Aku menulis maka aku belajar

Sunday, June 21, 2020

Pemberdayaan Gereja melalui Pengolahan Pangan Lokal Jemaat di Era New Normal

Materi ringkas ini menjadi bahan pemantik diskusi daring yang digelar oleh komunitas "Rumah Bacarita Teologi" (UKIM), bersama dengan narasumber kedua: Stenly Salenussa, M.Si (Akademisi Fakultas Ekonomi UKIM).

Pengantar
Terima kasih untuk undangan berdiskusi dengan topik yang menarik ini. Saya tidak akan berbicara mengenai teori dan strategi pengembangan ekonomi karena itu akan dipaparkan lebih jelas oleh rekan Stenly Salenussa. Saya hanya akan mengulas beberapa konsep dalam topik itu agar dengannya kita sedikit lebih mengerti mengapa konsep itu digunakan dan implikasinya bagi kita.

New Normal
Saya ingin memulai dari belakang, yaitu pada istilah “new normal”. Istilah ini belakangan makin santer digunakan sejak meluasnya pandemik korona. Menurut saya, ada sedikit salah kaprah dalam penggunaan istilah tersebut. Begini. Masyarakat dan kebudayaan manusia itu dinamis dan selalu mengalami perubahan entah secara lambat (evolusioner) maupun cepat (revolusioner). Dalam setiap perubahan itu masyarakat manusia melakukan adaptasi. Masa-masa adaptasi itu disebut masa transisi dimana manusia menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan “baru” (atau disesuaikan) dengan kondisi perubahan yang dialami. Masa transisi itu umumnya berlangsung cukup lama karena perubahan kebudayaan itu bukan hanya menyangkut perubahan fisik atau bentuk yang kelihatan saja, melainkan secara mendasar merupakan transformasi gagasan/ide yang mendukung praktik-praktik dan teknologi kebudayaan yang sedang disesuaikan (transisional). Contoh: Transformasi teknologi komputer dari generasi pertama (1833-1871) hingga generasi terakhir seperti Artificial Intelegence. 

Transformasi teknologi komputer ini telah mengubah ide dan praktik kebudayaan manusia secara global, membentuk gaya hidup masyarakat, dan membentuk identitas sosial baru masyarakat manusia sebagai network society (Manuel Castells). Pada setiap perubahan/transisi itu, manusia menyesuaikan diri. Jadi, secara sosiologis, istilah new normal itu hanyalah permainan kata karena secara faktual yang kita jalani adalah perubahan dan penyesuaian terus-menerus terhadap perubahan itu, baik secara sengaja (technology invention) maupun tidak sengaja (natural or social transformation).

Pangan Lokal
Dikotomi “lokal” dan “global” terbentuk sejak era kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa yang berkelana untuk mencari sumber daya alam bagi kebutuhan bangsa mereka sendiri di benua-benua lain. Pada abad ke-17, Ternate/Tidore dan Ambon menjadi target monopoli perdagangan rempah-rempah oleh para pedagang Portugis dan Belanda. Situasi itu telah mengubah cara pandang orang Ambon tentang diri mereka (dengan seluruh kekhasan fisik, bahasa dan budayanya) berhadapan dengan “yang lain”, yaitu orang Eropa (dengan seluruh kekhasan fisik, bahasa dan budayanya). Orang Eropa mengidentifikasi sebagai orang dari luar (outsider) yang bertemu dengan orang dalam (insider/inlander) yang kemudian disebut sebagai local people. Sedangkan mereka disebut sebagai orang dari “overseas” (seberang lautan) atau dari belahan bumi (globe) yang lain disebut “global”. Fenomena globalisasi itu sudah dimulai sejak dulu, bukan hanya oleh pedagang-pedagang Eropa tapi oleh pedagang-pedagang Cina yang telah melanglang buana sebelum Eropa. 

Ideologi lokal/global itu kemudian dipertegas untuk membedakan kebudayaan kulit-putih (Eropa/Amerika Utara) yang dianggap superior daripada kebudayaan non kulit-putih yang dianggap lebih inferior. Termasuk dalam hal pangan. Pangan lokal itu dianggap “kampungan” atau “tidak beradab” dibandingkan pangan global (yang dicitrakan berasal dari masyarakat kulit putih seperti Eropa/Amerika Utara yang dianggap lebih modern atau beradab). Jadi, istilah ini sebenarnya mengandung ideologi hegemoni (penundukkan nalar secara subtil/halus) bahwa sumber makanan dari alam (tanah dan laut) yang dimiliki masyarakat Maluku itu lebih rendah nilainya dibandingkan dengan yang tersaji ala Eropa/Amerika. Akibatnya, kita sendiri tidak menganggapnya sebagai sumber pangan utama dibandingkan yang dari luar (artinya: yang tidak ditanam oleh orang Maluku).

Sebagai contoh: Kentucky Fried Chicken atau “ayam goreng KFC” dianggap sebagai junk-food yang hanya dikonsumsi oleh kaum miskin atau homeless di Amerika Serikat. Tapi di Indonesia, mengonsumsi ayam goreng KFC atau pizza-hut bukanlah sekadar makan daging ayam goreng melainkan mengonsumsi citra gaya hidup modern, menaikkan gengsi sebagai kaum berklas (kaya dan kulit putih, karena makanan itu dari Amerika Serikat). Model makanan cepat saji (fast-food) itu mengonstruksi gaya hidup instan, serba cepat, tidak mau repot-repot. Akibatnya, harap gampang dan malas mengolah atau mengelola bahan-bahan yang tersedia di sekitar. 

Mengapa Gereja harus Memberdayakan?
Secara etimologis, “gereja” diterjemahkan dari kata Yunani “ekklesia” = komunitas yang mempunyai hubungan sosial yang erat atau saling mengenal. Jadi, ekklesia bukan sekadar kumpulan atau kerumunan orang yang bersifat insidentil. Istilah itu kemudian diadopsi untuk menyebut kelompok murid Yesus, yang terus berkembang makin besar secara kuantitas maupun kualitas aktivitas misi (penyebaran ajaran Yesus). Apa yang dilakukan oleh ekklesia? Menurut catatan Kisah Para Rasul (KPR), mereka hidup saling mengasihi dalam tindakan saling berbagi agar yang lemah dikuatkan, yang miskin tidak kelaparan, yang sakit disembuhkan, yang berdukacita dihibur, yang tidak punya rumah diberi tumpangan, yang dihina diangkat martabatnya. Dengan tindakan saling berbagi itu maka sekat-sekat identitas sosial, budaya, politik dan ekonomi disingkirkan untuk melawan sumber penderitaan manusia. Jadi, pada istilah ekklesia itu sendiri sudah terkandung potensi pemberdayaan. Maka gereja tanpa pemberdayaan itu bukanlah gereja sejati. Empowerment adalah kunci misi ekklesia (gereja). Ketidakberdayaan sosial (social disempowerment) adalah kelumpuhan sosial karena kekuasaan yang hanya menumpuk pada satu orang (penguasa), maka terbuka potensi melakukan ketidakadilan sosial (social injustice). Dengan demikian, misi ekklesia adalah melawan ketidakdilan sosial, termasuk ketidakadilan ekonomi. 

Bagaimana pemberdayaan gereja pada masa transisi pandemic korona?
Jika teknologi komputer dan internet yang diciptakan manusia mampu meruntuhkan sekat-sekat komunikasi secara geografis dan lintas-waktu, maka pandemik korona membangun suatu kesadaran manusia tentang virus global yang berpindah-pindah dan meluas seiring dengan pergerakan manusia (chains of disease). Merujuk pada makna dan misi ekklesia seperti yang telah disebutkan maka fungsi konkret pemberdayaan gereja adalah: 

(1) Pemberdayaan literasi mengenai pandemik kepada semua orang (jemaat) sehingga tidak terjadi elitisasi informasi dan mendiskriminasi orang lain yang dianggap inferior. 
(2) Pemberdayaan pendidikan tanpa klas dimana setiap anak usia sekolah (formal) mempunyai kesempatan untuk terus belajar sesuai jenjang usia pendidikannya. Bukan sekadar himbauan lewat toa tentang jam belajar. Tapi ada program pembelajaran karena ekklesia itu pada hakikatnya adalah komunitas yang belajar mengembangkan misinya (pemberdayaan pengetahuan).
(3) Pemberdayaan jejaring suplai dan distribusi ekonomi. Konteks jemaat-jemaat GPM bervariasi. Ada komunitas jemaat di perkotaan (urban); ada yang di pedesaan (rural). Bagi yang di pedesaan umumnya masih mengolah tanah untuk ditanami sehingga kebutuhan pangan secara subsistensi masih tertangani. Tidak demikian bagi yang di kota yang hidup berdesak-desakan dalam wilayah padat penduduk. Lahan makin langka. Manusia makin merana karena tergusur oleh aneka program pembangunan dan urbanisasi yang tak terkendali. Jemaat-jemaat kota membutuhkan strategi membangun jejaring suplai dan distribusi ekonomi dengan jemaat-jemaat mitra yang berada di pedesaan.
(4) Pemberdayaan produktivitas pemuda untuk survive di tengah makin sempitnya lahan kerja di perkotaan. Sebagian yang sudah bekerja harus “dirumahkan” (PHK). Lowongan bekerja pada sektor formal birokrasi makin ketat kompetisinya sehingga jumlah pengangguran berijazah kian menumpuk. Peluang kerja pada sektor ekonomi informal dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. Jarak professional makin besar antara pengetahuan/keterampilan dan pengelolaan lahan pertanian. Banyak yang tidak mampu “work from home” karena terperangkap pada situasi keterbatasan keterampilan kerja dan pemiskinan struktural dalam manajerial sumber daya (manusia dan alam).
(5) Pemberdayaan politik kewargaan. Program-program pendidikan politik kewargaan mesti menjadi agenda jemaat untuk melihat peluang-peluang ekonomi yang bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan keluarga. Misal: apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan ekonomi secara sehat pada beberapa event politik tingkat kabupaten/kota atau provinsi? Cetak t-shirt, banner, sticker, sewa perlengkapan pesta dan sound-system; catering makanan; food-truck; suplai bahan makanan (memutus dominasi pedagang sayur dari Jawa) dan lain-lain. Lantas, peluang apa yang sudah dilihat pada masa transisi pandemik ini? Apakah promosi pangan lokal bisa menjadi skenario pemberdayaan oleh gereja? Seperti apa programnya? Bagaimana pengelolaan dan keberlanjutannya?
Read more ...

Tuesday, June 16, 2020

Lien


Beta mengenal sosok Pdt. Paulien (Lien) Gaspersz-Ruhulessin tahun 1990. Pada waktu itu beta baru saja menjadi mahasiswa Fakultas Teologi UKIM dan tinggal bersama Oma Sus (dari pihak papa) di kawasan “paradise” atau Jalan Said Perintah Ambon. Beta mulai beradaptasi dengan lingkungan masyarakat Ambon karena sejak lahir dan kecil (bersama adik-adik) bertumbuh dalam lingkungan sosial-budaya Kota Malang karena diasuh oleh Opa-Oma (dari pihak mama). 

Perjumpaan pertama dengan usi Lien dan bung John Ruhulessin terjadi dalam ibadah AM-GPM di wilayah paradise. Ibadah saat itu berlangsung di rumah keluarga Ruhulessin-Gaspersz, sekaligus bung John menjadi pembawa materi diskusi dalam ibadah. Itu saat beta mengenal sosok bung John, yang dikenal sebagai pendeta muda yang berkharisma dan cerdas, dan istrinya, usi Lien, seorang pendeta perempuan yang cerdas, ramah dan rendah hati. Karena kesamaan fam Gaspersz, maka kami kemudian lebih saling mengenal sebagai saudara (dari Negeri Naku, Pulau Ambon). 

Tidak banyak hal yang beta tahu mengenai perjalanan karier usi Lien sebagai seorang pendeta GPM. Sejauh yang beta tahu adalah usi Lien menjalani tugas vikariat di Jemaat Dian Darat Kei Kecil. Kemudian setelah ditahbiskan sebagai pendeta, beliau ditugaskan oleh Badan Pekerja Harian Sinode GPM waktu itu sebagai pendeta di Jemaat Khusus Hok Im Tong, yang sebagian besar warga jemaatnya adalah peranakan Tionghoa Ambon dan lebih dari separuh jumlahnya berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha di Kota Ambon. Usi Lien juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Klasis Kota Ambon mendampingi Pdt. Max Siahaya sebagai Ketua Klasis. Beta tahu itu karena beliau menandatangani Surat Sidi beta. Beta sempat tinggal dengan keluarga Nanlohy (saudara dari pihak Oma Dien) di kawasan Soya Kecil dan karenanya terdaftar sebagai anggota sidi Jemaat GPM Bethel.  

Menurut cerita dari bung John Ruhulessin, suaminya, semasa kuliah dulu usi Lien sebenarnya lebih tinggi prestasi akademiknya dibandingkan bung John. Bahkan usi Lien adalah anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) STT GPM. Namun, usi Lien lebih memilih melayani di jemaat daripada menjadi dosen dan lebih mendorong bung John untuk berkarier sebagai dosen. Usi Lien mendampingi bung John dalam peziarahan studi di Salatiga dan Amerika Serikat, serta menopang karier bung John sebagai dosen dan juga sebagai Ketua Umum MPH Sinode GPM selama dua periode. Meskipun suaminya seorang ketua sinode, tapi usi Lien tetap memperlihatkan karakter low profile yang luar biasa. Beliau mudah bergaul dengan siapa saja, tak pandang status sosial atau ekonomi. Murah senyum dan jarang sekali menanggapi sesuatu secara emosional. Bahkan selama kepemimpinan bung John sebagai ketua sinode, usi Lien tampak mengambil jarak kritis sehingga lebih banyak berada di balik panggung pelayanan bung John. Usi Lien sempat menjabat sebagai salah seorang kepala biro di Kantor Sinode GPM. Tapi tidak lama karena beberapa tahun sebelum masa emeritasinya beliau diminta kembali membantu pelayanan di Jemaat GPM Hok Im Tong.

Jika tidak salah ingat, pelayanannya di jemaat itu diperpanjang beberapa waktu meskipun sudah menjalani masa emeritasi. Rupanya, Sinode GPM melihat karakter usi Lien sangat berterima oleh jemaat tersebut. Memang tidak mudah bagi MPH Sinode GPM untuk menugaskan pendeta di jemaat ini. Dibutuhkan kualifikasi karakter pelayanan dan kepemimpinan yang “khusus” untuk melayani anggota jemaat yang sebagian besar adalah peranakan Tionghoa Ambon. Identitas ketionghoan itu sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap gereja dan pelayanannya, sehingga pola kepemimpinan pendeta dan program-program pelayanannya tidak seperti jemaat-jemaat GPM lazimnya yang beranggotakan orang-orang Ambon/Maluku pribumi. Sosok kepemimpinan dan pelayanan usi Lien tampaknya sangat berterima dengan karakter jemaat tersebut. 

Sosok usi Lien dalam kesehariannya lebih beta kenal saat bung John, sebagai Ketua Sinode GPM, membentuk tim kerja untuk melakukan penyederhanaan dokumen PIP/RIPP GPM yang melibatkan beta dan beberapa teman pendeta muda. Rumah dinas ketua sinode di kawasan Mardika disediakan sebagai sekretariat untuk pertemuan dan kerja-kerja tim. Beta ingat setiap saat kami bekerja di lantai 2 rumah itu, setiap beberapa jam usi Lien sudah mempersiapkan jajanan ringan, minuman dan makanan pada setiap jam makan, bahkan suplemen vitamin. Jika berada di rumah, usi Lien selalu naik ke lantai 2 untuk menanyakan apa yang menjadi keperluan tim, terutama mau menu makanan apa. 

Perjumpaan beta dengan usi Lien tidak hanya pada acara-acara gerejawi tapi juga pada acara-acara kemasyarakatan atau adat. Kami berdua punya fam yang sama dan berasal dari kampung yang sama, yaitu Naku. Jika ada acara-acara kampung, usi Lien selalu tampak hadir bersama kedua anak: Joyna (Joy) dan Stefano (Fano). Ia dengan luwes membaur dengan semua orang tanpa merasa diri “elite” karena oleh banyak orang dikenal sebagai istri seorang ketua sinode dari gereja terbesar di timur Indonesia. Usi Lien lebih menonjol dalam kerja-kerja yang praktis dan konkret daripada berbicara banyak konsep-konsep pelayanan yang abstrak. Ia tampil sebagai sosok penyeimbang bung John Ruhulessin yang lebih dikenal dengan pemikiran-pemikiran konseptual-teoretik sebagai akademisi. 

Sejak beta dan Nancy menjalani studi di Yogyakarta dan Salatiga selama kurang-lebih 6 tahun (2011-2017), kami tidak lagi bertemu. Hanya mendengar kabar dari jauh. Ketika selesai studi dan kembali ke Ambon, kami mulai sering bertemu. Perjumpaan yang paling sering adalah di sekolah Kailani, TK Fast Start, yang terletak di kawasan Tanah Lapang Kecil (Talake), dekat kampus UKIM. Sejak pulang studi, kami mencoba mendaftar Kailani di beberapa TK, mulai dari TK di Belakang Soya milik Suster Brigita Renyaan, TK Kasih Ibu milik pemda di Karang Panjang, dan terakhir TK Fast Start di Talake. Bung John dan usi Lien sering tampak bergantian antar-jemput cucu mereka (putra dari Joyna) yang bersekolah di situ. Beta dan Nancy juga sering bergantian antar-jemput Kailani, karena lokasi sekolah dekat dengan kampus. Biasanya, setelah menjemput Kailani pulang dari sekolah, kami membawanya ke kampus dan pulang bersama-sama ke rumah ketika tugas-tugas di kampus selesai. 

Beberapa waktu sebelum sekolah-sekolah dinonaktifkan oleh pemerintah karena ancaman penyebaran virus corona, beta tidak lagi melihat usi Lien. Saat menjemput Kailani pulang sekolah, beta sempat bertemu Joyna. Darinya beta mendengar kabar bahwa usi Lien bersama bung John sedang menjalani medical check-up di Jakarta. Semula beta berpikir hanya proses pemerikasaan kesehatan rutin. Tapi beta merasa usi Lien sedang mengalami sakit yang serius karena hampir selama satu semester bung John tidak aktif di kampus. Bung John dan beta menangani bersama (team-teaching) satu matakuliah pada Program Pascasarjana UKIM. Bung John pernah mengirim pesan pribadi kepada beta agar menangani dulu matakuliah itu sendirian karena beliau sedang mendampingi usi Lien di Jakarta. 

Tanggal 15 Juni 2020 tengah malam, bertepatan dengan hari ulangtahun ke-6 Kailani, bung John mengirim pesan WA dari Jakarta: “In su seng ada pada pukul 10.59 WIB”. Sedih sekali. Kami merasa sangat kehilangan figur seorang pendeta perempuan yang tangguh, berdedikasi, dan rendah hati. Seorang perempuan hebat yang menjadi sandaran kokoh bagi suami dan anak-anaknya dalam meniti karier dan menjalani kehidupan mereka. Bagi beta dan Nancy, usi Lien adalah teladan sejati yang memperlihatkan karakter kokoh seorang perempuan sekaligus pendeta yang lurus, tegas, sekaligus luwes dalam berkomunikasi dengan semua orang. Seolah ia tidak mau dirinya dikapling pada satu kotak identitas yang kaku, berjarak dan elitis. Ia merangkul dan menyapa semua orang. Hingga akhir hayatnya, usi Lien memperlihatkan dirinya sebagai ibu bagi anak-anaknya, bagi jemaat yang dilayaninya, bahkan bagi banyak orang. Ia telah menjadi "Mama GPM". 

Bung John sendiri, suami yang sangat dikasihinya, pernah memberikan testimoni bahwa di balik segala keputusan-keputusan penting yang diambilnya sebagai ketua sinode pada masa-masa krisis (konflik sosial), usi Lien adalah sosok istri yang terus mengingatkan apa yang seharusnya menjadi prioritas dari keputusan-keputusan itu. Bung John pernah berkata: “In selalu sombayang saat beta mau keluar rumah dan menanyakan apa yang sudah diputuskan oleh gereja/ketua sinode setiap hari, untuk dibawanya dalam doa. Beta bisa seperti ini karena In pung sombayang.” Pada detik-detik terakhir, bung John bersaksi, usi Lien berdoa: "Tuhan, berikan kepadaku apa yang Tuhan pandang baik."

Tuhan sungguh mengasihi usi Lien dan kini tengah merangkulnya dalam kedamaian ilahi yang abadi di Surga. Kami akan selalu mengenang kebaikanmu, usi Lien. 

Tertunduk dalam duka ... kami kehilangan sosok ibu dan pelayan sejati ... Menyebut dengan hormat "Ibu Lien" Di hati beliau ada hati Aĺlah ... Di senyum beliau ada keramahan Allah... Dalam kebaikan beliau, ada cinta abadi Aĺlah Dalam kerendahan hati beliau, ada martabat yang tinggi dan tanpa batas ... Dalam ketabahan beliau ada kekuatan Aĺlah... Dalam kesetiaan beliau, ada rahmat Allah Dalam ketenangan beliau, ada semangat yang tak lekang... Kata terima kasih, tak cukup ungkapkan betapa warisanmu menginspirasi kami, ibu... (karya: Nancy Souisa)
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces