Aku menulis maka aku belajar

Thursday, November 14, 2019

Pendeta GPM dan Sidang Raya Ke-17 PGI: Catatan Post-Factum

Sebagai pendeta yang tidak terlibat Sidang Raya (Sidra) ke-17 PGI di Sumba, sebenarnya beta berharap ada cerita yang bisa dibagi oleh rekan-rekan pendeta yang beruntung mendapat kesempatan mengikuti perhelatan gerejawi nasional tersebut (termasuk pertemuan pemuda dan perempuan pra-sidra). Setiap hari beta memeriksa adakah catatan-catatan harian sebagai refleksi iman dalam pergumulan bersama GPM dan gereja-gereja lainnya merespons realitas bergereja dan bermasyarakat akhir-akhir ini.

Ada tergurat sedikit kecewa karena dari sekian banyak pendeta GPM yang terlibat ternyata tidak banyak yang bersedia berbagi narasinya. Di antara yang sedikit itu, sejauh amatan beta, catatan harian (status FB) bung Jacky Manuputty dan bung Elifas Tomix Maspaitella cukup dominan terutama meliput realitas sosial masyarakat Sumba dan perjumpaan-perjumpaan langsung dengan orang Sumba. Sebagian besar status FB lebih memuat foto-foto dan video live yang bertebaran tanpa narasi, kecuali keterangan singkat.

Untunglah, Pdt. Harley Pattianakotta, putra Loki yang berkarya sebagai pendeta Gereja Kristen Pasundan (GKP) dan baru saja ditugaskan oleh Sinode GKP sebagai Pendeta Kampus di Universitas Kristen Maranatha Bandung, dengan setia dan tekun berbagi narasi-narasi kritis yang ditulisnya setiap hari. Dari situlah beta bisa turut mencermati dinamika Sidra PGI dari jauh dan didesak pula untuk masuk dalam pergumulan gereja-gereja Indonesia, terutama dalam kurun 5 tahun terakhir.

Catatan-catatan harian Sidra PGI itu penting dibagikan kepada publik agar perhelatan gerejawi tersebut tidak hanya menjadi omong-omong para elite yang berkerumun menikmati fasilitas dan layanan jemaat-jemaat Gereja Kristen Sumba (GKS) yang pada kenyataannya bergelut dengan masalah-masalah eksistensial kehidupan mereka, seperti kritik dalam tulisan pada tautan ini. Lantas, aksentuasi berlebihan hanya dimuarakan pada momen pemilihan Ketua MPH PGI ~ yang oleh Pdt. Dr. Albertus Patty disebut sebagai "momen krusial". Mengapa hanya momen itu yang disebut "krusial"? Apa yang dimaknainya sebagai "krusial"? Tidak jelas, karena itu hanya ditulisnya sebagai status FB. Namun, yang jelas, bagi beta, suksesi kepemimpinan masih berkutat sebagai orientasi utama dalam sidra-sidra PGI sembari abai pada tujuan utama dari "persekutuan gereja-gereja" yang sedang berlangsung dalam konteks sosial, budaya, politik dan ekonomi jemaat-jemaat GKS yang menjadi host sidra tahun 2019.

Padahal, sidra 2019 ini berlangsung tak lama setelah GPM menggelar Sidang MPL penuh keprihatinan di Jemaat Haruku-Sameth (Hasa), Klasis Lease. Semestinya pergumulan-pergumulan GPM turut mendorong penguatan berbagai diskursus sosial-politik dan ekonomi, yang ditautkan sebagai simpul refleksi dan praksis berteologi dengan situasi problematik GKS. Secara geografis, wilayah pelayanan GPM dan GKS berdekatan dengan karakteristik kepulauan yang tidak berbeda jauh. Secara sosio-teologis, pergumulan GPM dan GKS bertumpu pada realitas ketimpangan pembangunan dan ketidakadilan ekonomi nasional, yang baru-baru saja diwarnai ketegangan antar-elite politik setelah pernyataan Gubernur NTT mengenai saham 5% dari investasi Blok Masela untuk Provinsi NTT. Pernyataan itu pun memicu reaksi dari para elite daerah, terutama Bupati Kepulauan Tanimbar.

Apa artinya itu? Sederhananya, para elite politik ~ baik di daerah (Maluku dan NTT) maupun di Jakarta ~ sedang bertarung berebut kuasa (politik dan ekonomi) dengan mempertaruhkan harkat-martabat rakyatnya sendiri. Isu yang diributkan cuma soal investasi dan rebutan dana pembangunan nasional. Di situlah sebenarnya perhelatan sidra 2019 patut dijadikan sebagai ajang konsolidasi seluruh kekuatan sosial (social capital) dan budaya (cultural capital) untuk melakukan negosiasi nasional dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) entah itu pemerintah (pusat/daerah) atau korporasi transnasional.

Mengapa sidra mesti diposisikan sebagai ajang konsolidasi gereja-gereja? Alasannya jelas terang-benderang: PGI makin luruh wibawanya dalam konstelasi sosial-politik-ekonomi nasional, dan tidak lagi menjadi "avant-garde" dalam gerakan-gerakan pemberdayaan berbasis pada keberpihakan sejati terhadap situasi problematik kemanusiaan Indonesia. Meskipun ketidakhadiran Presiden, Wapres dan Menteri Agama terlalu sumir untuk dijadikan sebagai parameter mengenai insignifikansi momen Sidra PGI, namun tak bisa dipungkiri itu tetap ditafsir sebagai makin menciutnya makna kehadiran PGI di mata pemerintah Indonesia. Kritik pedas oleh seorang pendeta GKS melalui tulisan ini dengan tegas memperlihatkan ironi semacam itu. klik di sini

Benarkah seperti itu? Beta merasa tidak bisa menjawabnya karena hanya bisa mengamati dari jauh. Semoga saja argumentasi kritis dari rekan-rekan pendeta yang mengikuti sidra bisa memverifikasi kritik pendeta GKS ini bahwa kehadiran GPM bersama yang lain tidak hanya "numpang berapat" (termasuk numpang tidur dan menikmati layanan klas-1). Argumentasi yang setidaknya menegaskan bahwa kehadiran GPM dalam Sidra 2019 bukan sekadar plesiran dan aneka selfie sana-sini. Yang lebih penting tentu saja dengan selalu ingat bahwa ada doa dan dana dari jemaat-jemaat kita ~ yang juga sementara bergulat dengan kemiskinan dan bencana ~ yang menopang partisipasi para pendeta GPM di Sumba.

Catatan kecil ini adalah catatan "post-factum" dan karenanya lebih berorientasi refleksi (pantulan) dari momen sidra. Jika ada rekan-rekan pendeta yang bersedia berbagi, beta dengan senang hati menyediakan forum KANJOLI UKIM sebagai forum berbagi dengan ade-ade mahasiswa UKIM (bukan hanya fakultas teologi).

MENA!
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces