Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, May 10, 2016

Merayakan Hidup Bersama

“Yesus ini memang laknat!” maki kawanan pemuka agama dan ahli kitab. “Dia telah mempecundangi kewibawaan kita kaum suci dengan ajaran-ajaran ngawur yang melecehkan hukum kitab agama,” seru berbalasan di antara mereka. Lantas diaturlah perangkap.

Seorang perempuan yang kata para pemuka agama dan ahli kitab dituduh berzinah pun dijadikan umpan perangkap. Perempuan ini dianggap najis karena kedapatan berzinah. Kedapatan? Ya, mungkin kedapatan waktu mereka sedang merazia tempat-tempat maksiat. Atau bisa juga, kedapatan karena mereka rajin menyambangi tempat-tempat pusat perzinahan. “Menurut hukum agama ia harus dirajam. Menurutmu bagaimana?” tanya mereka kepada Yesus. Yang ditanya diam membungkam hanya memainkan jemari mencorat-coret tanah. “Kena kau laknat! Jawab apa yang bisa kau beri sekarang?” sorak girang di benak mereka. Mereka makin mendesak agar Yesus menyanggah seperti sebelumnya.

Yesus berdiri dan menatap mereka seorang demi seorang. Lalu berkata, “Kalau ada di antara kalian yang merasa paling suci, tak bercela dan tanpa setitik pun dosa, biarlah dia menjadi orang pertama yang mengambil batu dan merajam perempuan ini.” Mulut para pemuka agama dan ahli kitab terkatup rapat. Tak seorang pun bergerak. Hanya saling menatap di antara mereka. Tak lama berselang satu demi satu hengkang meninggalkan Yesus dan perempuan itu. Kata Yesus kepadanya, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” Perempuan itu pun beranjak pergi membawa setumpuk tanya dan heran di benaknya tanpa mampu berkata apa-apa.

Itu hanyalah sepenggal narasi yang dituturkan dalam kitab-kitab injil. Narasi tentang karya dan hidup Yesus bukanlah semata-mata laporan saksi mata para muridnya. Lebih jauh, narasi-narasi itu merupakan refleksi, yaitu perpaduan dialektis antara nalar dan keyakinan, mengenai ihwal pokok apa yang patut dilihat dan diteladani melalui karya dan ajaran Yesus. Refleksi itu tentu menyertakan pergulatan sosial, budaya dan politik karena sosok Yesus hidup dalam realitas semacam itu pada zamannya maupun sesudahnya ketika prinsip-prinsip ajarannya dilanjutkan sebagai etika kristiani oleh para murid dan pengikutnya.

Kemunafikan dan kebejatan moral para pemuka agama dan ahli kitab yang berulang menjadi sasaran kritik Yesus adalah kenyataan yang memuakkan bagi kaum jelata. Tapi mereka bisa apa jika seluruh kebobrokan ternyata menjadi indah terpoles ritual agama yang canggih dan ruwet sembari dibumbui ayat-ayat suci melegitimasi semuanya atas nama firman tuhan? Para pemuka agama dan para ahli kitab itu pun mungkin tahu tapi mereka membenamkan nurani mereka dalam lumpur kebebalan demi seonggok wibawa suci wakil tuhan yang tentu punya pahala kukuhnya jabatan dan peran di mata penguasa yang harus terus mereka jilat kaki hingga pantatnya agar aman-nyaman.

Tapi, Yesus menjadi laknat bagi mereka karena terus merongrong kenyamanan beragama dengan kritik-kritik pedas dan nyleneh yang menohok mencabik kemunafikan mereka dengan tafsir radikal kitab agama. Jelas ini tidak boleh dibiarkan sebab kenyamanan beragama ini harus dibela mati-matian dengan mengajarkan “kulit ari” tafsir suci, tak perlu mendalam ke akar etika. Toh, kaum awam agama lebih membutuhkan janji-janji eskatologis yang manis tentang keselamatan dan nikmat surgawi yang menanti jika rajin bergiat ritual agama dan memberi persembahan. Hanya dengan begitu mereka tak hirau dengan perut kosong, ketidakadilan, kemiskinan, pelecehan nilai kemanusiaan demi uang, yang sungguh menyata di depan mata kuyu mereka sehari-hari. Tiada daya berbuat lebih selain menerima penderitaan sebagai takdir ilahi. Sementara di seberang lorong-lorong pengap kemiskinan mereka, berdiri megah-mewah rumah ibadah dan berseliweran para pengkhotbah berjubah necis dan wangi.

Perempuan adalah perangkap yang tajir untuk menjebak Yesus. Perempuan hanyalah catatan kaki dalam narasi-narasi sosial dengan label “kelas dua” di bawah hirarkhi pongah kaum lelaki. Siapa yang peduli tubuh mereka dicabik-cabik hasrat syahwat kaum lelaki? Secara politis, mereka bukan apa-apa. Secara ekonomis, mereka hanya penting sebagai tunggangan politik kotor para penguasa politik dan topeng munafik pemuka agama. Tak ada yang mempersoalkan suara dan hidup perempuan, bahkan dalam kitab-kitab agama pun mereka tak lebih noktah objek penderita menurut tafsir ahli-ahli kitab yang maskulin. Bisa jadi, perempuan memang dari sononya adalah sumber dosa asali yang menjebak lelaki ke dalam perangkap dosa. Maka jadilah perempuan umpan yang sempurna untuk menjerat Yesus.

Jawaban Yesus menohok telak jantung kemunafikan kaum pemuka agama dan ahli kitab itu. Jelas bukan respons semacam itu yang mereka harapkan. Tapi jawaban itu juga tegas menggagahi kepongahan religius mereka. Siapa manusia yang tidak berdosa? Jika tidak ada, maka siapa pula mereka yang hendak menghakimi perempuan ini? Bukankah hanya tuhan yang tak berdosa itu satu-satunya yang layak menghakimi pendosa dan mengampuni dosa? Jelas jika mereka melangkahi prinsip teologis itu maka mereka sedang mengangkangi kemuliaan tuhan yang mereka puja dengan segala ritual sembah-sujud. Dan itu adalah dosa terbesar menurut agama mereka.

Penuh malu atas kenaifan dan kemunafikan sendiri, mereka pun pergi. Perempuan itu pun menjadi manusia merdeka dan bermartabat bukan karena segala tetek-bengek tafsir kitab suci. Tapi karena Yesus memperlakukannya sebagai manusia sejati, yang bergelut dengan sejarah kelam dan kemelut carut-marut hidupnya. Perempuan itu bukan tanpa dosa. Yesus pun tak merasa berhak menghakiminya dengan dasar nalar apapun. Justru ada pengharapan terbentang mengalami hidup sebagai anugerah, menatap dan melangkah melanjutkan hidup besok, lusa dan selanjutnya. Tapi dengan martabat dan kemuliaan sebagai manusia yang setara dengan yang lain. Bukan maaf yang diperlukannya melainkan kesediaan berjalan bersama menghadapi kenyataan hidup: “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.”

Selamat merayakan hidup bersama!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces