Aku menulis maka aku belajar

Monday, May 23, 2011

Mengintip Sedikit Pesta Rakyat


Perhelatan pemilihan walikota/wakil walikota Ambon, yang juga bersamaan dengan pemilihan bupati/wakil bupati Seram Bagian Barat, telah usai. Suasana kota tak terlalu heboh. Yang heboh justru di markas masing-masing kandidat. Menyusuri jalan-jalan kota Ambon saya melihat kerumunan para pendukung. Mereka rupanya penasaran ingin tahu dengan hasil penghitungan suara yang terkumpul. Hasil penghitungan cepat (quick count) langsung merilis nama salah satu pasangan kandidat kendati masih diragukan oleh yang lainnya.

Seiring dengan itu, muncul pula gugatan-gugatan seputar fairness pelaksanaan pemilihan di beberapa tempat pemungutan suara (TPS). Maka usai pemilihan ini ternyata tak banyak kepuasan yang dirasakan oleh rakyat. Di sudut-sudut jalan, di pasar, di terminal, dan di rumah-rumah kopi pun bertebaran kisah-kisah heroik perjuangan tim-tim sukses, namun juga tuturan getir mereka yang kecewa karena gembosnya basis-basis dukungan pasangan kandidat yang mereka usung.

Itu cerita singkat di Ambon. Di sepanjang jalan dari negeri Kamal hingga ke negeri Tihulale penuh sesak baliho-baliho bergambar pasangan kandidat bupat/wakil bupati SBB. Lengkap pula dengan pendirian posko-posko dukungan di tiap negeri. Ini memang era keterbukaan dan demokrasi yang menakjubkan, sekaligus juga membingungkan. Membingungkan karena yang demokrasi begini tak jarang berujung “democrazy”. Pasalnya, proses-proses kampanye yang dilakukan kerap menjadi ajang mejelek-jelekkan kompetitor lainnya. Bahkan ada yang sampai buka-bukaan soal kasus-kasus yang menjurus pada “pembunuhan karakter” kandidat lain. Nah, kalau sudah begini kan namanya gila alias crazy. Kalau demokrasi mestinya fair dong. Paparkan visi dan misi pemerintahan seperti apa, lalu jabarkan program-program kerja pemerintahan yang memang bertaut dengan kebutuhan atau persoalan yang tengah membelit hidup rakyat.

Tapi begitulah kenyataannya. Demokrasi kita – jika hanya menilik dari pemilihan kepala daerah – menjadi suatu ajang menghantam satu dengan yang lain secara terbuka. Keterbukaan yang sering memalukan dan tanpa etika politik. Ini yang kemudian menimbulkan sakit hati bagi yang dipermalukan secara terbuka, lalu mengendapkan dendam politik. Jelas dalam kondisi semacam itu oposisi menjadi pilihan. Namun oposisi tidak dipahami sebagai bagian dari dinamika politik dalam mencermati pembelokan-pembelokan kebijakan pemerintah, melainkan dimengerti sebagai duel hidup-mati demi harga diri. Lalu malah mengabaikan sama sekali hakikat berpolitik dalam sistem pemerintahan sebagai instrumen untuk mengelola potensi wilayah dan rakyat yang dipimpinnya.

Tragis. Karena mentalitas semacam itu terus dipelihara menjadi semacam habitus yang meronai seluruh aktivitas di hampir semua bidang. Lihat saja bagaimana kasus Kongres PSSI beberapa waktu lalu. Forum kongres yang semestinya bisa digunakan sebagai akumulasi ide kreatif dan positif untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia, malah berakhir seperti sidang dewan perwakilan rakyat yang masing-masing kubu mengusung aspirasi parpolnya. Yang lebih menggelikan dan menjijikkan adalah semua perilaku tak senonoh itu disaksikan langsung oleh perwakilan FIFA.

Dari situ jelas terlihat bahwa mentalitas “gunting-menggunting” benar-benar sudah merasuk menjadi gaya hidup kita. Nyaris hanya tersisa sedikit aktivitas yang kita benar-benar membangun perspektif dan orientasi yang jauh ke depan dan bagi kepentingan orang banyak. Kita menyebut demokrasi tapi sama sekali tak menghargai proses-proses yang demokratis. Kita menyebut “orang Barat” itu individualistik dan berbeda dengan budaya “gotong-royong” (komunal) kita di timur. Sekarang justru jelas siapa yang individualistik karena gotong-royong kita ternyata makin terpahami secara kerdil menjadi gotong-royong untuk saling memotong semua yang tak sejalan atau sependapat dengan kelompok sendiri.

Kembali ke SBB. Ada yang menarik dari jejeran baliho para kandidat, yakni ternyata banyak kandidat yang bukan “orang Maluku” secara kultural. Jangan salah. Ini bukan sikap etnosentris. Hanya ingin mempertanyakan apakah memang sudah sedemikian parah proses pengkaderan pemimpin dari anak-anak Maluku sendiri? Ataukah memang kualitas kader-kader pemimpin kita makin kedodoran? Bisa juga kita mempertanyakan bagaimanakah konstelasi politik dan ekonomi anak-anak Maluku saat ini hingga menempatkan kita hanya sebagai “penonton” atau “penggembira” saja dalam seluruh proses politik lokal? Pertanyaannya masih bisa ditambah.

Fakta ini menggembirakan karena proses-proses politik lokal di Maluku makin terbuka ke arah pelibatan sebanyak mungkin “stakeholder” dari berbagai unsur. Fakta itu juga menggelisahkan karena persoalan-persoalan konkret kemajemukan sosial ternyata tak kunjung menggeliatkan kita untuk menata diri sendiri, lalu memasrahkan semuanya ke tangan orang lain untuk membela kepentingan kita sebagai orang Maluku. Bisakah? Mungkin. Tapi tentu tak bisa berharap banyak, kalaupun tidak mengatakan itu adalah situasi tanpa harapan. Di mana soalnya? Saya tak punya jawaban. Hanya sedikit pesimis, jangan-jangan mentalitas anak-anak Maluku makin tergerus oleh kepentingan sesaat lantas abai pada masa depan anak-cucu kita… yang terletak di tangan kita sendiri, bukan tangan orang lain.

Read more ...

Wednesday, May 18, 2011

Pemuda dalam Tantangan Sosial Abad ke-21 di Ambon


Pengantar

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial yang terjadi pada tiap masyarakat memiliki intensitas yang berbeda-beda dan karena itu pula menghasilkan dampak yang tidak seragam. Dampak perubahan sosial bisa positif dan negatif. Dalam kenyataan itu maka dalam setiap proses perubahan sosial ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan (menjadi korban).

Sebagai kota pelabuhan, masyarakat kota Ambon sudah lama sekali mengalami proses perubahan sosial. Dari zaman pra-kolonialisme, kolonialisme, hingga pascakolonialisme, masyarakat Ambon mengalami perubahan sosial dengan intensitas yang bervariasi. Ada perubahan yang berlangsung lama (evolutif) dan mendalam sehingga meninggalkan guratan atau bekas yang bertahan lama atau berakar dalam kesadaran dan realitas empiris (struktur sosial) masyarakat yang sulit dilupakan, atau cenderung dilestarikan. Ada pula yang bersifat revolusioner namun merombak nilai-nilai dasar kehidupan sosial sehingga menimbulkan pergeseran-pergeseran signifikan dalam cara pandang (perspektif) dan gaya hidup masyarakat secara radikal (misal: pascakonflik Maluku 1999).

Salah satu kelompok sosial yang terbuka dan rentan terhadap perubahan sosial itu adalah pemuda. Pemuda di sini bisa dipahami sebagai kelompok usia produktif yang berada dalam rentang usia 17 tahun ke atas hingga batas usia 50 tahun. Disebut “usia produktif” karena pada masa-masa hidup ini pemuda sangat berpotensi untuk mengembangkan diri melalui proses belajar secara mandiri, bersama-sama, dan kolaboratif untuk suatu tujuan atau cita-cita yang ditentukannya. Sebagai bagian dari masyarakatnya, pemuda juga tidak luput dari proses perubahan sosial. Bahkan hampir dalam setiap fase sejarah sosial kelompok pemuda merupakan inisiator-inisiator dan pelaku-pelaku perubahan sosial itu sendiri. Tetapi tidak bisa disangkali bahwa kelompok pemuda jugalah yang rentan menjadi korban dari pergeseran-pergeseran nilai dan struktur sosial sebagai dampak perubahan sosial tersebut.

Pemetaan Masalah Kepemudaan

Pemetaan ini perlu dilakukan agar kita (pemuda) mampu melihat seberapa dalam intensitas perubahan sosial memengaruhi kehidupan kita, serta memberikan kita perspektif untuk mencermati dinamika perubahan tersebut. Dari situ barulah kita bisa menentukan langkah-langkah sistematis-praktis untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan-persoalan yang muncul sebagai dampaknya. Tujuannya agar kita tidak menjadi korban dalam seluruh proses situ, melainkan menjadi pihak yang mengendalikan perubahan sosial yang pada gilirannya mendorong pencapaian cita-cita (idealisme) kita bersama, terutama sebagai pemuda Kristen.

Pemuda dan Budaya Lokal

Pergeseran nilai-nilai budaya lokal terjadi secara intensif terutama ketika rezim Orde Baru menerapkan paradigma pembangunan nasional yang sangat sentralistik. Hampir seluruh pranata budaya lokal Maluku mengalami stagnasi dan penggusuran secara sistematis sehingga kalangan pemuda mengalami alienasi (keterasingan) dengan budayanya sendiri. Semua yang berbau “lokal” atau “daerah” dianggap kuno dan kampungan, sementara semua yang bernuansa “nasional” atau “jakartaisme” dilihat sebagai kemajuan dan ciri modernitas. Maka tak mengherankan banyak pemuda Maluku tak segan meninggalkan bangku pendidikan untuk sekadar “inja ibukota Jakarta”. Padahal sampai di Jakarta mereka tak mampu melakukan apa-apa dan hanya berujung menjadi “tukang pukul” atau “preman”. “Ke Jakarta” menjadi impian banyak pemuda Maluku karena keterasingan dengan budaya lokalnya sendiri. Rasanya belum banyak terjadi pergeseran dalam Orde Reformasi di bawah kepemimpinan SBY-Boediono.

Pemuda dan Pendidikan

Sejak zaman kolonialisme Belanda, sebagian pemuda Maluku telah menikmati kesempatan menjalani pendidikan hingga ke jenjang yang tertinggi. Berdasarkan kapasitas intelektual dan latar belakang pendidikan mereka (sebagian besar di sekolah-sekolah Belanda), banyak pemuda Maluku yang direkrut menjadi “pegawai negeri” (ambtenaar) dalam administrasi pemerintahan kolonial Belanda (sipil dan militer). Ada pula yang memilih mengambil jalur partikelir (swasta) dalam organisasi-organisasi nasional pada masa pergerakan nasional Indonesia. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kekuatan intelektual pemuda Maluku makin dikebiri sehingga kualitas pendidikan orang Maluku menurun drastis. Apalagi pesona “modernisasi” ternyata makin melumpuhkan motivasi dan semangat juang pemuda Maluku untuk berkompetisi secara nasional dalam arena pendidikan. Pemuda Maluku makin tercecer dalam dunia pendidikan.

Pemuda dan Politik

Dalam domain politik, pemuda Maluku secara historis dan sosiologis sangat banyak memberikan kontribusinya. Sejak masa pra-kolonialisme hingga masa Indonesia merdeka, kita tidak pernah kehabisan stok kader pemuda Maluku. Tapi pertanyaannya: Kader seperti apa yang banyak kita siapkan? Pengamatan selama beberapa tahun memperlihatkan bahwa kader-kader politik yang kita siapkan lebih banyak bersifat “karbitan” atau “kutu loncat”, bahkan ternyata yang lebih banyak adalah kader penggembira. Kader-kader politik semacam ini ternyata hanya mengejar kesempatan-kesempatan untuk meraup kekayaan melalui pencitraan politik yang semu. Sementara pada sisi lain kita mengalami krisis parah dalam stok kader pemikir dan pelaku politik yang matang dan beretika. Domain politik saat ini sudan menjadi market (pasar) yang membuka ruang luas bagi transaksi-transaksi yang hanya menguntungkan pedagang-pedagang politik, lalu mengabaikan esensi (hakikat) politik itu sendiri sebagai etika pencapaian tujuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemuda dan Ekonomi

Konstruksi sosial terutama pada masa kolonialisme secara sengaja telah menjauhkan orang-orang Kristen Maluku dari aktivitas ekonomi pasar. Orang-orang Kristen hanya dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan sebagai pendidik, pendeta, tentara, dan pegawai negeri. Sedangkan aktivitas ekonomi digerakkan oleh kelompok keturunan Tionghoa dan pedagang-pedagang lokal dari Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Pola sosial ini terbentuk sedemikian rupa hingga pemuda-pemuda Kristen sama sekali tak berminat dan tidak punya akses ke dalam ekonomi pasar. Ekonomi pasar di Maluku dan di kota Ambon sudah sangat kuat dikuasai oleh mafia pasar yang terdiri dari koalisi-koalisi ekonomi kelompok-kelompok etnis tertentu. Dari masa ke masa, pemuda-pemuda Kristen hanya terdidik untuk menunggu peluang jadi pegawai negeri, tentara, guru, dan pendeta, tetapi tidak punya geliat untuk masuk dalam aktivitas ekonomi berskala massif. Apakah ini karena kita masih melestarikan prinsip “ikan makan ikan”?

Pemuda dan Perkembangan Teknologi

Keterbukaan ruang informasi-komunikasi makin luas dengan pesatnya perkembangan teknologi infokom. Internet dan handphone telah meruntuhkan batas-batas teritorial dan identitas masyarakat manusia sejagad. Bersamaan dengan itu terjadi pertukaran ide dan nilai-nilai hidup di antara para pengguna teknologi infokom tersebut. Fenomena tersebut ternyata makin meluruhkan perbedaan dan mendorong masyarakat dunia untuk menganut gaya hidup yang seragam. Diseragamkan dengan apa? Tentu saja diseragamkan dengan kehendak dan kepentingan para pemilik modal (kapitalis) yang menguasai perekonomian dunia dan mengontrol media massa. Dalam hal ini peranan negara-negara maju sangat besar dalam mengontrol perkembangan teknologi seturut kepentingan mereka, dan masyarakat negara-negara miskin hanya diposisikan sebagai konsumer melalui pencitraan media terhadap gaya hidup “modern” di mana konsumsi dilihat sebagai cara memenuhi pemuasan kebutuhan manusia.

Pemuda dan Pluralisme Agama

Seiring makin berkembangnya teknologi infokom, kita makin menyadari perbedaan-perbedaan yang ada pada tiap masyarakat. Salah satu penanda identitas yang krusial saat ini adalah identitas agama. Agama merupakan ekspresi keyakinan atau iman seseorang terhadap keberadaan “Yang Transenden”, yang dalam bahasa agama disebut “Tuhan”. Ekspresi itu mewujud dalam simbol, ritual, kitab suci, organisasi, dan etika hidup. Di situlah kemudian kita menyadari bahwa ekspresi terhadap “Yang Transenden” itu muncul dalam wujud yang berbeda-beda sesuai dengan konteks “iman” itu diekspresikan. Sering kali perbedaan-perbedaan itu menjadi pemicu konflik antarkomunitas karena agama dilegitimasi oleh prinsip “kebenaran tunggal”. Tanpa disadari bahwa “kebenaran” itu tidak tunggal karena mendapat pemaknaan yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda.

Membangun Teologi Pro-Eksistensi: Panggilan Pemuda Kristen

Dalam beberapa narasi Alkitab kita menemukan sejumlah figur pemuda yang luar biasa. Mereka luar biasa bukan hanya dalam kemampuan fisik, tetapi juga visi, kecerdasan, dan keberanian mengambil risiko demi memperjuangkan prinsip-prinsip kehidupan (misal: solidaritas, keadilan, kejujuran, kerendahan hati, dll). Tidak hanya itu, pemuda-pemuda yang berperan penting dalam narasi-narasi Alkitab ternyata berasal dari latar belakang keluarga yang biasa-biasa saja. Artinya, mereka menjadi hebat bukan karena jabatan atau kekayaan orang tua mereka. Mereka menjadi hebat karena mereka belajar mengembangkan potensi dalam diri mereka serta ditempa melalui pengalaman-pengalaman hidup, lalu mengarahkan dan mengerahkan energi kreatif tersebut untuk kepentingan bersama. Mari kita lihat tiga figur pemuda luar biasa dalam Alkitab.

Musa. Musa adalah seorang pemuda Israel yang hidup dalam asuhan putri Firaun. Ia tidak memanfaatkan kenyamanan hidup di istana untuk kepentingannya sendiri dan melupakan penderitaan saudara-saudaranya sebagai budak di Mesir. Ia mengambil risiko membela saudara-saudaranya yang mengalami penganiayaan, kendati untuk itu ia harus terusir dari istana dan menjalani hidup sebagai “orang biasa”. Tapi justru dalam kondisi hidup biasa itulah Musa mendapat kepercayaan untuk memimpin umat Israel. Sebuah tantangan yang berat bagi pemuda Musa. Musa menjadi pemimpin besar bukan karena ia punya banyak uang tapi karena punya keberanian mengambil risiko untuk memimpin dan ditempa melalui pengalaman-pengalaman konkret. Risiko kepemimpinannya adalah ia hanya bisa mengantarkan umat Israel sampai di perbatasan tanah Kanaan. Ia sendiri tidak bisa masuk karena menanggung akibat kesalahan umat Israel. Musa adalah tipe pemuda yang berani mengambil risiko bukan demi kepentingan dirinya, tapi kepentingan umat yang dipimpinnya.

Yusuf. Menjalani hidup dalam pembuangan di Mesir, karena kecemburuan saudara-saudaranya, tidak membuat Yusuf patah semangat. Meski disayang oleh ayahnya, Yusuf tidak menjadi pemuda lembek dan manja. Karakternya makin matang dalam usahanya mempertahankan hidup di tanah Mesir yang asing. Yusuf mencapai puncak kariernya bukan karena ia fasih melakukan negosiasi politik; bukan karena ia pintar membohongi orang; bukan karena ia pandai mencari muka dari penguasa. Yusuf mendapatkan kepercayaaan penuh dari Firaun justru karena kejujuran, kerendahan hati, kecerdasan, dan visinya yang tergambar dari kemampuannya menafsir mimpi Firaun, yang terarah pada kepentingan masyarakat Mesir (bukan dirinya sendiri). Karakternya itu pula yang menjadikan ia seorang manajer andal dalam mengelola sumber daya alam Mesir sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara nasional maupun internasional. Yusuf adalah tipe pemimpin yang visioner dengan orientasi universal (bukan primordial).

Yesus. Dibesarkan dalam tradisi Yahudi, Yesus bertumbuh menjadi pemuda Yahudi yang taat. Namun ketaatannya pada hukum agama Yahudi justru membawa Yesus pada refleksi-refleksi kritis mengenai makna dan fungsi hukum agama itu dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, hampir seluruh masa kepemudaannya, Yesus berjuang melakukan re-interpretasi (tafsir ulang) ajaran-ajaran agama Yahudi dan memberi makna baru secara kontekstual sesuai dengan masalah-masalah konkret yang dihadapinya. Pemaknaan baru tersebut tidak hanya diajarkan kepada orang lain secara verbal tetapi juga dijalani sehingga menjadi teladan hidup bagi banyak orang. Perjuangan itu bukan tanpa risiko. Risikonya adalah Yesus harus berhadapan dengan otoritas formal keagamaan dan penguasa politik, yang waktu itu “berselingkuh” untuk mempertahankan status-quo berpikir, beragama, dan berpolitik. Pemuda Yesus melampaui godaan-godaan politik uang, pencitraan diri, ketergantungan pada nepotisme, dan tawaran kekuasaan. Untuk semua itu Yesus memilih akhir jalan hidupnya sebagai “pecundang” di kayu salib. Yesus adalah tipe pemuda yang mengombinasikan kecerdasan, spiritualitas, dan keberanian mengambil keputusan penting demi proses pencerahan berpikir masyarakat terhadap realitas hidup.

Figur ketiga pemuda ini sebenarnya bisa menginspirasi kita untuk belajar memahami identitas dan peran kita dalam konteks masyarakat Ambon. Sebagai pemuda Kristen, kita sama sekali tidak dianjurkan untuk menjauhi “dunia” dan bertumbuh menjadi pemuda-pemuda munafik yang sok rohani tapi miskin visi dan lemah misi dalam menyikapi realitas sosial saat ini. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk memperkuat karakter kita dalam ketekunan beribadah dan belajar prinsip-prinsip alkitabiah sebagai motivasi dan inspirasi untuk melahirkan berbagai kreativitas di segala bidang kehidupan.

Pemuda Kristen harus mendasarkan hidupnya pada visi dan misi pro-eksistensi (berpihak pada kehidupan), sebab itulah yang akan menjadi “bahan bakar” bagi kita untuk bergerak dan berkarya dengan seluruh potensi diri dan ketekunan dalam proses belajar terus-menerus. Dasar imannya adalah Allah tidak pernah berhenti bekerja menurut caranya hingga saat ini. Allah yang kita percayai adalah Allah yang berkarya dalam proses untuk menjadi (process of becoming). Di situ tersirat kreativitas yang terus-menerus untuk menciptakan makna dan kemungkinan baru. Dunia sekarang memerlukan sentuhan karya pemuda-pemuda Kristen yang punya karakter tangguh untuk memimpin dan mengarahkan proses perubahan sosial ini menuju tercapainya cita-cita kesejahteraan masyarakat. Tantangan abad ke-21 ini harus menjadi momentum bagi pemuda-pemuda Kristen di Maluku untuk mengambil-alih kepemimpinan di semua lini kehidupan masyarakat.

Mari berhenti berpikir dan bersikap sebagai “orsu” (orang suru-suru). Mari kikis mentalitas “harap gampang” dan “tau snang sa”. Mari tutup kemungkinan untuk terus berada dalam mentalitas “ikan makan ikan”. Lalu angkat muka kita untuk melihat bahwa pemuda-pemuda Kristen makin tercecer dalam proses perubahan sosial di kota Ambon (Maluku) saat ini, dan mari berjuang merebut kembali seluruh peran-peran kepemimpinan dalam semua bidang kehidupan masyarakat dengan ketajaman visi, kecerdasan analisis, keberanian mengambil pilihan berisiko, kekuatan spiritualitas kristiani, dan penguatan karakter positif, yang semuanya terarah bagi penguatan kesejahteraan umat/masyarakat melalui program-program kerja organisasi maupun prospek individu. Sebagaimana yang ditunjukkan melalui teladan tiga figur pemimpin di atas.

Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces