Aku menulis maka aku belajar

Thursday, August 12, 2021

Buku: When Jesus came to Harvard (Harvey Cox)


Sejarah dan dinamika setiap universitas di seluruh dunia selalu ditandai oleh dialektika antara kejumudan ilmiah dan interpretasi etika praksis keilmuan. Kejumudan ilmiah melatih cara berpikir metodik dalam prosedur yang disiplin secara ketat agar darinya ilmu pengetahuan yang diproduksi terukur valid dan objektif secara epistemologis. Di sebelah lain, interpretasi etika praksis keilmuan menguji seluruh bangunan epistemik ilmu pengetahuan itu agar tetap mengawal nilai-nilai etis yang setia pada hakikat eksistensial manusia dan kemanusiaannya. Itulah yang menjadikan suatu universitas menjadi poros ontologis-epistemologis-aksiologis yang bergerak spiral dalam meninjau realitas kompleks yang dihidupi oleh alam semesta (universe). Semuanya terhubung bukan sebagai mesin produksi atau bengkel yang hanya memproduksi teknologi. Namun bersamanya, ada kepatutan-kepatutan (virtues) etika dan moralitas sehingga teknologi itu tidak terperangkap menjadi media dehumanisasi (homo homini lupus). 

Pergulatan tiga poros itulah yang tercermin dalam buku ini, sebagai catatan reflektif Harvey Cox, seorang filsuf etik Protestan, ketika dia diminta untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di Universitas Harvard. Kendati dalam sejarahnya universitas ini didirikan oleh kelompok Puritan yang cukup fanatik, tapi seiring perjalanan waktu nilai-nilai etika keagamaan (Protestan) kian tergusur di pojok kampus ini. Malah, Rektor James B. Conant (1933-1953, Rektor ke-23) menghapusnya sama sekali. Mungkin sejak itulah Universitas Harvard tampil di atas panggung sejarah keilmuan dunia dengan secara murni menggarap kerja-kerja penelitian dan melahirkan temuan-temuan saintifik yang membuatnya sebagai kampus ternama dunia hingga kini. 

Bagi Cox, undangan untuk menyajikan matakuliah “Jesus and the Moral Life” di kampus ini adalah sesuatu yang mengejutkan setelah kata "Jesus" menghilang dari diskursus di kampus ini selama 70 tahun (terakhir oleh Prof. George Santayana yang hengkang dari Harvard tahun 1912). Dia mengira bahwa untuk kampus sekaliber Harvard, matakuliah ini mungkin hanya dianggap sebagai diskusi usang. Namun, animo yang besar dari mahasiswa dan civitas akademika Harvard untuk mengikuti matakuliah ini mengubah keterkejutannya menjadi suatu kesadaran bahwa ada ruang epistemik dan eksperisial yang kosong di antara hiruk-pikuk diskursus keilmuan yang selama ratusan tahun telah terbangun di Harvard. Ruang epistemik dan eksperiensial itu penuh sesak dengan pertanyaan etis yang selama ini dibiarkan senyap dan menguap di antara temuan-temuan keilmuan dan teknologi yang membara secara global. 

Buku ini adalah eksplorasi filsafat etis Harvey Cox dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan ilmiah mengenai: Apa pentingnya suatu universitas menyajikan matakuliah etika? Seberapa besar etika mengimbangi geliat temuan teknologis sehingga manusia tetap menjadi “existential being” dan tidak terperosok menjadi sekadar “instrumental being”? Pada pijakan ontologis seperti apa, nilai-nilai etik (yang dalam hal ini bersumber pada Protestanisme) mampu membentuk karakter akademisi yang bergulat dengan dinamika keilmuannya sambil menyadari interkoneksitas temuannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga implikasi temuannya terarah pada konstruksi peradaban yang menghidupkan, bukan menghancurkan? Sejumput pertanyaan-pertanyaan inilah yang digumuli dan dielaborasi oleh Cox dalam buku lawas dengan judul yang agak genit ini: When Jesus came to Harvard (2004).
Read more ...

Buku: Pandemics, Politics and Society



Perpanjangan masa PPKM makin terang-benderang memperlihatkan bahwa pandemi ini bukan lagi soal virus yang menggempur pertahanan tubuh biologis. Ia pula telah mengguncang dan merontokkan sebagian besar benteng sosial-budaya manusia. Bahkan menyodorkan wajah brutal politik tanpa etika pada borok-borok kesenjangan miskin-kaya. "Political disasters often attend or follow natural disasters" (Turner). New normal? New common? Apakah masih teridentifikasi seiring perjalanan waktu jelang dua tahun ini? 

Atau, seperti kegundahan retoris Bryan S. Turner "Will there be a post-Covid-19 era?" dalam tulisannya pada buku ini. Jika kegundahan akan masa depan kehidupan berhadapan dengan bencana telah mendorong agama-agama monoteistik membangun "theodicy", Turner mengajukan bentuk sekulernya yang disebut "sociodicy" ~ But meaning systems change and the wrath of God of traditional theodicies is replaced, if only partly, by a sociology of catastrophe, with an implicit or explicit moral message that describe, for example, the indifference and unethical behaviour of political leaders and their elites.


Read more ...

Friday, July 9, 2021

Prokes Orkes

Belum seminggu berselang sepenggal wilayah jagad maya hingar-bingar dengan cercaan dan umpatan kepada seorang pendongeng kuliner dalam satu program podcast. Apa pasal? Ia dianggap melecehkan masakan khas suatu komunitas lokal di kepulauan Indonesia Timur. Ujaran dan bahasa tubuhnya ditafsir sebagai bentuk penghinaan terhadap harga diri orang Tanimbar Kei, komunitas yang pernah menerimanya dengan keramahan jamuan makan “ikan kuah kuning”. Derasnya hujan gugatan kepadanya menekuk lututnya untuk meminta maaf secara terbuka atas apa yang sempat terlontar dari mulutnya. Sengaja atau tidak sengaja ia melontarkan pernyataannya, hanya ia yang tahu. Tulus atau terpaksa meminta maaf, ia toh sudah memutuskan melakukannya. 

Hampir dua tahun penuh kita telah menjalani hidup dengan kondisi serba terbatas, hujan informasi di medsos yang tak terbendung oleh nalar kebenaran atau kepalsuan, tekanan ekonomi dalam keluarga karena kuatnya tuntutan yang harus dipenuhi sepanjang masa krisis pandemi, seliweran kabar duka yang memberondong linimasa medsos nyaris tanpa jeda, dan kegundahan terhadap rapuhnya kesehatan justru di tempat-tempat harapan terjadinya kesembuhan oleh para tabib farmasi. Seluruh realitas pahit itu menyesaki rongga-rongga kehidupan dan membuat helaan nafas kita makin berat apalagi di tengah krisis tabung oksigen yang konon harganya meroket tinggi. 

Belum lagi turun tensi emosi kita dengan peristiwa “ikan kuah kuning”, nalar kita kembali dibombardir oleh dua tayangan paradoks. Yang satu memperlihatkan ketegasan petugas pemerintah dalam menertibkan mama-mama papalele ikan karena tidak memiliki surat vaksin. Tidak ada negosiasi. Ujungnya adalah “hukuman” karena mama-mama papalele itu dianggap tidak taat prokes. Petugas pemerintah dengan gagah menyuruh mereka berdiri dan menyanyikan salah satu lagu Sekolah Minggu. Mama-mama papalele pun dengan patuh menjalani “hukuman” itu demi berlanjutnya kehidupan mereka di hari itu jika ikan-ikan mereka terjual. Soal harga diri? Ah, mungkin lebih baik menguburnya ketimbang ikan-ikan mereka jatuh harga karena membusuk. 

Selang beberapa jam saja, linimasa medsos kembali dihujani komentar terhadap tayangan sejumlah pejabat pemerintah yang konon usai syukuran dan berjoget ceria di salah satu kedai kopi. Salahkah orang berjoget dan bersenang-senang? Tentu tidak salah tapi tidak pas. Mereka berjoget mengikuti orkes tanpa patuh pada prokes. Mereka menganggapnya tidak salah. Hanya saja mengguratkan keperihan karena jogat-joget itu berlangsung di tengah-tengah keprihatinan mendalam bangsa ini – sekali lagi, bangsa ini – didera oleh merebaknya rakyat yang sakit, yang tumbang hari demi hari entah karena tak tertangani oleh rumahsakit yang penuh, atau karena menurunnya imun akibat kurang nutrisi. 

Tiga tayangan video tremor tersebut tidak perlu menggiring opini kita pada soal benar atau salah. Dalam situasi serba kalut ini apalagi yang bisa dikatakan sebagai kebenaran dan kepalsuan, jika batas keduanya kian melebur dalam hiper-realitas? Namun toh di tengah kegalauan pandemi ini kita sebagai warga bangsa, termasuk warga kota ini, tidak boleh kehilangan kepekaan untuk tetap menyusun fragmen-fragmen solidaritas sosial agar kehidupan bersama tetap terkawal dengan selamat. Fondasi terpenting dari solidaritas sosial tersebut pada hakikatnya adalah etika sosial. Etika sosial sebagai kemampuan untuk merasai denyut-denyut nadi kemiskinan dan penderitaan karena makin tergerusnya nilai kemanusiaan sebagai manusia atau subjek, hanya menjadi sekadar materi atau objek. Etika sosial yang saat-saat ini kian pejal dari cinta kasih karena luruhnya relasi intersubjektif, lantas mengendap menjadi lapisan lumpur sejarah marjinalisasi kaum bau tengik yang melata dengan mulut menganga berharap rizki Tuhan setiap hari. 

Di jalanan, para petugas mencipta orkes mama-mama papalele karena mereka tidak patuh prokes. Di kedai kopi, para petinggi yang menyuruh petugas itu, bergoyang mengikuti irama orkes tanpa perlu patuh pada prokes. Dunia kita memang sedang diguncang orkestrasi pandemi tanpa “coda”. Tapi kita manusia punya nalar dan rasa untuk tetap menata harmoni dalam orkestrasi pandemi ini. Satu demi satu sahabat dan kerabat kita tumbang berjatuhan tanpa sempat membiarkan airmata kita menetes karena hanya menatap di kejauhan pusara tak bernisan. Ada yang pergi bahkan dalam iringan doa yang tidak mencapai “Amin”, atau dengan suara parau melagukan ritme-ritme religi yang tidak bergigi karena meranggas oleh kecemasan akan kematian. 

Prokes adalah aturan untuk menjaga kehidupan, tapi bukan orkes jalanan main-main untuk jadi guyonan. Irama orkes memang asyik membuat badan bergoyang dan menyegarkan jiwa yang terlindas kekalutan, tapi bukan untuk melangkahi ketentuan prokes. Pejabat atau rakyat, dalam keprihatinan bersama sejagad ini, semua rapuh. Di saat-saat genting ini, panggilan bersama kita hanyalah merawat kehidupan bersama. Maka semua memerlukan etika sosial, etika kehidupan untuk menjaga keselamatan bersama. Ale deng beta. Katong samua. Hiduplah dengan beretika. Itu saja.
Read more ...

Saturday, June 19, 2021

The Soccer Tribe


Euforia dukung-mendukung para penggemar sepakbola selama perhelatan kompetisi semacam Piala Dunia atau Piala Eropa adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi di banyak tempat. Di Indonesia, para pendukung kesebelasan favorit atau timnas suatu negara bahkan membentuk klub-klub penggemar (fans). Sebut saja “Aremania” di Malang, “Bonek” di Surabaya, “Bobotoh” di Bandung, “JakMania” di Jakarta dan sejenisnya di kota-kota lain. Fanatisme para pendukung kesebelasan kota/daerah tampak dari berbagai kreativitas yang mereka ciptakan untuk memperlihatkan kadar kecintaan mereka, mulai dari kostum hingga yel-yel saat menonton kesebelasan favorit mereka berlaga. Di sisi lain, ekspresi dukungan kepada klub-klub sepakbola mancanegara dan/atau timnas negara lain tidak seheboh yang dilakukan para pendukung klub sepakbola kota-kota seperti yang disebutkan tadi. Aktivitas mereka kebanyakan terpusat hanya pada momen-momen perhelatan laga sepakbola mancanegara (Piala Dunia, Piala Eropa, Copa America), seperti nobar (nonton bareng).

Para pendukung atau penggemar sepakbola di Kota Ambon memperlihatkan fenomena yang unik. Sudah lama ajang kompetisi sepakbola di Maluku/Ambon vakum. Entah apa faktor utama penyebabnya. Sejauh ingatan beta, hingga awal 1990-an masih terdengar aktivitas sepakbola lokal yang tergabung dalam Persatuan Sepakbola Ambon (PSA) dan sejumlah klub-klub sepakbola lokal. Namun, pada awal 2000-an tidak lagi terdengar ajang kompetisi liga sepakbola Ambon yang mampu menggedor semangat dukungan atau fanatisme pada klub-klub lokal. Kendati demikian, beberapa desa (seperti Tulehu) masih konsisten menggelar pertandingan klub-klub lokal antardesa meskipun gaungnya sayup-sayup. Bisa jadi, kondisi itu pula yang membuat gerah para pesepakbola lokal berada di Ambon, lalu memutuskan hengkang untuk berkelana di klub-klub papan atas/tengah berbagai kota di Pulau Jawa. Ada pula yang berhasil lolos seleksi bergabung dengan timnas Indonesia.

Dengan kenyataan itu, maka eforia para pendukung/penggemar sepakbola di Kota Ambon yang diperlihatkan melalui berbagai ekspresi yang extraordinary, seperti pemasangan profile picture secara massif di medsos dengan menggunakan kostum timnas Belanda, pengibaran bendera Belanda di pohon atau tiang di banyak kampung, dan konvoi massal saat timnas Belanda unggul, menjadi suatu pemandangan yang ganjil. Ekspresi sejenis tidak diperlihatkan pada klub-klub lokal atau nasional, meskipun terdapat pemain asal Maluku di situ. Eforia massif itu juga pada kenyataannya tidak berdampak pada kanalisasi dukungan yang memotivasi pemerintah kota, pemerintah provinsi atau pemangku kepentingan lainnya untuk menghidupkan kembali kompetisi liga sepakbola Maluku yang didesain untuk merekrut potensi-potensi muda pesepakbola lokal, mendesain skenario pembinaan sepakbola Maluku, merancang dan mengeksekusi pertandingan-pertandingan sepakbola antarklub lokal sebagai strategi pembentukan kapasitas pesepakbola muda Maluku. Terlebih penting, energi para penggemar sepakbola itu mampu ditransformasi menjadi financial support yang mendongkrak perekonomian lokal melalui kreasi merchandise dan lain-lain.

Mengapa fanatisme para penikmat sepakbola di Ambon begitu kuat mengarah pada kesebelasan nasional Belanda? Ini sebenarnya pertanyaan klasik, yang telah ditanggapi dengan berbagai jawaban. Tulisan Hermien Soselisa dan Wellem Sihasale bertajuk “Orang Ambon, Nasionalisme dan Piala Dunia: Kajian tentang Karakter Budaya dan Pemosisian Orang Ambon dalam Ruang Nasional dan Global” dalam Tim Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Menelusuri Identitas Kemalukuan (Yogyakarta: Kanisius, 2019) menyajikan ulasan analitis menarik. Menurut Soselisa dan Sihasale, fanatisme berlebihan pada timnas Belanda dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu (1) Sejarah panjang hubungan orang Ambon dengan kolonialisasi Belanda yang membentuk pola relasi menyeluruh (akulturasi dan asimilasi); (2) Peristiwa migrasi sekitar 12.500 orang Maluku ke Belanda pada tahun 1951, yang hingga kini telah berada pada lapisan generasi keempat dan masih menjalin relasi dengan kerabat mereka di kampung-kampung; (3) Terbentuk asosiasi dengan tim Belanda karena komunitas Maluku di Belanda sebagian besar adalah pendukung tim Belanda, yang makin kuat ketika ada sejumlah pemain tim Belanda yang mempunyai salah satu orangtua (ayah/ibu) dari komunitas Maluku di Belanda.

Pada perspektif yang lebih meluas, fenomena fanatisme sepakbola di seluruh dunia telah menjadi perhatian sejumlah peneliti cultural studies. Salah satunya adalah buku karya Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981). Di dalamnya ia mengulas para pemain dan manajer, direktur dan pelatih, pendukung dan penggemar (fans), serta permainan itu sendiri seolah-olah ia sedang mengobservasi satu suku asli. Analogi yang digunakannya sahih: sepakbola punya ritual dan upacara, keyakinan dan tahyul, seperti suku terasing dengan kebudayaan yang eksotik. Morris menyajikan narasinya tentang sepakbola sebagai padanan pola perburuan masa purba. Selain teks, buku Morris ini diimbuhi dengan banyak foto dan terbagi menjadi bab-bab ringkas: The Tribal Roots, The Tribal Rituals, The Tribal Heroes, The Tribal Trappings, The Tribal Elders, The Tribal Followers. Salah satu ulasan yang cukup menyentil adalah “The Soccer Match as a Religious Ceremony”: The grass that grows on the soccer pitch is often referred to as ‘the sacred turf’, and the stadium is called ‘the shrine’. Star players are ‘worshipped’ by their adoring fans and looked upon as ‘young gods’.

Meskipun sudah menjadi buku klasik tentang analisis kebudayaan tentang sepakbola, dibandingkan dengan karya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization atau Tamir Bar-On, The World through Soccer: The Cultural Impact of a Global Sport, karya Desmond Morris tetap penting untuk menjadi rujukan memahami fenomena sepakbola dan para fans-nya di seluruh dunia, termasuk di Ambon. Maka segala bentuk ekspresi bising yang diperlihatkan para pendukung berbagai timnas pada perhelatan Piala Eropa 2021, terutama para fans tim Belanda di Ambon, ini tampaknya merefleksikan mentalitas tribalisme dalam masyarakat modern saat ini. Atau mungkin makin bertransformasi menjadi sebentuk religiositas kontemporer masyarakat saat ini yang menggeser peran tuhan, klerus dan tatanan ritualnya?
Read more ...

Thursday, May 20, 2021

Talucu

Dalam dialek Melayu-Ambon, “talucu” secara luwes mempunyai beberapa arti, yaitu: terpeleset, tergelincir, terlepas, turun, meleset. “Gelas pica talucu (terlepas) dari Ongen pung tangan” / “Ah, beta pung nomor togel talucu (meleset) 1 angka kalamareng tu” / “Tagal kasus itu dia pung bapa talucu (diturunkan) dari jabatan” / “Bajalang bae-bae, jang talucu (tergelincir) di atas trotoar baru pasang tu”. Demikian kira-kira contoh penggunaan kata “talucu” dalam ujaran orang Ambon sehari-hari. 

Dari rasa bahasa, “talucu” lebih dimakna sebagai “sesuatu yang jatuh atau terlepas tanpa disengaja”. Kondisi yang menyebabkan jatuh atau terlepasnya sesuatu itu lazimnya tidak diduga atau diprediksi sebelumnya. Untuk kondisi yang sebaliknya (terencana atau disengaja), jarang digunakan istilah ini. Maka akan menjadi janggal makna praktisnya jika ada yang “talucu” oleh sesuatu kerja atau tindakan yang seyogyanya terencana baik dan memprediksi atau mengantisipasi lemungkinan buruknya.

Contohnya adalah pembongkaran trotoar lama dan pemasangan trotoar baru dengan model keramik yang permukaannya licin. Pekerjaan pemasangan trotoar yang baru tentu bukan proyek yang tidak terencana. Sebagai proyek pembangunan yang terkait dengan layanan publik untuk menyediakan sarana pedestrian yang aman dan nyaman, pembenahan jalur trotoar di setiap ruas jalan utama Kota Ambon sudah pasti menyedot biaya tak murah. Oleh karena itu, proyek ini jelas terencana baik dari segi penganggarannya, pemilihan kualitas dan jenis materinya, sampai pada proses pengerjaannya agar fungsinya menjawab apa yang dibutuhkan oleh publik secara maksimal.

Namun demikian, mengapa untuk suatu proyek pembangunan yang berbiaya besar dan pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan publik agar mempunyai fasilitas pedestrian yang aman dan nyaman, justru membuat banyak orang “talucu” – seperti beberapa rekaman video yang diunggah para netizen Ambon? Jawabannya hanya bisa diberikan oleh pemilik proyek, yaitu pemerintah (entah provinsi atau kota). Tapi pada prinsipnya, sesuatu yang dikerjakan secara terencana tidak boleh berakhir pada situasi “talucu” karena hal-ihwalnya sudah diperhitungkan sejak awal, termasuk risiko.

Berjalan kaki merupakan moda transportasi yang sudah setua peradaban manusia. Dalam konsep tata ruang kota, tradisi berjalan kaki (pedestrian) di perkotaan mempunyai sejumlah manfaat, seperti mereduksi polusi udara, suara, menghemat bahan bakar dan biaya, serta tentu saja penting bagi Kesehatan manusia. Oleh karena itu, pengembangan tradisi berjalan kaki di perkotaan dapat berfungsi mengembalikan peran kota sebagai ruang interaksi sosial yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Untuk maksud itu maka trotoar disediakan sebagai area khusus pedestrian agar moda transportasi berjalan kaki dapat dilakukan dengan aman dan nyaman. Kendati awalnya trotoar digunakan untuk menghindari pejalan kaki dari kendaraan bermotor tapi dalam perkembangannya pejalan kaki (sebagai warga kota) juga membutuhkan rasa nyaman, aman, tenang dan senang saat berjalan kaki di ruas-ruas jalan wilayah perkotaan.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa berfungsinya trotoar sebagai jalur pejalan kaki sangat tergantung pada kondisi ideal perencanaan yang semestinya sesuai dengan kriteria-kriteria untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis pedestrian, yaitu: (1) Keselamatan: perbaikan kondisi fisik trotoar, struktur, tekstur, pola perkerasan dan dimensi trotoar (ruang bebas, lebar efektif, kemiringan) sesuai kebutuhan ruang; (2) Kemudahan: tujuan yang dicapai oleh pedestrian dilakukan dengan mudah dan lancer karena terhubung jalur trotoar secara integratif; (3) Kesenangan: pengkondisian faktor kesenangan bagi pedestrian yang timbul karena trotoar dapat dilalui dengan mudah dan didesain secara harmonis dengan lingkungan sekitarnya; (4) Kenyamanan: bebas dari berbagai gangguan yang mengurangi kenyamanan fisik dan psikis pedestrian karena terlindung dari cuaca buruk dan tersedianya tempat istirahat.

Ideal-ideal tersebut sudah pasti telah diperhitungkan oleh pemerintah sebagai pengelola utama proyek trotoar di kota ini. Artinya, tingkat risiko kecelakaan dan ketidaknyamanan pedestrian mesti dijadikan sebagai prioritas. Nah, jika ternyata – lagi-lagi seperti banyak rekaman video yang beredar di medsos akhir-akhir ini – banyak pedestrian yang “talucu”, tentu pembangunan infrastruktur publik trotoar ini mesti ditinjau ulang. Kecuali jika memang ada maksud lain untuk menjadikannya sebagai arena bermain “lucu-lucu” (plesetan atau sliding) seperti yang diperagakan sekelompok remaja saat hujan deras mengguyur dan membuat trotoar baru selicin papan luncur di pinggir kolam renang. Sebagai warga kota, kita mafhum anggaran pemasangannya bukan “talucu” begitu saja dari antah-berantah. Jelas, “talucu” di trotoar dan bermain “lucu-lucu” di trotoar adalah sesuatu yang sama sekali tidak lucu.
Read more ...

Sunday, January 24, 2021

Ibadah Minggu 26 April 2020 - Jemaat Imanuel OSM

Read more ...

SS

ss mendekat 
sms kian padat
status-status bak pukat
kasak-kusuk liar merambat
berharap banyak yang terpikat
bisa mencicip kuasa nan nikmat

di kintal ini berlimpah upulanite punya berkat
dari tangan-tangan lusuh warga jemaat
yang hatinya tulus bersyafaat
agar di kintal ini berkat menjadi nikmat
yang membuat semua orang mendapat hikmat
menata masa depan yang kian berat
sembari terus berharap damai sejahtera rekat melekat
yang menjadi visi yang pekat
membentuk kemanusiaan berwajah sahabat
kuasa apa yang menjadi hasrat?
tunduklah pada sang sumber hikmat

jangan tutup telinga rapat-rapat
dengarlah suara-suara dari nyawa yang sekarat
meratapi derita melarat
tubuh-tubuh luka bernanah dirubung lalat
yang mengemis obat
dari para pejabat konglomerat

tanah ulayat disikat
laut pun disekat
siapa lagi yang peduli adat?
kian dianggap budaya berkarat

nominal pundi-pundi jangan menjadi syarat
hanya demi kata sepakat
kintal ini bukan ajang berebut tongkat
terbelit kepalsuan menjerat
tapi mufakat tegakkan harkat
agar tinggilah martabat

kutulis ini bukan karena ambeienku kumat
pun bukan ramalan kiamat
hanya sekadar pengingat
agar kintal ini dirawat
dengan hati yang hormat
pada sang agung mahaberkat
bukan disekat oleh syahwat
memburu pundi-pundi menyesaki kantong-kantong bak jimat

demikian ini hikayat
dari pinggiran kintal keramat
yang dijaga penuh hormat oleh warga jemaat

*Menjelang Sidang Sinode ke-38 tanggal 7-14 Februari 2021 di Kota Ambon
Read more ...

Ibadah Tahun Baru 3 Januari 2021 - Gereja Silo

Read more ...

Ibadah Minggu 24 Januari 2021 - Gereja Terang Dunia Rumahtiga

Read more ...

Sarjana dari Aru


Campur aduk rasa haru dan bangga saat Stenly Salenussa menautkan foto-foto ini untuk beta. Beta mengenalnya sejak ia terlibat dalam kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas ISIP UKIM. Perangai yang kalem tapi punya karakter kepemimpinan yang kuat. Tak heran ia dipercaya menjadi ketua senat. Kami kerap berkoordinasi untuk beberapa kegiatan kemahasiswaan. Ia mampu dengan cepat memahami peran dan tanggung jawab seperti apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. Untuk semua proses bekerja bersama itu, hingga ia mencapai gelar "sarjana", beta bangga meskipun tidak sempat bertatap muka dalam perkuliahan di klas. 

Namun, kebanggaan itu dengan segera tersapu rasa haru ketika menyaksikan reaksi masyarakat Kobamar, Aru Tengah Timur, menyambut kepulangan anak mereka yang sudah sarjana ini. Ia ternyata menjadi anak kampung Kobamar pertama yang mencapai gelar sarjana. Penyambutannya yang luar biasa seolah menegaskan bahwa ia bukan lagi "anak sarjana" milik keluarganya melainkan representasi dari masyarakat Kobamar. Penyambutannya bukanlah pesta hura-hura tapi suatu konfirmasi tentang harga diri sosial yang diangkat tinggi-tinggi. Label pendidikan "sarjana" yang disandangnya seolah sebentuk perlawanan sosial bahwa orang Kobamar tidak menyerah meski hidup sehari-hari mereka terbelit oleh matarantai kemiskinan struktural dan marjinalisasi sosial. Sekaligus dengannya menjadi penanda bahwa ada secercah titik terang pengharapan bagi generasi Aru dari Kobamar selanjutnya yang akan mengikuti jejaknya.

Menurut catatan Sir Alfred Wallace, penulis The Malay Archipelago, sejak 1857, Aru sebenarnya sudah menjadi "metropolis" yang riuh dengan jejaring perdagangan nusantara. Bahkan hingga periode Indonesia merdeka, dalam catatan penelitian Roem Topatimasang dkk Potret Orang-orang Kalah: Kumpulan Kasus Penyingkiran Orang-orang Asli Kepulauan Maluku (hasil pengamatan lapangan tahun 1993), puluhan perusahaan penyelaman dan budidaya mutiara beroperasi di Aru. Belum terhitung ratusan kapal berbendera asing yang menguras isi laut Aru, kisah mangkraknya perusahaan perikanan di Benjina beberapa tahun silam, hingga narasi perlawanan "Save Aru". Toh, hingga kini, sulit menyeka realitas kemiskinan struktural dari wajah sosial Aru.

Patricia Spyer, dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan tajuk The Memory of Trade: Modernity's Entanglements on an Eastern Indonesian Island (Duke University Press 2000), menutup kisah etnografisnya tentang Aru dengan catatan: "If I have chosen in this book to focus especially on the negotiation by Barakai islanders of their relationships to the Aru and the Malay and of these two elsewheres to each other, it is because they, indeed, capture so well the kinds of dilemmas, adjustments, and compromises that, demanded by the larger forces and powers dominating and permeating their lives, people at the disempowered fringes of nation-states, as well as more globally, constantly face." (290-291).

Riset mutakhir tentang Aru, sejauh ingatan beta, dilakukan oleh Pdt. Aprino Berhitu, alumni Fakultas Teologi UKIM yang melanjutkan studi magister pada Prodi MPRK Sekolah Pascasarjana UGM. Riset itu menjadi tesis magisternya. Semoga kajian-kajian tentang Aru makin membentangkan kemungkinan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Aru.

Selamat berkarya Ferson Sorfay! Kau baru saja memulai perjalanan menuju masa depanmu. Tetap berintegritas!
Read more ...

Peta Penelitian Sosiologi Agama di Era Post-Truth

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces