Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, September 26, 2018

67 Tahun UIN Sunan Kalijaga

Secara pribadi, beta merasa bangga pernah (dan selalu) menjadi bagian dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta. ICRS adalah kolaborasi tiga universitas, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana, yang menyelenggarakan program pascasarjana jenjang S3. Menurut beta, ini kolaborasi yang keren dan menantang. Betapa tidak, tiga universitas dengan latar sejarah dan tradisi akademik yang berbeda-beda berkolaborasi menggelar program doktor untuk studi agama-agama.

Ketika masih studi 2011-2016, mahasiswa ICRS punya akses untuk terlibat dalam proses-proses kuliah dan diskusi di tiga kampus ini. Maka tidak heran, semasa berjibaku kuliah dulu mahasiswa ICRS dikenal sebagai spesies "omnipresence". Hadir dimana-mana. Apalagi kalau ada hajatan seminar atau ujian disertasi di tiga kampus ini.

Yang paling menantang tentu saja adalah kesempatan untuk belajar dari para guru yang mempunyai kapasitas keilmuan yang beragam dan pengalaman penelitian yang sangat kaya. Berbagai tradisi akademik dan kekayaan perspektif tersebut telah banyak melahirkan dialektika kritis mengenai studi agama-agama di berbagai kawasan. Dengan model kolaborasi semacam itu, maka mahasiswa ICRS sebenarnya adalah "mahluk" hibrid yang berkelana dalam rimba aneka ilmu, metode dan tradisi keilmuan, yang dalam konteks studi agama-agama, didesak masuk terlibat dalam wacana dan praksis religiositas yang sangat majemuk.

Dari UIN Sunan Kalijaga, ada nama-nama seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Noorhaidi Hasan, Dr. Siti Syamsiyatun, Dr. Sahiron dan beberapa lainnya; dari UKDW ada nama-nama, Prof. Gerrit Singgih, Dr. Hehanussa Jo, Dr. Farsijana Adeney-Risakotta, Prof. Banawiratma, Dr. Paulus Wijaya dan beberapa lainnya. Plus sejumlah guru dari Universitas Gadjah Mada, seperti Prof. Pm Laksono, Prof. Bernie Adeney-Risakotta, Dr. Dicky Sofjan, Dr. Samsul Maarif, Dr. Wening Udasmoro, Dr. Leo Epafras dan yang lainnya. Bahkan harus juga disebut nama-nama seperti Dr. Haryatmoko dan Dr. Tri Subagya dari Universitas Sanata Dharma.

Dengan "wajah" yang hibrid semacam itu, sulitlah untuk mengatakan universitas mana yang menjadi almamater dari para lulusan ICRS. Selain mengakui bahwa ketiga universitas itulah yang semuanya menjadi almamater.

Maka ketika hari ini, UIN Sunan Kalijaga merayakan 67 tahun eksistensinya berkiprah dalam dinamika pendidikan tinggi di Indonesia, beta pun menjadi bagian dari sukacita bersama seluruh civitas academica dan para alumninya.

Terima kasih para guru di UIN Sunan Kalijaga yang pernah menjadi penantang-penantang keilmuan yang andal dan membagi semangat persaudaraan lintas-agama dan lintas-ilmu bagi beta dan rekan-rekan lain alumnus ICRS. Terima kasih pula untuk para sahabat yang berkarya sebagai guru di UIN Sunan Kalijaga: Dr. Moch Nur Ichwan, Dr. Masroer Ch Jb, Dr. Ahmad Salehudin dan yang lainnya, yang turut membentuk karakter persahabatan yang terbuka bagi kekayaan tradisi ilmu dan keberagamaan.

Selamat untuk almamaterku UIN Sunan Kalijaga! Tetap berkarya bagi kemanusiaan dan keindonesiaan yang kaya warna identitas ini.

Photo courtesy: Masroer Ch Jb
Read more ...

Wednesday, September 19, 2018

Gereja Bersyukur: Mencintai Kebenaran dan Damai - Refleksi 83 Tahun GPM

Jalan panjang meniti setiap pijakan zaman selama 83 tahun bagi Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah perjalanan yang penuh dinamika dan liku-liku historis, sosiologis, antropologis dan politis. Pada setiap dimensinya perjalanan panjang tersebut telah menjadi faktor determinan yang membentuk eklesiologi GPM terutama sebagai gereja kepulauan.

Konteks pulau-pulau yang menjadi ranah geografis jemaat-jemaat GPM yang terentang dari kawasan Maluku Utara hingga Maluku Barat Daya berhadapan langsung dengan zona perairan internasional, diapit oleh musim timur dan musim barat, serta persebaran negri-negri sepanjang pesisir dan pegunungan, telah membentuk karakteristik eklesiologis GPM yang majemuk. Sejarah dan dinamika eksistensi agama-agama Abrahamik (Kristen dan Islam) dan berbagai ekspresi religiositas lokal pun menambah semarah wajah warna-warni komunitas-komunitas lokal yang mendiami ribuan pulau di kawasan ini. Dengan perkataan lain, bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan suatu format pelayanan yang seragam dan tertib yang mampu diimplementasikan begitu saja. Diperlukan komitmen yang kuat dan dedikasi yang tinggi dalam setiap derap langkah penatalayanannya sehingga mampu melangkaui batas-batas kemajemukan yang inheren pada dirinya sebagai gereja.

Ada sejumlah tantangan yang menyeruak sebagai implikasi eklesiologis GPM dalam konteks lokal Maluku dan konteks nasional Indonesia. Tiga tantangan GPM yang berikut ini merupakan sudut pandang lain dari 13 isu strategis yang dirumuskan dalam Pola Induk Pelayanan (PIP) dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) GPM 2016-2025.

[1] Pembangunan Masyarakat Berbasis Kepulauan
Sudah sejak abad ke-15 wilayah Kepulauan Maluku telah menjadi incaran para saudagar pemburu rempah-rempah dari berbagai benua. Kedatangan para saudagar dan persaingan di antara mereka telah mengubah secara signifikan peta demografis komunitas kepulauan Maluku, pola relasi kuasa antara para penguasa lokal dan para pedagang (Nusantara dan Barat), dan perjumpaan dan peleburan lintas-budaya yang makin membentuk karakter multikultural masyarakat kepulauan ini. Namun demikian, kekayaan alam yang mengundang para saudagar dari berbagai kawasan di dunia tersebut ternyata tidak berdampak pada kemakmuran masyarakat. Sebaliknya, masyarakat kepulauan ini hanya menjadi bulan-bulanan dari berbagai kekuatan ekonomi global yang datang untuk mengeruk kekayaan alam (laut dan hutan) sambil membiarkan mereka terlantar dalam lautan kemiskinan yang kronis.

Pergantian rezim kolonial dengan pemerintahan dari negara baru bernama Republik Indonesia telah memberikan secercah harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, lagi-lagi, paradigma pembangunan yang diimplementasikan oleh pemerintahan pascakolonial Indonesia tidak beranjak jauh dari pendekatan kolonial yang lebih memusatkan seluruh perhatian dan energi pembangunan pada kawasan barat Indonesia, terutama Pulau Jawa. Kawasan timur Indonesia dengan kontur geografis kepulauan makin ditinggalkan dalam derap pesat pembangunan sebagai kawasan tertinggal. Kejayaan rempah-rempah yang pernah menjadi primadona perdagangan dunia pun tersisa sebagai nostalgia.

Belakangan, dengan pendekatan pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi perhatian lebih serius pada pembangunan masyarakat dengan berbasis pada konteks kepulauan. Meskipun demikian, diperlukan energi yang cukup besar untuk membenahi pertama-tama infrastruktur dan sarana transportasi laut yang menjadi faktor utama pemerataan pembangunan kawasan kepulauan ini. Pada sisi lain, pendekatan pembangunan poros maritim ini berdampak pada akselerasi pembangunan jemaat, terutama dalam jejaring komunikasi antarpulau yang makin melancarkan proses dan interaksi pembangunan jemaat-jemaat GPM. Keterisolasian secara bertahap mulai ditembus. Batasan-batasan komunikasi mulai dilangkaui.

Akan tetapi, bersamaan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi, masyarakat kepulauan ini mulai menghadapi tantangan baru dengan gelombang imigran baik secara spontan (sebagai konsekuensi lancarnya transportasi dan komunikasi) maupun melalui program transmigrasi oleh pemerintah; beroperasinya perusahaan-perusahaan multinasional yang merambah hutan-hutan dan laut sambil mendesak komunitas-komunitas lokal ke kawasan periferi yang makin menyempit; benturan-benturan kebudayaan “urban” dan “rural” yang menggiring berbagai komunitas kepulauan ini pada satu suasana transisi yang bergejolak mencari bentuk-bentuk sosial yang cocok dan sebagainya. Selain itu, masih terasa kecenderungan warisan pendekatan pembangunan yang masih kuat berorientasi kontinental sehingga prosentase dana pembangunan masih terserap lebih besar pada wilayah daratan.

[2] Partisipasi Politik Kewargaan
Keterbukaan katup politik demokrasi pasca Gerakan Reformasi 1998 telah membawa dampak sangat besar dalam budaya politik Indonesia yang selama ini dikekang oleh rezim pemerintahan otoriter Orde Baru. Salah satu konsekuensinya adalah otonomi daerah dan sistem multipartai. Otonomi daerah berhasil mendorong pembelahan beberapa wilayah menjadi dua atau lebih wilayah pemerintahan baru pada tingkat kabupaten/kota. Pembelahan atau pemekaran tersebut mampu menyerap banyak tenaga kerja untuk mengisi posisi-posisi birokrasi pemerintahan baru dan memberi kesempatan kepada pemerintahan kabupaten/kota yang baru untuk mengembangkan potensi-potensi lokal bagi pembangunan wilayah tersebut.

Sementara itu, sistem multipartai membuka peluang sangat besar bagi penyaluran aspirasi politik kewargaan melalui partai-partai baru. Hal yang tak terhindari adalah kian sengitnya pertarungan politik antarpartai untuk berebut pengaruh dalam menentukan wakil-wakilnya di parlemen atau pemerintahan yang diasumsikan dapat memuluskan kerja-kerja mesin partai masing-masing. Pertarungan politik dalam sistem multipartai ini sangat kompetitif sehingga kerap terperosok pada godaan untuk menggunakan segala macam cara demi meraih kekuasaan politik (dan ekonomi). Implikasi terbesar dari pertarungan politik tersebut adalah pengerasan identitas primordial sebagai instrumen politik, yang kini menjadi paradigma politik yang meluas, yaitu politik identitas.
Pluralitas yang semestinya menjadi kekayaan budaya masyarakat Indonesia mengalami penggerusan makna menjadi ancaman yang mendorong berbagai kelompok untuk saling menihilkan eksistensi masing-masing. Wajah politik kewargaan Indonesia dan Maluku yang “bineka” kini dijumudkan menjadi tendensi-tendensi penunggalan identitas yang mencurigai liyan, termasuk dalam hal penyaluran ekspresi politik. Budaya politik demokrasi diciderai oleh hasrat untuk mendominasi liyan, bukan melalui diskursus politik yang sehat dan negosiasi kepentingan yang cerdas melainkan dengan intimidasi dan persekusi terhadap liyan yang diklasifikasi sebagai “minoritas”. Wacana-wacana ideologis makin termarjinalkan dalam arena-arena politik kewargaan dan masyarakat luas makin terbiasa untuk berpikir dan bertindak secara dikotomis “mayoritas-minoritas” sambil mengabaikan realitas kemajemukan masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam konteks kepulauan, tendensi-tendensi politik identitas menggiring pada kategorisasi-kategorisasi identitas pulau-pulau, yang bertumpang tindih dengan etnisitas dan agama.

[3] Glokalisasi Ekonomi dan Kebudayaan
Ekstensi dan ekspansi teknologi informasi-komunikasi serta makin tersedianya berbagai infrastruktur transportasi antarpulau (penerbangan dan pelayaran) telah berhasil membuka akses berbagai komunitas kepulauan untuk membangun relasi dengan berbagai pihak dari luar. Kawasan Kepulauan Maluku tidak lagi menjadi penerima dampak dari globalisasi tapi juga menjadi aktor-aktor lokal penting yang mempengaruhi situasi global. Fenomena globalisasi tidak lagi berlangsung satu arah tapi menjadi banyak arah serta menciptakan banyak-pusat (multi-center) yang melahirkan fenomena glokalisasi.

Masuknya investasi asing dalam berbagai bentuk korporasi multinasional, pada satu sisi, menciptakan peluang mengembangkan bisnis-bisnis berbasis hasil laut (mutiara dan ikan) yang diminati pasar internasional. Namun, pada sisi lain, glokalisasi ekonomi tersebut turut mengubah pola-pola kebudayaan altruistik menjadi lebih individualistik. Rekatan-rekatan komunalitas kultural kian renggang dan rapuh sehingga mudah tersulut oleh persinggungan-persinggungan antar-identitas kelompok yang hidup bersama-sama.
Pengembangan kawasan-kawasan tertentu pada beberapa pulau seperti Seram dan Buru makin memperlihatkan wajah miris komunitas-komunitas lokal yang termarjinalisasi oleh desakan perubahan masyarakat urban dan semi-urban. Penjualan tanah-tanah ulayat secara serampangan hanya karena rayuan konsumerisme yang aduhai secara sistematis mempersempit kemungkinan perluasan wilayah mukim suatu komunitas lokal. Gesekan-gesekan sosial kerap terjadi karena perebutan lahan, bahkan menjadi alasan konflik antarkelompok karena yang satu merasa dipinggirkan dan kehilangan hak-hak utama mereka untuk memperoleh kehidupan yang layak secara ekonomi. Sementara pihak yang satu makin mendominasi karena menganggap diri mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih tangguh untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah. Pembelahan identitas sosial antara “orang asli” dan “pendatang” makin mengeras dalam situasi ketidakadilan ekonomi tersebut. Sebagian besar jemaat-jemaat GPM terlibat dalam pusaran arus glokalisasi ekonomi dan kebudayaan semacam ini.

Sekelumit realitas menggereja GPM menjelang akhir dekade kedua abad ke-21 ini dengan sengaja dikemukakan justru sebagai landasan untuk menjadi gereja yang bersyukur. Bersyukur adalah suatu pilihan sikap untuk dengan kerendahan hati menyadari kekurangan dan keterbatasan diri, dan pada saat yang sama, berjuang menanggapi tantangan-tantangan dengan cara melakukan perubahan-perubahan dalam suatu bingkai orientasi visioner masa depan. Jadi, bersyukur bukanlah sikap pasif dan reaktif, melainkan kontekstual-transformatif.

Pijakan pada tiga realitas yang telah dijabarkan di atas adalah pada upaya memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Keadilan seyogyanya menjadi acuan eklesiologis GPM dalam konteks kemajemukan jemaat-jemaatnya (secara geografis maupun demografis) yang tidak punya pilihan selain terlibat dalam dinamika pembangunan nasional masyarakat Indonesia dan Maluku. Pemetaan masalah melalui implementasi Rencana Strategis (Renstra) Gereja merupakan keniscayaan strategi pembangunan jemaat agar tidak hanya berorientasi pada penguatan ritualistik dan penataan internal organisasi tetapi lebih melihat secara proporsional realitas ketimpangan pembangunan yang dialaminya bersama-sama dengan komunitas-komunitas lain. Gugatan terhadap keadilan dalam pembangunan kemanusiaan akan mendorong GPM untuk peka terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang bermuara pada kenyataan marjinalisasi komunitas-komunitas lokal. Tekanan-tekanan kehidupan ekonomi dan marjinalisasi budaya akan berdampak sangat fatal pada relasi-relasi antarkomunitas yang jamak sehingga sangat berpotensi bagi timbulnya konflik sosial.

GPM telah, sedang dan akan terus berada dalam ranah perjuangan misiologis bagi kemanusiaan semesta. Karakteristik kemajemukan dan kepulauan yang melekat pada dirinya telah membentuk pemahaman diri eklesiologis yang inklusif, plural dan multikultural. Kandungan eklesiologis ini harus terus diasah untuk peka terhadap realitas konteks kemajemukan dan pembangunan yang dijalaninya bersama seluruh jemaat. GPM adalah Gereja Bagi Semesta, dan bukan sekadar “gereja orang basudara”. Pijakan teologis Gereja Bagi Semesta itu dapat dicermati dengan jelas dalam trajektori perjalanan 83 tahun GPM: pendamai, pembela hak-hak asasi manusia, menjaga lingkungan hidup, menghidupkan nilai-nilai budaya yang konstruktif bagi kemanusiaan, menjadi pelaku ekonomi Allah yang adil. Realitas kepulauan yang digumuli oleh GPM secara historis, politis, ekonomis dan kultural, telah mendekonstruksi sekat-sekat persaudaraan biologis menjadi relasi-relasi antropologis yang merangkul semua pihak (manusia dan lingkungan hidup) sebagai bagian integral dari eklesiologi dan misiologinya.

delapantiga mencari makna
menyusuri sejarah penuh luka
sibak ombak samudra
menapaki jalan terjal realita
menerjemahkan kata menjadi akta
agar keadilan menjadi nyata
agar perdamaian menjadi sumanga
jatidirimu bukan karena kolekta
tapi oleh kuasa upulahatala semesta
tandamu bukan gedung menjulang ke angkasa
tapi kerendahan hati melayani manusia
derita bukan tanda baca
pembelaan hidup menjadi tanda kerja
engkau hanya setitik tanda
dari keluasan samudra
pulau-pulau yang terserak bak mutiara
dengan himpunan manusia mendaku saudara
berbeda adalah gelora
yang membuatmu kaya karunia
delapantiga... tetaplah melayani semesta
sebagai gereja, bukan badan usaha milik negara
apalagi kongsi milik pengusaha
delapantiga... gereja ini menghidupi hingga sumsum tulang beta sampai habis kata dan sukma

Ambon, 16 September 2018
Read more ...

Monday, September 10, 2018

Meneroka Historiografi Ambon

Sepanjang pengalaman mendampingi Dr. Cornelis Alyona mengampu matakuliah Sejarah Gereja di Indonesia dan Sejarah Agama Kristen, sebelum dan sesudah pulang studi, cukup menyadarkan beta bahwa tidak mudah menemukan mahasiswa peminat sejarah yang serius. Kalaupun ada yang berminat menulis kajian sejarah sebagai materi skripsi atau tesis mereka, itu lebih sebagai tuntutan studi dan kondisi terjepit karena jalan buntu untuk masuk ke disiplin ilmu lain yang dirasa berat.

Apakah mereka menganggap kajian sejarah enteng dan gampang? Tidak juga. Hanya pemahaman tentang sejarah belum menukik pada fondasi-fondasi metodologis dari apa yang disebut historiografi. Yang terpahami baru pada lapis mengumpulkan material sejarah (buku sejarah) dan arsip sekadarnya, menyusunnya secara kronologis dan seolah-olah menulis sejarah "baru". Bobot interpretatif secara kritis terhadap bahan-bahan atau arsip-arsip, termasuk pula data kualitatif melalui jaring observasi sosial-budaya-politik, masih pada parameter timbangan yang belum cukup menohok.

Munculnya sedikit peminat kajian sejarah, semisal Johan Saimima, yang kini tengah menyelesaikan disertasi sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, setidaknya cukup menjanjikan meskipun tentu tidak memuaskan dari segi kaderisasi peminat sejarah (sejarawan). Namun, syukurlah, sudah mulai muncul wajah-wajah baru para peminat sejarah muda. Salah satunya adalah Michael Pattiasina.

Hari ini bersama Dr. John Ruhulessin dan Rachel Iwamony, Ph.D., dengan moderator Dr. Cornelis Alyona, yang juga dihadiri kandidat doktor Johan Saimima, kami terlibat dalam diskusi alot dan bernas terhadap hasil penelitian Michael. Elaborasi yang padat dan runut sebagai hasil rekonstruksi dan reinterpretasi data sejarah memberikan bobot tersendiri terhadap tesis Michael. Namun demikian, terdapat beberapa "blind-spot" yang perlu dilengkapi baik dengan penelusuran arsip/dokumen yang lebih luas maupun keberanian untuk menyulam berbagai kekosongan data dengan kemampuan melakukan interpretasi historis. Ceruk epistemik lain yang tampak adalah permainan asumsi "kilas-balik" yang sering menjebak pada wacana-wacana kontemporer dalam meneropong masa lalu sembari mengabaikan konteks dari suatu teks/arsip.

Kendati demikian, karya akademik Michael Pattiasina ini sangat layak diapresiasi sebagai keberanian untuk mengambil rute disiplin ilmu yang kerap dianggap "kering" dan kurang merangsang bagi para mahasiswa generasi milenial. Diskusi alot pagi tadi memberi sinyal positif bahwa masih banyak "black-holes" yang menarik untuk dikaji dalam historiografi. Semoga!

Photo courtesy: Nes Parihala
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces