibat dalam dinamika pembangunan nasional masyarakat Indonesia dan Maluku. Pemetaan masalah melalui implementasi Rencana Strategis (Renstra) Gereja merupakan keniscayaan strategi pembangunan jemaat agar tidak hanya berorientasi pada penguatan ritualistik dan penataan internal organisasi tetapi lebih melihat secara proporsional realitas ketimpangan pembangunan yang dialaminya bersama-sama dengan komunitas-komunitas lain. Gugatan terhadap keadilan dalam pembangunan kemanusiaan akan mendorong GPM untuk peka terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang bermuara pada kenyataan marjinalisasi komunitas-komunitas lokal. Tekanan-tekanan kehidupan ekonomi dan marjinalisasi budaya akan berdampak sangat fatal pada relasi-relasi antarkomunitas yang jamak sehingga sangat berpotensi bagi timbulnya konflik sosial.

GPM telah, sedang dan akan terus berada dalam ranah perjuangan misiologis bagi kemanusiaan semesta. Karakteristik kemajemukan dan kepulauan yang melekat pada dirinya telah membentuk pemahaman diri eklesiologis yang inklusif, plural dan multikultural. Kandungan eklesiologis ini harus terus diasah untuk peka terhadap realitas konteks kemajemukan dan pembangunan yang dijalaninya bersama seluruh jemaat. GPM adalah Gereja Bagi Semesta, dan bukan sekadar “gereja orang basudara”. Pijakan teologis Gereja Bagi Semesta itu dapat dicermati dengan jelas dalam trajektori perjalanan 83 tahun GPM: pendamai, pembela hak-hak asasi manusia, menjaga lingkungan hidup, menghidupkan nilai-nilai budaya yang konstruktif bagi kemanusiaan, menjadi pelaku ekonomi Allah yang adil. Realitas kepulauan yang digumuli oleh GPM secara historis, politis, ekonomis dan kultural, telah mendekonstruksi sekat-sekat persaudaraan biologis menjadi relasi-relasi antropologis yang merangkul semua pihak (manusia dan lingkungan hidup) sebagai bagian integral dari eklesiologi dan misiologinya.

delapantiga mencari makna
menyusuri sejarah penuh luka
sibak ombak samudra
menapaki jalan terjal realita
menerjemahkan kata menjadi akta
agar keadilan menjadi nyata
agar perdamaian menjadi sumanga
jatidirimu bukan karena kolekta
tapi oleh kuasa upulahatala semesta
tandamu bukan gedung menjulang ke angkasa
tapi kerendahan hati melayani manusia
derita bukan tanda baca
pembelaan hidup menjadi tanda kerja
engkau hanya setitik tanda
dari keluasan samudra
pulau-pulau yang terserak bak mutiara
dengan himpunan manusia mendaku saudara
berbeda adalah gelora
yang membuatmu kaya karunia
delapantiga... tetaplah melayani semesta
sebagai gereja, bukan badan usaha milik negara
apalagi kongsi milik pengusaha
delapantiga... gereja ini menghidupi hingga sumsum tulang beta sampai habis kata dan sukma

Ambon, 16 September 2018
Read more ...

Monday, September 10, 2018

Meneroka Historiografi Ambon

Sepanjang pengalaman mendampingi Dr. Cornelis Alyona mengampu matakuliah Sejarah Gereja di Indonesia dan Sejarah Agama Kristen, sebelum dan sesudah pulang studi, cukup menyadarkan beta bahwa tidak mudah menemukan mahasiswa peminat sejarah yang serius. Kalaupun ada yang berminat menulis kajian sejarah sebagai materi skripsi atau tesis mereka, itu lebih sebagai tuntutan studi dan kondisi terjepit karena jalan buntu untuk masuk ke disiplin ilmu lain yang dirasa berat.

Apakah mereka menganggap kajian sejarah enteng dan gampang? Tidak juga. Hanya pemahaman tentang sejarah belum menukik pada fondasi-fondasi metodologis dari apa yang disebut historiografi. Yang terpahami baru pada lapis mengumpulkan material sejarah (buku sejarah) dan arsip sekadarnya, menyusunnya secara kronologis dan seolah-olah menulis sejarah "baru". Bobot interpretatif secara kritis terhadap bahan-bahan atau arsip-arsip, termasuk pula data kualitatif melalui jaring observasi sosial-budaya-politik, masih pada parameter timbangan yang belum cukup menohok.

Munculnya sedikit peminat kajian sejarah, semisal Johan Saimima, yang kini tengah menyelesaikan disertasi sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, setidaknya cukup menjanjikan meskipun tentu tidak memuaskan dari segi kaderisasi peminat sejarah (sejarawan). Namun, syukurlah, sudah mulai muncul wajah-wajah baru para peminat sejarah muda. Salah satunya adalah Michael Pattiasina.

Hari ini bersama Dr. John Ruhulessin dan Rachel Iwamony, Ph.D., dengan moderator Dr. Cornelis Alyona, yang juga dihadiri kandidat doktor Johan Saimima, kami terlibat dalam diskusi alot dan bernas terhadap hasil penelitian Michael. Elaborasi yang padat dan runut sebagai hasil rekonstruksi dan reinterpretasi data sejarah memberikan bobot tersendiri terhadap tesis Michael. Namun demikian, terdapat beberapa "blind-spot" yang perlu dilengkapi baik dengan penelusuran arsip/dokumen yang lebih luas maupun keberanian untuk menyulam berbagai kekosongan data dengan kemampuan melakukan interpretasi historis. Ceruk epistemik lain yang tampak adalah permainan asumsi "kilas-balik" yang sering menjebak pada wacana-wacana kontemporer dalam meneropong masa lalu sembari mengabaikan konteks dari suatu teks/arsip.

Kendati demikian, karya akademik Michael Pattiasina ini sangat layak diapresiasi sebagai keberanian untuk mengambil rute disiplin ilmu yang kerap dianggap "kering" dan kurang merangsang bagi para mahasiswa generasi milenial. Diskusi alot pagi tadi memberi sinyal positif bahwa masih banyak "black-holes" yang menarik untuk dikaji dalam historiografi. Semoga!

Photo courtesy: Nes Parihala
Read more ...

Wednesday, August 29, 2018

Energi Positif

Beta tidak terlalu pusing (apalagi emosi) dengan omongan Shafiq Pontoh (SP). Ocehan tanpa data seperti itu sudah biasa. Orang Ambon bilang “tukel” (tukang kewel). Jangankan dalam obrolan khalayak, dalam kancah akademik atau dunia pendidikan saja banyak dijumpai kasus orang ngomong tidak pakai data akurat atau data kurang atau salah baca data. Omongan SP sama sekali tidak menyinggung saraf ketersinggungan identitas keambonan beta.

Masih banyak kasus atau peristiwa yang lebih menggetarkan saraf-saraf ketersinggungan identitas keambonan atau kemalukuan beta. Masih panas di hati mendengar berita “kelaparan” masyarakat Mausu Ane di Seram Utara; sakit hati melihat ketimpangan pembangunan yang melecehkan asas “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”; muak dengan arogansi sok tuhan yang melecehkan hakikat “ketuhanan yang mahaesa”; tekanan darah tinggi melihat kita makin abai pada “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “persatuan Indonesia”.

Namun, syukurlah, mengikuti perkembangan perhelatan Asian Games 2018 melalui postingan gambar bung Izaac Tulalessy membuat jiwa jadi adem. Optimisme membuncah. Ternyata di balik kerumitan menata administrasi negara yang masih menyisakan berjubel pekerjaan rumah bagi pemerintah, ada sisi-sisi cerah dan segar melalui prestasi-prestasi luar biasa yang dicapai oleh kontingen AG Indonesia. Capaian prestasi spektakuler ini tentu bukan kerja simsalabim namun menggambarkan komitmen, kerja keras dan persiapan yang panjang-melelahkan. Bagi beta, inilah energi positif yang sangat terasa merajut rasa Indonesia yang jamak identitas dan jamak kepentingan.

Beta membayangkan ratusan juta doa dan harapan dilafaskan bagi kemenangan tim Indonesia yang berjibaku di arena AG2018. Tuhan pun tenang karena meski banyak doa tapi permohonannya satu: Indonesia juara! Maka DIA pun (dalam iman beta) tak segan mencurahkan berkat-Nya. Ini energi positif.

Para atlit pun mempertontonkan wajah dan karakter keindonesiaan yang jamak itu, sambil merengkuhnya sebagai energi positif yang mengukuhkan semangat, solidaritas dan gebrakan-gebrakan “lawamena haulala” serta keberanian “mena-muria”. Agama disimpan dalam hati sebagai katalisator keyakinan, perbedaan budaya menjadi benang yang merajut warna-warni identitas, lelaki dan perempuan terjun bersama dalam satu arena untuk meraih prestasi maximum. Ini energi positif yang luar biasa!

Kelak, saat perhelatan AG2018 ini berakhir, ada guratan energi positif yang semestinya merambah meluas menjadi virus keindonesiaan yang mengerogoti nafsu-nafsu disintegritas nasional dan keserakahan teologis untuk menguasai Tuhan lalu menaklukkan-Nya di bawah panji-panji aneka tagar. Energi positif ini semestinya menggairahkan kita untuk menyongsong perhelatan besar berikut tahun 2019 sebagai momen persaudaraan Indonesia.

Siapa kita?
INDONESIA!

Read more ...

Sunday, August 26, 2018

Agama sebagai Masalah Nalar

Asumsi kebanyakan bahwa masalah agama adalah masalah iman (keyakinan) terhadap sosok imajiner yang dinamakan Tuhan, tampaknya makin luluh dalam wacana dan praktik masyarakat global belakangan ini. Ini bukan soal menguatnya sekularisme dan rasionalisme yang oleh Peter Berger dipercaya akan makin meminggirkan realitas keberagamaan masyarakat modern - tesis yang kemudian dibantahnya sendiri karena kecenderungan agamaisme justru kian berkobar di tengah arus deras modernitas.

Saya condong menyebutnya “agamaisme” daripada sebagai fenomena “revivalisme semangat keberagamaan” karena apa yang kini ditampilkan dalam kemasan agama-agama merupakan bingkai konstruktif agama-agama sebagai fenomena sosial-politik-budaya. Artinya, bingkai konstruktif agama-agama saat ini tidak dideterminasi oleh peziarahan spiritual yang panjang, mendalam dan kontemplatif. Namun, itu de facto lebih dibentuk sebagai serangkaian reaksi-reaksi terhadap kejamakan situasi problematik kemanusiaan glo[k]al yang menempatkan eksistensi manusia dan lingkungan semestanya pada marjin rasionalitas dan spiritualitas itu sendiri. Maka “isme” yang melekat sebagai akhiran agama merefleksikan bahwa bingkai konstruktif agama-agama saat ini tepat berada sebagai problem menalar realitas atau situasi problematik kemanusiaannya.

Lompatan-lompatan wacana yang seolah mengungkit peubah (variabel) “iman” atau “keyakinan” yang dikemas oleh bahasa “langit” keagamaan dan postur kesalehan seyogyanya dipahami sebagai kegalauan karena disabilitas menalar kompleksitas perubahan konteks glokal itu. Kegalauan itu pun bisa terlampiaskan pada banyak muara sosiologis dan psikologis yang destruktif sebagai ketidakmampuan mengolah secara nalar situasi problematik yang ada. 

Dengan menempatkan problem keberagamaan sebagai problem nalar (-isme) maka keberagamaan bukan oposisi-biner dari isme-isme lainnya. Ranah agama-agama sama sekali tidak steril dari diskursus filosofis, sosiologis, politis dan antropologis. Bahkan semestinya tepat pada jantung perdebatan ontologis, epistemologis dan aksiologis, bersama-sama dengan marxisme, eksistensialisme, dan lain-lain. Tuhan adalah konstruksi imajinatif yang kepadanya kita (manusia) menaruh seluruh kegelisahan, kegalauan hingga kemarahan kita sembari mencari keseimbangan-keseimbangan epistemik melalui pembahasaan cinta kasih, keadilan hingga surga yang permai.

Ambon, 26 Agustus 2018
Read more ...

Papeda Sondor Kuah Ikan

“Beta biasa makan papeda deng air putih panas saja. Seng biasa deng kuah ikan. Karna katong kacil-kacil hidop susah,” demikian ujarnya saat menerima tambahan satu bale papeda panas. Siang itu kami duduk satu meja makan bersama dengan beberapa teman, termasuk Ketua Klasis (Pdt Victor Lesbata) dan Sekretaris Klasis (Pdt Anes Makatita), di Desa/Jemaat Patahuwe, Taniwel, Seram Bagian Barat (SBB). Menu makan siang mengundang selera apalagi perut sudah sangat lapar. Perjalanan dengan sepedamotor selama 3 jam dari pelabuhan feri Waipirit sampai masuk tiba di Patahuwe cukup melelahkan. Tidak banyak kampung yang dilewati sepanjang jalan untuk beristirahat, selain sejenak meregang otot di Kota Piru. Selebihnya hanya melintasi hutan Seram dan dusun-dusun penduduk.

Selama makan siang itu, Timotius Akerina bercerita panjang lebar mengenai perjalanan hidupnya, rekan-rekannya yang kini banyak menjadi “orang besar” di Ambon dan daerah-daerah lain dan perjuangan meniti kariernya di dunia politik hingga kini dipercaya menjadi Wakil Bupati Kabupaten SBB, mendampingi Yasin Payapo (Bupati). Sambil menikmati papeda, dia berkisah tentang teman-teman seangkatan dulu di SMEA yang sekarang menduduki beragam posisi di banyak instansi di Ambon. “Karakter kepemimpinan dan keterampilan berorganisasi banyak beta dapatkan selama terlibat di Angkatan Muda GPM (AM-GPM). Beta ini kader AM-GPM,” kata Akerina yang pernah menjabat sebagai Ketua Daerah AM-GPM.

Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan ber-AMGPM itulah dia merasa kapasitas kepemimpinannya diasah hingga memutuskan menggeluti dunia politik. Meskipun demikian, tidak mudah jalan yang harus ditempuhnya. Oleh karena itu memang dibutuhkan mentalitas tahan banting. Dia pun menegaskan bahwa dunia politik adalah dunia kepentingan. Tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanya kepentingan. Di situ, kawan bisa jadi lawan, lawan bisa kawan. Ujian terberat adalah bagaimana mempertahankan integritas dan rasionalitas dalam menggeluti dunia politik yang sering dilihat sebagai arena pertarungan kepentingan yang mengubur integritas dan kerap irasional menurut parameter nalar publik.

Tak terasa kami nyaris melahap menu makan siang sebanyak tiga piring. Percakapan kami tersela oleh bisikan ajudannya bahwa sudah waktunya untuk melakukan pertemuan singkat dengan para raja dan muspika Taniwel sebelum bertolak kembali ke Piru. Kami bersalaman. Beta juga harus bersiap untuk masuk sesi berikut dalam Kegiatan Semiloka Pengembangan Teologi Lokal di Klasis Taniwel. Sesi Pertama dari pagi-siang dilayani oleh Timotius Akerina, Wakil Bupati SBB, dengan topik Partisipasi Politik Kewargaan dalam Konteks Kabupaten Seram Bagian Barat.

Tetaplah menjadi pemimpin yang berintegritas dan rasional kendati tampak ganjil di tengah hiruk-pikuk politik identitas dan politik uang yang makin dianggap wajar dan waras, serta tidak populer dan hambar, seperti papeda sondor kuah ikan kesukaanmu.

Patahuwe, 21 Agustus 2018
Read more ...

Monday, June 11, 2018

Peran Jemaat dalam Pilkada (Maluku) 2018

Makalah yang disampaikan dalam acara "Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Menjelang Pilkada Maluku 2018" tanggal 2 Juni 2018 di Ruang Serbaguna Gereja Silo Ambon.

Mengapa Jemaat?
Eksistensi jemaat bisa dilihat melalui dua lensa, [1] lensa teologis dan [2] lensa sosiologis-antropologis. Lensa teologis melihat jemaat secara abstrak-filosofis-teologis sebagai “persekutuan orang yang beriman (believers) kepada Tuhan”. Di dalamnya ada relasi-relasi antarindividu (persekutuan) yang diatur menurut tatanan (order) tertentu – “iman” yang dipengaruhi oleh tradisi gereja, hermeneutik (tafsir) alkitab, pengalaman batin/kepercayaan – yang ditujukan pada dan/atau bersumber dari otoritas/kekuasaan Tuhan. “Tuhan” itu sendiri sebenarnya adalah konstruksi keyakinan pada suatu kekuatan (power) yang abstrak, yang dipercaya melampaui batas-batas rasionalitas manusia tetapi sekaligus ingin dijelaskan melalui bahasa, pengalaman dan kebudayaan manusia yang terbatas (teologi).

Lensa sosiologis-antropologis melihat jemaat secara riel sebagai “komunitas” yang terdiri dari beraneka individu – dengan motivasi, pilihan, dan kepentingan yang berbeda-beda dan kompleks – dalam suatu tatanan sosial-budaya yang mengatur peran dan kepentingan bersama untuk tujuan-tujuan kehidupan yang disepakati. Jika kesepakatan atau konsensus itu dipatuhi maka relasi-relasi sosial menjadi terstruktur dan fungsional; jika tidak tercapai konsensus maka relasi-relasi sosial berpotensi menjadi konflik. Kesepakatan atau konsensus sosial itu kemudian membentuk “arena” yang di dalamnya setiap orang harus patuh pada “aturan main” (norma sosial, peraturan pemerintah, undang-undang negara dan sebagainya).

Jemaat adalah komunitas dalam masyarakat, yaitu suatu himpunan relasi-relasi sosial yang lebih kompleks dalam struktur-struktur sosial-politik-budaya-ekonomi dengan konsensus-konsensus yang lebih rumit, yang melibatkan pengakuan akan otoritas atau kekuasaan (power) manusia yang lebih besar. Salah satu sumber konflik teologis/ideologis dalam kehidupan jemaat (gereja) adalah pengakuan mana yang harus lebih diprioritaskan: kekuasaan Tuhan atau kekuasaan manusia (pemerintah). Dari situlah kemudian muncul perdebatan panjang yang dalam tradisi keilmuan teologi melahirkan paradigma “teologi politik”. Kitab-kitab dalam Alkitab memperlihatkan dengan jelas-tegas ketegangan-ketegangan teologis-ideologis antara dua kekuasaan (Tuhan dan manusia) tersebut. Jadi, politisasi agama dan agamanisasi politik sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam sejarah peradabaan, kebudayaan dan agama-agama manusia hingga kini. Pada titik itu, politisasi agama dan agamanisasi politik merupakan strategi kebudayaan manusia untuk mengakumulasi kekuasaan dengan memasukkan unsur-unsur ilahi untuk memberi legitimasi yang lebih kuat dan besar pada kekuasaannya agar dapat mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan orang atau kelompok lain. Akumulasi kekuasaan manusia itu dikonstruksikan dalam wujud relasi-relasi struktural yang bersifat legal-normatif-imajinatif, yaitu NEGARA.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah suatu proses politik yang berjalan dengan mekanisme tertentu yang disepakati melalui undang-undang negara Republik Indonesia untuk memilih pemimpin daerah (provinsi dan kabupaten). Pada periode kepemimpinan Presiden Suharto (1966-1998), tidak ada pilkada. Setiap kepala daerah setingkat gubernur ditentukan langsung oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dengan demikian, de facto dan de jure, gubernur merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta dan tidak punya kekuasaan otonom untuk memerintah daerahnya. Periode-periode selama rezim penguasa “Orde Baru” memberlakukan sentralisasi penuh kekuasaan. Persoalan-persoalan pembangunan yang terjadi umumnya seputar ketegangan kekuasaan/kepentingan antara “pusat” (Jakarta) dan “daerah” (center-periphery). Partai-partai politik yang jumlahnya banyak pada masa “Orde Lama” (172 partai) dipangkas (fusi) menjadi tiga partai: PPP, Golongan Karya (Golkar) dan PDI. Golkar menjadi mesin politik tunggal yang menggerakkan roda kekuasaan politik Orde Baru.

Ketika Suharto turun dari kursi kepresidenan tahun 1998 oleh gerakan politik mahasiswa di hampir semua daerah – yang dikenal sebagai Gerakan Reformasi 1998 – terjadi perubahan besar-besaran dalam struktur politik dan mekanisme pengaturan kekuasaan politik di Indonesia. Salah satunya yang paling fundamental adalah otonomi daerah dan sistem multi-partai (1999: 48 parpol; 2004: 24 parpol; 2009: 38 parpol; 2014: 12 parpol; 2018: 14 parpolnas dan 4 parpol lokal Aceh). Otonomi daerah memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah (gubernur dan bupati) untuk mengatur pemerintahannya sesuai dengan karakteristik historis dan budaya setempat, serta mengelola SDM dan SDA yang tersedia di daerahnya bagi pencapaian kepentingan kesejahteraan masyarakat setempat. Sekaligus pula dengannya membawa problem penyimpangan kekuasaan karena terbukanya celah-celah korupsi kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan yang keluar dari koridor normatif pengelolaan kekuasaan pemerintahan.

Sistem multi-partai pada hakikatnya merupakan kanal demokrasi bagi ekspresi dan aspirasi sosial-politik dari suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Indonesia punya pengalaman sejarah dengan sistem multi-partai (Pemilu 1955). Yang membedakan karakter politik nasional dengan pemberlakuan sistem multi-partai pasca Orde Baru adalah masa 32 tahun rezim Orde Baru telah secara efektif dan fundamental membentuk cara pandang dan cara tindak politik yang serba seragam (dari pikiran hingga pakaian) sehingga sepanjang masa itu masyarakat Indonesia tidak terbiasa dan tabu melihat perbedaan. Semua yang berbeda dari apa yang dianggap “norma” dan “kebenaran” menurut pemerintah sipil dan militer adalah haram dan ancaman. Maka ketika kran demokrasi dibuka dengan sistem multi-partai, semua ekspresi dan aspirasi massa yang selama ini terpendam pun meledak dan meluap-luap dalam wujud yang nyaris anarkhis dari apa yang kini makin mengeras dalam politik identitas. Perbedaan (etnis, bahasa, agama) diakui sekaligus menjadi “senjata ideologis” untuk menghancurkan liyan (others). Lantas, setiap individu seolah-olah hidup dalam “tempurung” ideologi politik (pencitraan figur politik) dan ghetto agamanya sendiri.

Peran Jemaat Kristen
Orang Kristen-Indonesia (OKI) memiliki identitas ganda (double identity): [1] sebagai “persekutuan orang beriman” sekaligus [2] warga negara Indonesia. Kehidupan OKI berada dalam tarik-menarik kekuasaan “iman” (pengakuan akan kekuasaan Allah) dan “politik” (pengakuan akan kekuasaan manusia/negara). Ini bukan masalah baru dalam sejarah Kristianitas dari masa ke masa hingga konteks Indonesia/Maluku. Tapi ini adalah masalah yang selalu berkembang dengan tampilan-tampilan baru sehingga selalu membutuhkan perspektif-perspektif keimanan yang baru dan kontekstual. Peran yang seyogyanya dijalankan oleh OKI adalah smart dan S.M.A.R.T. Smart yang pertama berarti cerdas dan cermat. S.M.A.R.T. yang kedua adalah:

Spirituality – Dasar iman kristiani adalah pada kekuasaan Tuhan yang menyelamatkan. Dalam sejarah Kristianitas, hal itu termanifestasi dalam makna SALIB, bahwa karya penyelamatan Allah tidak hanya mengarah vertikal (hubungan manusia-Tuhan) tetapi sekaligus horisontal (hubungan manusia-manusia). Keyakinan akan kekuasaan Tuhan harus terwujud dalam kerendahan hati untuk mengasihi sesama dalam upaya menata relasi-relasi kemanusiaan yang saling menghidupkan, bukan saling menghancurkan.

Model – Panggilan hidup kristiani sebagaimana yang terpancar dari pemberitaan karya dan hidup Kristus adalah berani tampil menjadi teladan dengan pilihan-pilihan hidup (etika, agama, ideologi politik) yang tertuju bagi upaya memanusiakan manusia. Pilihan-pilihan ini diambil dengan sengaja sehingga kata dan perbuatan menyatu menjadi karakter yang berintegritas alias tidak munafik atau plin-plan. Kristus menjadi model/teladan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya kendati itu semua beresiko tinggi (mati sebagai pesakitan di atas kayu palang - SALIB).

Achievement – Pilihan hidup kristiani didasakan pada kerendahan hati (sebagai wujud pengakuan akan kekuasaan Tuhan) sekaligus kegigihan memperjuangkan kebaikan-kebaikan bersama bagi kemanusiaan. Pilihan hidup kristiani selalu membumi (kontekstual) dan politis (terlibat dalam implementasi seni mengelola kekuasaan). Kompetisi dan kompetensi menjadi dua hal yang tak terhindarkan. Akumulasi relasional antara kompetisi dan kompetensi adalah pada prestasi gemilang yang ditandai dengan makin tertatanya kehidupan bersama yang majemuk sebagai co-existence spheres dalam entitas negara.

Responsibility – Setiap pilihan yang diambil dalam kehidupan OKI mempunyai efek ganda: tanggung jawab kepada Allah sebagai pemegang kuasa kehidupan dan tanggung jawab kepada manusia/masyarakat sebagai ruang interaktif dan rekreatif untuk mencapai kebaikan bersama. Ini tidak mudah. Justru karena sulit maka dibutuhkan komitmen untuk menempatkan tugas-tugas pelayanan kemanusiaan pada skala prioritas tertinggi. Setiap orang tidak hanya memikul tanggung jawab bagi keberlangsungan hidupnya sendiri tetapi juga bagi keberlangsung hidup bersama (komunal/sosial). Dengan demikian, etika kristiani adalah etika politik.

Trust – Kita percaya kepada Tuhan meskipun kita tidak melihat-Nya. Ini biasanya disebut iman. Kendati tidak melihat Tuhan tapi keyakinan kita kepada Tuhan itu sangat mempengaruhi dan membentuk cara pikir dan cara tindak kita, terhadap diri sendiri dan orang lain. Maka iman ini menjadi iman yang relasional (relational-faith) antara Tuhan dan sesama manusia. Pancaran dari relational-faith ini adalah pada karakter individu dan sosial bahwa saling percaya (trust) semestinya menjadi fondasi bagi berlangsungnya hidup bersama sebagai jemaat dan masyarakat yang kritis, kreatif, positif dan konstruktif.
Read more ...

Wednesday, May 30, 2018

Buka Puasa Bersama Jamaah Masjid As Salamah: Melampaui Seremonial

"Beta senang skali karena bapa pandeta bisa ada sama-sama deng katong. Su lama skali beta rindu acara bagini di kalangan katong orang-orang kacil. Bukan yang besar-besar, yang cuma diikuti oleh para elit," demikian seungkap rasa Haji Labuka, Imam Masjid As Salamah di kawasan Pohon Mangga, Air Salobar, Pulau Ambon.

Kami berbincang hangat sembari menikmati hidangan buka puasa bersama paguyuban masyarakat Pohon Mangga Air Salobar. Ada menu lontong dan sate, soto, dan penganan lokal buatan ibu-ibu di sana. Siraman hujan deras menahan kami dalam kehangatan percakapan yang panjang. Beta beruntung mendapat kesempatan ini sebagai Pembantu Rektor III UKIM yang memenuhi undangan mengikuti acara ini.

Haji Labuka menyatakan bahwa acara berbuka puasa semacam ini baru pertama kali dilakukan dengan melibatkan semua warga jamaah dari tujuh RT yang ada di kawasan tersebut. Kalau acara-acara sejenis yang mengundang para pejabat dari berbagai instansi sipil dan militer sudah sering dilakukan. Yang membedakan kali ini adalah partisipasi seluruh warga tanpa pengecualian. Pernyataan Imam Masjid As-Salamah makin ditegaskan dengan banyaknya warga jamaah yang memenuhi bagian dalam masjid. Hujan deras yang mengguyur sore itu tak membuat langkah-langkah mereka surut.

Acara buka puasa bersama ini diinisiasi oleh warga setempat yang lokasi tinggalnya berbatasan dengan komunitas Kristen Jemaat GPM Bethesda. Beberapa waktu silam sempat terjadi insiden saling lempar batu dari dua kelompok pemuda di situ. Momen buka puasa bersama ini pun hendak digunakan sebagai saat untuk merajut tali silaturahmi dan persaudaraan yang bagi warga setempat sangat dibutuhkan untuk terus mengikis kesalahpahaman-kesalahpahaman kecil yang dapat berujung pada bentrokan-bentrokan fisik berskala besar.

Paguyuban dua masyarakat ini merupakan bagian dari unsur-unsur masyarakat dalam program Polmas, yaitu pendekatan polisi dalam melaksanakan tugasnya dengan memfokuskan pada pemecahan masalah bukan semata-mata terhadap penegakan hukum namun bagaimana menyelesaikan atau mengurangi dampak masalah yang ada di masyarakat dengan cara melibatkan dan mengajak masyarakat yang peduli dengan keamanan dan ketertiban di wilayah, lingkungan dan tempat tinggal masing-masing dengan cara yang efektif dan efisien.

Terlepas dari upaya aparat kepolisian untuk menjadikan kawasan yang sempat "panas" pada masa-masa konflik Ambon silam ini sebagai kawasan yang makin kondusif, harus diakui bahwa pendekatan keamanan secara struktural-hierarkis tidak akan pernah bisa mengatasi akar-akar masalah kesenjangan relasi sosial di situ tanpa suatu keinginan dan keterbukaan untuk melakukan perjumpaan kemanusiaan.

Momen berbuka puasa bersama dengan melibatkan seluruh unsur-unsur sosial dua komunitas (Islam dan Kristen) di Air Salobar ini ternyata meninggalkan kesan mendalam tentang pentingnya pemikiran yang terbuka dan tindakan yang komunikatif untuk melampaui kecurigaan dan kesalahpahaman yang masih terasa residunya bagi dua komunitas tersebut. Momen ini menjadi perjumpaan kemanusiaan yang terasa bergerak menjauh dari dan tak lagi berada pada ranah-ranah abstraksi keagamaan yang kerap hanya menjadi slogan-slogan basi dalam khotbah-khotbah di rumah-rumah ibadah. Momen perjumpaan yang hangat, sehangat siraman kuah soto yang kami nikmati seraya bertukar cerita dan pengalaman.

Selamat menjalani ibadah puasa!
Read more ...

Saturday, May 19, 2018

Sibak Laut Biru Aru

Selama dua bulan, 34 mahasiswa Fakultas Teologi (semester ke-8) menjalani program "hidup-bersama" (live-in) di 16 masyarakat (jemaat) di wilayah Klasis GPM Aru Tengah. Beta merasa beruntung bisa menjadi bagian dari tim pembina yang ditugaskan untuk menjemput mereka kembali ke Ambon (10-14 Mei 2018). Lalu selanjutnya mereka akan menjalani program pelatihan tahap berikut di Negeri Kamal, Seram Bagian Barat.

Penerbangan dari Ambon menuju Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, memakan waktu 1,5 jam. Setelah menginap semalam di rumah pastori Sekretaris Klasis Pulau-pulau Aru, Pdt. Henkie Mussa, keesokan harinya beta dan Pdt. Sonny Romkeny bertolak menuju Benjina dengan menumpang kapalmotor yang oleh masyarakat setempat disebut "palembang". Nama yang unik namun hampir semua orang yang ditanyai mengapa dinamai itu, tak seorang pun bisa memberi jawaban pasti. Dugaan yang membayang hanyalah kemungkinan bahwa "orang palembang" yang konon merintis mengoperasikan kapalmotor jenis ini di perairan Aru. Pelayaran dengan "palembang" dari Dobo (Pulau Wamar) ke Benjina (Pulau Kobror) memakan waktu sekitar 2 jam.
Ada dua lokasi dermaga untuk merapat. "Palembang" bisa sandar pada satu bagian pantai yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai "dermaga batu", karena hanya pada satu bagian pantai yang kontur batuan alam memungkinkan untuk orang turun-naik dari/ke "palembang". Atau yang lain, "dermaga kayu" yang lebih dekat dengan wilayah perkampungan Benjina.

Sebagai suatu kawasan hasil pemekaran wilayah, Kota Dobo memang sedang menggeliat dengan berbagai bentuk pembangunan. Namun, tak bisa disangkali bahwa di balik segala hiruk-pikuk pembangunannya terselip di sana-sini kisah-kisah pilu orang-orang yang merasa terpinggirkan dan merana. Imajinasi pembangunan pun luruh jika orang tahu bahwa di kawasan yang kaya raya dengan hasil laut ini banyak sisi kehidupan yang miris dan mengenaskan namun mengendap di bawah permukaan realitas sosial dan kebudayaan masyarakat Aru. Berjubel kapal-kapal ikan dengan berbagai bendera perusahaan dan/atau negara yang berlabuh di perairan Dobo (Pulau Wamar). Namun, tentu saja jika ditelusuri tak satu pun yang dikelola oleh orang Aru.

Pernah dengar nama Benjina? Silakan anda menanyakannya kepada mbah google. Di Benjina pernah beroperasi sebuah perusahaan perikanan besar dengan nama PT Pusaka Benjina Resources (PBR). Ada kasus yang terjadi hingga membuat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menutup operasi perusahaan ini. Terlepas dari segala analisis dan pertimbangan dari menteri, tapi dampak penutupan PBR sangat dirasakan oleh masyarakat setempat yang untuk sejenak menikmati secercah harapan menggeliat bangkit dari keterpurukan ekonomi yang mereka jalani selama puluhan tahun. Apa mau dikata, kini mereka harus menelan ludah kepahitan dari morat-maritnya harapan-harapan yang sempat mereka impikan. Dari Benjina, tampak sisa-sisa kejayaan perusahaan tersebut yang membisu dengan deretan kapal-kapal ikan yang hanya berlabuh menjadi besi tua menunggu saat berkarat dan tenggelam sendiri.

Wajah Benjina dan Dobo tak simetris dengan "kemeriahan" para pemburu "harta" di laut biru Aru. Suatu kawasan yang menjadi arena perburuan mutiara klas-1 dan limpah-ruah isi perut laut Arafura. Orang-orang Aru tampaknya tak kunjung lepas dari pencitraan historis sebagai "orang-orang kalah" seperti yang pernah digambarkan oleh Roem Topatimasang dkk dalam hasil penelitian mereka tahun 1993 bertajuk "Potret Orang-Orang Kalah". Hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasi dengan judul "Orang-Orang Kalah: Kasus Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (Insist Press 2004).

Beta percaya ada banyak catatan menarik dan "panas" yang telah diguratkan oleh 34 mahasiswa dari pengalaman mereka berjibaku dengan realitas kehidupan 16 masyarakat negeri di kawasan Aru Tengah. Semoga saja mereka tidak hanya menorehkannya sebagai suatu "kewajiban" studi mereka tapi sungguh-sungguh merekamnya dengan kegelisahan akan berbagai ketimpangan yang nyata di depan biji mata.

Terima kasih untuk saudara-saudaraku Pdt. Sonny Romkeny (Ketua Klasis Aru Tengah) dan Pdt. Peter Manuputty (Sekretaris Klasis Aru Tengah), Pdt. Adolof Fariman dan Pdt. Henkie Mussa (Sekretaris Klasis Pulau-Pulau Aru), termasuk Achy Mussa yang rela meminjamkan sepedamotor matic-nya untuk berkeliling menelusuri sudut-sudut Kota Dobo, serta rekan-rekan pendeta yang telah menjadi mentor-mentor hebat bagi 34 mahasiswa Fakultas Teologi selama dua bulan mereka belajar "mengalami teologi kehidupan" orang Aru.

Catatan kecil ini sekaligus menjadi suatu penanda "demarkasi" dari karya komprehensif Patricia Spyer dengan disertasi antropologinya "The Memory of Trade: Modernity's Entanglements on an Eastern Indonesian Island" (2000) yang digarap dengan kajian arsip dan etnografi selama lebih dari 2 tahun. Suatu "demarkasi" untuk menguji tesis Spyer sekaligus mendeteksi perubahan-perubahan mutakhir di Kepulauan Aru: adakah orang Aru turut menikmati segala bentuk perubahan yang terjadi ataukah terus digulung dalam jeratan korban sejarah dan modernisasi itu sendiri?
Read more ...

Wednesday, May 16, 2018

ICRPC 2018


Terima kasih yang dalam kepada rekan-rekan panitia dan semua yang telah membantu dalam berbagai bentuk sejak persiapan awal hingga akhir pelaksanaan International Conference on Religion and Public Civilization (ICRPC), 3-5 Mei 2018 di Hotel Pacific Ambon. Pengorbanan dan kerja keras kita semata-mata bukan demi prestise kelembagaan melalui konferensi ini, namun yang terlebih fundamental adalah mengawali suatu proses membangun atmosfer akademik yang sehat untuk bertukar gagasan sekaligus mekanisme saling kritik yang menghidupkan.

Sekali lagi, ini barulah awal. Masih panjang proses yang harus dijalani bersama-sama ke depan. Tentu saja, tidak sedikit tantangan yang harus kita hadapi sebagai lecutan motivasi, koordinasi dan eksekusi agar perjumpaan-perjumpaan semacam ini makin memanas sebagai arena mematangkan kultur akademik di kalangan jejaring komunitas kampus-kampus di Maluku.

Ada sembilan pembicara utama yang diundang dalam konferensi ini. Mereka adalah Prof. Dr. Dieter Bartels (antropolog dari Arizona USA), Prof. Dr. Ruard Ganzevoort (Vrije Universiteit Amsterdam), Prof. Dr. Bernard Adeney-Risakotta (ICRS Yogyakarta), Prof. Dr. Hermien Soselisa (Universitas Pattimura), Alissa Wahid (Jaringan Nasional Gusdurian), Prof. Dr. Al Makin (UIN Sunan Kalijaga), Tri Subagya, Ph.D (Universitas Sanata Dharma), Dr. Subair (IAIN Ambon) dan Dr. John Ruhulessin (UKIM Ambon). Selama dua hari pertama para pembicara utama tersebut mengajak merefleksikan sejumlah paradigma yang perlu dipertimbangkan oleh kerja-kerja keilmuan lintas-disiplin. Butir-butir reflektif tersebut memperkaya diskusi di klas-klas parallel sessions.

Meskipun beberapa rekan dosen dari kampus-kampus di luar Maluku terkendala oleh biaya transportasi yang tak digelontorkan oleh otoritas kampus mereka atau alasan-alasan lainnya, namun semangat mereka nyata dari mengalirnya makalah-makalah mereka kepada panitia. Sebagian lain pemakalah bisa datang untuk berbagi hasil-hasil riset mereka dalam konferensi ini. Parallel sessions yang digelar sejak hari pertama menjadi ajang diskursus keilmuan dari berbagai perspektif.

Dari kampus mungil UKIM, kami memulai langkah-langkah kecil bersama dengan mimpi-mimpi besar.

Mena Muria!
Read more ...

Monday, April 16, 2018

Taniwel: Secuil Catatan Perjalanan

Kabarnya, perbaikan Jembatan Waeruhu di Negeri Galala, Pulau Ambon, menelan anggaran (APBN 2017) sebesar Rp 10,14 Milyar. Angka yang fantastis hanya untuk perbaikan satu jembatan di wilayah Pulau Ambon, tepat di bawah Jembatan Merah Putih (JMP).

Tentu bisa dibayangkan berapa milyar atau trilyun yang bisa digelontorkan untuk perbaikan sebanyak 5 jembatan beralas kayu sepanjang perjalanan dari Piru, inakota Seram Bagian Barat, menuju Kecamatan Taniwel (Barat) ~ belum terhitung berapa puluh jembatan darurat dari batang pohon kelapa di wilayah Taniwel Timur.

Kalau anda menuju Kota Piru, jangan lupa berhenti sejenak di Gapura Kota Piru yang kabarnya pembangunannya menelan anggaran sebesar Rp 5,6 Milyar. Hanya untuk gapura. Apa fungsi gapura itu? Sejauh ini cukup berfungsi untuk latar berselfie-ria dan "persembunyian" nyaman untuk kencing jika kebelet di tengah jalan. Itu saja.

Padahal setidaknya anggaran sebesar itu cukuplah untuk memperbaiki 1 atau 2 jembatan (bahkan mungkin lebih!) yang masih beralas kayu seadanya. Di Jembatan Sapalewa, salah satu yang terpanjang, perjalanan beta dengan sepedamotor terhambat karena ban depan 1 mobil avanza terperosok pada bagian jembatan yang kayunya sudah lapuk dan patah, dengan lubang yang sebenarnya mampu "menelan" setengah body mobil itu. Tidak ada cara selain menunggu semua orang yang akan melewati jembatan itu bergerak bergotongroyong mengangkat moncong mobil dan mendorongnya sedikit demi sedikit hingga ke mulut jembatan karena as roda depan kanan patah.

Tidak banyak perubahan di Kecamatan Taniwel sejak tahun 1994 beta menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Wakolo, sekitar 9 km sebelum kota kecamatan. Kecuali jalan aspal mulus dari Piru yang, uniknya, hanya sampai di "pintu masuk" Kota Kecamatan Taniwel. Masuk ke dalam "kota" Taniwel, kualitas aspal jauh berbeda (rusak) hingga terus ke bagian timur dan medan "off-road" ke kampung-kampung pegunungan (Buria, Lohia-Sapalewa, Laturake, Riring-Rumasoal, dan yang paling jauh serta terisolasi, Neniari). Jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat hanya sampai di Buria. Itupun oleh sopir-sopir yang berpengalaman. Jika tidak, risikonya fatal antara mobil tergelincir tak terkendali atau terperosok di lubang-lubang jalan air yang membelah jalan. Selanjutnya dari Buria, perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Nah, menurut sodara-sodara yang budiman, pembangunan di Maluku itu fiksi atau fiktif?
Read more ...

Thursday, February 1, 2018

The Patty


Pertama kali berjumpa ketika beta masih kuliah strata-1 tahun 1997. Waktu itu UKIM dan beberapa Gereja Maluku di Belanda menggelar konferensi bersama di bawah tajuk "Gospel and Culture". Konferensi tersebut bermaksud mengeksplorasi isu-isu kebudayaan dan agama (Kristen) dalam dua konteks yang berbeda oleh satu komunitas identitas yang "satu". Konteksnya adalah Indonesia dan Belanda yang direfleksikan oleh komunitas Maluku di Maluku (Indonesia) dan komunitas Maluku di Belanda.

Tentu saja, benturan interpretatif baik pada tataran teologis, sosiologis dan kebudayaan tak terhindarkan. Wacana konstruksi identitas politik, keagamaan dan kebudayaan pun menjadi sorotan. Ketegangan dan perdebatan memanas dalam ruang konferensi maupun dalam kelompok-kelompok kecil diskusi.

Tapi beta mengenal sosok yang tenang dan sejuk dari bung Verry Patty. Sosoknya yang tinggi besar menjulang melampaui postur rata-rata orang biasa sangat kontras dengan pembawaannya yang tenang, humoris dan selalu pandai menggunakan kiasan-kiasan yang mampu menjembatani ketegangan dan kesenjangan antarbudaya Maluku dan Belanda. Sepanjang konferensi itu bahkan ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiskusi dengan kami para mahasiswa ketimbang dengan para "tokoh" atau "pembicara" seminar.

Komunikasi pun berlanjut meskipun tidak selancar kini karena tahun-tahun akhir 1990an akses internet belum menggila seperti saat ini.

Perjumpaan yang kedua terjadi ketika beta mendapat kesempatan "bertualang" dengan dinamika studi di Belanda tahun 2003, bersama-sama dengan pak Bambang Subandrijo (sekarang adalah dosen STFT Jakarta). Hubungan yang terjalin sayup-sayup pun kembali menghangat karena bung Verry dan bung Jop Franciscus selalu rutin mengunjungi beta di Student Hospitium Amstelveen. Mereka berdua bergantian membawa beta jalan-jalan mengunjungi wijk-wijk komunitas Maluku di beberapa kota di Belanda dan mampir di beberapa keluarga Maluku hanya untuk berkenalan langsung. Tentu saja yang lebih sering adalah menginap di rumah bung Verry (Keluarga Patty-Sapuletej) di Haarlem atau rumah bung Jop (Keluarga Franciscus-Gaspersz) di Moordrecht; atau di rumah bung Ulis Tahamata (Keluarga Tahamata-Sapuletej) di Barneveld.

Waktu-waktu perjumpaan tersebut sering kami habiskan dengan diskusi-diskusi untuk berbagi perspektif "Indonesia" dan "Belanda" yang bertemu pada satu simpul identitas kontradiktif "Maluku". Bung Verry adalah salah seorang pendeta dan teolog Maluku-Belanda. Pemikirannya mewarnai hampir setiap konsep-konsep teologis, sosiologis dan antropologis yang tertuang dalam berbagai tulisan maupun makalah-makalah seminar sebagai refleksi konstruktif memaknai sejarah, identitas, eksistensi dan masa depan komunitas Maluku-Belanda.

Sulit membayangkan bagaimana bisa "survive" sebagai "orang kampung yang culun" di tengah belantara Belanda waktu itu tanpa pendampingan bung Verry dan bung Jop. Apalagi mereka punya pekerjaan masing-masing. Tapi dorongan semangat, bantuan dan antusiasme mereka terhadap beta turut menjadi pemicu adrenalin untuk cepat merampungkan penulisan tesis di Vrije Universiteit Amsterdam. Dari mereka pula beta belajar banyak menyelami realitas sejarah, sosial-politik dan kebudayaan komunitas Maluku di Belanda dari perspektif yang lebih jernih tanpa pretensi politik atau ideologis apapun kecuali keinginan untuk saling belajar menata masa depan bersama dengan lebih jujur, konstruktif dan tulus.

Tanggal 24 Januari 2018 lalu beta mendengar kabar gembira bahwa bung Verry telah mempertahankan disertasi doktoralnya di Vrije Universiteit Amsterdam berjudul "Molukse theologie in Nederland". Beta belum membacanya. Tapi beta percaya disertasi ini tidak hanya merupakan sebuah karya akademik tapi merupakan refleksi eksistensial mengenai panggilan kehidupan generasi "kolonial" KNIL dan keturunannya dalam rentangan sejarah panjang dan pergolakan sosio-budaya serta politik untuk memahami alasan mengapa dan untuk apa mereka berada di tanah asing (Belanda). Tanah yang dulu asing itu kini harus diterima sebagai bagian yang integral dan eksistensial hidup mereka di Belanda, sambil terus-menerus memperjuangkan jembatan komunikasi kebudayaan dengan saudara-saudara di Maluku. Tanah Belanda itu bahkan telah menjadi konteks kehidupan yang mesti dengan serius dimaknai dalam refleksi-refleksi keimanannya.

Sering dalam gurauan kami saling bertanya: Ambon Manise atau Belanda Manise? Pertanyaan yang tampaknya remeh namun sebenarnya menyimpan guratan-guratan pedih dan dalam dari orang-orang yang menjadi korban dari pertarungan politik global pada masa lampau, serta terperangkap dalam jaring-jaring pemaknaan kebudayaan dan identitas yang kompleks.

Gefeliciteerd bung Verry Patty, usi Agu Patty-Sapuletej and the Patty!
Read more ...

Wednesday, January 10, 2018

WH


Tahun 2010, ketika menangani program live-in mahasiswa di beberapa jemaat di Klasis Telutih (Seram Timur), beta bertemu Pdt William Hehakaya (WH). Saat itu, dia melayani Jemaat Piliana, satu-satunya jemaat di wilayah pegunungan Seram Timur. Dari Kota Kecamatan Telutih ke Piliana, orang harus naik ojek sampai di pertengahan jembatan (setengah jadi) yang akan melintasi Sungai Kawanua. Karena jembatannya belum rampung, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menyeberang sungai besar tersebut. Sampai di seberang sudah menunggu beberapa pengemudi ojek lain untuk mengantar sampai ke Negeri Saunulu dan Negeri Yaputi.
Dari Yaputi, perjalanan harus ditempuh sejauh 9 km dengan berjalan kaki melewati jalan panjang setapak melintasi hutan dan sekitar tiga sungai kecil untuk sampai di dataran tinggi Piliana. Piliana adalah negeri (desa) kecil. Tidak ada jaringan listrik dan air bersih. Hampir separuh jumlah penduduknya waktu itu menderita penyakit lepra (kusta) dan penyakit kulit kronis. Bertahun-tahun mereka tidak mendapat layanan kesehatan yang memadai. Apalagi selama masa-masa sulit konflik sosial yang melanda seantero kepulauan Maluku beberapa tahun silam. Pendekatan pelayanan WH unik. Dia membangun komunikasi budaya dengan beberapa komunitas pela-nya (diaspora) dari Negeri Seith, yang tersebar di beberapa negeri di Seram Timur. WH dari Negeri Ouw (Saparua). Komunikasi budaya pela tersebut mampu menjadi salah satu modal budaya untuk menjaga penggalan-penggalan upaya merajut perdamaian di wilayah itu, termasuk menjaga Piliana dari dampak konflik.
Dia juga menggunakan pendekatan budaya dalam pembangunan jemaat Piliana. WH tak segan menari cakalele mengikuti ajakan para tetua adat Piliana. Atau, menikmati kunyahan sirih-pinang dalam pertemuan-pertemuan adat Piliana. Bahkan dia akhirnya diangkat sebagai kapitan dengan gelar adat Pulau Seram: Latu Kayahu Ula'ay (Raja Gunung 9). Itulah yang membuatnya disegani oleh semua orang di wilayah Telutih. Bapa Ari, salah seorang tetua adat Piliana, mengatakan kepada beta, "Ontua ini su jadi katong pung kapitan besar Piliana."
Dalam percakapan dengannya selama beberapa hari di Piliana, WH menyatakan sedang intens mengupayakan pembangunan satu kompleks pemukiman khusus untuk para penderita lepra di Piliana. Dia mengatakan bahwa upaya "mengisolasi" penderita lepra tersebut perlu dilakukan pertama-tama untuk memudahkan penanganan pengobatan selanjutnya.
Selain itu, WH juga memotivasi para pemuda Piliana untuk membersihkan lokasi sekitar Air Ninivala dan membangun sejumlah fasilitas ala tempat wisata. Sebagian pemuda sempat menertawakan ajakan WH. "Air Ninivala memang indah dan sejuk. Tapi siapa yang mau berwisata ke Piliana? Tidak ada jalan mobil ke desa ini." Mungkin demikian pikir mereka geli. Tapi bukan WH kalau hanya patah-asa dengan kondisi itu.
Hampir 10 tahun WH berjuang dengan berbagai cara untuk menggolkan rencana merintis jalan baru yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Jalur yang memungkinkan bukan lagi dari Negeri Yaputi, tapi dari Negeri Hatu. Setelah mempelajari rute setapak melintasi hutan antara Hatu-Piliana (mungkin ratusan kali), WH pun yakin bahwa jalur ini layak dirintis sebagai jalur jalan baru. Dia berkoordinasi dengan instansi Pekerjaan Umum dan terus-menerus membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang dianggapnya bisa membantu merealisasikan rencana "gila" itu. Bahkan sekelas bupati pun tak terbersit gagasan untuk membangun jalan itu. Tapi WH membuktikan itu bisa terjadi.
Beta lupa kapan tepatnya. Tapi WH sempat memajang foto-foto jalan rintisan tersebut. Kini jalur Hatu-Piliana ramai dilewati para pelancong domestik yang ingin menikmati keindahan dan kesejukan Air Ninivala. Sesuatu yang dulu nyaris tak terbayangkan. Setelah itu, lama beta tidak mendengar kabar WH. Yang beta tahu WH sempat melayani sebagai pendeta lembaga pemasyarakatan (lapas) di Saumlaki (Tanimbar Selatan).
Selama beberapa tahun terakhir, beta dengar kabar bahwa WH kini melayani di Jemaat Hukuanakota (Seram Barat). Ini juga salah satu jemaat di pegunungan Pulau Seram. Belum ada jalan yang layak dilintasi untuk menuju ke sana. Kalau musim panas, WH biasa menggunakan jip pick-up Taft "off-road" miliknya untuk pergi-pulang ke Hukuanakota, terutama membawa bahan-bahan bangunan atau obat-obatan untuk jemaat. Kalau musim hujan, jalan itu berlumpur parah dan hanya bisa dilintasi dengan menggunakan sepeda motor.
Ada beberapa tulisan yang sudah beta buat sebagai refleksi terhadap geliat kegigihan WH, yang beta muat di weblog pribadi. Secara pribadi, beta harus bilang WH adalah "anomali" dalam samudra pencitraan hipokrisi kaum agamawan zaman now. Berperawakan besar dan bertato, rambut panjang dan berjambang. Jauh dari kesan "alim" atau "sok saleh" serba artifisial. Humoris dan tidak jaim. Justru itulah yang membuat beta kagum karena WH tampil apa adanya.
Kali ini beta sangat senang karena geliat kegigihan WH termuat dalam liputan "Sosok" harian KOMPAS oleh bung Pati Herin. Liputan ini bagi beta bukan semata-mata untuk menonjolkan figur-figur tangguh seperti WH tapi lebih luas memperlihatkan realitas keterpurukan hidup masyarakat Maluku yang sering ditenggelamkan oleh jargon-jargon besar tapi kosong, terutama oleh para elite pejabat di kawasan ini. Liputan ini juga menjadi titik evaluasi agar hingar-bingar pilkada Maluku tidak membutakan mata-nurani kita untuk merasakan ketimpangan-ketimpangan sosial dan ketidakadilan pembangunan dalam kenyataan lautan kemiskinan yang akut.
Salut par ale Hehakaya Kayahu!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces