Aku menulis maka aku belajar

Saturday, November 10, 2018

Sindrom Anak Emas

Istilah tersebut sudah sejak era 1990-an dimunculkan oleh John Titaley, Guru Besar Sosiologi Agama (dulu UKSW sekarang UKIM), untuk memperlihatkan tendensi sosiologis dan politis yang selalu berada pada ketegangan tarik-ulur antara identitas nasional dan identitas primordial dalam proses "menjadi Indonesia". Terbingkai oleh perspektif Durkheimian, Titaley masih kukuh pada tesis bahwa Indonesia sejak 1945 adalah fenomena entitas politik baru yang terbuka bagi kesetaraan setiap warga negaranya untuk mengekspresikan matra-matra religiositas dan etnisitas nusantara dalam rajutan semangat "menjadi Indonesia" yang sangat majemuk.

Mulanya istilah itu dipakai sebagai kritik Titaley terhadap corak Kekristenan Indonesia pasca-1945 yang tampaknya masih kuat berkutat dalam kubangan nostalgia kolonial sehingga mengabaikan realitas keindonesiaan sebagai konteks sosio-politis baru yang dihidupinya sejak kesepakatan menjadi Indonesia itu. Padahal nostalgia semacam itu sebenarnya memperlihatkan gejala "kejiwaan" yang tidak sehat atau tidak kontekstual, yang disebutnya sebagai "sindrom anak emas".

Secara sosiologis dan politis, istilah itu mengalami perluasan makna yang menunjuk pada kecenderungan psiko-sosial dari orang atau kelompok orang yang merasa diri besar secara kuantitatif lantas selalu merasa harus diistimewakan, dimanja, dan difasilitasi. Sindrom ini berimplikasi pada pemikiran dan tingkah-polah yang lembek dan cengeng karena selalu merasa diri benar dan lebih utama dibandingkan liyan. Sindrom ini juga menyebabkan amnesia historis bahwa dasar dari berdirinya masyarakat Indonesia ini adalah pada kesepakatan sosial-politik untuk hidup bersama dengan seluruh perbedaan yang menggelayuti identitas masing-masing.

Dalam pertemuan agamawan dan budayawan yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI beberapa hari lalu, istilah itu kembali disebutkan oleh John Titaley. Namun, secara kritis pula, sebagaimana dipertanyakan oleh Omar Faturahman dalam rubrik opini KOMPAS, "Lalu Apa?". Pertanyaan itu bisa dibaca sebagai kontemplasi politik untuk melangkaui sindrom itu yang rupanya belakangan ini kian menjadi jaringan "kanker kronis" yang menggerogoti semangat dan geliat keindonesiaan kita, termasuk kontemplasi "untuk apa kita memperingati hari pahlawan?".

Read more ...

Thursday, November 8, 2018

Pengukuhan Guru Besar Al Makin - UIN Sunan Kalijaga


Pengelolaan lembaga pendidikan tinggi di negeri ini rumit dan sarat tahapan serta persyaratan yang berbelit. Regulasi nasional di bidang pendidikan tinggi berubah, bertambah dan penuh tikungan yang kerap membuat banyak tenaga pendidik tergelincir. Tak jarang harus "turun mesin" alias stagnan. Salah satu tikungan itu adalah produksi publikasi berbasis penelitian yang mesti memenuhi perpindahan "persneling" secara kreatif pada tiga "gigi" tridharma perguruan tinggi.

Standar "high-class university" terus diuber dengan menggeber akselerasi pembenahan prosedur penjenjangan akademik. Ditambah dengan mimpi mengubah paradigma "teaching university" menjadi "research university". Lantas, melepas peluru-peluru publikasi ke jurnal-jurnal bereputasi, terakreditasi bahkan terindeks. Tidak semua peluru mengenai sasaran. Kurang meneliti? Mungkin ya, mungkin tidak. Kurang gairah publikasi? Mungkin tidak, mungkin ya. Masalah inti diduga adalah standar tinggi yang dipasang dan hanya bisa digenjot oleh kampus-kampus berumur panjang dan mapan, dengan akses ke sumber-sumber dana dan daya yang mumpuni. Bagi kampus-kampus minor dan swasta, perlu infus energi dan konsistensi mengejar mimpi itu.

Seabreg hasil penelitian menumpuk. Mengapa tidak dipublikasi di jurnal-jurnal internasional? Harus berbahasa Inggris. Bukankah bisa pakai jasa penerjemah bersertifikat atau kolega "native speaker"? Harus sedia dana. Belum lagi beban mengajar yang menyita waktu dan menguras energi para dosen (yang seharusnya juga meneliti dan publikasi hasil penelitiannya). Tak kurang tenaga pendidik (dosen) jebolan kampus-kampus top markotop di Amrik dan Eropa yang berkiprah di kampus-kampus Indonesia. Tapi tak cukup geliat dan gigih menerapkan model pembelajaran dari kampus-kampus luar negeri itu di kampus-kampus sendiri. Hanya pulang berbekal ijazah, foto dan cerita kuliah di luar negeri, tapi lagi-lagi stagnan dalam menggugah geliat penelitian pada dan bersama mahasiswa di negeri sendiri. Kritik keilmuan pun dibungkam oleh perburuan jabatan-jabatan struktural di kampus-kampus sendiri.

Pencapaian Al Makin ini, di antara kolega-kolega profesor muda lainnya di bidang humaniora, tentu menjadi pemicu dan pemacu untuk menantang arus regulasi pendidikan tinggi yang cukup deras untuk menghempaskan diri pada kevakuman dan rutinitas birokrasi akademik belaka. Kepiawaiannya mengelola Jurnal Al-Jamiah hingga ke tingkat pengakuan internasional, bagi beta, adalah konsistensinya untuk mengembangkan strategi mengatasi gempuran regulasi yang ketat di negeri ini. Masih teringat pesannya ketika bertandang ke Ambon: "Pengelolaan jurnal sebagai strategi pengembangan akreditasi institusi dan kapasitas dosen tidak bisa tambal-sulam. Harus ada yang nongkrongin. Kalau tidak, ya tidak pernah jadi."

Mubaarok Prof. Al Makin!
Read more ...

Tuesday, November 6, 2018

MPP AMGPM Ke-31


Musyawarah Pimpinan Paripurna Angkatan Muda GPM Ke-31 tahun 2018 berlangsung di Latdalam, desa/jemaat terujung di pesisir barat Pulau Yamdena, Tanimbar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tahun lalu (2017) di Wooi, Pulau Obi, Maluku Utara. Ini adalah agenda tahunan Pengurus Besar AM-GPM untuk mengevaluasi program kerja setahun, melakukan pemetaan masalah di 34 daerah pelayanannya, dan rencana strategis mengatasi isu-isu problematiknya.

Fokus studi dan agenda program kali ini adalah pada megaproyek nasional Blok Masela dengan seluruh derivasi dampaknya pada berbagai bidang kehidupan masyarakat Tanimbar. Salah satu isu terberat adalah cara menghadapi para kabir serakah yang sama sekali tak menggubris efek destruktif megaproyek itu terhadap keberlanjutan daya hidup masyarakat dan hanya berkacamata kuda "investasi/pembangunan".

Di balik segala formalitasnya, momen ini juga menjadi momen perjumpaan dan pembelajaran dari rekan-rekan pemuda yang bergelut dengan situasi problematik di daerah pelayanan mereka. Beta belajar banyak dari mereka.

Terima kasih Rynchard Tupan untuk semangat, idealisme dan kegigihan yang terus ditularkan selama MPP AMGPM Ke-31 di Latdalam dan Saumlaki, Tanimbar Selatan.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces