Aku menulis maka aku belajar

Monday, December 17, 2012

Metode Penelitian Teologi: Riwayatmu Kini?

Sebenarnya ini adalah topik klasik yang pernah hangat diperbincangkan belasan tahun lampau. Sejauh yang saya tahu, isu ini pernah dimuat dalam salah satu edisi Jurnal Gema (Fakultas Theologia UKDW). Tetapi tampaknya – menurut pengalaman saya – banyak hal masih berkabut dan masih relevan untuk dibincangkan sebagai upaya menjernihkan beberapa hal yang relatif tidak jelas atau kerap menjadi bahan perdebatan. Saya ingin mulai dengan memaparkan apa yang saya sebut “tiga lapis narasi berteologi”.

Narasi pertama
Saya mengikuti salah satu sesi Kuliah Alih Tahun (KAT) PERSETIA tahun 1998 seputar “Doing Contextual Theology in Asia” oleh Prof. Dr. Choan-Seng Song (Pacific School of Religion, Berkeley). Salah satu pernyataan yang cukup menantang darinya adalah “Saya punya pengalaman unik dengan Karl Barth. Selama studi teologi saya, saya telah membaca seluruh seri Church Dogmatic Barth. Tidak hanya itu. Saya pernah mendapat kesempatan duduk di bawah kaki Karl Barth dan mendengarkan kuliahnya. Tapi, sejak ia membuka mulutnya untuk berbicara dan mengakhiri kuliahnya, saya tidak mengerti sebagian besar apa yang ia bicarakan. Semua terasa mengawang-awang di langit dan tidak menyentuh realitas saya sebagai manusia yang hidup dalam suatu konteks kemanusiaan di Asia.”

Narasi kedua
Pernah pada suatu masa, aktivitas berteologi pada sekolah-sekolah teologi didominasi oleh kajian biblika. Matakuliah-matakuliah biblika menjadi primadona dan dianggap “wow” di kalangan para sarjana teologi. Bahkan seorang dosen teologi yang jebolan salah satu universitas di Eropa pernah mengatakan bahwa “Dalam kajian biblika tidak perlu dipaksakan untuk dikontekstualisasikan, karena itu hanya akan mereduksi keilmiahan ilmu teologi (biblika) itu sendiri.” Maka hampir seluruh catatan eksplorasi biblika penuh sesak dengan catatankaki-catatankaki yang merujuk ke teks-teks klasik atau kodeks-kodeks yang dikatalogisasi menurut standarisasi keilmuan di belahan “Barat”. Kajian biblika tak perlu langsung bersentuhan dengan realitas kontekstual tertentu pada masa kini.

Narasi ketiga
Diskursus teologi di Indonesia sempat diramaikan oleh munculnya sejumlah publikasi teologi (artikel, tesis, disertasi) yang mencoba mempertautkan secara kreatif eksplorasi “master narratives” dalam teologi [Barat] dengan realitas pergumulan kontekstual-kemanusiaan dalam konteks Indonesia. Sebutlah Gerrit Singgih, sarjana biblika yang menaruh perhatian serius pada upaya kontekstualisasi di Indonesia; Andreas Yewangoe, seorang teolog sistematika yang menulis disertasi tentang realitas kemiskinan di Asia sebagai titik pijak memahami teologi salib; Eka Darmaputera, teolog sistematika lainnya yang juga serius mendialogkan diskursus kebudayaan dan politik di Indonesia dengan pemikiran teologi melalui kajian tentang Pancasila; John Titaley, sarjana biblika yang mengembangkan pendekatan sociological exegetic dengan mendiskusikan kajian biblika dan kajian teoretis ilmu-ilmu sosial; Zakaria Ngelow, sejarawan gereja yang menulis disertasi “Kekristenan dan Nasionalisme” dan aktif dalam gerakan pluralism di Indonesia; Th. Sumartana, yang mengembangkan kajian sosiologi agama dengan mempelajari kekristenan di Jawa dalam pergolakan konteks ruang dan waktu tertentu; Mariane Katoppo, teolog perempuan Indonesia yang sejak era 1970an bukunya "Compassionate and Free" telah menjadi rujukan internasional dalam membedah teologi feminis (baru diterjemahkan hampir 30 tahun kemudian, beberapa bulan sebelum ia meninggal dunia - karena dilarang oleh rezim Orde Baru); Eben Nuban Timo, teolog sistematika (dogmatika) yang mendialogkan dengan serius tradisi-tradisi teologis Barthian dengan realitas budaya lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT); dan beberapa lainnya.

Tiga lapis narasi tersebut sebenarnya upaya saya untuk memodelkan wacana teologi yang berkembang di Indonesia. Namun demikian, saya percaya bahwa sebagai model tentu saja itu tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Apa yang menjadi perhatian saya sebenarnya adalah: bagaimana model-model berteologi tersebut mampu menyumbang pada konstruksi teologi yang benar-benar serius menanggapi pergumulan dan pergulatan kemanusiaan? Ataukah seluruh wacana berteologi kita hanya penuh dengan hiruk-pikuk dan hingar-bingar membicarakan penulis-penulis “bule” yang telah memproduksi puluhan jilid buku teologi dan/atau filsafat-teologi?

Pertanyaan tersebut kemudian juga menggiring pada metode penelitian teologi yang kerap ditandai sebagai metode penelitian yang kabur dan tidak jelas. Jika menggunakan analisis teks, maka ada anggapan bahwa itu bukan metode penelitian teologi, tapi metode penelitian linguistik (sastra). Jika bermaksud menggarap ranah konteks, maka ada anggapan bahwa itu adalah metode penelitian sosial (sosiologi, antropologi, psikologi-sosial). Demikian juga dengan eksplorasi dialogis ide-ide “teologis” dan “filosofis” sebagaimana yang dilakukan oleh para sesepuh teologis seperti Karl Barth, Jurgen Moltmann, Paul Tillich, hingga John Cobb.

Ada yang berkelit dengan mengatakan bahwa "teologi" adalah ilmu yang memanfaatkan pendekatan interdisipliner dan karena itu sah-sah saja semua dipakai. Kendati, pada pihak yang lain, istilah "ilmu" itu sendiri agak dipersoalkan berkaitan dengan apa yang disebut perspektif keilmuan (epistemologi, paradigma, metode riset, teoretisasi), sehingga kemudian menuduh teologi hanyalah semacam metode kontemplasi personal dengan elaborasi filosofis yang canggih (sophisticated).

Catatan ini hanya ingin membuka sedikit celah percakapan di antara banyak isu-isu besar (grand-narratives) yang memadati dinding forum teologi dan biblika ini. [steve gaspersz]
Read more ...

Tuesday, November 27, 2012

Menjelang Sidang MPL Sinode GPM Tahun 2012

Perhelatan gerejawi Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 kian dekat. Dapat dibayangkan bahwa kesibukan pun meningkat mempersiapkan segala sesuatu untuk dipertanggungjawabkan, dilaporkan, dievaluasi, dan dipercakapkan untuk tindak lanjut dari seluruh proses menggereja pada semua lini pelayanan. Ada kekecewaan secara pribadi karena saya tidak bisa terlibat dalam peristiwa tersebut. Saya beberapa kali mengikuti persidangan MPL (dulu: BPL) tapi kekecewaan kali ini semata-mata karena tidak bisa menginjakkan kaki di Klasis Pulau-pulau Babar. Sesuatu yang sudah lama menjadi kerinduan tapi belum terwujud.

Penyelenggaraan Sidang MPL Sinode GPM tahun 2012 di Klasis Babar tentu memiliki makna substansial dan strategis. Makna substansialnya terletak pada konteks geografis dan kebudayaan jemaat-jemaat GPM di kepulauan Babar. Jika menggunakan lensa “pusat-pinggiran” (centre-periphery) maka secara geografis gugusan pulau-pulau ini berjarak sangat jauh dari kota/pulau Ambon yang selama ini selalu dilihat sebagai “pusat” (pemerintahan, pendidikan, modernitas, dll). Perspektif tersebut berimplikasi pada menguatnya gerakan menuju “pusat” dalam bentuk urbanisasi. Gerakan menuju “pusat” itu memperlihatkan bahwa konteks sosiobudaya Babar lebih dikonotasikan sebagai “[ter]pinggir[k]an”.

Konotasi “[ter]pinggir[k]an” sudah lazim dalam wacana pembangunan sejak zaman kolonial hingga era kemerdekaan politik sekarang di Indonesia. Konotasi tersebut dengan segera mencuatkan pencitraan tentang “ketertinggalan”, “keterbelakangan”, uncivilized, yang selalu kontras dengan citra modernitas pada “pusat”: melimpahnya fasilitas publik yang memberi kenyamanan dan efisiensi pada warganya. Dengan demikian, perspektif tentang konteks geografis sedemikian pada gilirannya memengaruhi cara pandang kita tentang kebudayaan masyarakatnya, yang juga dianggap [ter]pinggir[k]an.

Sudah cukup lama saya mendengar istilah “blakang tana”. Sejauh saya tahu, ketika disebutkan istilah itu menunjuk pada situasi sosial dan budaya seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari wilayah yang jauh dari Ambon. Biasanya itu ditujukan kepada “orang-orang Tenggara”, suatu istilah lain lagi yang bernada pejoratif ketika dikontraskan dengan situasi sosial “orang Ambon” dan budaya “adiluhung” Ambon (yang terbukti kemudian hanya penjiplakan setengah-hati budaya kolonial Belanda). Penamaan tersebut merupakan reproduksi pencitraan patron-klien yang diciptakan oleh pemerintah kolonial (terutama Belanda) yang menggunakan strategi segregasi sosiobudaya demi memudahkan pelestarian hegemoni kolonial. Hingga kini pun kita masih bisa melihat dan mendengar pelestarian hegemoni kolonial tetap berlanjut dalam ingatan kolektif dan konstruksi identitas masyarakat dan jemaat kita.

Lantas, apa makna strategisnya? Euforia pemekaran wilayah (kabupaten), termasuk kabupaten Maluku Barat Daya, tentu berdampak ekonomis dan politis yang signifikan bagi proses-proses sosial di Babar. Sudah menjadi opini umum bahwa sebagian besar proses pemekaran wilayah berujung pada keretakan relasi-relasi sosial, bahkan konflik yang berdarah-darah. Wilayah dan komunitas yang semula diagung-agungkan memiliki keharmonisan dan kesatuan hidup, tiba-tiba berubah menjadi kubu-kubu politik identitas yang saling mendaku memiliki otoritas melebihi yang lain.

Parpol-parpol yang mengusung ide pemekaran wilayah saling berbenturan kepentingan politik sehingga tidak lagi fokus pada penguatan fondasi sosiobudaya pasca-pemekaran untuk menentukan prioritas dan strategi pembangunan yang menjadi idealnya semula. Apa yang tampak menguat hanyalah kontestasi kekuatan-kekuatan politik yang mencari celah-celah kesempatan memperkuat posisi kelompoknya sendiri sembari tak peduli pada tujuan-tujuan politik bagi kepentingan rakyat bersama.

Dalam kekalutan situasi politik semacam itu – terbuka maupun terselubung – ada harapan-harapan yang ditujukan kepada institusi-institusi keagamaan (baca: gereja) agar memainkan peranan politik secara strategis. Politik di sini baiknya dipahami dalam pengertian yang luas, sebagai upaya mengelola relasi-relasi kekuasaan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan ideal bersama sebagaimana telah disepakati (konsensus). Dalam konteks sedemikian, gereja (GPM) tidak punya pilihan lagi selain terlibat aktif dalam pengelolaan relasi-relasi kekuasaan agar berjalan seturut dengan visi dan misi menggerejanya. Di sini gereja memerlukan strategi yang bersifat dialektis antara misi teologis dan misi sosiologis/politis. Gereja tidak bisa menghindarinya sebagai pelarian dari tanggung jawabnya.

Bagaimanakah makna substansial dan makna strategis ini dimanifestasikan selanjutnya? Tentu bukan kewenangan saya untuk mengelaborasinya lebih lanjut dan lebih dalam. Setidaknya catatan ini hanya menjadi semacam “lampu kuning” agar percakapan selama sidang MPL tidak hanya menjadi retorika basi atau pepesan kosong. Dana miliaran rupiah yang digelontorkan untuk penyelenggaraan sidang ini mesti menjadi pusat keprihatinan bahwa di baliknya ada tangan-tangan kurus yang memberi dengan hati penuh cinta kepada gerejanya; ada perut-perut kelaparan saat menyuguhkan makanan kepada peserta sidang; ada tangisan-tangisan menyayat hati di balik tawa saat melayani kebutuhan peserta persidangan; ada keinginan tak terucapkan saat mendengar para peserta bicara tentang program pelayanan; dan ada persoalan besar yang tidak terelakkan – “Apa yang kami (jemaat) terima setelah semua ini usai?”

Selamat berlayar dan bersidang!
Read more ...

Belajar dari JM: Catatan Kecil

Catatan singkat ini pertama-tama ditulis sebagai apresiasi atas penghargaan Tannenbaum yang diterima oleh Pdt Jacky Manuputty (selanjutnya: JM) beberapa waktu lalu di New York. Beberapa tahun lampau saya sudah menulis refleksi singkat ketika menghadiri penganugerahan Maarif Award kepada JM di Taman Ismail Marzuki Jakarta (lihat “Maarif Award untuk Rakyat Maluku” dalam buku IMAN TIDAK PERNAH AMIN).

Kendati pemberian ini patut diberi penghormatan yang selayaknya, saya tidak ingin terlalu berbuih-buih dengan pujian-pujian kepada JM. Tegasnya, saya tidak ingin jatuh pada perangkap kultus individu secara berlebihan tapi abai menangkap makna dari proses yang dijalani oleh JM. Saya justru ingin melihat sisi lain yang sempat saya kenal dari pengalaman berdialog dan bekerja bersama-sama JM hingga saat ini. Itulah titik pijak saya untuk menuliskan sesuatu tentang pencapaian JM seperti yang telah kita lihat melalui penganugerahan penghargaan bertaraf internasional kepadanya.

Pencapaian JM tersebut tentu bukan sesuatu yang jatuh dari langit begitu saja. Ini merupakan salah satu buah dari hasil kerja keras dan konsistensi memperjuangkan sesuatu bagi kepentingan komunitas yang diadvokasi oleh JM. Hal yang paling jelas dalam pengalaman saya bersama JM adalah ketegasannya untuk tidak membeo pada capaian orang lain dan kegigihan untuk menampilkan sesuatu yang orisinal, buah dari pemikiran dan kreativitas diri. Prestasi orang lain menjadi acuan untuk menggarap seluruh potensi diri dan menghasilkan sesuatu yang khas. Itulah yang kemudian ditawarkan dalam proses belajar bersama dengan orang lain. Orang lain – siapapun dia – tidak menjadi patron yang kepadanya kita hanya “tunduk” dan “kagum” sambil bahkan setengah memuja, tetapi orang lain menjadi mitra berpikir dan belajar untuk menemukan kapasitas diri sendiri dalam berkreasi.

Mengikuti langkah-langkah panjang JM, bisa membuat kita pontang-panting. Pernyataan ini bisa dibaca secara harafiah, karena saya pernah mengikuti JM berjalan kaki usai menjadi juri lomba debat dan lomba bertutur dalam dialek Ambon pada Jambore Anak se-Klasis Pulau Ambon beberapa waktu lalu. Kami berdua berjalan kaki dari Seilale sampai ke Amahusu. Anda bisa membayangkan kaki saya yang “imut-imut” ini harus mengikuti langkah-langkah “raksasa” JM. Tidak bisa menyuruhnya berjalan pelan-pelan, jadi terpaksa saya yang harus “gici-gici” mengikuti ayunan langkah JM.

Pernyataan itu bisa juga dibaca secara interpretatif bahwa JM selalu cenderung mengayunkan langkah-langkahnya dengan bentangan yang lebih luas dan dengan kecepatan yang agak sulit diikuti oleh kaum “easy-going” (suka santai). JM tidak pernah berhenti bergerak atau puas pada satu “positioning”. Oleh karena itu selalu saja ada hal-hal yang dipikirkan dan dilakukan untuk mengusik apa-apa yang dianggap orang lain sudah mapan. Apa yang saya pelajari dari situ adalah kepekaan yang terus-menerus diasah menanggapi realitas untuk menembus kemapanan dan menghidupi realitas secara bergairah melalui ide-ide baru yang orisinal. Ekspresi itu tampak dari keterlibatan JM dalam aktivitas seni tari (koreografer) dan teater.

Jika JM memperoleh penghargaan sebagai “provokator perdamaian” maka saya melihatnya sebagai sebuah kelayakan jika melihat bagaimana konsistensi dan persistensi JM terlibat dalam aktivitas resolusi konflik dan perdamaian selama konflik sosial Maluku sejak tahun 1999. Pendekatan resolusi konflik dan perdamaian dengan berbasis pada penguatan “local wisdom” dan jejaring internasional menjadi salah satu karakteristik pendekatan JM. Menurut saya, JM tidak terlalu percaya bahwa teori-teori konflik dan perdamaian pada level yang sangat abstrak mampu meretas jalan perdamaian secara mumpuni. Ia tampaknya sangat yakin pada kapasitas komunitas lokal dalam membangun mekanisme pertahanan diri berbasis penyadaran kebudayaanlah yang sebenarnya menjadi fondasi membangun kesadaran dan praksis perdamaian itu. Kritiknya terhadap pendekatan formal oleh apparatus negara (sipil dan militer) mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan mereka sendiri yang selama ini mengalami pelumpuhan dan pembodohan demi kepentingan [apparatus] negara itu sendiri.

Banyak narasi saya bersama JM. Tapi cukuplah sampai di sini. Narasi reflektif singkat ini hanya ingin membuka sedikit celah kesadaran kita bahwa belajar dari orang lain dan di tempat lain itu penting. Tetapi “belajar” dalam arti sesungguhnya bukanlah membeo, bahkan hanya menjadi subordinasi orang lain. “Belajar” – seperti yang saya pelajari dari JM – adalah mengenal kapasitas diri sendiri, budaya sendiri, komunitas sendiri (lokal) lantas itu menjadi titik berangkat untuk menawarkan sesuatu kepada orang lain agar juga belajar dari diri kita sendiri. JM sudah memperlihatkan bahwa dunia internasional belajar dari orang Maluku. Itu berarti kita punya sesuatu dalam diri kita untuk kita tawarkan sebagai model pembelajaran bersama masyarakat internasional. Yang “Barat” (Western) tidak selamanya harus menjadi acuan pembelajaran kita. Mereka harus juga belajar dari kita. Tentu dengan satu syarat bahwa kita sungguh-sungguh mengenal siapa diri kita, bagaimana kebudayaan kita sendiri, dan sejauh mana kita mampu mengelola kapasitas budaya kita untuk dikenal orang lain, bukan sebagai “objek turisme” belaka tapi sebagai mitra berpikir dan belajar.

Selamat untuk rakyat Maluku melalui penghargaan kepada bung Jacky Manuputty!
Read more ...

Tuesday, October 9, 2012

Church as Learning Community - Sermon at the Yogyakarta International Congregation


Sermon at the Yogyakarta International Congregation
Sunday, 23 September 2012 at 5.00 pm

Reading: Luke 2:41-52
Theme: Church as Learning Community

Good afternoon all brothers and sisters,

It is a great opportunity to meet you here as one body of Christ. Let me first introduce myself. My name is Steve Gaspersz. It sounds like American name but is not. I am a pastor at the Protestant Church of Maluku in Ambon, Eastern Indonesia. This is for the first time I join in the Yogyakarta International Congregation and standing up before you all. Thanks for the ministry board of YIC for the invitation. I hope that we can know each other during our conversation later on.

Before we learn each other about the God’s message in our biblical reading in the Gospel of Luke chapter 2 verses 41 to 52, I would like to invite you all to look at persons who sit surrounding you in left side, right side, back side as well as front side, and give your sweet-charming smile, shake your hands each other and say “God bless you!”. Please do it!

If you ask questions why should we do this? What is the reason? I think those are good questions. In my experience as a pastor, every time when I stand up before the congregation I can see many faces with various expressions. There are sad faces; angry faces; gloomy faces; serious faces but with empty eyes, and so on. Of course, I can see as well many happy faces; cheerful faces; enthusiastic faces with bright eyes, and so on. Our face express our heart-feeling even though some people able to hide by looking as nothing happened and everything is okay. Very often we cannot hide our problems through our face expression.

Yes, everybody has problem, including me. And instead of putting away our problems, we are carrying those problems every minute in our life even until we sit in church. We have been influenced by our problems and lost our joyful when we share God’s message during the worship. We sit in the church since the beginning of worship until the end without knowing our fellows who sit around us in the church even unwilling to share our charming smiles.

That is the basic reason why I invite you to do that before we learn about God’s message together. Learning about God’s message is not only matter of reading the Bible literally, hearing the pastor’s voice or seeing him/her in the pulpit. Learning God’s message, first and foremost, is about feeling God’s presence in our heart and hearing God’s voice precisely inside your body and life. How can we do that? First of all, let us open our eyes around, knowing our fellows around, and accepting them as part of your life. Because by knowing and accepting somebody surround you in the church, we able to feel God’s presence. That is why we need worship as a communion every Sunday.

You have problems. I have problems. They have problems. But when we realize that we sit together in the church then we believe that we are united by the God’s Spirit and we are shared the power of God’s love which are bigger and stronger than our problems.

Learning God’s message has meaning as discovering the spirit of joyful while overcoming one by one of our problems. It means that “do not say to God that you have a big problem, but say that my God is bigger than my problem”. When the spirit of joyful is within our life then God’s message becomes God’s power that encourage us to face our problems, not as burden but as the opportunity to build our Christian character as disciples of Christ. Facing our problems with the spirit of joyful is a learning process to be a faithfully disciple of Christ. What is the task of disciple? Only one: “learning”. Thus, the key term here is “learning”.

Brothers and sisters,

Luke chapter 4 verses 41to 52 as our biblical reading today is a good story about learning faith. We can only read the passage in the Gospel of Luke. There are no parallel stories in other synoptic gospels (Matthew, Mark, and John). This story is Luke’s story. Interestingly, in this story, Luke narrates Jesus as a “twelve years old” boy. Well, I think you know very well what happened when we were twelve years old, or perhaps you know quite well because you have twelve years children. Too many questions, too many curiosities as happened to all “almost” teenager. I call it as “almost” teenager for this is actually a liminal (in-between; unstable) age when they are trying to determine their existence by searching models from everywhere or from everyone by learning many things. The crucial point in this age is that they try to be whatever they want to be out of the parents’ control.

This happened with Joseph and Marry after the Feast of the Passover in Jerusalem. They lost Jesus but still unaware of it for they thought that Jesus is in their company. Later on they immediately had awareness that Jesus was not with them. We can imagine how worry was Joseph and Marry at the time. No smartphone. No short message service (SMS). No facebook. No twitter. No google earth. No matic motorcycle. No cars. No internet connection. They had to go back to Jerusalem after travelled for a day. What a naughty Jesus!

Joseph and Marry looked for Jesus in each corner of the city by walk. They asked each person about Jesus. No one knows! Eventually, after three days (!), they found him in the temple courts, sitting among the teachers, listening to them and asking them questions. Awesome! Jesus was learning in the Temple. He did not join with his peer groups for fun, drugs, or spent time for chit-chat or gossip. Jesus decided to go to the Temple for learning something new. This story gives us a fundamental notion that Jesus performed a concrete example that our faith is a learning faith. As a young Jew, Jesus obeyed to his religious tradition but at the same time he questioned his tradition by learning in the Temple. Faith is not only about doing worship as part of church tradition. Christian tradition or church tradition is important but more important that we understand the meaning and how to implement the meaning of such tradition in our daily life. That was the teen Jesus do.

When his mother said to him, “Son, why have you treated us like this? Your father and I have been anxiously searching for you.” But we see what Jesus respond. He replied, “Why were you searching for me? Didn’t you know I had to be in my Father’s house?” Can you imagine when your son/daughter responded your question like that? I don’t know what you will do afterward. Can we say that Jesus demonstrated his stubbornness and impoliteness to his parents? Surely “Yes”. But is that the aim of the Gospel of Luke to show such stubbornness and impoliteness of Jesus? I don’t think so for I rather would like to see it by another angle.

Luke actually would depict Jesus as the young boy who was trying to place himself as an independent self. Jesus realized that he had learned much from his parents in the family circumstance. But he also realized that it is time for him to determine his orientation by himself and learning to take decision to be an independent self and looking for new horizons of experience and knowledge from and about others. And he was searching for it in the Temple. In other words, the Temple is not only considered as the worship place in certain days or times, but the Temple also becomes “school” or “midrash” (Hebrew) or “madrasah” (Arabic), the place where people regardless their age, profession, sexual orientation, educational level, cultural background, ethnicity, and so on, gather for sharing knowledge and experience to strengthen their faith as well as their understanding on religious tradition.

The phrase “I had to be in my Father’s house” actually is the theological standpoint of the Gospel of Luke. Luke emphasizes that Jesus learned in the Temple not merely as a cognitive exercise but he knows that in the Temple his faith is strengthened through learning each other. Learning process implies continuity and discontinuity as Jesus did. He wants to continue his learning action by discontinuing his relationship with his parents. The only aim is to understand more and more about his Father’s will. “Father’s will” is a new realm for the young Jesus. That is the reason Jesus feels he should be in his Father’s house.

Brothers and sisters,

We believe that the church is a symbol of the body of Christ and we are the community of faith in Christ. But our faith, as Jesus shown, is a learning faith. Learning for what? For discovering God’s message in our experiences, in our traditions, in our works, in our daily life, in our friendships, in our families, in our studies, in our sorrows, in our happiness, in everything. The Bible provides us theological direction that our experiences are the field where God cultivate God’s wisdom. By the God’s wisdom we know how to respect our life, how to appreciate our fellows, how to understand the great values of life as the God’s gift.

By discovering God’s wisdom in our life it does not mean that our problems will disappear automatically or in miraculous ways. No. Instead, God’s wisdom opens our mind and burning our spirit to find solution which is no longer based on our self-centered willingness but on the basis of new insights, new motivations, and new hopes.

Tomorrow we are going to step in a new week, seven days with five work days. We know nothing about tomorrow even though we have a lot of plans to do. We still have some unfinished problems in our works, our family life, our relationships with others, and so on. Today our biblical reading encourages us that our problems should be viewed as part of learning process to be a disciple of Christ. There is of course continuity and discontinuity in that process. However, precisely within the learning process God opens our mind and heart to find ways out.

Jesus’ story in our passage today tells us that our pray is important in church; our worship in church is important; our communion in church is important as well. But mostly important is we believe and we understand that those are only small parts of our learning faith; we should open our mind and our heart to receive God’s wisdom through our life experiences. Our living experience is liturgy of life where dialogue between us and God takes place. It means that we are becoming church as learning faith community seeking for God’s will through our daily life experience.

We learn not only for the benefit of ourselves. We learn to be a disciple of Christ who really understands God’s calling for us. As Jesus said “I had to be in my Father’s house”. Where is the Father’s house? I would say as my Christian faith that our world, our works, our family, our relationship to others, these are our Father’s house. Father’s creation where all creature lives in. It means that we live in our Father’s house here in the earth, not somewhere in the sky called heaven, with responsibilities; not to destroy or to make it mess but to maintain; not to conflict each other but living together with respect to differences.

Now such responsibilities are waiting for us during the next week. Don’t be worry. Keep your faith and still learning to strengthen our faith through every problem we have. Let us see what God will do for us! Open your heart and your whole life to receive abundantly God’s blessing in your life. Amen.

Read more ...

Perebutan Hegemoni Blambangan: Bedah Buku


Pengantar
Saya berterima kasih atas kesempatan untuk menyelisik buku karya Dr Sri Margana ini. Saya merasa tidak perlu untuk “membedah” buku ini. Sebagai sebuah karya akademik (disertasi), buku ini merupakan manifestasi kerja keras dan penelusuran panjang berbagai dokumen sejarah yang dikaji dengan pendekatan metodologis sejarah yang ketat, serta telah diuji dan dibedah oleh pakar-pakar sejarah yang lebih berkompeten daripada saya. Hal sederhana yang hendak saya lakukan adalah memetakan gagasan-gagasan penulis sebagai sebuah karya sejarah dan menemukan signifikansi karya ini dalam memahami dinamika sosial masyarakat Indonesia kontemporer.
Kedua, saya perlu melakukan positioning. Saya bukan seorang sejarawan. Kendati tertarik dengan kajian-kajian sejarah namun minat akademik saya lebih tertuju pada kajian keagamaan (religious studies). Religious studies dalam arti yang formal dan sistematis tampaknya belum terlalu lazim di Indonesia.  Kajian ini kerap diidentikkan dengan kajian teologi agama-agama dan perbandingan agama. Namun, pada hakikatnya religious studies lebih berupa analisis sosiobudaya dengan menggunakan pendekatan lintas keilmuan (interdisciplinary) terhadap agama sebagai fenomena sosial. Dengan pendekatan semacam itu maka religious studies sangat terbuka dalam memanfaatkan kajian-kajian sejarah – seperti buku ini – dalam memahami fenomena keberagamaan suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat. Dalam ranah ilmu-ilmu humaniora, fenomena keberagamaan dipahami sebagai bagian integral dari proses-proses sosial yang berlangsung dalam konteks sosial tertentu. Dimensi-dimensi transendental dalam religiositas dilihat terutama melalui manifestasi kultural dan sosiologisnya; bukan pada aspek teologisnya.
Ketiga, melalui lensa religious studies saya akan lebih meneropong bagaimana identitas keagamaan dikonstruksi dalam suatu masyarakat pada konteks ruang dan waktu tertentu dalam suatu lintasan historis seperti yang dinarasikan oleh sejarawan Sri Margana. Dengan demikian, kontribusi kajian sejarah tidak hanya diperlakukan sebagai suatu data tetapi lebih sebagai jendela perspektif yang membentangkan cakrawala masa lampau suatu masyarakat dengan berbagai manifestasi identitasnya, termasuk identitas keagamaan. Dalam religious studies, identitas keagamaan tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam konteks sosial secara komprehensif. Ruang yang tersedia di sini hanya akan saya gunakan melihat dimensi sosial dan fungsional agama dalam konteks masyarakat Ujung Timur Jawa atau Bang Wetan pada abad ke-18.

Membaca Sejarah
Kata “sejarah” bukanlah kata asing dalam percakapan kita sehari-hari. Namun demikian, kata itu juga mengandung pengertian yang variatif. Dalam pengalaman penelitian lapangan, ketika seseorang diwawancarai oleh peneliti mengapa suatu konsep atau perilaku diterima oleh masyarakat, maka hampir selalu jawaban yang diterima adalah “Ya, memang sudah dari dulu begitu” atau “Hal itu sudah dilakukan sejak para leluhur kami” atau “Ya, sejarahnya begitu” dll. Pernyataan semacam itu kemudian menjadi pemicu bagi peneliti untuk menyelidiki lebih lanjut hingga mampu menuliskan narasi sejarahnya berdasarkan kepingan-kepingan informasi melalui wawancara dan/atau penelitian dokumen yang tersedia.[1]
Sederhananya, sejarah adalah konstruksi naratif dan interpretatif tentang masa lampau. Sebagai narasi dan interpretasi, definisi sederhana itu pada gilirannya memunculkan isu-isu filosofis. M.C. Lemon membagi proses pembelajaran sejarah pada dua kategori filosofis: [1] filsafat sejarah spekulatif yang menelaah “muatan” sejarah manusia untuk melihatnya sebagai suatu keutuhan yang bermakna; [2] filsafat sejarah analitis yang melihat sejarah sebagai suatu disiplin untuk menemukan dan memahami masa lampau. Istilah “analitik” di sini juga turut melibatkan peran subjektif sejarawan.[2] Pernyataan Lemon ini mengindikasikan pada derajat tertentu kompleksitas pemaknaan kita tentang “sejarah”.
Michel Foucault menyatakan bahwa masa lampau yang dipahami sebagai sejarah merupakan suatu proses interpretasi terus-menerus oleh sejarawan sebagai suatu tindakan imajinasi, dan berbagai kategori kita tentang analisis, asumsi-asumsi, model-model dan cara-cara penggambarannya menjadi salah satu bagian dari sejarah yang sedang kita uraikan. Pernyataannya ini didasarkan pada penolakannya terhadap konsep sejarah yang linear. Karakter interpretatif yang terus-menerus merupakan respons terhadap kenyataan bahwa kita tidak pernah menemukan kebenaran orisinal. Penelitian kearsipan oleh Foucault dilihat sebagai tubuh evidensi yang dinarasikan yang merepresentasikan dan menunjukkan episteme (peristiwa dan rentang waktu) tertentu, yang didorong dan dijumpai oleh sejarawan dalam epistemenya sendiri.[3] Dengan demikian, menurut Munslow, peran fundamental sejarawan adalah memahami dan menjelaskan dalam wujud tulisan hubungan antara peristiwa-peristiwa dan gagasan manusia atau agensi di masa lampau. Sejarawan memilih datanya berdasarkan minatnya terhadap suatu peristiwa unik atau gagasan dan tindakan individu menanggapi kondisi tertentu. Jadi, masa lampau dan sejarah tertulis adalah dua hal yang berbeda.[4]

Blambangan dalam Konstruksi Sejarah Sri Margana
Tidak diragukan bahwa karya ini selayaknya diberi apresiasi tinggi jika kita melihat kerja keras dan ketekunan penulisnya menelusuri jejak-jejak masa lampau melalui penelitian kearsipan pada masa kolonial (sebagaimana dapat dilihat pada bibliografi mengenai arsip, sumber resmi tercetak dan sumber Jawa tercetak). Sejauh yang saya tahu, sedikit sekali sejarawan yang memiliki keahlian dalam membaca arsip-arsip kolonial karena dibutuhkan penguasaan bahasa Eropa kuno (terutama Belanda), bahasa Jawa kuno (untuk penelitian ini) dan ketekunan untuk menyusun kepingan-kepingan dokumen tersebut menjadi sebuah narasi sejarah yang runut dan jelas.
Menurut saya, tidak berlebihan jika dalam konteks kajian sejarah sosial di Jawa, karya Sri Margana ini melengkapi kajian makro sejarah seperti tiga jilid Nusa Jawa: Silang Budaya-nya Denys Lombard atau dua jilid karya Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1993) atau M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Edisi ketiga 2001).[5] Jika terutama upaya Lombard dan Reid lebih terarah untuk menyusun narasi sejarah kebudayaan Jawa dalam lingkup Asia Tenggara, maka Margana berupaya untuk melakukan konstruksi narasi sejarahnya pada lingkup yang lebih terbatas, yaitu Ujung Timur Jawa (Bld. Java’s Oosthoek; Jw. Bang Wetan, dengan acuan “bagaimana wilayah ini digabungkan ke dalam sebuah perkembangan politik di Jawa…” (hlm. 2). Margana menyajikan analisis sejarah bagaimana Belanda mencoba mengubah Java’s Oosthoek ini dari belantara yang dipenuhi para pelarian politik, oposan, dan pemberontak yang selalu melawan para penguasa asing (Belanda dan sekutunya), menjadi sebuah wilayah yang terintegrasi secara ekonomi dan politik dengan wilayah-wilayah kekuasaan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa dari paruh kedua abad ke-18 hingga masa-masa awal pemerintahan kolonial pada permulaan abad ke-19.
Terurai dalam sembilan bab, narasi sejarah yang disajikan oleh Margana terpetakan melalui tiga tema besar. Tema pertama adalah benturan peradaban antara dua kekuatan religius Hinduisme dan Islam. Pada paruh akhir abad ke-16 Mataram muncul sebagai pengganti Demak dan terus mendesak elemen-elemen Hindu di Jawa. Meskipun Mataram gagal mengislamkan seluruh Blambangan tetapi pengaruh Islam merembes ke lingkaran elite istana Blambangan melalui pernikahan antara mereka, termasuk raja, dengan para anggota elite istana Blambangan dari wilayah-wilayah Mataram di Jawa Timur (Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan). Kelompok ini kemudian menjadi sebuah faksi politik di istana Blambangan yang menanamkan benih-benih sentimen anti-Bali. Ini pada akhirnya meletus dalam upaya mengeliminasi seluruh elemen Hindu-Bali dari istana Blambangan. Konstelasi politik dan agama sedemikian melahirkan stigma kombinasi Islamisasi dan kolonialisme Jawa. Menyatakan diri sebagai orang Jawa pada waktu itu berarti menyatakan diri sebagai Muslim dan penjajah (hlm. 158).
Hinduisme dan Islam dalam konteks narasi ini mesti dipahami dalam spektrum lebih luas, yaitu bahwa kedua agama tersebut sebenarnya merepresentasikan dua kekuatan politik: Mataram sebagai sebuah imperium kolonial baru dengan koloninya yang merentang hampir di seluruh Jawa, termasuk Madura, vis-à-vis kerajaan Gelgel dan Mengwi di seberang Selat Bali. Blambangan menjadi “perbatasan” kekuasaan yang diperebutkan oleh kedua imperium ini dan mengalami “kolonialisme dari dalam” (hlm. 319). Dari perspektif Bali, Blambangan adalah batas penghalang yang sangat signifikan untuk menghadang ekspansi Islam dari Jawa. Sedangkan dari perspektif Mataram, Blambangan merupakan batas penghalang terakhir pembentukan dunia Islam di Jawa. Bagi kedua pihak, Blambangan adalah Java’s last frontier.
Kian sengitnya friksi antara VOC dan berbagai komunitas etnis pedagang diaspora menjadi tema berikutnya. Komunitas-komunitas pedagang diaspora Cina, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali di Blambangan secara tradisional memainkan peran penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Seiring dengan lumpuhnya aktivitas ekonomi dan perdagangan akibat perang pemberontakan Rempeg, selama hampir satu dasawarsa, maka komunitas-komunitas pedagang ini kemudian mengembangkan sebuah pelabuhan alternatif di Pulau Nusa Barong, pesisir tenggara Jawa. Pulau ini berada di luar perbatasan monopoli Belanda. VOC mencurigainya sebagai ancaman serius dan kemudian mengirimkan sebuah ekspedisi militer untuk membersihkan pulau tersebut dari aktivitas para pedagang bebas. Aksi pembersihan ini dijustifikasi dengan tuduhan smokkelaars (penyelundup) kepada para pedagang di sana.
Hampir dalam setiap sepak terjangnya, kunci keberhasilan VOC mempertahankan hegemoninya di Jawa ditentukan oleh kemampuannya untuk menjalin hubungan yang “saling menguntungkan” dan “saling memanfaatkan” dengan para penguasa lokal, terutama setelah Perang Suksesi Jawa terakhir pada tahun 1757. Dalam banyak kasus, VOC cukup lihai memanfaatkan berbagai friksi kekuasaan lokal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politiknya sendiri, meskipun pada kenyataannya terus dibayang-bayangi kecemasan akan pengkhianatan dan pemberontakan sekutunya.
Tema ketiga yang dimunculkan dalam narasi sejarah ini memperlihatkan bahwa Blambangan menjadi ajang persaingan Belanda-Inggris. Kehadiran Inggris di kawasan ini berkaitan dengan berkembangnya aktivitas dagang Inggris di Kanton. English East India Company kewalahan membiayai meluasnya  aktivitas ekspor sutra dan teh dari Kanton, dan terpaksa membatasi pengiriman perak ke Cina dengan menggunakan hasil bumi Asia Tenggara sebagai bentuk pembayaran alternatif. Kehadiran Inggris inilah yang dianggap oleh Belanda sebagai ancaman besar dan karenanya Belanda mengerahkan seluruh kemampuan dan strateginya untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi dan politiknya di Ujung Timur Jawa.
Ketiga tema besar tersebut membingkai narasi sejarah Sri Margana dalam bukunya ini dan muncul secara variatif dalam sejumlah peristiwa pemberontakan. Eksplorasi Margana terhadap berbagai dokumen dan arsip sejarah dalam buku ini kemudian mengerucut pada dua tesis menarik. Pertama, kasus pendudukan VOC di Blambangan menunjukkan bahwa di wilayah ini masyarakat Islam Jawa dan Madura memainkan peran sentral dalam ekspansi Belanda di Ujung Timur Jawa. Sebaliknya, justru komunitas Hindu yang memberikan perlawanan terhadap Belanda. Pola ini berbeda dan berlawanan dengan asumsi-asumsi umum penelitian sejarah bahwa salah satu kontribusi terbesar Islam di Nusantara adalah sebagai pelopor dalam melawan kolonialisme Belanda. Dalam hal ini, Kompeni menjadi sebuah kekuatan pendorong terjadinya Islamisasi di Blambangan dan secara simultan berperan atas merosotnya kultur dan kepercayaan Hindu-Bali (hlm. 208).
Kedua, perubahan formasi demografi telah membentuk komposisi baru etnis di Blambangan, yaitu peranakan Bali-Blambangan. Kelompok etnis baru ini muncul setelah pada paruh kedua abad ke-17 sejumlah besar orang Bali bermigrasi ke Blambangan, serta menikah dan menetap di Blambangan. Meskipun mendominasi komposisi sosial Blambangan namun keberadaan kelompok etnis ini ternyata dilematis. Pemerintah kolonial Belanda sangat berhati-hati dalam memilih para pegawai bawahan dari kelompok etnis ini dalam struktur pemerintahannya karena pengalaman pahit perseteruan dengan Bali. Namun sulit juga menemukan orang asli Blambangan (Jawa) karena dominasi peranakan Bali.
Sementara pada sisi lain, peranakan Bali-Blambangan ini tidak diakui sebagai bagian dari kasta dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat Hindu-Bali oleh para pemimpin asli Bali yang ada di Blambangan. Dalam perspektif masyarakat Hindu-Bali di Blambangan, kelompok peranakan Bali-Blambangan ini adalah Oesing yang berarti out of caste (tidak berkasta). Istilah oesing itu sendiri, baik untuk merujuk suatu kelompok etnis atau bahasa, tidak ditemukan dalam arsip-arsip VOC.

Konstruksi Identitas Keagamaan dan Politik Kolonialisme
Konstruksi dan analisis sejarah Sri Margana ini setidaknya memunculkan dua asumsi:

1. Konstruksi Identitas Keagamaan
Dalam melakukan penelitian kearsipan kolonial maka pertimbangan “siapa penulis” dokumen (arsip) perlu mendapat perhatian serius. Dalam karya ini, dapat dipastikan bahwa para penulis dokumen tersebut adalah orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan formal dalam struktur administrasi pemerintahan maupun ekonomi kolonial. Mereka menulis berbagai laporan dinas dan catatan perjalanan dengan kepentingan yang jelas, yaitu memberikan informasi sejelas mungkin kepada pihak penguasa yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan strategis demi mempertahankan kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi kolonial pada masa itu. Untuk maksud itu mereka menciptakan pencitraan sosial-politik-budaya yang dianggap menguntungkan pihak kolonial. Margana menemukan pencitraan agama sebagai salah satu kekuatan yang menguntungkan karena dapat digunakan sebagai “senjata ideologis” untuk mematahkan pemberontakan sosial. Dengan demikian, konstruksi identitas keagamaan perlu dilakukan untuk kepentingan penguasa kolonial tersebut.
Jadi, aksentuasi penting di sini selain pada perebutan hegemoni tiga pihak VOC/Mataram/Bali, tetapi juga pada hegemoni yang dilakukan oleh pihak kolonial (VOC dan Mataram-Jawa) dengan menciptakan citra-citra “agama” dan “etnisitas” (Islam-Jawa dan Hindu-Bali) untuk saling menghadapkan pihak-pihak yang bertikai.[6] Penyusupan ideologi “agama” dan “etnisitas” ke dalam catatan-catatan kolonial ini secara langsung maupun tidak langsung telah mengonstruksi perspektif dan perilaku beragama masyarakat Nusantara generasi berikutnya. Pertautan kreatif dan saling memanfaatkan antara agama dan politik – seperti dicatat oleh Margana – telah menciptakan ruang-ruang diskursus kekuasaan yang sangat kuat bagi pihak penguasa untuk mengeksploitasi identitas menjadi sumber konflik. Kita telah melihat misalnya catatan Margana mengenai kegagalan Islamisasi Blambangan pada aras akar-rumput secara massif yang justru mendorong penetrasi Islam ke dalam lingkaran elite istana. Islamisasi terjadi melalui dorongan kekuasaan politik.
Menjadi menarik di sini ketika kita menghadapi sejumlah isu ketegangan antarkelompok agama dan pernyataan-pernyataan politik yang mengusung isu sentimen agama dan etnis: Apakah hakikat masyarakat Nusantara memang sudah terkonstruksi sebagai arena konflik identitas agama dan etnis? Ataukah seluruh wacana mengenai agama dan etnisitas dalam konstelasi sosial-politik Indonesia masa kini sebenarnya merupakan sebuah konstruksi kolonial (politik identitas) yang berbasis pada upaya mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi penguasa (Belanda dan sekutunya)?

2. Politik Kolonialisme
Buku ini memaparkan secara gamblang pertarungan hegemoni tiga kekuatan yaitu Mataram (Islam-Jawa), Mengwi (Hindu-Bali) dan VOC. Dalam konteks ini, Blambangan menjadi ajang perebutan hegemoni ekonomi yang tidak hanya melibatkan kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga mancanegara (Belanda dan Inggris).[7]
            Menariknya, Margana tidak hanya melihat pada pertarungan hegemoni tingkat tinggi (elite), tetapi juga memperhatikan inisiatif-inisiatif komunitas lokal (pedagang bebas) sebagai strategi menyiasati tekanan-tekanan ekonomi melalui regulasi perdagangan administrasi kolonial dengan cara membangun basis ekonomi mereka sendiri di Pulau Nusa Barong. Ini memperlihatkan bahwa gerakan-gerakan rakyat selalu muncul mencari jalan keluar ketika berhadapan dengan situasi yang menindas kehidupan mereka, terutama secara ekonomi. Ketika politik kolonial hanya berorientasi pada perebutan lahan-lahan ekonomi makro maka pada aras masyarakat akar-rumput (grass-roots) akan muncul perlawanan-perlawanan dalam beraneka bentuknya, mulai dari yang terselubung hingga konflik terbuka. Ini yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “acts of resistance” atau oleh James Scott sebagai “arts of resistance”.[8]
Buku ini menggiring kita pada refleksi mengenai karakteristik manajemen kemajemukan sosiobudaya, agama, politik dan ekonomi pada era Indonesia modern saat ini. Apakah perubahan situasi formal politik dan ekonomi dari terjajah menjadi merdeka juga diikuti oleh transformasi mentalitas budaya dan pengelolaan kekuasaan politik dan ekonomi dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia? Ataukah kita hanya mengadopsi nama baru tetapi sesungguhnya struktur dasar kesadaran dan mentalitas kita tetap terbelenggu pada “politik kolonialisme”?
Kajian sejarah Sri Margana menjadi signifikan ketika kita membacanya sebagai jendela perspektif memahami dimensi ruang dan waktu saat ini. Berbagai gejolak yang muncul pada komunitas basis di seantero wilayah Indonesia ini dapat dicermati sebagai arena perebutan hegemoni atau negosiasi politik identitas. Setidaknya saya melihatnya pada dua perspektif: [1] sebagai manifestasi ketidakberdayaan klas penguasa (pengurus negara) mengelola kemajemukan sosial-budaya masyarakat Indonesia; dan bisa juga [2] strategi pembiaran politik ala kolonial yang membuka ruang-ruang diskursus citra-citra identitas agama dan etnisitas untuk saling membenturkan perbedaan lantas mengambil keuntungan dari khaos itu. Jika memang demikian adanya maka kita sekarang hidup di era modern sembari terus-menerus melanggengkan ideologi “kolonial”: verdeel en heers atau divide et impera. Pada titik itu, perbedaan-perbedaan sosial sebagai manifestasi kemajemukan masyarakat, terutama pada ranah agama dan etnisitas, menjadi titik-titik api yang bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk menghancurkan ikatan-ikatan sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Beberapa Catatan Teknis Redaksional
·         Formulasi judul sebaiknya Perebutan Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa 1763-1813.
·         Karena ini merupakan terjemahan disertasi ilmu sejarah yang menggunakan penelitian kearsipan, setting/lay-out sebaiknya menggunakan “catatan akhir” (end-note) sehingga alur narasi dapat dibaca dengan lebih lancar pada setiap halaman tanpa terlalu banyak dimuati catatan jika menggunakan “catatan kaki” (foot-note).
·         Pengutipan langsung dari sumber-sumber berbahasa Belanda dan/atau Inggris harus lebih berhati-hati. Demikian pula dengan penulisan nama orang dan penanggalan (tahun), misalnya tertulis pada halaman 324 “tahun 1970-an” padahal seharusnya “tahun 1770-an”.

Yogyakarta, 22 September 2012




[1] Selain penelitian kearsipan, kajian sejarah yang bersifat dekonstruktif juga mempertimbangkan berbagai tradisi lisan. Lih. Jan Vansina, Oral Tradition As History (Madison: The Wisconsin Univ. Press, 1985), hlm. 27-32.
[2] M.C. Lemon, Philosophy of History (New York: Routledge, 2003), hlm. 9, 281.
[3] Alun Munslow, Deconstructing History (New York: Routledge, 2006), hlm. 130-131.
[4] Munslow, ibid., hlm. 4-6.
[5] Karya sejarah lainnya seperti Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV, 2008).
[6] Kecenderungan ini juga dapat ditemukan dalam penciptaan citra identitas “Melayu-Islam” untuk beberapa wilayah Nusantara bagian barat dan “Melayu-Kristen” untuk wilayah kepulauan Nusantara bagian timur.
[7] Istilah “hegemoni” dikenalkan oleh pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang berarti kekuasaan klas penguasa untuk meyakinkan klas-klas sosial yang lain bahwa kepentingan penguasa adalah kepentingan semua orang. Dominasi berlangsung tanpa paksaan melainkan melalui kekuasaan ekonomi yang sangat halus (subtle) dan melalui perangkat-perangkat pendidikan dan media, yang melaluinya kepentingan klas penguasa ditampilkan sebagai kepentingan bersama dan dengan demikian diterima apa adanya. Lih. Bill Ashcroft et al (eds.), Key Concepts in Post-Colonial Studies (New York: Routledge, 1999), hlm. 116.
[8] Pierre Bourdieu, Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (New York: The New Press 1998); James Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (New Haven: Yale Univ. Press 1990). 
Read more ...

Thursday, August 23, 2012

Living with Differences in Indonesia: Promises and Challenges

Indonesia is a pluralistic archipelago nation-state in Southeast Asia.  Though it is well-known as the biggest Muslim population in the world but Indonesia is not an Islamic state as one can see around Middle Eastern countries. Islamic adherents are the majority who lives side by side with other religions such as Catholic, Protestantism, Hinduism, Buddhism, Confucianism, and many indigenous religions. There are hundreds amount of indigenous people in Indonesia who still preserves their traditional ways of life, and more than hundreds local languages and dialects. Nevertheless Indonesian people generally are binding by bahasa Indonesia as the only national language which is mastered by mostly of the people in every socio-cultural stratum and regions.

Living in Indonesia in essence is living within colorful socio-cultural background of various communities. Differences are the Indonesian social identity so that none Indonesian can evade it. Differences are our (as Indonesian) destiny and grace as well as our reality. Revealing differences as Indonesian destiny and reality has nothing to do with romanticizing pluralism in the country but rather attempting to internalize the differences after for many years it was condemned socially and politically. Since the Proclamation of Independence of Indonesia 17 August 1945, Sukarno and Hatta (both then were first president and vice president of Republic of Indonesia) as well as other founding fathers before them had endeavored to articulate Indonesian identity. Historically speaking, they all basically fully aware that the ‘imagined’ Indonesian society should be regarded as multicultural society. Far before the proclamation of independence 1945, the Youth Vow in 28 October 1928 was the great momentum when Indonesian youth groups from various ethnic backdrops (Sumatra, Java, Sulawesi, Ambon, etc.) gathered to declare their vow as ‘one’ identity of Indonesia (one nation, one language, one homeland).

Nevertheless, differences are not always comprehended as ‘blessing’ since for centuries the Archipelago (then, Indonesia) underwent colonialism by European countries. Particularly under the Dutch rule, the Nusantara people had been divided by the politic of separation to weakened the colonized. The Dutch implemented an ‘apartheid’ policy in which the colonized people divided socially by virtue of their ethnic and religious identities, also economic interests (for Chinese). Since then afterward the differences has been becoming stumbling block in socio-cultural and inter-religious relationship among the grass-root people. That is the reason when I asserted that the Indonesian Youth Vow 1928 was the great momentum to deconstruct ‘primordial colonized mentality’ and reconstructing new identity of ‘imagined’ Indonesia. The Youth Vow 1928 and the Proclamation of Independence 1945 can be seen as monumental events by which the differences as stumbling block were transformed into the powerful ability of freedom and equality.  

The regime change from Sukarno to Suharto brought about radical changes on the ruling perspective toward the reality of differences. Under his administrative, President Suharto imposed certain policy by which people were prohibited to speak publicly about SARA.[1] The government recognized the differences but unwilling wisely to manage it as the social capital of Indonesian society. Rather, the government restrained any discourse entails the SARA issue that suspected will trigger social conflict.[2] The differences are taboo. During 32 years of his regime, Suharto and the cronies succeeded to construct ‘inferior mentality’ that paralyzed people consciousness to perceive differences as an integral part of their common identity. Post-Suharto Indonesia then inherited the residue of such cognitive dissonance deal with the differences and wrestling to live in differences until today. The regime had been changing but still the ‘inferior mentality’ existed in social consciousness facing the differences.

The blatantly example can be taken from my hometown, Ambon. Soon after Suharto was toppled down from his presidency in 1998, social conflict erupted in Ambon and spread vastly into surrounding islands. The harmonious interreligious relationship that for centuries had been bonded Malukan indigenous people through local tradition pela and gandong suddenly changed into interreligious horrific enmity for almost four years. Thousands death, hundred thousand wounded and had permanent defects, hundreds of internally displaced people, children became orphans, parents lost their beloved children, not to mention about psychological traumatic for two next generations of Malukan people.

On the basis of such reality, I strongly convince that the differences in Indonesia cannot be treated merely as academic discourses but should be evolved in many practical ways of life. The notion and practice of the way we all understand and responding the differences in our daily life should be empowered as social character of people everywhere. At that point of view I think that the International Summer School on Religion and Public Life must be comprehended as the strategic design for widening social networking globally among those who have concern for strengthening our society deal with our differences reality. This event also encourage all of us whose differences to encounter one another as equal partners who are coming from different backgrounds. This is, therefore, my explanation about why we need talk as well as exercise our understanding about the role and importance of differences among us. I have a dream that differences are being our common purpose for the better world albeit simultaneously I realize that we cannot gain the promises without overcoming our challenges.

Yogyakarta, 7 March 2012




[1] SARA is abbreviation of Suku-Agama-Ras-Antargolongan (Ethnicity-Religion-Race-Intergroup).
[2] During his administrative, President Suharto implemented ‘security approach’ to restrict any protest movements to governmental policies and assuring the progress of national development.
Read more ...

Wednesday, August 15, 2012

Menghidupi Perbedaan: Catatan Kecil dari International Summer School on Religion and Public Life


Saya merasa beruntung dapat terlibat dalam program International Summer School tahun 2012 selama dua minggu di dua tempat terkenal di Indonesia: Yogyakarta dan Bali. Program ini diinisiasi oleh sekelompok sarjana ilmu sosial dan humaniora dari Universitas Boston, Amerika Serikat, dan diselenggarakan setiap tahun dengan tema dan tempat yang berbeda-beda. Indonesia (Yogyakarta dan Bali) terpilih sebagai tempat penyelenggaraan program ini tahun 2012 dengan tema Negotiating Space in Diversity: Religions and Authorities; dan Universitas Gadjah Mada (CRCS dan ICRS) bertindak sebagai host. Sebuah pengalaman yang sangat berharga karena saya berjumpa, berdiskusi, dan menjalani aktivitas bersama selama dua minggu dengan puluhan peserta yang terpilih dari berbagai negara, nasionalitas, dan profesi. Kami beraktivitas, berbagi ide, refleksi dan pengalaman, serta bermain, bersama-sama secara intensif.

Salah satu kekuatan program ini adalah setiap orang – entah fasilitator dan partisipan – terlibat dalam pengalaman bersama dan merefleksikan berbagai pengalaman tersebut secara utuh. Yang menjadi fokus utama bukanlah soal kemampuan mengelaborasi teori-teori besar dan abstrak (master narratives) melainkan mengasah bersama-sama karakter intelektual dan emosional menyikapi pengalaman perjumpaan dengan berbagai komunitas yang “tak lazim” dalam pengalaman di konteks hidupnya masing-masing. Pengalaman-pengalaman perjumpaan tersebut tidak hanya mengundang decak kagum tetapi juga mengusik kenyamanan intelektual dan kultural, mengundang kegelisahan, dan mencuatkan ketidaknyamanan karena dianggap telah melanggar apa yang selama ini dianggap sebagai “batas-batas” (borders) identitas primordial (etnisitas, seksualitas, religiositas, intelektualitas) yang telah atau makin mapan.

Di Yogyakarta, misalnya, kami berkunjung ke dan berdialog dengan komunitas pesantren Al-Qodir di kaki Gunung Merapi, Al-Muayyad di Solo, dan Pesantren Waria di Yogyakarta. Pesantren Al-Qodir menjadi titik perjumpaan agama-agama yang sangat penting saat Gunung Merapi meletus beberapa waktu lalu. Mengalirnya bantuan dari berbagai organisasi sosial maupun keagamaan bagi korban Merapi ternyata memicu kecurigaan di kalangan salah satu kelompok agama akan kemungkinan terjadinya upaya mengonversi korban dengan alasan pemberian bantuan. Kecurigaan ini ditepis sedikit demi sedikit oleh KH Masrur Ahmad dari Ponpes Al-Qodir yang membuka diri bekerja sama dengan berbagai organisasi keagamaan dan menyediakan pesantrennya sebagai tempat penampungan bantuan untuk kemudian bersama-sama menyalurkannya kepada korban Merapi. Kerja sama itu ternyata berlanjut hingga kini dalam berbagai bentuk program pemberdayaan di kawasan pedesaan lereng Merapi.

Lain lagi cerita dari Ponpes Al-Muayyad di Solo. Sejak serentetan peristiwa bom di beberapa tempat di Jawa dan Bali, nama Solo seolah identik dengan “sarang teroris”. Pemberitaan media massa yang meliput KH Baasyir dan Ponpes Ngruki Solo berhasil membentuk citra publik mengenai Solo yang “beringas” dan “anti-Barat”. Citra ponpes semacam itu pun terkikis karena kami melihat sisi lain aktivitas pesantren yang berjihad dengan konsep dan metode yang sama sekali berbeda. Ponpes Al-Muayyad tidak hanya menepis pencitraan pesantren yang buruk tetapi juga menjadi salah satu kekuatan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian, pengairan, pendidikan, dan perdamaian. Di bawah kepemimpinan KH Dian Nafi, ponpes ini menawarkan gagasan-gagasan kontekstual dan praktik-praktik pemberdayaan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran pelayanan aktivitas mereka tersebut. Prinsip-prinsip Islami diterjemahkan secara praktis dalam bidang-bidang kehidupan rakyat yang konkret.

Rasanya tak berlebihan jika pengalaman perjumpaan yang paling mengguncangkan zona nyaman religiositas kami adalah ketika berdialog dengan para waria di Ponpes Waria Yogyakarta. Penyambutan yang “wah” (dengan shalawat dan tarian tradisional) lengkap dengan susunan acara yang rapi membuat kami merasa agak risih. Dialog dengan para sahabat waria dalam kelompok-kelompok pun membuka perspektif kami mengenai apa yang mereka rasakan menjalani hidup sebagai waria, alasan-alasan apa yang membuat mereka bertahan dalam pilihan hidup semacam itu, dan bagaimana mereka menegosiasikan identitas kewariaan mereka di tengah-tengah berbagai stereotip dan stigma berdasarkan rujukan-rujukan keagamaan. Tentu saja keberadaan ponpes waria di tengah perkampungan padat penduduk di Yogyakarta memercikkan kesadaran akan daya akseptabilitas masyarakat sipil terhadap pilihan-pilihan orientasi seksual yang plural, serta kelenturan dalam menghayati iman keagamaan dalam konteks pluralisme Yogyakarta.

Di Bali lain lagi ceritanya. Kami tinggal di Ubud dan mengunjungi beberapa puri (keluarga raja) dan pura (kuil), serta Gereja Katolik dan komunitas Muslim di Dusun Saren Jawa, Desa Budhakeling, Bali. Dialog yang terjadi menguak matra-matra menarik yang selama ini tenggelam dalam hiruk-pikuk turisme di Bali. Gesekan dan negosiasi identitas “politik” terjadi antara kelompok-kelompok puri sembari menyeret kaum pura (agama) ke dalam pusaran arus utamanya. Identitas ke-Bali-an menjadi pusat pertaruhan dalam berbagai negosiasi identitas yang majemuk. Konsep dan implementasi Ajeg Bali (kebangkitan Bali) pasca tragedi bom Bali kemudian menjadi poros identitas yang menyatukan “etnisitas” (Bali) dan “agama” (Hindu).

Untuk mempertahankan pengaruh dan hegemoninya, kaum puri mempromosikan perpaduan politik Bali-Hindu sebagai upaya memurnikan kebalian dan kembali pada akar tradisi religiositas Hindu yang dalamnya kekuasaan mereka tetap terjaga. Sementara itu, di lingkar luar kaum puri, berlangsung pemaknaan yang berbeda mengenai kebalian itu sendiri. Kalangan komunitas Bali-Katolik berpendapat bahwa identitas kebalian tidaklah menyatu secara perenial dengan “Hindu”. Identitas tersebut semata-mata merupakan ekspresi budaya yang menghidupkan spiritualitas keagamaan yang jamak. Oleh karena itu, identitas kebalian itu dapat termanifestasi melalui beraneka ragam spiritualitas sejauh batasan-batasan kebudayaan yang menandainya tetap tampak (bahasa, ritual, kekerabatan). Kalangan Bali-Katolik pun sibuk melahirkan ide-ide dan praktik-praktik kontekstualisasi sebagai upaya menemukan iman kristiani dalam konteks kebudayaan Bali dan sebagai orang Bali.

Dengan akar sejarah dan dinamika sosial-budaya yang berbeda, gerakan kontekstualisasi dan dialog spiritualitas juga ditemukan pada komunitas Muslim Dusun Saren Jawa, Desa Budhakeling. Islam berakar dalam ingatan sejarah dan dihidupi sebagai matra identitas yang memperkaya makna kebalian dalam komunitas ini. Dari generasi ke generasi selama ratusan tahun komunitas Muslim Saren Jawa hidup sebagai bagian integral masyarakat Hindu-Bali. Dialog antar-iman tampaknya bukan lagi materi yang perlu didiskusikan tetapi telah menjadi karakteristik kebudayaan bagi masyarakat Budhakeling. Negosiasi identitas keagamaan semacam ini seakan meruntuhkan mitos-mitos bahwa Hindu adalah Bali dan sebaliknya. Masyarakat Budhakeling membuktikan bahwa mitos-mitos semacam itu tidak sepenuhnya menggambarkan wajah Bali sebagaimana selama ini diterima oleh publik.

Sisi “harmonis” yang tampak dalam sebagian besar dialog kami ternyata justru mengundang rasa penasaran sebagian peserta dari kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Pemberitaan media massa telah berhasil mengonstruksi “realitas” bahwa selama 20 tahun terakhir Indonesia telah menjadi sarang teroris dan arena kontestasi kekerasan massal (antar-agama dan antar-kelompok etnis). “Realitas” itulah yang berusaha digali melalui dialog-dialog kami, terutama dari teman-teman Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa rekan seakan-akan sulit keluar dari perspektif baku berbagai analisis konflik sosial bahwa bisa ditemukan pada konteks yang paling riel suatu realitas yang berbeda dengan apa yang telah dikonstruksikan sejumlah pakar Barat tentang Indonesia kontemporer. Belum lagi kecurigaan bahwa dialog-dialog tersebut tidak sepenuhnya tulus dan masih menyembunyikan sisi-sisi gelap realitas keindonesiaan yang tidak ingin dipaparkan oleh pihak lain. Jika sisi “konflik” yang ditampilkan maka muncul kecemasan bahwa itu akan menjadi pemantik api “pertarungan identitas” yang lebih parah dan karenanya selama ini hanya tersembunyi di sudut gelap kesadaran sosial masyarakat Indonesia.

Hanya Degung Santikarma, seorang aktivis dan pengamat antropologi Bali, yang pada hari terakhir dengan lantang menjungkirbalikkan sisi harmonis itu dan menelanjangi sisi lain Bali yang sarat warna-warni intrik politik dan kekerasan sosial. Degung sepenuhnya mendasarkan analisisnya pada konstruksi kekerasan struktural oleh negara yang pada gilirannya melahirkan bentuk-bentuk kekerasan massal yang dianggap “normal”. Rujukan historisnya dengan sengaja dipilih pada titik peristiwa kekerasan massal kepada anggota atau yang dicurigai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun-tahun 1965-1966 di Jawa dan Bali.

Sejarah itu, menurut Degung, telah menjadi catatan kelam dalam ingatan sosial masyarakat Bali. Banyak orang menyadarinya namun enggan menceritakannya. Mereka menyimpannya rapat-rapat di bilik-bilik bawah sadar mereka, bahkan jika mungkin melupakannya – kendati tidak pernah bisa. Degung pun berjuang memecahkan kebisuan mereka. Kebalian pun menjadi sesuatu yang kompleks karena berbagai kontestasi identitas terjadi di tengah arena-arena politik, ekonomi, turisme, agama, dan kebudayaan glokal.

Cerita ini belum berakhir. Program International Summer School 2012 ternyata mengajak kami semua – dari berbagai latar kebudayaan dan nasionalitas yang majemuk – untuk terus mengajukan pertanyaan dan ketidaknyamanan kami. Perasaan dan penasaran yang terus diusik serta memaksa setiap kami melangkah keluar dari batasan-batasan identitas masing-masing lantas berjumpa pada satu titik untuk saling menegosiasikan berbagai identitas tersebut. Kami mengakhiri program ini bukan dengan suatu kesimpulan melainkan dengan kerumitan baru bahwa menghidupi perbedaan adalah sebuah pergulatan kemanusiaan yang hakiki untuk membangun peradaban. Dua minggu adalah waktu yang singkat untuk sebuah perjumpaan tetapi kami merasa itu menjadi momen yang menentukan pilihan: meneruskan spirit menghidupi perbedaan dengan keberanian menegosiasikan ruang bagi diversitas ataukah menutup lembaran cerita ini untuk kembali ke zona nyaman identitas masing-masing?
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces