Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, June 22, 2016

TEMPO dan Ahok



Saya sedang "terkagum-kagum" oleh semangat TEMPO yang begitu luar biasa, yang hingga pertengahan tahun ini telah menelorkan empat edisi investigasi seputar Ahok. Pilihan dan bingkai jurnalisme TEMPO adalah bisnis mereka. Saya hanya pembaca dan warga negara yang ingin belajar memahami situasi melalui pembingkaian berita oleh beberapa media. Biasanya, sejauh yang saya tahu, suatu isu khusus yang "aduhai" akan dikemas dalam edisi liputan khusus komplit dari a-z. Tapi soal yang ini sampai empat edisi dengan jarak waktu terbit berdekatan.

Apakah ini efek "semua karena Ahok" seperti tayangan Mata Najwa on-stage beberapa hari lalu? Padahal ada liputan "aduhai" lain seperti goyangan ratusan "orang Indonesia" yang terekam dalam Panama Papers. Namun isu itu seperti tak berbunyi. Apalagi setelah "pukulan balik" Jenderal LBP terhadap pemberitaan "Ada Luhut di Panama Papers". Padahal TEMPO adalah majalah investigasi satu-satunya dari Indonesia yang terlibat dalam penyelisikan jurnalisme Panama Papers, bersama dengan media-media lain luar negeri.

Saya bukan "Ahokers", "Teman Ahok", apalagi saudaranya Ahok. Saya juga bukan warga DKI yang bisa bilang "KTP gue buat Ahok". Demikian pula sebaliknya: saya bukan pembenci (hater) Ahok. Alim ulama agama yang saya anut selalu mengumbar titah haram membenci sesama manusia, malah "kasihilah musuhmu". Saya orang-Indonesia-bukan-Jakarta yang hanya tergerak oleh tafsir-curiga (hermeneutic of suspicion). Apakah liputan semacam ini adalah sebentuk kemasan cita-cita moral "tertentu", yang oleh Nietzsche disebut moral budak ~ bahwa di balik penampilan luarnya yang "baik-baik", moral budak diliputi oleh dendam (ressentiment)?

*Ada Apa Dengan TEMPO?*
*Dengan Apa TEMPO Ada?*
Read more ...

Mudik

Jakarta adalah ibukota negara Indonesia tapi bukan Indonesia itu sendiri.
Masalah Jakarta adalah bagian dari masalah Indonesia tapi bukan satu-satunya masalah Indonesia. Urusan Ahok jungkir balik menangani Jakarta itu tugas dia sebagai gubernur Jakarta, tidak perlu overdosis memuja atau menghujatnya karena dia bukan gubernurnya gubernur se-Indonesia.

Masalah korupsi bukan perkara Jakarta thok. Sebab korupsi sudah membudaya nasional dan juga dihidupi sebagai tradisi lokal sejak Nusantara masih kerajaan-kerajaan hingga jadi negara-bangsa res-publica.

Kekerasan fisik dan kekerasan simbolik merambah dimana-mana sebagai kewajaran dan kewarasan menjaga dan berebut kuasa. Soal berebut harta dan kuasa bukan soal "pusat-pinggiran" tapi hasrat dan syahwat sosial. Agama-agama pun bergoyang genit di panggung-panggung kontrak politik dan transaksi bisnis.

Penggusuran komunitas lokal sudah jadi narasi populis dimana-mana yang menorehkan hidup rakyat sebagai potret orang-orang kalah dari barat Sumatra, utara Kalimantan, selatan Jawa dan timur Papua, bahkan delapan penjuru mata-angin. Meski tetap senyap di kejauhan liputan media dan ditelikung lika-liku birokrasi basi.

Menjadikan Jakarta semata-mata sebagai "barometer" Indonesia hanyalah upaya membelalakkan mata sambil mengenakan kacamata kuda. Sama naifnya dengan beriman bahwa tuhan hanya memberkati orang (yang tinggal di) Jakarta lantas menjual sepetak sawah tersisa, tanah di kampung, bahkan harga diri, demi bermimpi tentang sukses bergelimang harta dan kuasa di Jakarta.

Lantas kampung berubah pesona dari kampung halaman menjadi "kampung salaman" yang hanya riuh saat kawanan pahlawan Jakarta menyerbunya sebagai nostalgia tanpa akar pada tanah-tanah yang makin disesaki mal dan swalayan. Pasar dan pebisnisnya berjingkrak girang-riang karena harga bahan dan tiket pesawat, kereta api, kapal laut, melonjak-lonjak tak terbendung.

Semua demi "kampung salaman". Toh, setidaknya masih tersisa remah-remah cerita: mal itu berdiri di atas tanah milik bapakku, dulu. Atau mendongeng kepada anak-anak bahwa dulu, di atas tanah itu, bapakmu bermain layang-layang sepulang sekolah. Lalu anak-anakmu hanya melirik dan tersenyum kecil sambil melanjutkan keasyikan bercengkerama bersama "mahluk kecil" nan pintar membodohi, bernama smartphone dan gadget.

*Selamat mudik... Hati-hati di jalan ~ 22062016*
Read more ...

Saturday, June 18, 2016

Rudi Fofid dan Mantra Sastra

Kesuksesan hidup itu relatif. Setiap orang punya sudut pandang dan cara yang berbeda-beda dalam memaknai dan menjalani hidup yang dipercayai sebagai puncak kesuksesan. Jika kesuksesan dianggap sebagai pencapaian suatu tahap prestasi, maka titik beratnya bukan pada “ujung” yang telah dicapai tetapi pada prosesnya. Dengan demikian, hanya orang yang mampu bertahan dalam proses alias konsisten dengan prinsip visioner hidupnya yang mampu memperlihatkan makna kesuksesan dan/atau prestasi.

Tepat pada titik itulah kesuksesan dan/atau prestasi mempunyai implikasi ganda: pertama, menandai suatu capaian dari konsistensi dalam proses yang telah dilampaui; kedua, memicu kesadaran sejati bahwa capaian itu hanyalah terminal sementara dari perjalanan lanjutan yang masih panjang. Jika yang pertama membuahkan perspektif evaluasi, maka yang kedua menumbuhkan visi. Keduanya menjadi elan vital hanya melalui kesetiaan pada proses atau konsistensi dalam dinamika konteks.

Catatan awal tersebut menjadi landasan perspektif saya dalam menyambut hangat Maarif Award 2016 yang diterima oleh bung Rudi Fofid. Prinsip yang sama pernah saya torehkan dalam apresiasi sejenis terhadap Pdt. Jacky Manuputty yang menerima penghargaan serupa tahun 2007. Pengenalan saya terhadap dua orang Maluku penerima Maarif Award lebih banyak dihidupi oleh visi dan konsistensi mereka dalam membangun kesadaran publik Maluku maupun Indonesia terhadap modal sosial dan modal budaya masyarakat dalam mengelola kearifan lokal sendiri vis-à-vis tantangan perubahan sosial-budaya yang menggerus keunikannya. Dalam tantangan itu, mereka menjadi ‘pemantik’ kesadaran yang secara bertahap memperkuat tindakan budaya bersama yang konstruktif.

Mengikuti sepak-terjang Rudi Fofid (selanjutnya: RF) selama ini membawa saya pada keyakinan bahwa sulit untuk mengurungnya pada satu kategori. RF adalah seorang jurnalis senior dengan spektrum keprihatinan yang meluas dan melebar ke segala penjuru isu: sosial-budaya, kritik pembangunan, sepakbola, musik, dan susastra. Pengalaman panjang malang-melintang di dunia jurnalisme telah mengasah kepekaannya untuk merasai setiap anomali meski subtil dan nyaris tak terbaca oleh mata publik umumnya. Kepekaan semacam itulah yang membuat dunia literasi yang digelutinya menjadi hidup dan memesona, meski tak jarang mengguratkan miris atas fakta yang dibeberkannya.

Terutama pasca-konflik Maluku, sosok dan kiprah RF tidak dapat begitu saja dikikis dari gelora kesenian dan susastra di Maluku. Kehadirannya mewarnai setiap perhelatan seni dan susastra Maluku setelah bertahun-tahun lamanya terpuruk dan tak dilirik publik. Lebih mengagumkan, geliat seni dan susastra yang digelutinya begitu kuat menebar pesona dan “menyihir” kaum muda Maluku dari dua kelompok agama yang sempat bertikai hebat. RF bak penyihir yang dari waktu ke waktu mengumbar mantra sastra yang menghipnotis kaum muda Maluku untuk melihat pesona susastra yang terpendam. Mantra sastra RF mampu membangkitkan energi kebudayaan yang terbenam di tengah hiruk-pikuk pertengkaran yang menegaskan perbedaan ketimbang solidaritas; mengusik kepekaan literasi kaum muda Maluku untuk menemukan diksi-diksi persaudaraan yang menolak elitisme dan eufemisme; mengukir syair-syair dari realitas kaum muda di jalanan dan trotoar, dengan media tanah dan angin, bukan di gedung-gedung bertabur aroma wangi dengan penyejuk yang membuat masuk angin; merangsang libido susastra kaum muda melalui gerakan-gerakan kebudayaan yang cerdas karena mengasah kata menjadi “senjata” yang lebih tajam daripada parang, hingga gerakan-gerakan advokasi lingkungan hidup dan solidaritas sosial. Dengan susastra dan syair-syair sajaknya, RF mencungkil tanah kebencian yang selama beberapa waktu mengotori apresiasi kebudayaan Maluku dan memolesnya menjadi tanah perdamaian tempat berpijak manusia bijak.

Banyak teman saya yang mengalami titik balik luar biasa dalam hidupnya karena mantra sastra RF. Bahkan kini mereka mengganas di panggung-panggung susastra membakar publik dengan hentakan-hentakan syair-syair sajak bernas. Ada energi kebudayaan yang sedang bangkit di kalangan kaum muda Maluku yang menjadi saluran kecerdasan emosional dan spiritual mereka. Di situ peran RF sulit ditepis.

Tentu saja, RF bukanlah pemain tunggal di atas panggung kebudayaan dan susastra Maluku. Dia hanyalah salah satu di antara sekian banyak seniman yang bertebaran kompetensi di tanah Maluku ini. Di titik itu, jika RF menerima award atas konsistensinya dalam proses yang dibangun dan dijalaninya, maka penghargaan itu seyogyanya menjadi acuan visioner yang meretas jalan panjang berkebudayaan di Maluku bersama-sama dengan yang lain. Dengan demikian, capaian ini hanyalah satu etape untuk menggulati kemungkinan-kemungkinan selanjutnya mengelola modal sosial dan modal budaya masyarakat Maluku.

Jika tahapan evaluasi tidak menggairahkan daya visioner maka award ini dapat menjadi pijakan licin yang membuat penerimanya tergelincir pada kepongahan kultus individu dan pseudo-heroisme. Saya yakin RF paham bahwa award ini bukanlah tepukan tangan para penonton film-film holywood yang selalu mengharapkan jagoannya menang pada momentum happy-ending. Lebih substansial, award ini adalah lecutan cawaning rotan yang membuat lari terbirit-birit pedis menggurat di betis, dengan suatu pelangkauan kesadaran dan praksis untuk membenahi segala yang kurang – entah pada diri sendiri, komunitas, atau masyarakat.

Selamat bung Rudi Fofid!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces