Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, November 30, 2011

Mengalah atau Menerima Kekalahan?


Beberapa minggu lampau perhatian kita nyaris seluruhnya tersedot oleh peristiwa SEA GAMES ke-26 tahun 2011. Tentu yang paling diminati adalah laga tim sepakbola Garuda Muda yang berhasil terbang hingga ke puncak final menghadapi tim Malaysia. Ini gejala menarik. Umumnya yang diminati publik adalah sesuatu yang membanggakan dan dianggap sebagai andalan. Karena itu dukungan yang diberikan total. Tetapi untuk kasus sepakbola Indonesia justru terbalik. Tim sepakbola nasional (dengan macam-macam namanya) sudah lebih dari dua dekade tidak pernah menunjukkan prestasi gemilang. Dari satu pelatih ke pelatih lain, mulai dari pelatih dalam negeri, luar negeri, dan balik dalam negeri lagi. Berbagai strategi permainan telah dijajal. Sejumlah laga tanding juga telah dijalani bahkan ke beberapa negara. Namun, toh hasilnya biasa-biasa saja.

Selain itu, sepakbola kita juga punya keunikan. Meskipun organisasi PSSI masih pontang-panting mengatur dirinya, sepakbola kita rasanya tak pernah kehabisan pemain-pemain berbakat. Jadi bisa dikatakan tanpa PSSI pun banyak klub-klub sepakbola mampu menggodok pemain-pemain andal. Ah, ini sudah terlalu jauh. Saya sebenarnya tidak bermaksud menjadi komentator sepakbola di sini. Yang menarik perhatian saya adalah justru pernyataan-pernyataan orang-orang yang bukan pemain sepakbola; alias tidak pernah merumput di lapangan, apalagi menendang bola. Seorang pejabat ketika diwawancarai mengenai gagalnya tim Garuda Muda meraih emas dengan enteng mengatakan: "Kita memang kalah, tapi kalah terhormat!". Atau bahkan menanggapi kekalahan timnas pada laga-laga sebelumnya ada yang mengatakan: "Kali ini kita mengalah, sambil mempersiapkan strategi berikutnya."

Saya jadi bingung. Apakah memang dua pernyataan itu sama artinya? Bahwa "kalah terhormat" bisa diartikan sama dengan "mengalah"? Apa bisa "kalah terhormat" dimaknai sebagai sikap "menerima kekalahan" atau "belajar dari kekalahan"? Lantas, apa cukup fair untuk menyatakan bahwa "mengalah" adalah sikap sportif mengakui keunggulan lawan dan terbuka untuk membenahi diri? Atau itu hanya sekadar eskapisme dan minder karena kita selalu "patah sayap sebelum mampu terbang tinggi"?

Namun demikian, pada sisi lain, di luar lapangan, soal kalah atau menang itu soal hidup-mati bagi supporter. Setiap event sepakbola dalam negeri pada galibnya adalah sebuah "pesta pora rakyat". Lihat saja bagaimana para polantas tak berkutik menghadapi ulah ugal-ugalan para supporter yang duduk di atas kap metromini sambil meneriakkan yel-yel. Atau lumpuhnya sistem hukum menangani membludaknya jumlah supporter yang menggunakan jasa transportasi kereta api untuk nonton kesebelasan andalan mereka di kota lain. Lagi, ketidakberdayaan polisi mengantisipasi aksi brutal para supporter yang mengamuk. Kenapa? Karena mereka "tidak terima kekalahan (meskipun terhormat)" dan/atau "tidak mau mengalah".

Tapi sebenarnya saya tidak ingin mengulas soal sepakbola di sini. Perhatian saya justru pada pandangan tentang "kekalahan" itu. Setelah dipikir-pikir agaknya pandangan semacam itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana pandangan kita tentang hidup. Bisa jadi, pandangan yang fatalistik itu terbentuk dari konstruksi pengalaman-pengalaman impotensi di tengah-tengah kompetisi kehidupan yang makin keras. Mungkin juga, itu terbentuk oleh pandangan dunia masyarakat kita yang lebih melihat kosmos ini sebagai yang transenden dan karena itu tidak memungkinkan campur tangan manusia. Maka jadilah manusia hanya menerima saja segala sesuatu sebagai "takdir" tanpa tergugah melawannya atau bahkan mengubahnya.

Hal yang agak memprihatinkan adalah jika pandangan fatalistik itu kemudian menjadi "new worldview" bahwa kita sebenarnya larut dalam dimensi duniawi ini tanpa daya mengubahnya sama sekali. Lalu makin menguatlah pandangan "biarlah semua terjadi dan kita tak berdaya apa-apa". Jika ini terus-menerus ditanamkan maka bukan tidak mungkin bahwa generasi demi generasi di masa depan akan kendor daya kompetitifnya untuk mengejar apa yang menjadi tujuannya. Bahkan, dengan cepat menghindar ketika mendapat tawaran-tawaran untuk bersaing sehat meraih tujuan akhir (end-in-mind) hanya karena merasa "kalah sebelum bertanding".

Dalam cerita Injil-injil, Simon Petrus dikenal sebagai murid yang paling agresif dan tidak mau kalah. Ia selalu yang pertama berkomentar atau mengambil sikap dalam situasi tertentu. Demikian pula dengan Thomas. Ia tidak mau pandangannya dikalahkan oleh opini publik yang menyatakan "Yesus bangkit", sebelum ia membuktikan secara fisik. Masih banyak contoh lain. Setidaknya itu menggambarkan bahwa karakteristik "tidak mau kalah" dengan terang-benderang ditampilkan dalam cerita-cerita itu. Kita pun bisa menimba pelajaran bahwa soal "tidak mau kalah" itu bukan soal kita suka berkelahi atau suka bertengkar, melainkan soal bagaimana kita mempertahankan prinsip hidup serta konsisten memperjuangkannya sebagai bagian dari cara kita menyatakan kebenaran. Menyatakan kebenaran bukan dengan "baku malawang" atau "baku pukul", melainkan dengan mencari dasar-dasar pembuktian sehingga pikiran kita tidak terkalahkan oleh pandangan umum (common sense). Jika demikian maka tertutup kemungkinan kita menjadi orang-orang yang latah, ikut-ikutan (istilah Ambon: iko rame).

"Provokator Damai" dan "Kopi Badati" pada hakikatnya adalah terminologi mengarah pada pandangan dan cara kita untuk menolak kalah. Kita tidak ingin dikalahkan oleh provokasi isu yang menggempur kita tiada henti. Kita tidak ingin dikalahkan oleh opini publik bahwa orang Maluku doyan bakupukul atau bakalae. Kita menolak kalah. Dan untuk saya pikir kita tidak akan memolesnya dengan embel-embel apapun selain demi kemanusiaan dan persaudaraan yang memanusiakan itu sendiri. Sekarang soalnya kemudian, bagaimana kita mengarahkan semangat "tidak mau kalah" ini menjadi sebuah saluran untuk terus-menerus menyemburatkan perdamaian ke ranah yang lebih luas lagi. Bahkan, menjadikannya sebagai "gelombang sinyal" ke seluruh semesta bahwa kita ingin "kepala batu" dalam mengupayakan semangat perdamaian itu sebagai bagian dari gramatika budaya kita sejagad.

Terserah. 

Read more ...

Saturday, November 26, 2011

Judulnya Kopi Badati


Waktu sudah menunjuk larut malam. Pukul 12.30 waktu Yogyakarta. Tapi mata masih melotot di depan monitor komputer dan jari-jari masih berlompatan menari di atas tombol-tombol keyboard. Ada beberapa tugas yang harus dituntaskan. Petikan gitar RyoNiveu mengiring suasana hati dari “Enggo Lari” hingga “Nusaniwe Tanjung Alang”. Tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh posting foto dan catatan kecil dari bung Jacky Manuputty yang melekat pada dinding akun facebook. Foto yang memperlihatkan anak-anak muda Maluku yang sedang membubuhkan tanda tangan mereka pada selembar kain putih panjang. Catatan bung Jacky pun mengurai dan merefleksikan peristiwa itu.

Aku tercekat membacanya. Mencoba berimajinasi pada tiap rangkaian kata dan untaian kalimat, aku pun terhenyak oleh kekaguman. Anak-anak muda ini sungguh luar biasa! Mereka memperlihatkan segumpal militansi yang mengeras dalam hasrat untuk memilih “berdamai” dengan cara mereka. Aku tahu ini bukan sesuatu yang instan meskipun mereka dibesarkan dan dibentuk oleh budaya instan dan konsumerisme. Jalan “berdamai” mereka tidak jatuh dari langit. Tidak pula diberikan oleh orang tua mereka. Jalan itu mereka pilih dan tentukan sendiri karena mereka menolak tegas mewarisi kebencian yang telah mencabik-cabik sejarah orang tua mereka. Mereka tidak menghindari kebencian itu tetapi menerimanya sebagai pelajaran getir untuk membangun masa depan mereka tanpa harus memilih berpijak di situ.

Aku tidak di sana, di tengah kerumunan anak-anak muda “kabaressi” itu. Tapi sungguh malam ini aku merasakan ledakan spirit yang sulit terdefinisikan – dan mungkin juga tak perlu didefinisikan. Toh, anak-anak muda kabaressi perdamaian itu tak butuh definisi apapun yang hanya penuh pesona teoretik tapi carut-marut dalam praksis. Mereka memilih untuk bertindak, tanpa publikasi yang “lebay”. Merajut aneka narasi mereka sendiri dan mencoba membuat simpul-simpul nurani dengan bahasa muda mereka. “Kopi Badati” adalah simpul nurani itu. Jauh dari jepretan kamera wartawan, di sudut-sudut kampung, di ujung-ujung lorong, dalam guyuran hujan dan selimut dingin, mereka menawarkan sebuah bentuk persahabatan melalui kopi dan penganan sederhana kepada sahabat-sahabat mereka. Itu terjadi di wilayah-wilayah “perbatasan” yang sebenarnya bersifat imajinatif. Namun apa yang mereka lakukan justru meluruhkan sekat-sekat perbatasan imajinatif itu, dengan kopi dan penganan.

Tubuhku memang tidak di sana. Tapi jiwaku, sumangaku, ada di sana. Karena itu, jari-jariku tak lagi menari di atas keyboard mengikuti ritme paper-paper tugas kuliah. Tiba-tiba jari-jariku melompat cakadidi menari mengikuti ritme “kopi badati”. Hanya tarian sederhana yang menghentak mewujud untaian kalimat yang mengalir mengikuti hentakan semangat “kopi badati” di kintal Gong Perdamaian. Kekagumanku meluap tak terbendung untuk anak-anak muda kabaressi ini. Aku yang tidak di sana bersama mereka seakan dirasuki roh mereka untuk mengangkat mukaku dengan bangga – mereka sedang membangun masa depan Maluku. Aku kehabisan kata-kata untuk menuliskannya, tapi malam ini makin kental keyakinanku bahwa aku tidak akan kehabisan harapan untuk menegakkan spirit perdamaian di tanah airku, Maluku.

Read more ...

Saturday, November 12, 2011

11.11.11.plosokuning

Hampir di semua status dinding Facebook terpasang impresi terhadap paduan unik angka "11 November 2011" atau "11.11.2011" atau "11.11.11". Rupanya paduan ini punya pesona tersendiri karena dianggap hanya terjadi sekali seumur hidup manusia. Kecuali dari generasi ini masih ada yang bisa bertahan hidup sampai tanggal 11 November 2111. Ternyata tak cuma mempesona, tetapi pada beberapa status dinding FB ada yang berdoa supaya diberi berkat oleh Tuhan pada tanggal "istimewa" ini. Terserahlah. Setiap orang punya pemahaman, kepercayaan, dan harapan yang berbeda dalam membaca tanda atau simbol yang baginya dianggap unik dan langka. Mungkin dari situlah sebenarnya "religiositas" tertanam menjadi bagian dari eksistensi kemanusiaan kita, yang sekaligus membedakan manusia dari binatang atau makhluk hidup lain yang bukan manusia.

Saya juga merasakan sesuatu yang istimewa pada tanggal ini. Bukan karena ada mukjizat. Tidak pula karena tiba-tiba ketiban rezeki nomplok. Tetapi justru dari sebuah undangan untuk mengikuti pengajian Kitab Kuning di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Yogyakarta. Unik 'kan? Seorang pendeta Protestan dari Ambon diundang mengikuti pengajian di sebuah masjid di Yogyakarta. Namun, sebenarnya hal itu tidak terlalu unik karena undangannya disampaikan oleh Rahmadi Agus, teman seangkatan saya di ICRS Yogya, yang tinggal di Plosokuning.

Setiap Jumat malam di Masjid Pathok Negoro Plosokuning diadakan acara pengajian yang diambil dari pembacaan Kitab Kuning. Acara pengajian seperti ini tidak terlalu lazim di masjid-masjid lain sekitarnya. Salah satu keunikannya adalah "panggilan beribadah" dilakukan dengan menyanyikan Shalawat Nabi oleh kelompok musik rebana yang sebagian besar anggotannya adalah anak-anak muda. Ada 6 orang pemain rebana dan beduk kecil, serta 2 orang penyanyi. Selama kurang lebih 1 jam mereka menyanyikan puji-pujian untuk mengundang jamaah datang ke masjid.

Setelah itu, ketua ta'mir (pengurus) masjid mengambil alih acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang dan beberapa pengumuman mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Semuanya disampaikan dengan bahasa Jawa Kromo. Lalu ketua ta'mir mempersilahkan khotib untuk melanjutkan acara pengajian. Kali ini khotibnya adalah sesepuh masyarakat. Selama hampir 2 jam sang khotib menyampaikan pesan-pesan religius dengan bahasa sangat sederhana tetapi mengandung makna mendalam. Dia menyampaikannya dengan tenang, dan pada frase-frase penting ia menekannya berulang-ulang. Saya yang tidak terlalu fasih memahami bahasa Jawa Kromo pun dapat mengikuti alur khotbahnya dan menangkap pesan rohaninya.

Saya mencoba merenungkan salah satu pesannya mengenai "eling" dan "kelingan". Dia mengatakan bahwa banyak orang (Jawa) menyamakan kedua istilah itu, padahal sebenarnya berbeda. "Eling" adalah suatu kesadaran yang terus-menerus menyertai manusia. Kesadaran itu adalah kesadaran akan keterbatasan dirinya dan karena itu mengakui kebesaran Gusti Allah SWT. Kesadaran itu harus terjadi setiap saat dalam aktivitas hidup manusia (bekerja, belajar, berdagang, dll). Sedangkan istilah "kelingan" lebih menunjuk pada sesuatu yang sudah terjadi atau pada masa lampau. Misalnya, "aku ingat pernah melakukan kesalahan". Seseorang yang "kelingan" bisa saja menjadi "eling" (sadar), tetapi bisa juga tidak. Oleh karena itu, manusia harus lebih menghayati "eling" itu dalam kehidupannya. Kalau manusia "eling" terhadap Gusti Allah SWT maka dia juga akan menghargai kehidupan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

Masih ada beberapa pesan rohani yang bermakna. Selain pengajiannya, apa yang saya hayati adalah penerimaan jamaah terhadap "orang asing" di tengah-tengah mereka. Tatapan pertama mereka terhadap saya seakan memancarkan rasa ingin tahu, tetapi serta-merta saya tidak terlalu merasa asing karena hampir setiap jamaah pengajian yang baru datang akan menyalami kami semua yang tiba lebih dulu tanpa pilih-pilih. Itulah yang membuat saya merasa diterima. Bahkan dengan ramah dan terbuka, usai pengajian, bapak Kamal, ketua ta'mir, masih bersedia berbincang-bincang tentang acara pengajian dan keunikan masjid Pathok sebagai salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh Sultan Yogyakarta. Masjid ini, katanya, memiliki nilai historis yang panjang dan penting bagi masyarakat Plosokuning dan Yogyakarta umumnya.

Masih banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi malam kian larut. Saya harus kembali ke tempat kos. Bapak Kamal mengundang saya untuk mengikuti serangkaian acara yang dilaksanakan oleh ta'mir masjid di waktu-waktu mendatang. Catatan ini mungkin adalah awal dari sebuah dialog praksis saya yang Kristen dengan saudara-saudara Muslimin/Muslimah di Plosokuning.

Semoga.
Read more ...

Wednesday, October 26, 2011

307

Tidak terasa sudah lebih dari satu bulan berjibaku dengan aneka "kuliner" pustaka dan teori di ruang 307, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Soal nikmat, pastilah ada kenikmatan tersendiri saat sel-sel kecil di otak ini berkedutan karena dihinggapi "Karl Marx", "Weber", "Ferdinand Toennies", "Robert Nisbet", "Mark Juergenmeyer", dan seabreg konco-konconya. Belum lagi harus berjumpalitan dengan "Religion and Human Rights" atau "Violence and Peace in Religion". Tapi mau apa lagi? Itu sebuah pilihan untuk terjun bebas dan mendarat di tengah-tengah rimba belantara epistemologi, lalu mencari-cari kompas untuk meretas jalan atau setidaknya menelusuri rimba itu serta menikmati tiap pengalaman perjumpaan di tengah jalan. Soal bisa keluar atau tidak dari rimba belantara itu, walahuallam....

Syukur alhamdullilah, bahwa dalam perjalanan menelusuri jalan itu saya ternyata tak sendiri. Ada Murtafi Haris yang setia menemani dengan kopi hitam dan asap-asap putihnya; ada Rahmadi Agus yang kalem-serius tapi tajam terpercaya (kayak iklan berita...); ada Ahmad Salehudin yang supersibuk mondar-mandir UGM-UIN; juga Dede Syarif yang sumringah terus sejak dirahmati Allah SWT dengan seorang bayi; Amanah Nuris yang berkaliber "event organizer" profesional mengurusi Wednesday Forum; Laila Alfirdaus yang rajin dan setia mengirim materi-materi kuliah; Witri Indriani yang tenang dan murah hati membayar makan siang (harap cemas apakah berkelanjutan?); Lidya Tandirerung yang dengan mantap memoderasi percakapan di kelas... Siapa lagi ya? Walah... yang terakhir ya aku...

Mereka telah menjadi teman seperjalanan mencari tanda-tanda "kebenaran" di tengah berbagai persimpangan jalan menelusuri rimba belantara epistemologi, mencoba mengenali akar-akar asumsi dasar dari tiap pohon ilmu yang ditemui, bahkan mencoba membaca tanda-tanda alam melalui persinggungan-persinggungan paradigma yang kerap membingungkan dan cukup melelahkan. Tetapi kami telah menjadi teman seperjalanan. Itu sungguh berarti. Perjumpaan kami pun kerap mengalir dalam tegangan arus debat yang membuat setiap orang mencoba bertahan, sepakat, atau bahkan mendekonstruksi ranah-ranah tabu "agama" ke dalam ketegangan-ketegangan yang mengasyikkan.

Di tengah proses awal yang cukup "menekan" dan "melelahkan" ini, ada impuls-impuls energi yang mengalir dari persahabatan lintas-batas ini. Ini menjadi sesuatu yang menguatkan bahwa persahabatan ini sungguh-sungguh manusiawi. Ketika kami masing-masing terlempar keluar dari pagar-pagar identitas (agama, etnis, budaya, institusi, dll) dan kemudian saling berbenturan di luar pagar-pagar itu. Saat itulah kami mendapati bahwa benturan-benturan itu tidak menjadi sebuah "pertengkaran" melainkan sebentuk baru "kekerabatan" yang saling menopang. Inter-religious studies pun meluas melebar bukan sekadar percakapan akademis tapi persahabatan yang kemudian menjadi karakter. Harapan pun mengalir... setiap perbedaan ini mampu menjadi energi bagi persahabatan sejati....
Read more ...

Friday, October 14, 2011

Agama untuk Keadilan dan Perdamaian: Catatan 20 Tahun Interfidei


Di tengah berbagai kontestasi kekerasan massal yang mengeras dalam kemasan “perbedaan agama” dan kasus-kasus pembiaran aksi-aksi sepihak pelarangan aktivitas beribadah dan penutupan/penyegelan tempat[-tempat] ibadah penganut agama tertentu, sejumlah pemerhati dan aktivis perdamaian dan kebebasan beragama berkumpul untuk membincangkan masalah-masalah tersebut dalam format konferensi nasional yang digelar oleh Institut Dialog Antariman (DIAN) atau Interfidei Yogyakarta. Rangkaian acara workshop dan konferensi ini diselenggarakan sebagai bagian dari evaluasi 20 tahun Interfidei bergelut dengan masalah-masalah hubungan antariman di Indonesia. Sikap yang bermunculan pun beraneka ragam. Ada yang pesimis, ada yang optimis. Bahkan ada yang nyaris “frustrasi”, kendati tak sedikit yang tetap menaruh harap besar akan transformasi hubungan antariman di Indonesia pada masa depan.


Sikap pesimis mencuat karena setelah berkiprah selama 20 tahun bersama-sama dengan seluruh jejaring yang dibangunnya, kegairahan komunikasi antariman seolah-olah tetap membentur “benteng kokoh” sektarianisme agama-agama. Aksi-aksi kekerasan dengan manipulasi slogan-slogan dan simbol-simbol agama kian mengeras dan seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum yang menjadi kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana amanat konstitusi republik ini. Wajah negeri ini kian carut-marut dengan apa yang oleh Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence disebut sebagai “cosmic war” (hlm. 145-163). Jangankan merayakan, menerima perbedaan saja sudah menjadi sesuatu yang haram.

Namun demikian, di tengah gemuruh kekerasan dan pertarungan kekuasaan yang menyeret agama-agama untuk turut bermain api di dalamnya, ada sejumlah lain optimisme bahwa dinamika yang telah terbangun selama ini akan membuahkan hasil positif kendati prosesnya mesti terus dikawal dengan konsistensi dan komitmen sejati. Resistensi terus dibangun dengan tetap menuturkan narasi-narasi perdamaian terhadap tendensi mengkooptasi kesadaran publik dengan narasi-narasi “kegilaan massa”, “pembiaran negara”, “pelecehan konstitusi negara”, “separatisme”, “pembisuan suara-suara marjinal”, dan lain-lain. Pelan dan melelahkan, tetapi tetap dilakukan kendati dengan energi yang kian terengah-engah.



Dialog Antariman: Menyerap Sumber-sumber Energi Baru
Perhelatan 20 tahun Interfidei Yogyakarta diartikulasikan dalam bentuk-bentuk evaluasi kritis, kritik-diri, dan penyibakan orientasi masa depan dialog antariman di Indonesia. Empat sesi panel diskusi yang digelar secara berurutan seakan-akan hendak meringkas 20 tahun perjalanan Interfidei sebagai narasi bersama yang masih penuh dengan lubang-lubang tutur yang perlu ditinjau dan dilengkapi dari waktu ke waktu.

Seluruh narasi itu pun mesti dilihat sebagai sebentuk kegalauan ketika ternyata desain epitemologis dan teologis antariman itu kerap dibenturkan dengan narasi besar negara-teater. Alur narasi dialog antariman tak jarang terinterupsi oleh sisipan-sisipan fakta kekerasan yang tampaknya makin membelit-mengusut susah diurai. Sisipan-sisipan itu begitu mengganjal narasi dialog antariman ketika aktor-aktor yang melenggang di pentas realitas adalah representasi kekuatan-kekuatan negara yang makin bebal menyikapi karakter keindonesiaan yang serba-majemuk ini.

Seberapa jauh gerakan dialog antariman tetap konsisten untuk terus berkutat menghadapi gempuran-gempuran aktor negara ini? Atau, masihkah tersisa energi untuk terus menantang negara sambil terus menari mengikuti ritme dinamika yang dideterminasi oleh negara itu sendiri? Ataukah mesti diperhitungkan dengan cermat terobosan alternatif yang melaluinya gerakan dialog antariman menentukan sendiri ritmenya dengan penyasaran domain-domain lokalitas yang kerap tak tersentuh negara? Sosok sekaliber Prof. Syafii Ma’arif pun pada akhirnya berujar, “Kalau seperti ini, saya rasa lama sekali. Kita perlu pendekatan yang strategis dan cepat.”


Nyaris berada di titik kritis “frustrasi” ternyata muncul pendekatan-pendekatan yang lebih membumi. Pendekatan-pendekatan dialog antariman yang dilakukan oleh beberapa sahabat seolah menjungkirbalikkan pakem-pakem dialog antariman yang kerap dicurigai hanya menjadi kegenitan elitis yang terlena dalam diskusi-diskusi “sejuk” di hotel-hotel mewah. Farcha Ciciek, misalnya, menggagas pendekatan dialog antariman yang dimulai dengan menghidupkan kembali dunia bermain anak-anak dalam kemeriahan tradisi-tradisi lokal sebagai salah satu gerakan menancapkan kesadaran akan kekayaan identitas yang mesti dirangkul, bukan dimusuhi atau diberangus demi sebuah “kebenaran” yang pongah.

Ciciek mendasarkan seluruh pendekatannya pada hasil penelitiannya di sekolah-sekolah umum yang makin menampakkan wajah sektarianistik. Indoktrinasi-indoktrinasi religius pada kenyataannya kian mempertegas garis-garis demarkasi identitas agama dan gender. Dan itu semua berlaku di sekolah-sekolah umum. Ciciek, misalnya, menemukan bahwa siswi-siswi pada beberapa SMU dilarang mengikuti festival seni suara berdasarkan “ajaran” bahwa suara perempuan adalah aurat, sehingga tidak boleh diperdengarkan secara publik. Ini yang olehnya dilihat sebagai “pembiusan perempuan oleh agama”. Padahal hakikat agama adalah pembebasan manusia dari segala bentuk anasir dehumanisasi.

Demikian pula pendekatan “story-telling” yang digunakan sebagai strategi meredam gempuran isu-isu provokatif ternyata menjadi salah satu modal sosial masyarakat lokal di Ambon untuk tetap mengurung potensi merebaknya kericuhan pada 12 September 2011 lalu. Seluruh ruang media dieksplorasi untuk menghadirkan narasi-narasi perdamaian yang sangat manusiawi ke ranah-ranah publik. Narasi-narasi perdamaian dalam diskursus masyarakat lokal itu sering tenggelam ditelan gelombang pemberitaan media massa yang lebih memilih angle “konflik” daripada perdamaian. Konstruksi “konflik” pun kian terinternalisasi dan menaklukkan kesadaran bahwa orang sudah jenuh dengan pertikaian yang hanya berujung pada “lose-lose solution”. Seluruh energi sosial terkuras habis dalam konstruksi kebencian yang tampaknya dilanggengkan dengan berbagai pembiaran oleh negara.

Menyibak Kabut Masa Depan Dialog Antariman
Dengan seluruh eksperimentasi yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman riel tersebut, maka refleksi 20 tahun Interfidei ini juga menyibak kabut kegelisahan untuk menerawang masa depan dialog antariman di Indonesia. Harapan besar untuk makin mematangkan kesadaran dan praksis dialog antariman hingga ke tingkat basis atau akar-rumput terbentang luas justru dengan melihat dari “kecerdasan lokal” masyarakat basis dalam mengelola perbedaan identitas yang inheren dalam realitas sosial hidup mereka sehari-hari.

Stigma “rakyat bodoh dan perlu diajar” sebenarnya telah didekonstruksi oleh kearifan-kearifan lokal masyarakat itu sendiri. Maka tugas para pembelajar dan aktivis perdamaian dan dialog antariman kemudian tidak lagi “menggurui” dan “melatih” melainkan bersama-sama mereka menemukan modal-modal sosial itu di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri; mengelolanya sebagai akumulasi energi positif untuk makin menghargai kehidupan dengan cara menghargai keberlainan (otherness). Kedewasaan terbentuk bukan melalui ruang-ruang pelatihan yang menjenuhkan, tetapi justru pada ruang-ruang sosial yang mempertemukan mereka dalam konteks kemanusiaan riel yang saling membutuhkan keberlainan itu. Semoga dengannya agama-agama tidak hanya tersumbat menjadi “presentasi” dalam seminar-seminar atau konferensi-konferensi belaka, tetapi mengalir sebagai “re-presentasi” modal-modal sosial yang diawetkan dalam struktur kematangan masyarakat basis.
Read more ...

Saturday, September 24, 2011

Provokasi Damai

Rekan saya, Ricardo Nanuru, baru saja posting “Ambon update” yang ditulis oleh bung Jacky Manuputty. Posting tersebut cukup panjang dan detil, sekaligus penting untuk menyebarluaskan gambaran situasi terkini kota Ambon pasca bentrokan massal pada Minggu, 11 September 2011. Sebelumnya, atas izin bung Jacky Manuputty pula, saya mereformulasi catatan pemutakhiran data pasca bentrokan tersebut. Sengaja saya menyebut “bentrokan massa” tanpa embel-embel apa-apa, karena memang peristiwa tersebut tidak perlu diembel-embeli apa-apa, apalagi embel-embel “konflik agama”. Aksentuasi ini perlu dilakukan agar kita yang telah mengunyah pemberitaan di berbagai media cetak dan media elektronik tidak serta-merta latah untuk mengasumsikan mentah-mentah dalam konstruk perspektif yang bias.

Tulisan ini saya sajikan dengan andaian anda sudah mencermati posting Ricardo Nanuru tersebut. Jadi saya tidak akan mengulangnya lagi. Apa yang akan saya tulis di sini hanyalah secuil upaya untuk memahami peristiwa tersebut sebagai suatu insiden yang tak kebetulan. Maksudnya, kita sebaiknya membaca peristiwa itu melalui sebuah lensa sosiologis yang sebenarnya memperlihatkan tautan-tautan proses-proses sosial. Setiap proses memiliki dinamikanya masing-masing, dengan implikasi yang berbeda pula intensitas atau derajatnya. Dengan demikian, kita tidak tergopoh-gopoh memahami peristiwa itu sebagai replikasi konflik bernuansa agama seperti yang terjadi sebelumnya.

Apakah ini sebuah eskapisme? Bisa ya. Bisa tidak. “Ya” karena memang kehati-hatian untuk tidak begitu saja menautkan itu dengan agama adalah untuk menghindari perangkap mengkambinghitamkan perbedaan agama sebagai biang kerok; lantas kemudian membawa kita pada debat kusir kebenaran tiada berujung. “Tidak” karena memang peubah agama tidak bisa dihindari untuk dibicarakan tetapi mesti diposisikan pada suatu lalu-lintas percakapan yang tertib agar tidak belok kiri-kanan tanpa memberi tanda, dan akhirnya bertabrakan. Setidaknya ini posisi saya.

Selanjutnya, dengan bingkai lensa tersebut saya ingin mengajak anda untuk melihat bahwa mengurai penyebabnya tidaklah semudah menyebar isu-isu provokatif yang mengagitasi orang/kelompok untuk tetap berada dalam kepanikan sosial. Oleh karena itu, amatan kita tidak perlu terkuras habis energinya hanya untuk mendebat apa penyebabnya. Yang menurut saya cukup urgen adalah memagari dampaknya dan mengantisipasi kemungkinan menggelembungnya balon kecurigaan yang sewaktu-waktu bisa pecah lagi. Itulah yang sedang dilakukan oleh sahabat-sahabat perdamaian di Maluku.

Sejauh ini ternyata upaya memerangi proliferasi isu-isu provokatif yang mengadudomba tidak cukup dengan sekadar himbauan-himbauan basi. Lebih jauh para sahabat perdamaian itu membangun suatu paradigma dan praksis “provokasi damai”. Dekonstruksi konotasi provokasi yang negatif dilakukan sebagai sebentuk perlawanan terhadap gerakan-gerakan melumpuhkan kekuatan civil society. Gerakan-gerakan tersebut masih getol menjadikan agama sebagai senjata. Nah, di sini tampak bahwa agama bukan menjadi peubah utama, melainkan peubah gayut yang berayun karena adanya impuls-impuls katalis.

Yang menarik bahwa “provokasi damai” ini maknanya jauh melampaui anjuran-anjuran atau himbauan-himbauan yang sangat formalistik. Provokasi damai ini secara perlahan telah merambat menjadi semacam spiritualitas yang melampaui sekat-sekat etnisitas dan religiositas antarkelompok di Maluku. Spiritualitas inilah yang merasuki nurani setiap orang sehingga tiap geraknya kemudian menjadi gerak damai yang merangkul, bukan menegasi. 

Dari situ, terjadi semacam transformasi religiositas yang membawa agama-agama untuk belajar memanusia. Artinya, agama-agama tidak hanya terus-menerus diperkosa untuk memperlihatkan kegenitan transendentalnya saja. Tetapi juga mesti belajar merendah hati mengutamakan hakikat dan martabat kemanusiaan untuk hidup sebagai manusia bersosial.
Sosialitas manusia mengajar agama-agama untuk tidak pongah mengakui keperkasaannya tetapi gigih mengusung solidaritas. Solidaritas itulah menjadikan hidup terbuka bagi aneka kelainan dalam relasi sehari-hari manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alamnya, atau bahkan manusia dengan tuhannya. Di situlah provokasi damai, menurut saya, mesti menjadi sebuah gerak perlawanan terhadap tendensi mengkooptasi martabat manusia hanya menjadi predator bagi yang lain (homo homini lupus). Spiritualitas inilah yang mesti terwarisi dari generasi ke generasi, tak pandang apa pilihan beragama dan etnisitas kita.
Read more ...

Semai Damai Maluku

Liputan media lokal dan nasional biasanya gaduh saat terjadi suatu peristiwa yang tidak biasa atau abnormal, semisal konflik yang terjadi di Ambon pada 11 September 2011 lalu. Kegaduhan media itu pun bisa berangsur-angsur surut ketika situasi mulai membaik. Begitulah. Kata para bijak bestari, “bad news is good news“. Tetapi bagaimanakah narasi-narasi populis yang berkembang pascakonflik itu, mungkin tak terlalu menarik perhatian media. Itu kemungkinan. Padahal dalam amatan saya, narasi-narasi populis atau bahkan praksis-praksis komunitas pencari damai justru berkembang mencari jalannya sendiri untuk memutuskan stigmatisasi negatif dan tendensi pelanggengan konflik, yang tercipta melalui konstruksi kepanikan sosial secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau diuntungkan dengan konflik tersebut.

Saya hanya ingin kita bersama-sama melihat kegigihan menegakkan damai di Maluku (kota Ambon) berlangsung dalam semangat persaudaraan. Semangat tersebut melampaui batas-batas identitas keagamaan mereka dan bahkan melampaui ketakutan terhadap berbagai ancaman yang membahayakan nyawa mereka sendiri. Inilah sekelumit narasi di balik realitas konflik yang mendorong sekelompok orang untuk tetap menyemai damai dengan segala upaya yang mereka lakukan. Tulisan ini merupakan adaptasi informasi yang saya terima dari seorang sahabat pecinta damai, yang dengan izinnya saya narasikan kembali. Terima kasih bung JFM.

Segera setelah konflik pecah, pada malamnya berkumpul beberapa orang (Islam dan Kristen) di suatu tempat untuk melakukan koordinasi lintas kawasan dan berbagai simpul komunitas yang bertujuan mempertahankan jejaring perdamaian lokal. Sejumlah reaksi memperlihatkan bahwa bentrokan massa yang terjadi sebenarnya jauh dari perkiraan masyarakat kota Ambon. Mari kita lihat lebih rinci:

1. Segera setelah benturan, warga masyarakat Jazirah Salahutu yang terdiri dari beberapa negeri Muslim (Tulehu, Liang, Tengah-Tengah) dan 1 negeri Kristen (Waai) berinisiatif melakukan pertemuan kawasan pada hari Minggu malam, dan mendeklarasikan Jazirah Salahutu sebagai wilayah aman. “Raja” Negeri Tulehu, John Ohorella, mengeluarkan maklumat bagi masyarakatnya dan meminta tidak terprovokasi dengan perkembangan situasi di pusat kota Ambon.

2. Masih malam yang sama, teman-teman jejaring perdamaian lokal mulai membangun kontak via telepon untuk berbagi informasi, sekalipun jaringan telepon sangat terganggu. Beberapa kelompok pemuda mengupayakan pertemuan lintas iman, tetapi situasi yang berkembang tidak memungkinkan.

3. Pada hari Senin pagi, 12 September 2011, dilakukan pertemuan antara Muspida Maluku dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan pemuda di Kantor Gubernur Maluku. Dibuat kesepakatan untuk melokalisir dan meredakan konflik pada titik-titik benturan warga (hanya terdapat 3 titik benturan pada hari Minggu. Sampai Senin pagi bertambah lagi satu titik benturan, namun 2 titik sebelumnya telah reda).

4. Pada Senin siang, dewan Latupati Maluku yang diketuai oleh “Raja” Amahusu bersama sekretaris Dewan Latupati, “Raja” Sirisori Salam (Islam) mengeluarkan seruan penghentian kekerasan dan membangun perdamaian.

5. Senin Sore, “Raja” negeri Kailolo (Islam) mengeluarkan 2 maklumat. Yang pertama berisi seruan untuk masyarakat umum supaya tidak mengembangkan konflik. Yang satunya lagi ditujukan secara khusus untuk warga negeri Kailolo di mana saja supaya tidak terprovokasi untuk terlibat konflik.

6. Masih pada hari Senin, teman-teman muda jaringan perdamaian dari kelompok “Ambon Bergerak” (lintas iman) memutuskan melakukan “perlawanan” media terhadap pemberitaan media-media nasional yang dianggap bias dan memicu ketegangan.

7. Juga di hari Senin itu teman-teman jaringan LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku) meningkatkan koordinasi lintas wilayah untuk mengatur sebaran anggota ke berbagai wilayah, serta membangun komunikasi terus-menerus untuk mengklarifikasi perkembangan isu yang menyebar sangat cepat di kalangan masyarakat. Pada beberapa wilayah perbatasan (Muslim-Kristen) teman-teman mencoba menginisiasi pembentukan simpul-simpul koordinasi di antara warga perbatasan.

8. Pada Senin sore, beberapa teman Muslim memberanikan diri berjumpa dengan teman-teman Kristen di kantor Litbang Gereja Protestan Maluku (GPM), dan berbagi cerita serta foto-foto yang diambil di wilayah komunitas Muslim.

9. Pada Senin malam, jam 21.40, pertemuan ditingkatkan dengan melibatkan lebih banyak teman dari kedua komunitas (Islam dan Kristen). Pertemuan dilanjutkan di kawasan jalan A.Y. Patty, berdekatan dengan Masjid Raya Al-fatah. Pertemuan berlangsung penuh keakraban, sekalipun sesekali terdengar bunyi tembakan. Dalam pertemuan itu disepakati beberapa agenda untuk dilakukan bersama. Antara lain, secara terus-menerus memantau perkembangan di wilayah masing-masing dan mengumpulkan semua berita untuk dikompilasi oleh seorang teman. Selain itu dianggap perlu untuk bersama-sama melanjutkan pengawalan dan klarifikasi terhadap berbagai bias pemberitaan yang umumnya dilakukan oleh banyak media nasional, baik cetak maupun elektronik. Pertemuan dengan pendekatan pertemanan itu berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan bentuk-bentuk provokasi perdamaian di dalam masyarakat, antara lain mempersiapkan gelar seni bersama di lokasi monumen “Gong Perdamaian.”

10. Melalui telepon dari “Raja” negeri Kailolo di Pulau Haruku, diperoleh informasi bahwa pertemuan negeri-negeri Pulau Haruku dan Nusalaut (Muslim-Kristen) akan dilangsungkan siang nanti di wilayah Waimital, Negeri Pelau (Islam). Pertemuan ditujukan untuk mengatur koordinasi bersama untuk mencegah meluasnya konflik, serta membangun perdamaian.

11. Sejak pecahnya konflik pada hari Minggu, tidak ditemukan adanya kasus pembunuhan warga di luar titik-titik panas (hotspot) yang bergolak. Banyak warga Muslim yang pada saat pecah bentrokan sedang berada di pemukiman Kristen, namun tidak diapa-apakan (bahkan diantar pulang ke wilayah perbatasan). Sebaliknya, banyak sekali warga Kristen di komunitas Muslim yang mengalami perlakuan serupa. Ini menandakan bahwa sejauh ini masyarakat di kedua belah pihak, dengan komitmen tinggi, berupaya melokalisir dan meredusir konflik pada beberapa area benturan, dan tidak mengembangkannya ke wilayah lainnya.

12. Informasi korban sampai saat pemutakhiran ini diterima: 5 korban meninggal pada komunitas Muslim dan 3 korban meninggal pada komunitas Kristen. Hampir semua korban meninggal akibat tertembak aparat keamanan. Sementara itu ratusan korban luka-luka dirawat di berbagai rumah sakit.

Ke-12 poin ini merupakan salinan ulang informasi yang saya terima. Dengan sengaja saya membaginya di sini sebagai bagian dari penyebaran berita alternatif yang mencoba melihat sisi lain dari peristiwa bentrokan massa di kota Ambon beberapa hari lalu. Di balik riuh-rendah berita konflik, terselip upaya-upaya civil society yang gigih berjuang menyemai damai kendati nyawa mereka terancam. Namun, setidaknya dengan informasi ini kita bisa melihat bahwa bukan soal meneriakkan damai semata, bukan soal himbauan-himbauan basi, bukan soal pengerahan pasukan keamanan, tetapi ini soal bagaimana media menjadi kekuatan membangun kapasitas civil society untuk mengatasi masalah mereka dengan pelbagai model kearifan lokal.

Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!
Read more ...

Ketenangan Mencekam di Ambon

Kendati penumpukan dan bentrok antarkelompok massa telah berhasil diredam, namun pantauan situasi di beberapa titik lokasi masih memperlihatkan suasana mencekam. Pada beberapa lokasi pemukiman tiba-tiba berkobar nyala api yang ternyata berasal dari bangunan rumah penduduk yang terbakar di kawasan Batumerah dan Mardika serta Galala dan Tantui. Tidak jelas siapa pelaku pembakaran rumah-rumah penduduk tersebut. Tetapi situasi tersebut menambah ketegangan sepanjang malam hingga pagi hari, meskipun para petinggi POLDA secara resmi telah menyatakan situasi berhasil dikendalikan.

Beredarnya rumor bahwa akan didatangkan pasukan Brimob dari Makassar menimbulkan tanda tanya di kalangan warga kota Ambon. Seorang pemuda, AB, mengatakan, “Katanya situasi terkendali, kok minta bantuan dari Makassar?” Kegalauan tersebut cukup dipahami karena pengalaman awal konflik 1999 kedatangan pasukan TNI dari KODAM Wirabuana Makassar ternyata tidak berdampak siginifikan bagi pemulihan kondisi keamanan saat itu. Malah ditemukan fakta bahwa anggota-anggota TNI dari luar Maluku tersebut turut terpengaruh psikologi massa yang saling bentrok sehingga alih-alih menjaga keamanan malah beberapa oknumnya tidak disiplin pada misi penugasannya di Ambon.

Aktivitas warga kota berjalan seperti biasa. Namun banyak yang masih menghindari jalur-jalur yang dianggap rawan. Sebagai konsekuensinya, sebagian warga terpaksa harus menyusuri jalan perbukitan untuk pergi ke kantor atau ke sekolah karena sarana angkutan umum belum beroperasi normal. Banyak yang menyesalkan pecahnya bentrokan massa kemarin. Warga kota Ambon sungguh menyadari bahwa tidak ada keuntungan apapun dengan peristiwa pertikaian semacam ini. Ujung-ujungnya, rakyat menderita dan mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi serta pendidikan.

 “Mari katong buka biji mata la lia katong dapa apa dari samua ini. Sampe jua” [Mari kita buka mata untuk melihat apa yang kita dapat dari semua ini. Cukuplah.], demikian ratap EN, seorang ibu muda, yang terpaksa harus meliburkan anaknya dari sekolah dan tidak bisa pergi berjualan. Sementara sepeda motor suaminya turut menjadi korban amuk massa, padahal kreditnya belum lunas.
Read more ...

Carita Orang Basudara

“Carita orang basudara” adalah ungkapan khas orang Maluku yang secara harfiah berarti “cerita di antara kaum kerabat”. Carita orang basudara biasanya terjadi pada saat pesta-pesta rakyat/budaya atau acara-acara keagamaan yang mempertemukan seluruh kaum kerabat kendati berbeda agama, latar belakang sosial, asal kampung dan tingkat pendidikan. Dalam suasana itu tidak ada segregasi sosial. Semua menyatu menjadi satu ikatan saudara. Di dalam momen semacam ini relasi-relasi formal luluh dan yang ada hanyalah “pawela” (senda gurau) dan “mop” (saling menceritakan kisah-kisah lucu). Bahkan hal yang paling sensitif pun ditanggapi sebagai ekspresi persaudaraan tanpa kecurigaan atau pretensi menghina. Semua ditanggapi sebagai bagian dari memperkuat ikatan persaudaraan. Itu sebabnya, salah satu kekuatan budaya orang Maluku adalah bercerita.

Nuansa itu sempat pudar saat Maluku digempur oleh konflik sosial beberapa tahun silam. Banyak sekali carita orang basudara kemudian terkubur dan digantikan oleh cerita-cerita formal yang sarat nuansa hipokrit atau bahkan cerita-cerita persaudaraan itu berubah menjadi cerita-cerita heroik penuh kekerasan dan darah. Setelah kondisi berangsur-angsur pulih - terutama pasca perjanjian Malino II - narasi-narasi rakyat itu kembali bermunculan yang kemudian membentuk mozaik perdamaian yang dituturkan kepada generasi berikut untuk menjadi pelajaran berharga.

Tak disangka saya turut merasakan nuansa carita orang basudara itu. Bukan di Ambon tapi justru di udara, dalam penerbangan dari Ambon menuju Jakarta. Saya duduk di tengah. Sebelah jendela duduk seorang Ambon (Kristen) dan di sebelah gang duduk seorang Ambon (Islam). Sejak pesawat take-off kami bertiga masih berdiam diri. Kebisuan pun pecah ketika di sebelah kiri saya hendak pergi ke toilet. Terpaksa saya (tengah) dan teman di sebelah kanan harus berdiri memberi jalan. Dari situ mulai terbangun percakapan.
Percakapan makin hangat ketika ternyata kami bertiga mempunyai teman atau kenalan yang juga dikenal bersama-sama. Alur cerita pun mulai maju-mundur. Bahkan mundur sampai masa-masa pertemanan di bangku SMA. Terus maju sampai komunikasi pertemanan yang sempat terputus akibat situasi konflik. Namun ternyata di balik riuh-rendah berita-berita konflik Maluku, banyak sekali narasi rakyat yang cukup menarik untuk disimak.

Kami bertiga - yang berbeda latar agama - saling bercerita bagaimana peliknya mengatur “strategi” untuk tetap berkomunikasi, berjumpa, dan bercerita di tengah-tengah situasi masyarakat yang tersegregasi secara geografis maupun sosiologis. Selalu saja ada cara sembunyi-sembunyi untuk saling melakukan kunjungan ke rumah para sahabat yang berbeda agama. AC pesawat yang semula dingin lambat-laun terasa hangat karena percakapan kami bertiga menjadi sebuah carita orang basudara. Kami membicarakan konflik dengan jujur dan transparan, hingga pada akibat yang harus ditelan oleh rakyat kecil. Serta-merta ada sebuah pesan penuh makna yang mengalir dari percakapan saya, Ris, dan Rus - yang menjadi disatukan oleh cerita kami bersama. Bukan oleh ideologi politik. Bukan pula oleh kepentingan ekonomi. Tapi semata-mata kami merasa identitas budaya kami menjadi lebih bermakna untuk menyatukan perbedaan yang ada.

“Carita orang basudara” itu terus mengalir hingga pesawat mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Berat mengakhiri percakapan tersebut tapi toh kami harus berpisah menjalani tujuan kami masing-masing. Kendati demikian, penerbangan sekitar 3 jam itu telah menjadi sebuah diskursus yang mahal dan berharga tentang makna hidup dalam keberlainan. Keberlainan sebagai anugerah, bukan ancaman.

Percakapan 3 jam di atas wilayah angkasa Indonesia (Ambon-Jakarta) telah membawa kami ke dalam sebuah komitmen batin bahwa narasi-narasi persaudaraan mesti menjadi spirit perlawanan terhadap dominasi narasi-narasi formal yang tak berhati nurani; menjadi protes terhadap berbagai upaya membisukan aspirasi rakyat; menjadi bara yang terus menghangatkan arti hidup bersama dalam perbedaan. Pada titik itu, narasi-narasi persaudaraan semestinya terus mendasari hakikat “menjadi Indonesia”. Kita sedang terus “menjadi” dan karena itu benturan-benturan tak terhindarkan. Namun itu tetap bukanlah tujuan menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia tetap adalah merajut persaudaraan melalui narasi-narasi kehidupan dan kemanusiaan.

Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
Read more ...

Monday, September 12, 2011

Ambon: Akankah Kembali ke Titik Nol?


Sulit dipercaya bahwa kota Ambon kembali terpuruk setelah diguncang bentrokan massal pada Minggu, 12 September 2011. Upaya panjang, berliku, dan melelahkan untuk membangun kepercayaan antarkomunitas yang pernah terlibat perseteruan panjang hingga ke ranah etnisitas dan religiositas beberapa waktu lampau seakan nyaris terpuruk hingga ke titik nol lagi. Itu jika melihat betapa mudahnya situasi meledak dan tak terkendali hanya oleh hembusan isu sepele yang tidak terklarifikasi secara jelas. Siapakah yang berkepentingan [lagi] dengan situasi rusuh Ambon? Bagaimana pengondisian situasi Ambon hingga aparat keamanan tampaknya “kewalahan”? Seberapa jauh fungsi intelijen mencermati dan mengantisipasi berbagai peristiwa prakondisi yang menyuburkan psikologi sosial masyarakat kota untuk dengan cepat tersulut isu tersebut?


Sejumlah pertanyaan bisa ditambahkan lagi. Tetapi peristiwa Ambon 1999 mesti menjadi acuan pembelajaran sejarah kelam yang penting untuk melihat situasi mencekam yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Ambon. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ekses yang lebih besar dan luas apalagi jika sudah diboncengi berbagai kepentingan di tengah carut-marut krisis nasional di negeri ini. Tulisan sederhana ini hanyalah upaya untuk berbagi pengalaman dan wawasan agar bersama-sama sebagai anak bangsa kita tidak lagi dengan mudah terpolarisasi ke dalam kubu-kubu ideologis berlabel etnisitas maupun agama untuk kembali saling menghantam. Mari kita lihat beberapa catatan berikut.


Pertama, terdapat kemiripan peristiwa pemicu bentrokan massal. Peristiwa pemicu konflik 1999 adalah isu pemalakan sopir angkot oleh seorang preman pasar, yang - entah bagaimana - tiba-tiba sudah meluas menjadi kerusuhan di seluruh wilayah kota dan bermunculan simbol-simbol yang seragam. Pemicu bentrokan massal 12 September 2011 adalah isu pembunuhan seorang pengemudi ojek. Setelah dicek ulang pihak kepolisian daerah Maluku menyatakan bahwa kematian tukang ojek itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Lantas, bagaimana hal itu bisa diisukan sebagai pembunuhan jika memang tidak ada kepentingan untuk menjadikannya sebagai faktor pemicu konflik? Siapa yang berkepentingan jika Maluku atau Ambon kembali rusuh? Apakah warga kota Ambon berkepentingan dengan kerusuhan yang justru menghancurkan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri? Rasanya sulit membayangkan bahwa itu ada di benak masyarakat kota Ambon.


Kedua, implikasi dari konflik 1999 adalah pembentukan Komando Daerah Militer (KODAM) XVI Pattimura dan penguatan kapasitas kepolisian Daerah Maluku. Sudah tentu alokasi pasukan dan strategi pengamanan harus lebih canggih dibandingkan dengan ketika masih menjadi KOREM. Lantas, kenapa selalu muncul alasan klasik bahwa aparat keamanan kewalahan karena jumlah yang tidak sebanding? Rasanya bukan rahasia lagi bahwa ini bukan soal jumlah tapi strategi pengamanan mulai dari deteksi intelijen hingga ke operasi pengendalian situasi. Apakah bisa dikatakan aparat keamanan kita kecolongan [lagi]? Kecolongan oleh siapa? Jika melihat luas geografis kota Ambon, sulit sekali untuk membayangkan bahwa strategi, teknik, dan pasukan/persenjataan aparat keamanan kita begitu mudahnya kecolongan.


Ketiga, hanya dalam hitungan jam sejak pecahnya pertikaian ada pernyataan dari petinggi POLRI bahwa akan ada pengiriman pasukan dari luar Maluku (200 Brimob dari Makassar) untuk membantu aparat keamanan di Maluku. Dari kacamata awam, apakah situasinya sudah sedemikian tidak terkendali oleh kepolisian daerah Maluku hingga perlu didatangkan pasukan dari luar? Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya strategi pengamanan yang sedang diupayakan oleh polisi. Tetapi kita juga harus terus bertanya apakah yang menjadi akar masalahnya sehingga satu isu yang tidak jelas bisa merembet dengan cepat menjadi penumpukan dan bentrok kelompok massa. Mana sebab dan mana akibat? Jangan sampai yang dipadamkan hanyalah akibat tapi sebabnya terabaikan.


Keempat, hanya dalam hitungan jam pula pemantauan saya terhadap beberapa media online telah memperlihatkan pemberitaan yang tendensius bahwa “kerusuhan” 2011 ini diasumsikan sama dengan kerusuhan 1999-2004 yang lalu. Hal ini tentu perlu dicermati secara bijaksana mengingat media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, peran media sangat signifikan dalam upaya turut mendinginkan situasi yang telah telanjur panas di kota Ambon.


Keempat catatan ringkas di atas sengaja saya paparkan agar kita mampu mencermati perkembangan situasi di kota Ambon dengan lebih arif. Catatan ini bukan sebuah tulisan teoretik atau upaya provokasi, melainkan sebuah refleksi pengalaman selama bergulat dengan krisis kemanusiaan akibat konflik sosial Maluku beberapa tahun silam. Perseteruan ini bukanlah keinginan rakyat [kecil] Ambon karena hingga saat ini pun banyak yang masih tertatih-tatih memulihkan kondisi perekonomian keluarga yang hancur pada waktu konflik lalu. “Kerusuhan” ini, menurut saya, juga bukan demi kepentingan rakyat [kecil] yang lebih merasakan penderitaan daripada senangnya selama konflik.


Lantas, untuk kepentingan siapa? Mari kita bersama-sama menjawabnya dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa kita sebenarnya sedang berada pada titik nadir peradaban kemanusiaan karena berbagai krisis yang tak jelas arah penyelesaiannya. Jauh lebih penting daripada mempertanyakan ini kepentingan siapa, kita semua punya hati nurani untuk melihat bahwa membangun kehidupan bersama dalam Indonesia jauh lebih indah dan bermakna ketimbang mengumbar emosi menyingkirkan liyan hanya karena kita berbeda. Indonesia adalah rahmat Tuhan bagi kita dan kita bertanggung jawab menjaga serta mengembangkan rahmat Tuhan ini bagi kebaikan seluruh ciptaan.


Steve Gaspersz, pernah bekerja pada Crisis Center PGI
Read more ...

Thursday, September 8, 2011

Pendeta Laki-laki di antara Impotensi, Potensi, dan Omnipotensi

Refleksi Ibadah Penutup Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM 2011

Bacaan: 2 Samuel 11:1-27

Tema: Pendeta Laki-laki di antara impotensi, potensi, dan omnipotensi


Kalau kita mencermati iklan-iklan yang dimuat pada sejumlah suratkabar maka kita akan menemukan iklan yang selalu muncul adalah iklan “obat kuat” untuk laki-laki. Pengertian “kuat” di sini tentu saja berkonotasi “seksual”. Artinya, obat itu dianggap mujarab untuk kaum laki-laki yang merasa “sudah tidak kuat” untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Atau istilah yang kerap kita dengar adalah impotensi.


Ternyata, meskipun Pdt. Eta Hendriks menyebutkan tentang laki-laki yang macho (perkasa), kaum laki-laki selalu dihantui rasa takut kehilangan “keperkasaannya” dan karena itu membutuhkan obat kuat untuk membuktikan keperkasaannya (secara seksual). Kalau “keperkasaannya” loyo maka kelaki-lakiannya dianggap tidak ada lagi.


Bacaan Alkitab kita ini tentu bukan bacaan baru atau asing bagi kita. Mungkin sudah ratusan kali kita khotbahkan dalam berbagai acara ibadah kita selama pelayanan kita sebagai pendeta. Saat ini saya hanya ingin kita melihat beberapa pokok refleksi untuk mengantar kita menutup seluruh rangkaian kegiatan temu raya selama empat hari ini. Perikop ini bisa dibagi ke dalam tiga episode.


Episode pertama. Daud sudah menjadi raja dan sementara menikmati masa kejayaannya. Dulu dia dianggap sebagai anak ingusan yang tidak diperhitungkan masuk bursa pemilihan pemimpin Israel. Tapi Daud dipilih oleh Tuhan untuk memimpin Israel sebagai raja. Dari orang yang dianggap “impoten”, dia kemudian menjadi seseorang yang sangat berpotensi (berkuasa dan perkasa) hingga mampu mendirikan kerajaan Israel Raya. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya, Daud lupa diri dan merasa bahwa dia kini adalah seorang yang maha perkasa atau OMNIPOTEN. Dengan begitu dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk menguasai tubuh perempuan bernama Batsyeba dan menjadikan Batsyeba sebagai pelampiasan nafsu syahwatnya.


Episode kedua. Namun demikian, kendati merasa omnipoten (maha perkasa dan berkuasa) Daud terbukti bernyali pengecut. Begitu mengetahui bahwa Batsyeba hamil, dia berusaha menutupi akibat perbuatannya itu dengan berbagai aksi manipulatif. Dia sengaja menjebak Uria, suami Batsyeba dan salah satu komandan pasukan perangnya, dengan cara menyuruh Uria untuk beristirahat, pulang ke rumah dan tidur dengan istrinya. Daud berharap Uria bersetubuh dengan Batsyeba supaya kehamilan Batsyeba bisa ditimpakan kepada Uria. Tetapi Uria ternyata tidak pulang ke rumah. Didorong oleh rasa tanggung jawab, komitmen, dan loyalitasnya kepada raja, dia tidur di depan istana. Rencana Daud gagal.


Episode ketiga. Gagal dengan rencana tadi, Daud merancang skenario penyingkiran Uria dengan lebih kejam lagi. Dia menyuruh pemimpin pasukan tertinggi, Yoab, untuk menempatkan Uria pada garis depan pertempuran melawan musuh yang paling kuat. Rencana jahat ini berhasil dilakukan dan Uria tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Tampaknya Daud tampil sebagai “pemenang” karena berhasil melakukan rencana jahat penyingkiran Uria hanya demi menutupi kebejatannya terhadap Batsyeba, istri Uria.


Ketiga episode itu memperlihatkan gambaran figur dua laki-laki yang berbeda. Daud adalah seorang laki-laki yang semula dianggap impoten, namun kemudian setelah bergelimang kekuasaan, dia pun merasa diri omnipoten atau maha perkasa/berkuasa. Dia merasa mampu mendapatkan apa saja yang diinginkannya karena punya kekuasaan. Semuanya dapat diambil atau direbut bagi dirinya sendiri kendati itu bukan haknya. Sedangkan figur Uria menggambarkan sosok laki-laki bertanggung jawab, punya komitmen, loyal dan berdedikasi kepada tuannya (raja). Dia rela mengorbankan perasaan pribadinya, bahkan keluarganya (hubungan dengan istrinya) hanya demi mempertahankan kesetiaan dan dedikasinya kepada raja.


Refleksi kita pada saat ini hanya ingin mengajak kita belajar dari karakter dua laki-laki ini: Daud dan Uria. Kita telah menyelesaikan serangkaian kegiatan selama empat hari temu raya ini. Seluruh proses yang telah kita jalani hendak mengajak kita untuk melihat posisi kita dalam pelayanan di jemaat-jemaat: POTEN, IMPOTEN, atau OMNIPOTEN? Apakah seluruh geliat pelayanan kita masih sangat kuat ditentukan oleh cara kita mencitrakan diri kita sebagai pendeta dan laki-laki? Integritas kita adalah kekuatan utama kita, seperti yang ditunjukkan oleh Uria. Tapi seberapa sering kita merasa harus bersembunyi di balik “kuasa” yang kita miliki.


Kita mesti jujur mengakui bahwa dalam realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM, sejak zaman dulu hingga sekarang, kita bisa menemukan ada suatu pendekatan dominan yang tampaknya sudah menjadi ciri kependetaan kita. Sering kita lebih nyaman memakai HOKMAT untuk menundukkan warga jemaat; bukan HORMAT untuk membuka ruang bagi proses mendengarkan keluhan mereka. Tak jarang pula terdengar pengalaman bahwa ada pendeta-pendeta yang lebih “perkasa” memakai TOGA untuk menentukan mati/hidup warga jemaat yang keras kepala dan pembangkang; bukan TOMA untuk mendorong mereka menemukan potensi mereka dan keluar dari masalah mereka sendiri. Kerap juga kita dengar atau bahkan kita alamai bahwa para pendeta menggunakan kuasa DOA untuk mengutuk warga jemaat yang kepala batu dan tidak mau bertobat; bukannya DATA untuk mencari tahu mengapa mereka tidak mau berubah.


Semua itu hanyalah sebagian kecil dari pengalaman dan sejarah yang mesti kita refleksikan bersama untuk membawa kita pada suatu visi dan misi pelayanan yang bernas dan kontekstual. Temu raya ini mau memposisikan kita sebagai para pelayan yang membangun potensi bersama. Oleh karena itu diperlukan semangat TIM. Ini bukan zamannya lagi pendeta McGiver, yang bisa bikin semua hal meskipun mungkin kita bisa melakukannya. Tetapi tentu saja tidak semua orang punya kemampuan unik semacam itu. Dan apakah memang kemampuan semacam itu yang menjadi ideal profil pelayan GPM? Kita tidak ingin menjadi pendeta yang OMNIPOTEN sebab itu merupakan perangkap untuk melemahkan jemaat-jemaat kita membangun dirinya sendiri. Dalam khotbah pembukaan oleh Pdt. (em) Bram Soplantila disebutkan mengenai istilah TTS (Tekun-Tabah-Setia) yang selalu diingatkan kepada para pendeta yang baru ditahbiskan pada masa beliau masih menjabat sebagai ketua sinode GPM. Sekarang pun kita masih tetap diminta untuk TTS. Tetapi istilah itu juga mengingatkan jangan sampai seluruh “kuasa” yang kita miliki malah membuat kita merasa omnipoten lalu menjadi TTS yang lain, yaitu “Tuan-Tuan Senang”.


Steve Gaspersz

Rumah Gereja Maranatha, 5 September 2011

Read more ...

Thursday, August 11, 2011

Apa-Apa di Antara Kita


Saya bukan pegawai negeri sipil. Saya bukan pegawai pemda Maluku, bukan pula pejabat pada salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. Saya bukan perancang pembangunan yang fasih mempresentasikan konsep-konsep pembangunan dan seabreg teori-teori pembangunan. Saya juga bukan anggota parpol yang dipercaya untuk duduk mewakili konstituen di kursi empuk kantor dan ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Saya bukan pengamat korupsi (karena saya juga tidak tahu apa definisi korupsi dan tidak tahu apa yang mau dikorupsi). Saya bukan pengamat politik dan hukum yang pandai bersilat lidah menyebut pasal-pasal KUHP dan menafsirnya dengan tepat.


Saya bukan apa-apa. Tapi saya merasa apa-apa. "Apa-apa" saya bukan karena jabatan atau status yang melekat pada diri saya. "Apa-apa" saya hanyalah ditentukan oleh kartu kecil yang disebut KTP (kartu tanda penduduk). Artinya, cuma status saya sebagai warga negaralah yang membuat saya merasa "apa-apa" terhadap apa-apa yang terjadi di negara ini - minimal yang terjadi di daerah tempat saya tinggal.


Tulisan ini juga bukan kajian teoretik ala para profesor kampus-kampus ngetop. Juga bukan bahan presentasi untuk seminar-seminar pembangunan. Sayangnya juga bukan materi kuliah (meskipun kerjaan saya memberi kuliah). Tulisan ini bukan apa-apa. Tapi tulisan ini mengandung "apa-apa". "Apa-apa" tulisan ini tidak terkait dengan jabatan atau status saya. "Apa-apa" tulisan ini lebih terkait dengan identitas saya sebagaimana - minimal - tercantum pada KTP saya. Namun "apa-apa" tulisan ini punya relasi kuat dengan cara saya memaknai identitas saya.


Jadi, apakah "apa-apa" itu dalam tulisan ini? Ini sedikit catatannya.


Ini bermula dari percakapan dengan rekan Pdt. Abraham Beresaby tentang jembatan merah-putih yang akan dibangun menjembatani teluk Ambon antara Poka-Galala. Rekan saya ini adalah ketua klasis GPM di kepulauan Babar. Masyarakat di sana lebih banyak merasakan pahitnya masalah transportasi yang tak kunjung dibenahi hingga menjelang Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-66 (17 Agustus 2011) nanti. Transportasi rakyat yang tersedia hanyalah kapal-kapal perintis, yang kondisinya pun tak bisa dibilang layak. Tapi mau apa lagi? Cuma itu yang tersedia.


Percakapan itu melebar hingga ke kondisi ratusan jembatan di beberapa wilayah pulau-pulau besar (Seram, Buru, Yamdena, dll) yang sebenarnya belum bisa disebut jembatan, karena belum berfungsi untuk menjembatani apa yang harusnya dijembatani. Ada yang setengah jadi. Ada yang masih berupa pilar-pilar. Ada yang sudah jadi tapi rusak parah diterjang luapan air sungai. Saya sendiri mengalami bahwa untuk melintasi kawasan-kawasan yang tak berjembatan itu harus dengan perjuangan keras. Malah, beberapa teman punya pengalaman diseret air sungai. Tapi, lagi-lagi, mau apa lagi? Itulah yang mesti dijalani untuk bisa bertahan hidup dengan seluruh aktivitas rakyat.


Dua cerita itu tentu saja masih bisa disambung-sambung menjadi cerita berseri tentang kondisi kepulauan kita di Maluku, juga cerita bersambung tentang penanganan pembangunan di Maluku. Cerita besar kita kemudian adalah tentang pembangunan jembatan merah-putih. Jembatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena memang sudah tersedia "jembatan" lain untuk menjembatani Poka-Galala (ada jasa perahu rakyat, ada feri, bisa juga jalan putar). Artinya, kita tak terlalu membutuhkannya dalam konteks pembangunan kawasan kepulauan Maluku.


Tapi soal yang lebih "seksi" di balik cerita itu adalah besaran dana APBN yang akan digelontorkan HANYA untuk pembangunan 1 jembatan ini, yaitu 650 miliar (lihat kompas online). Luar biasa! Sementara yang sempat saya dengar pembangunan jembatan sepanjang 20 m di desa Aboru masyarakat hanya mendapat 7 juta, sisanya masyarakat cari sendiri. Tentu beda ukuran, beda pula nominal dananya. Itu wajar menurut hitung-hitungan ekonomi. Namun, pembangunan tak bisa hanya ditentukan oleh otak-atik angka ekonomis. Ada prinsip pembangunan yang mesti pula diperhatikan dan diperhitungkan, yaitu signifikansi pembangunan itu bagi kesejahteraan masyarakat pengguna hasilnya.


Kalau bicara signifikansi, maka yang mesti dicermati dengan sungguh-sungguh adalah NILAI pembangunan itu bagi perubahan yang menghidupkan aktivitas masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dan untuk itu aspek-aspek budaya, kesejahteraan sosial, ekualitas, fungsional, dan akseptabilitas masyarakat sangat perlu dijadikan acuan. Itu jika orientasinya adalah penguatan kapasitas sosial yang didukung sarana/prasarana publik yang memadai; bukan sekadar untuk prestise yang jadi kebanggaan semu.


Sudahkah seluruh aspirasi masyarakat pengguna hasil diperhitungkan sebelum merancangnya? Karena saya yang ber-KTP Maluku tidak pernah melihat atau mendengar bahwa sudah pernah dilakukan studi kelayakan mengenai signifikansi jembatan itu. Kalau pun sudah, sudah studi kelayakan itu dilanjutkan dengan alternatif alokasi anggaran untuk akar masalah yang dirumuskan itu? Saya yang ber-KTP Maluku belum pernah (ini subjektif) mendengar apa yang menjadi akar masalah sosial-ekonomi-budaya hingga kita merasa membutuhkan jembatan itu. Kalau pun sudah, apakah memang jembatan itu adalah solusinya? Solusi menurut siapa? Perancang konsepnya atau harapan pengguna hasilnya?


Mungkin sampai di situ dulu "apa-apa" yang bisa saya bagi. Syukurlah, kalau bagi anda itu bukan "apa-apa". Tapi lebih baik di"apa-apa"kan sejak sekarang daripada nanti. Sebab kalau sudah terlambat kita tidak bisa bikin apa-apa lagi.


Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces