Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, June 19, 2019

Kailani


Kurang beberapa menit pukul 24.00 hari Sabtu 14 Juni 2014, Nancy membangunkan beta dan bilang bahwa perutnya sakit. Kandungannya waktu itu memang sudah 9 bulan. Beta bangun dan bergegas menelepon Andre, teman yang biasa menyewakan mobilnya. Dia mengontrak rumah hanya satu rumah di sebelah rumah kami di kompleks Purisatya Permai Salatiga. Tak lama dia datang dan kami bergegas membawa Nancy ke Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Mutiara Bunda. Sesampai di sana langsung ditangani oleh para suster piket di IGD. Memang sejak bulan pertama kehamilannya yang kedua, Nancy ditangani oleh dokter Robby Hernawan yang praktek di RSIA Mutiara Bunda. Tapi ternyata pada hari itu, dr. Robby sedang berangkat ke Jakarta. Nancy ditangani oleh seorang dokter spesialis kandungan yang lain.

Beta mengurus semua ihwal administrasi dan menunggui Nancy dalam saat-saat kritisnya. Hampir 4 jam Nancy bergumul dengan bayi dalam kandungannya. Hingga pukul 5 dini hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 tanda-tanda kelahiran masih belum tampak jelas. Sang bayi belum menembus bukaan 2. Diagnosa dokter menyatakan bahwa leher sang bayi terlilit tali pusar. Tapi dokter belum bisa mengambil keputusan lebih jauh. Masih meminta Nancy bertahan sementara mereka melakukan beberapa upaya dan melihat perkembangan. Hampir jam 6 pagi, beta dengan berat hati harus meninggalkan Nancy sendirian ditangani oleh para perawat karena harus mempersiapkan diri untuk memimpin pelayanan Ibadah Minggu di GKI Jalan Jendral Sudirman (Jensud) Salatiga jam 7.00 pagi, berlanjut ke ibadah jam 9.00, dan sore hari jam 18.00. Dengan hati berat, beta meninggalkan RSIA Mutiara Bunda kembali ke rumah untuk mempersiapkan diri. Sepanjang ibadah, beta berusaha berkonsentrasi pada pelayanan sambil terus berdoa untuk Nancy dan bayi kami. Beta baru bisa kembali ke RSIA Mutiara Bunda sekitar jam 11.30 usai ibadah kedua.

Sampai di RSIA Mutiara Bunda, beta langsung menuju ke IGD. Tapi sudah kosong. Seorang perawat di sana bertanya. Sebelum beta sempat menjawab, dia bilang bahwa bayi kami sudah dilahirkan dan sekarang mereka berada di kamar. Seluruh badan beta lemas karena cemas bercampur bahagia. Beta pun bergegas menuju ke kamar. Ternyata sudah ada tante Ida Imam Titaley, istri dari Prof. John Titaley (Rektor UKSW saat itu). Beliau adalah orang pertama yang menjenguk Nancy dan bayi kami. Perawat kemudian mengambil si nona kecil dan membawanya ke kamar agar beta bisa melihatnya. Nona kecil yang manis dengan teriakan tangis yang menggelegar. Kami menamainya KAILANI STACY GASPERSZ. "Kai" berarti "laut"; "lani" berarti "dewi". Dewi Laut. Nama itu kami ambil dari bahasa Pasifik (Hawaii). Sama seperti nama kakaknya, KAINALU, yang berarti "ombak laut".

Nancy pun bercerita bahwa proses melahirkannya tadi adalah melalui operasi caesar karena tali pusar melilit leher Kailani kecil. Nancy sendiri yang menandatangani surat kesediaan operasi karena beta tidak bisa dihubungi pada saat keputusan tersebut diambil. Operasi berjalan lancar dan bayi Kailani dilahirkan pada jam 10.00 tanggal 15 Juni 2014. Kebahagiaan yang menutupi seluruh kelelahan studi dan pergumulan karena beberapa minggu sebelum Nancy melahirkan, Mami Tin (mamanya Nancy) yang sedang bersama dengan kami untuk membantu mendampingi Nancy dalam persiapan melahirkan, terserang stroke. Beliau dirawat di RSUD Salatiga. Selama beberapa minggu setelah Kailani dilahirkan, beta harus bolak-balik dua rumahsakit untuk menjenguk Mami Tin dan Nancy/Kailani. Sampai kemudian Mama Eci, adik Mami Tin, bersedia datang ke Salatiga membantu kami dalam situasi yang sulit saat itu. Beliau datang bersama Alex (Lexy), putranya yang ketiga.

Ketika catatan kecil kenangan indah ini beta tulis, Kailani baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-5 di Ambon, 15 Juni 2019.

Selamat ulang tahun nona manis! Papa, mama dan kakak Kainalu (Kanu) sangat mencintaimu. Kainalu dan Kailani adalah sepasang malaikat yang Tuhan anugerahkan dalam hidup beta dan Nancy.
Read more ...

Tuesday, June 4, 2019

Guru Besar Sagu


Prof. Dr. Ir. Julius Elseos Louhenapessy, MS. menjadi Rektor UKIM periode 2004-2009. Pada periode itu beta dan keluarga sedang berdomisili di Jakarta. Beta mengikuti Nancy yang mendapat tugas sebagai Direktur Pelaksana (Dirlak) PERSETIA sejak tahun 2000. Tanggung jawab yang dijalaninya selama dua periode. Itulah yang menahan kami tinggal di Jakarta selama 10 tahun. Anak kami yang sulung, Kainalu Anariosa, lahir di Jakarta, bertumbuh dan mengenyam Pendidikan TK hingga kelas 4 SD di ibukota negara ini. Baru tahun 2009, tepat ketika Nancy mengakhiri masa kerja periode keduanya di PERSETIA, Fakultas Teologi UKIM meminta kami pulang untuk memperkuat staf pengajar pada almamater kami ini.

Tidak kerap perjumpaan dan dialog dengan Pak Co, demikian sapaan akrab beliau. Beta sempat mengenalnya ketika pada tahun 2001 terlibat dalam tim kerja pengembangan Program Pascasarjana Teologi UKIM “Injil dan Adat”. Kami mengundang beliau dalam semiloka tiga hari sebagai salah satu narasumber dengan kapasitas mewakili BAN-PT. Tegas dan langsung, ditambah gaya bicaranya ekspresif dan bersemangat, demikian kesan beta saat melihat penyajian gagasan beliau dalam semiloka itu. Sehari-hari beliau juga adalah seorang guru besar ilmu pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Seorang ahli pangan sagu yang komit dan tekun meneliti kemanfaatan sagu sebagai alternatif pangan masyarakat Maluku dan Indonesia.

Tak dinyana beliau kemudian terpilih menjadi Rektor UKIM periode 2004-2009. Masa-masa kepemimpinan beliau adalah masa-masa krisis dan sulit bagi UKIM. Kota Ambon didera konflik sosial antarkelompok beragama. Nyaris seluruh aktivitas sosial dan pendidikan lumpuh. Tapi UKIM harus tetap hidup. Pada masa-masa inilah karakter kepemimpinan Pak Co sangat berperan dalam menakhodai UKIM. Aktivitas kuliah tersendat-sendat, jumlah mahasiswa menyusut drastis, aktivitas akademik para dosen tidak berjalan, bahkan beberapa dosen keluar dari Ambon karena situasi yang tidak pasti dan sebagainya.

Sebagai seorang guru besar yang juga aktif dalam kerja-kerja pengawasan mutu perguruan tinggi melalui lembaga Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Pak Co sangat tegas dalam memberlakukan apa yang sudah menjadi aturan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Bahkan nyaris tidak ada kompromi kalau sudah bicara aturan meskipun kondisi UKIM pada waktu itu terengah-engah dalam menata pola kerja kelembagaan karena fasilitas yang sangat minim. Karakter kepemimpinan yang tegas dan lugas semacam itulah yang ternyata membuktikan bahwa dalam segala keterbatasan akibat konflik sosial saat itu, UKIM teruji dalam mengatasi masalah-masalah administrasi pengelolaan perguruan tinggi dan selalu setia memperhatikan produk-produk regulasi nasional di bidang pendidikan tinggi. Itu pula yang membuktikan bahwa UKIM tetap kokoh berdiri dari puing-puing kehancurannya dan makin tegak melangkah dengan segala keterbatasan yang dimilikinya sebagai salah satu perguruan tinggi swasta di Maluku.

Terima kasih Pak Co. Selamat menempuh keabadian. Kami akan selalu mengenangmu dalam setiap langkah UKIM di masa depan.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces