Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, November 30, 2011

Mengalah atau Menerima Kekalahan?


Beberapa minggu lampau perhatian kita nyaris seluruhnya tersedot oleh peristiwa SEA GAMES ke-26 tahun 2011. Tentu yang paling diminati adalah laga tim sepakbola Garuda Muda yang berhasil terbang hingga ke puncak final menghadapi tim Malaysia. Ini gejala menarik. Umumnya yang diminati publik adalah sesuatu yang membanggakan dan dianggap sebagai andalan. Karena itu dukungan yang diberikan total. Tetapi untuk kasus sepakbola Indonesia justru terbalik. Tim sepakbola nasional (dengan macam-macam namanya) sudah lebih dari dua dekade tidak pernah menunjukkan prestasi gemilang. Dari satu pelatih ke pelatih lain, mulai dari pelatih dalam negeri, luar negeri, dan balik dalam negeri lagi. Berbagai strategi permainan telah dijajal. Sejumlah laga tanding juga telah dijalani bahkan ke beberapa negara. Namun, toh hasilnya biasa-biasa saja.

Selain itu, sepakbola kita juga punya keunikan. Meskipun organisasi PSSI masih pontang-panting mengatur dirinya, sepakbola kita rasanya tak pernah kehabisan pemain-pemain berbakat. Jadi bisa dikatakan tanpa PSSI pun banyak klub-klub sepakbola mampu menggodok pemain-pemain andal. Ah, ini sudah terlalu jauh. Saya sebenarnya tidak bermaksud menjadi komentator sepakbola di sini. Yang menarik perhatian saya adalah justru pernyataan-pernyataan orang-orang yang bukan pemain sepakbola; alias tidak pernah merumput di lapangan, apalagi menendang bola. Seorang pejabat ketika diwawancarai mengenai gagalnya tim Garuda Muda meraih emas dengan enteng mengatakan: "Kita memang kalah, tapi kalah terhormat!". Atau bahkan menanggapi kekalahan timnas pada laga-laga sebelumnya ada yang mengatakan: "Kali ini kita mengalah, sambil mempersiapkan strategi berikutnya."

Saya jadi bingung. Apakah memang dua pernyataan itu sama artinya? Bahwa "kalah terhormat" bisa diartikan sama dengan "mengalah"? Apa bisa "kalah terhormat" dimaknai sebagai sikap "menerima kekalahan" atau "belajar dari kekalahan"? Lantas, apa cukup fair untuk menyatakan bahwa "mengalah" adalah sikap sportif mengakui keunggulan lawan dan terbuka untuk membenahi diri? Atau itu hanya sekadar eskapisme dan minder karena kita selalu "patah sayap sebelum mampu terbang tinggi"?

Namun demikian, pada sisi lain, di luar lapangan, soal kalah atau menang itu soal hidup-mati bagi supporter. Setiap event sepakbola dalam negeri pada galibnya adalah sebuah "pesta pora rakyat". Lihat saja bagaimana para polantas tak berkutik menghadapi ulah ugal-ugalan para supporter yang duduk di atas kap metromini sambil meneriakkan yel-yel. Atau lumpuhnya sistem hukum menangani membludaknya jumlah supporter yang menggunakan jasa transportasi kereta api untuk nonton kesebelasan andalan mereka di kota lain. Lagi, ketidakberdayaan polisi mengantisipasi aksi brutal para supporter yang mengamuk. Kenapa? Karena mereka "tidak terima kekalahan (meskipun terhormat)" dan/atau "tidak mau mengalah".

Tapi sebenarnya saya tidak ingin mengulas soal sepakbola di sini. Perhatian saya justru pada pandangan tentang "kekalahan" itu. Setelah dipikir-pikir agaknya pandangan semacam itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana pandangan kita tentang hidup. Bisa jadi, pandangan yang fatalistik itu terbentuk dari konstruksi pengalaman-pengalaman impotensi di tengah-tengah kompetisi kehidupan yang makin keras. Mungkin juga, itu terbentuk oleh pandangan dunia masyarakat kita yang lebih melihat kosmos ini sebagai yang transenden dan karena itu tidak memungkinkan campur tangan manusia. Maka jadilah manusia hanya menerima saja segala sesuatu sebagai "takdir" tanpa tergugah melawannya atau bahkan mengubahnya.

Hal yang agak memprihatinkan adalah jika pandangan fatalistik itu kemudian menjadi "new worldview" bahwa kita sebenarnya larut dalam dimensi duniawi ini tanpa daya mengubahnya sama sekali. Lalu makin menguatlah pandangan "biarlah semua terjadi dan kita tak berdaya apa-apa". Jika ini terus-menerus ditanamkan maka bukan tidak mungkin bahwa generasi demi generasi di masa depan akan kendor daya kompetitifnya untuk mengejar apa yang menjadi tujuannya. Bahkan, dengan cepat menghindar ketika mendapat tawaran-tawaran untuk bersaing sehat meraih tujuan akhir (end-in-mind) hanya karena merasa "kalah sebelum bertanding".

Dalam cerita Injil-injil, Simon Petrus dikenal sebagai murid yang paling agresif dan tidak mau kalah. Ia selalu yang pertama berkomentar atau mengambil sikap dalam situasi tertentu. Demikian pula dengan Thomas. Ia tidak mau pandangannya dikalahkan oleh opini publik yang menyatakan "Yesus bangkit", sebelum ia membuktikan secara fisik. Masih banyak contoh lain. Setidaknya itu menggambarkan bahwa karakteristik "tidak mau kalah" dengan terang-benderang ditampilkan dalam cerita-cerita itu. Kita pun bisa menimba pelajaran bahwa soal "tidak mau kalah" itu bukan soal kita suka berkelahi atau suka bertengkar, melainkan soal bagaimana kita mempertahankan prinsip hidup serta konsisten memperjuangkannya sebagai bagian dari cara kita menyatakan kebenaran. Menyatakan kebenaran bukan dengan "baku malawang" atau "baku pukul", melainkan dengan mencari dasar-dasar pembuktian sehingga pikiran kita tidak terkalahkan oleh pandangan umum (common sense). Jika demikian maka tertutup kemungkinan kita menjadi orang-orang yang latah, ikut-ikutan (istilah Ambon: iko rame).

"Provokator Damai" dan "Kopi Badati" pada hakikatnya adalah terminologi mengarah pada pandangan dan cara kita untuk menolak kalah. Kita tidak ingin dikalahkan oleh provokasi isu yang menggempur kita tiada henti. Kita tidak ingin dikalahkan oleh opini publik bahwa orang Maluku doyan bakupukul atau bakalae. Kita menolak kalah. Dan untuk saya pikir kita tidak akan memolesnya dengan embel-embel apapun selain demi kemanusiaan dan persaudaraan yang memanusiakan itu sendiri. Sekarang soalnya kemudian, bagaimana kita mengarahkan semangat "tidak mau kalah" ini menjadi sebuah saluran untuk terus-menerus menyemburatkan perdamaian ke ranah yang lebih luas lagi. Bahkan, menjadikannya sebagai "gelombang sinyal" ke seluruh semesta bahwa kita ingin "kepala batu" dalam mengupayakan semangat perdamaian itu sebagai bagian dari gramatika budaya kita sejagad.

Terserah. 

Read more ...

Saturday, November 26, 2011

Judulnya Kopi Badati


Waktu sudah menunjuk larut malam. Pukul 12.30 waktu Yogyakarta. Tapi mata masih melotot di depan monitor komputer dan jari-jari masih berlompatan menari di atas tombol-tombol keyboard. Ada beberapa tugas yang harus dituntaskan. Petikan gitar RyoNiveu mengiring suasana hati dari “Enggo Lari” hingga “Nusaniwe Tanjung Alang”. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh posting foto dan catatan kecil dari bung Jacky Manuputty yang melekat pada dinding akun facebook. Foto yang memperlihatkan anak-anak muda Maluku yang sedang membubuhkan tanda tangan mereka pada selembar kain putih panjang. Catatan bung Jacky pun mengurai dan merefleksikan peristiwa itu.

Aku tercekat membacanya. Mencoba berimajinasi pada tiap rangkaian kata dan untaian kalimat, aku pun terhenyak oleh kekaguman. Anak-anak muda ini sungguh luar biasa! Mereka memperlihatkan segumpal militansi yang mengeras dalam hasrat untuk memilih “berdamai” dengan cara mereka. Aku tahu ini bukan sesuatu yang instan meskipun mereka dibesarkan dan dibentuk oleh budaya instan dan konsumerisme. Jalan “berdamai” mereka tidak jatuh dari langit. Tidak pula diberikan oleh orang tua mereka. Jalan itu mereka pilih dan tentukan sendiri karena mereka menolak tegas mewarisi kebencian yang telah mencabik-cabik sejarah orang tua mereka. Mereka tidak menghindari kebencian itu tetapi menerimanya sebagai pelajaran getir untuk membangun masa depan mereka tanpa harus memilih berpijak di situ.

Aku tidak di sana, di tengah kerumunan anak-anak muda “kabaressi” itu. Tapi sungguh malam ini aku merasakan ledakan spirit yang sulit terdefinisikan – dan mungkin juga tak perlu didefinisikan. Toh, anak-anak muda kabaressi perdamaian itu tak butuh definisi apapun yang hanya penuh pesona teoretik tapi carut-marut dalam praksis. Mereka memilih untuk bertindak, tanpa publikasi yang “lebay”. Merajut aneka narasi mereka sendiri dan mencoba membuat simpul-simpul nurani dengan bahasa muda mereka. “Kopi Badati” adalah simpul nurani itu. Jauh dari jepretan kamera wartawan, di sudut-sudut kampung, di ujung-ujung lorong, dalam guyuran hujan dan selimut dingin, mereka menawarkan sebuah bentuk persahabatan melalui kopi dan penganan sederhana kepada sahabat-sahabat mereka. Itu terjadi di wilayah-wilayah “perbatasan” yang sebenarnya bersifat imajinatif. Namun apa yang mereka lakukan justru meluruhkan sekat-sekat perbatasan imajinatif itu, dengan kopi dan penganan.

Tubuhku memang tidak di sana. Tapi jiwaku, sumangaku, ada di sana. Karena itu, jari-jariku tak lagi menari di atas keyboard mengikuti ritme paper-paper tugas kuliah. Tiba-tiba jari-jariku melompat cakadidi menari mengikuti ritme “kopi badati”. Hanya tarian sederhana yang menghentak mewujud untaian kalimat yang mengalir mengikuti hentakan semangat “kopi badati” di kintal Gong Perdamaian. Kekagumanku meluap tak terbendung untuk anak-anak muda kabaressi ini. Aku yang tidak di sana bersama mereka seakan dirasuki roh mereka untuk mengangkat mukaku dengan bangga – mereka sedang membangun masa depan Maluku. Aku kehabisan kata-kata untuk menuliskannya, tapi malam ini makin kental keyakinanku bahwa aku tidak akan kehabisan harapan untuk menegakkan spirit perdamaian di tanah airku, Maluku.

Read more ...

Saturday, November 12, 2011

11.11.11.plosokuning

Hampir di semua status dinding Facebook terpasang impresi terhadap paduan unik angka "11 November 2011" atau "11.11.2011" atau "11.11.11". Rupanya paduan ini punya pesona tersendiri karena dianggap hanya terjadi sekali seumur hidup manusia. Kecuali dari generasi ini masih ada yang bisa bertahan hidup sampai tanggal 11 November 2111. Ternyata tak cuma mempesona, tetapi pada beberapa status dinding FB ada yang berdoa supaya diberi berkat oleh Tuhan pada tanggal "istimewa" ini. Terserahlah. Setiap orang punya pemahaman, kepercayaan, dan harapan yang berbeda dalam membaca tanda atau simbol yang baginya dianggap unik dan langka. Mungkin dari situlah sebenarnya "religiositas" tertanam menjadi bagian dari eksistensi kemanusiaan kita, yang sekaligus membedakan manusia dari binatang atau makhluk hidup lain yang bukan manusia.

Saya juga merasakan sesuatu yang istimewa pada tanggal ini. Bukan karena ada mukjizat. Tidak pula karena tiba-tiba ketiban rezeki nomplok. Tetapi justru dari sebuah undangan untuk mengikuti pengajian Kitab Kuning di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Yogyakarta. Unik 'kan? Seorang pendeta Protestan dari Ambon diundang mengikuti pengajian di sebuah masjid di Yogyakarta. Namun, sebenarnya hal itu tidak terlalu unik karena undangannya disampaikan oleh Rahmadi Agus, teman seangkatan saya di ICRS Yogya, yang tinggal di Plosokuning.

Setiap Jumat malam di Masjid Pathok Negoro Plosokuning diadakan acara pengajian yang diambil dari pembacaan Kitab Kuning. Acara pengajian seperti ini tidak terlalu lazim di masjid-masjid lain sekitarnya. Salah satu keunikannya adalah "panggilan beribadah" dilakukan dengan menyanyikan Shalawat Nabi oleh kelompok musik rebana yang sebagian besar anggotannya adalah anak-anak muda. Ada 6 orang pemain rebana dan beduk kecil, serta 2 orang penyanyi. Selama kurang lebih 1 jam mereka menyanyikan puji-pujian untuk mengundang jamaah datang ke masjid.

Setelah itu, ketua ta'mir (pengurus) masjid mengambil alih acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang dan beberapa pengumuman mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Semuanya disampaikan dengan bahasa Jawa Kromo. Lalu ketua ta'mir mempersilahkan khotib untuk melanjutkan acara pengajian. Kali ini khotibnya adalah sesepuh masyarakat. Selama hampir 2 jam sang khotib menyampaikan pesan-pesan religius dengan bahasa sangat sederhana tetapi mengandung makna mendalam. Dia menyampaikannya dengan tenang, dan pada frase-frase penting ia menekannya berulang-ulang. Saya yang tidak terlalu fasih memahami bahasa Jawa Kromo pun dapat mengikuti alur khotbahnya dan menangkap pesan rohaninya.

Saya mencoba merenungkan salah satu pesannya mengenai "eling" dan "kelingan". Dia mengatakan bahwa banyak orang (Jawa) menyamakan kedua istilah itu, padahal sebenarnya berbeda. "Eling" adalah suatu kesadaran yang terus-menerus menyertai manusia. Kesadaran itu adalah kesadaran akan keterbatasan dirinya dan karena itu mengakui kebesaran Gusti Allah SWT. Kesadaran itu harus terjadi setiap saat dalam aktivitas hidup manusia (bekerja, belajar, berdagang, dll). Sedangkan istilah "kelingan" lebih menunjuk pada sesuatu yang sudah terjadi atau pada masa lampau. Misalnya, "aku ingat pernah melakukan kesalahan". Seseorang yang "kelingan" bisa saja menjadi "eling" (sadar), tetapi bisa juga tidak. Oleh karena itu, manusia harus lebih menghayati "eling" itu dalam kehidupannya. Kalau manusia "eling" terhadap Gusti Allah SWT maka dia juga akan menghargai kehidupan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

Masih ada beberapa pesan rohani yang bermakna. Selain pengajiannya, apa yang saya hayati adalah penerimaan jamaah terhadap "orang asing" di tengah-tengah mereka. Tatapan pertama mereka terhadap saya seakan memancarkan rasa ingin tahu, tetapi serta-merta saya tidak terlalu merasa asing karena hampir setiap jamaah pengajian yang baru datang akan menyalami kami semua yang tiba lebih dulu tanpa pilih-pilih. Itulah yang membuat saya merasa diterima. Bahkan dengan ramah dan terbuka, usai pengajian, bapak Kamal, ketua ta'mir, masih bersedia berbincang-bincang tentang acara pengajian dan keunikan masjid Pathok sebagai salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh Sultan Yogyakarta. Masjid ini, katanya, memiliki nilai historis yang panjang dan penting bagi masyarakat Plosokuning dan Yogyakarta umumnya.

Masih banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi malam kian larut. Saya harus kembali ke tempat kos. Bapak Kamal mengundang saya untuk mengikuti serangkaian acara yang dilaksanakan oleh ta'mir masjid di waktu-waktu mendatang. Catatan ini mungkin adalah awal dari sebuah dialog praksis saya yang Kristen dengan saudara-saudara Muslimin/Muslimah di Plosokuning.

Semoga.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces