Aku menulis maka aku belajar

Sunday, September 24, 2017

Biar[kan] miskin, asal...?


Sarce hanya mampu duduk membisu menatap jasad bayi kembar yang dibaringkan di sampingnya. Ari, suaminya, mengusap-usap pundaknya, mencoba menenangkan diri istrinya meski raut wajahnya jelas mengguratkan duka yang dalam. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa harapan akan datangnya buah hati kembar pupus dalam genangan duka.

Sudah seminggu memang Sarce merasa waswas. Ia tidak merasakan gerakan bayi dalam kandungannya yang sudah berusia 8 bulan. Ia mencoba menepis kecemasannya dengan menghibur diri bahwa semua berjalan baik-baik saja. Lagi pula, apa yang bisa dilakukannya untuk memastikan kesehatan kandungannya?

Di kampungnya ini tidak ada bidan. Ada gedung poliklinik ibu dan anak desa (polindes). Tapi hanya gedung kosong dengan beberapa perabot usang. Sudah lebih dari 3 tahun sejak dibangun oleh pemerintah kabupaten, gedung polindes dibiarkan kosong. Tenaga medis? Ah, sudahlah. Masyarakat di kampungnya tidak lagi berharap akan hal itu. Siapa yang masih mau melayani orang kampung seperti mereka?

Layanan kesehatan seadanya dan obat-obatan generik selama ini hanya diupayakan oleh Pendeta GPM yang melayani jemaat Hukuanakotta. Upaya itu tentu saja tidak optimal tanpa dukungan pihak-pihak berkompeten dari pemerintah kabupaten dan provinsi.

Membayangkan rute perjalanan ke kampung saja sudah melelahkan apalagi memberikan layanan kesehatan dengan sarana yang minim bahkan nihil. Kecuali mereka bersedia menambah kerjaan dengan mengajukan permohonan kesana-kemari. Itu pun biasanya cuma berbuah janji.

Sebenarnya, lokasi kampung Sarce dan Ari tidak terlalu jauh dari Kota Kecamatan Kairatu. Jarak Kairatu ke Hukuanakotta (kampung mereka) sekitar 32 km. Dari Kairatu, perjalanan bisa dilakukan dengan kendaraan bermotor melewati jalan aspal yang rusak berat sampai di Hunitetu, Kota Kecamatan Inamosol wilayah pegunungan Seram Barat. Jarak tempuhnya sekitar 23 km.

Perjalanan selanjutnya menuju Hukuanakotta harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan tanah sejauh 9 km. Jika musim panas, hanya kendaraan roda-4 jenis off-road yang bisa melewatinya, atau sepedamotor trail bagi yang bernyali nekat.

Kondisi itulah yang membuat Sarce tidak bisa memeriksa kandungannya secara rutin ke Hunitetu dan Kairatu. Apalagi ketika usia kandungannya makin tua. Sulit untuk menempuh jarak sejauh itu dengan berjalan kaki atau naik kendaraan dengan kondisi jalan aspal yang rusak penuh lobang, dengan risiko terjungkal ke sisi jalan berjurang.

Sarce dan Ari menatap untuk terakhir kalinya jasad buah hati kembar mereka. Sudah habis harapan dan doa untuk menikmati kesejahteraan yang puluhan tahun menjadi mimpi mereka, juga orang sekampung Hukuanakotta. Mereka hanya mencoba bangkit untuk bertahan hidup dengan kondisi kemiskinan yang sudah mentradisi, serta menelan kenyataan pahit itu seperti menghirup udara pegunungan kampung mereka. Segar meski beraroma kemiskinan, penyakit gondok dan kematian bayi yang tak tertangani layanan gizi.

Janji-janji manis selama kampanye setiap musim Pilkada sudah biasa mereka telan sebagai acara hiburan yang setidaknya sejenak membuat mereka senang karena kemiskinan mereka ternyata selalu menjadi jualan laris-manis sepanjang kampanye. Setelah semua itu usai… Hanya kenyataan pahit bahwa mereka dibiarkan miskin sebagai modal jualan politik musim pilkada berikutnya. Berikutnya. Berikutnya lagi.

Miskin? Jelas. Bahagia? Entahlah.

Mungkin lebih baik membiasakan diri dengan apa kata seorang petinggi di daerah ini: “Biar[kan] miskin, asal…”

Beta ini orang miskin nona ee… Beta tidor di tapalang nona ee… Beta hidop sama dengan orang kaya… Biar miskin tapi tau snang sa…
Read more ...

Saturday, September 23, 2017

Sepeda: Olahraga, Politik dan Kebudayaan


Tour de Moluccas – demikian sebutannya – telah usai. Event internasional balap sepeda ini tidak cukup garang gaungnya di kalangan publik Maluku. Di Kota Ambon, meski sudah bertebaran baliho-baliho “selamat datang” dan “selamat berlomba”, geliatnya baru terasa sungguh ketika pemerintah provinsi/kota mengumumkan akan ada penutupan total ruas-ruas jalan utama dari luar kota hingga dalam kota sebagai etape final dengan garis finish di tugu Gong Perdamaian Ambon.
Yang menarik – dan menggelitik rasa ingin tahu – adalah reaksi publik warga kota sebagaimana tampak dari berbagai status dan komentar yang berseliweran di media sosial (facebook) pun tanggapan-tanggapan para penonton di sepanjang jalan saat menantikan para pembalap melewati rute sekitar lokasi pemukiman mereka. Mulai dari komentar ringan, “seperempat berat” dengan kritik tentang apa manfaatnya bagi rakyat (sampai bikin pooling segala), “setengah berat” dengan lontaran kritik terhadap pemerintah (pusat dan provinsi) yang terkesan melakukan benah-benah kosmetik hanya demi kelancaran acara yang memoles bopeng-bopeng pembangunan, hingga kritik “penuh berat” yang menyoroti politik anggaran yang dinilai fantastis tanpa jelas manfaatnya bagi kemashalatan rakyat Maluku. Semua kritik dengan bobotnya masing-masing tentu sah-sah saja sebab itu mengindikasikan kuatnya fungsi kontrol dari publik Maluku yang hendak menandaskan kepentingan suatu program agar jangan hanya menjadi kenikmatan atau pencitraan para elite politik dan ekonomi. Lantas, rakyat yang seharusnya merasakan dampak signifikan atau perubahan pasca acara itu ternyata malah cuma dapat “hembusan angin surga” tentang pengembangan sektor olahraga dan pariwisata.

Olahraga dan Politik
Dalam sejarah sosial dan politik, nyaris tak dapat dipisahkan pertautan politik dan bidang-bidang kehidupan yang lain, termasuk olahraga. Pembedaan hanya dapat dilakukan pada tataran akademik tapi sulit didedah pada tataran praktis atau pengalaman keseharian. Dimensi politik berkelindan dengan hampir semua bidang kehidupan.
Dalam sejarah Indonesia sebagai negara pascakolonial, kita bisa melihat bahwa politik dan olahraga tidak bisa dipisahkan secara tegas batas-batasnya. Bahkan, kedua dimensi ini bergerak saling melengkapi. Pada batasan tertentu, secara ideologis olahraga diboboti sebagai media pemersatu bangsa, bahkan antarbangsa terjajah. Olahraga pun diposisikan sebagai parameter kedaulatan suatu bangsa dan negara.
Presiden Sukarno, misalnya, menganggap bahwa kesehatan badan, keolahragaan dan kekuatan fisik merupakan salah satu bagian penting (absolut) dalam proses nation-building. Olahraga juga adalah media melalui kekuatan raga untuk menarasikan kapasitas suatu bangsa. Keseriusan Sukarno untuk mengembangkan olahraga sebagai representasi politik bangsa pascakolonial adalah dengan memunculkan ide menggelar ajang olahraga internasional setara olimpiade, yang disebut Games of the New Emerging Forces (Ganefo) sebagai ajang olahraga negara-negara pascakolonial.
Ganefo bisa disebut sebagai “ide gila” Sukarno. Sukarno memerintahkan Maladi, Menteri Keolahragaan saat itu, untuk membuat olimpiade tandingan, pada 14 Februari 1963. Lalu Sukarno ingin Ganefo digelar pada 10 November 1963, yang berarti persiapannya hanya sekitar 200 hari. Gila! Memang. Tapi ide itu tidak muncul begitu saja. Ide itu adalah manifestasi perlawanan karena Indonesia mendapat sanksi dari International Olympic Committee (IOC) tidak boleh berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo (1964). Ini adalah pukulan balik IOC karena ketika menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta, Indonesia menolak partisipasi Israel dan Taiwan. Israel dianggap musuh negara Arab yang menganeksasi wilayah Palestina; Taiwan adalah musuh Cina (yang merupakan “sahabat” Sukarno).
Olimpiade, bagi Sukarno, merupakan bentuk hegemonik negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk tetap berkuasa di bidang olahraga melalui aturan-aturan yang dibuat oleh IOC. Dengan lantang, Sukarno pun berseru: “The IOC has shown to be just an imperialistic tool and includes politics! The Olympic Games have proved to be openly an imperialistic tool! Lebih baik kita terang-terangan mengusulkan to mix sports with politics!” (Muhidin M. Dahlan, Ganefo: Olimpiade Kiri di Indonesia, 33). “Semangat” serupa juga terasa ketika Soeratin Sosrosoegondo mendirikan PSSI, yaitu untuk menyebarkan semangat nasionalisme dan anti-Belanda. Jadi, olahraga bukan sekadar ajang adu kuat dan uji ketangkasan fisik, melainkan proses fabrikasi semangat solidaritas dan harga diri bangsa.

Olahraga dan Kebudayaan
Dalam kajian budaya, olahraga juga merupakan representasi dan refleksi ideologi identitas nasional. Olahraga menjadi praktik pengejawantahan konkret yang melaluinya makna, representasi dan interpretasi terbuka untuk dinegosiasikan dan dikontestasi. Olahraga ditempatkan sebagai unsur penting dalam matriks kehidupan nasional, dilembagakan di sekolah-sekolah dan secara luas direpresentasikan sebagai bentuk-bentuk kebudayaan, serta menjadi praktik keseharian suatu bangsa.
Di Inggris, misalnya, olahraga digunakan di sekolah-sekolah negeri untuk melatih para siswa mengukuhkan superioritas nasional dan memperkuatan karakter moral yang dianggap penting untuk menguasai wilayah-wilayah jajahan. Sementara bagi negara-negara lain, olahraga memperlihatkan karakter kebudayaan nasional mereka. Bagi Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Inggris dan Brasil, gaya permainan sepakbola itu merepresentasikan karakter kebudayaan masing-masing sekaligus menjadi signifier identitas nasional. Bobby Robson, mantan manajer tim sepakbola nasional Inggris, yang kemudian menjadi manajer kesebelasan Belanda PSV Eindhoven, dikritik oleh para fans karena dianggap mengubah gaya permainan “total football” yang menjadi ciri khas sepakbola Belanda dengan “English style” – meskipun Eindhoven tampil sebagai pemenang liga Belanda (Tim Edensor, National Identity, Popular Culture and Everyday Life, 79).
Olahraga gulat di Turki, tidak sekadar diminati tapi mengandung nilai-nilai simbolik kebudayaan sebagai a hegemonic assertion of masculine values yang dalam sejarah Turki dianggap sebagai theatrical enactment of the struggles and contests of everyday life (Edensor, 80). Sedangkan olahraga kriket antara tim India dan tim Inggris mempunyai resonansi simbolik penegasan pertarungan kolonial. Sementara dalam ajang olahraga internasional, identitas nasional adalah sine qua non.

Sepeda: olahraga, politik dan kebudayaan
Mengapa Presiden Joko Widodo selalu menghadiahkan sepeda pada setiap kunjungannya ke suatu daerah? Jawabannya hanya beliau yang tahu. Tetapi sepeda hadiah Presiden Jokowi tentu punya makna simbolik yang bisa ditafsir dari berbagai perspektif. Sepeda Jokowi bisa ditafsir sebagai dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk menghargai sepeda sebagai bentuk olah-raga yang sederhana, murah dan terjangkau, yang sebenarnya (pernah) menjadi aktivitas keseharian rakyat, terutama jika ditilik dari latar belakang budaya Jawa Jokowi yang hidup di Solo dan bersekolah di Yogyakarta, kota pelajar yang dikenal dengan tradisi bersepeda onthel oleh rakyat kebanyakan.
Pada perspektif tafsir yang lain, hadiah sepeda Jokowi juga dapat dicermati sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap gaya hidup elitis yang dicitrakan sebagai gaya hidup modern, yang mengutamakan kekuatan materialisme di atas spiritualisme kebudayaan. Jika dengan sepeda, orang terlibat menjaga keseimbangan antara “lahir” dan “batin” – kekuatan raga/energi disertai perhitungan jarak tempuh; maka pada gaya hidup elitis, -benda/material sedang menanjak pada posisi “master” (tuan) yang sedang menghegemoni struktur kesadaran dan moral manusia yang makin diposisikan sebagai “slave” (budak) yang dengannya nilai kemanusiaan dihargai – “kamu adalah apa yang kamu kendarai” sebagai adagium modernitas.
Perjalanan sejarah Indonesia, yang pernah dijajah Belanda sangat lama, cukup unik. Semangat anti-Belanda begitu kuat sehingga hampir pada setiap rezim representasi Belanda sebagai “penjajah” dan “kafir” selalu dimunculkan sebagai wajah bengis anti-kemerdekaan dan anti-Islam. Lihat saja film-film atau sandiwara-sandiwara populer di era rezim Orde Baru. Tendensinya terbalik terhadap Jepang, yang juga pernah dengan “tangan besi” menduduki Indonesia meskipun singkat. Namun, aspek kekejaman tentara Jepang tampaknya tidak signifikan sebagai collective memory tentang kolonialisme bangsa asing. Pendudukan Jepang rupanya menjadi titik-balik penting dimana gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda (Barat) mendapat momentum historis dan politisnya, lantas menjadi arena hegemoni baru Islam yang diidentifikasi sebagai kekuatan nasionalis vis-à-vis Kristen-Barat-Belanda.
Tampaknya tidak mengherankan jika bersepeda yang hingga kini menjadi budaya populer publik di seantero Belanda sama sekali tidak membekas dalam kebudayaan populer publik Indonesia. Kendaraan yang memadati ruas-ruas jalan semua kota di Indonesia adalah mobil-mobil produk Jepang. Tentu saja, di balik pertimbangan hegemoni ekonomi negara matahari terbit itu, kita juga dapat merasakan nuansa ideologis dari pertarungan “Barat-Timur” yang jejak-jejak ideologisnya masih membekas dalam struktur kesadaran sosial dan beragama publik Indonesia.
Nah, jadi setidaknya kita kini dapat pula merasakan bahwa segala pro-kontra tentang lomba bersepeda Tour de Moluccas pada segi tertentu merepresentasikan cara pandang ideologis kita terhadap sepeda sebagai tindakan budaya dan tindakan politik secara bersamaan. Sebab pro-kontra semacam itu tidak kita rasakan secara tegas ketika ada ajang drag-race sepedamotor atau mobil (produk Jepang). Bahkan, kita sangat antusias untuk adu status di facebook saat ajang MotoGP dengan jagoan-jagoan asing seperti Valentino Rossy dll dengan tunggangan “Yamaha”, “Honda” dll. Antusiasme yang sama ketika klub-klub Eropa (terutama Barcelona, Real Madrid, Juventus, Inter-Milan dll) adu kocek bola di lapangan nan jauh di sana tapi hebohnya sampai di sini.
Jadi, kenapa kita tidak antusias menyambut ajang bersepeda ini? Soal penyelenggaraan silakan buka argumentasi dengan pemerintah sebagai penyelenggara. Tapi setidaknya kita juga dapat menangkap antusiasme publik menyambut ajang bersepeda ini meski berpanas-panas di pinggir jalan dan sibuk siaran “live” melalui medsos. Tidakkah kita bisa pula memaknainya sebagai ajang memahami kegelisahan publik untuk keluar sejenak dari kepenatan hidup dengan seluruh kemacetan birokratis dan lalu-lintas yang mewarnai keseharian mereka?

Ayo ngegowes cuk! 



Read more ...

Friday, September 1, 2017

30 Menit Bersama KH Said Aqil Siradj


Suatu kehormatan bagi saya untuk mendampingi Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sambil mendengarkan kefasihan beliau menyampaikan "tausiyah kebangsaan" yang mengulas sejarah peradaban dan pemikiran Islam, sebagai sejarah yang berkelindan dengan sejarah bangsa-bangsa dan agama-agama lain. Tausiyah kebangsaan ini beliau sampaikan selama kurang-lebih 30 menit di hadapan 300-an peserta Konsultasi Nasional (Konas) Forum Komunikasi Pria Gereja ~ Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung di Ambon, 29-31 Agustus 2017. Peserta Konas ini berasal dari berbagai denominasi gereja anggota PGI dari wilayah timur hingga barat Indonesia.

Beliau lebih mengulas secara naratif peranan Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban Islam yang kemudian menjadi fondasi kehidupan kemanusiaan di berbagai wilayah, termasuk peranan nilai-nilai Islami dalam proses membangun karakter keindonesiaan seperti yang diintroduksi dan dipertahankan oleh Nahdlatul Ulama.

Beberapa butir gagasan yang dapat dirangkai adalah sebagai berikut:

Agama dan Kewarganegaraan: Peranan Nabi Muhammad SAW yang penting adalah ketika nilai-nilai peradaban baru diperkenalkan dalam konteks masyarakat Medinah, yang secara harafiah disebut sebagai “masyarakat madani” atau masyarakat berkeadaban. Indikator berkeadaban itu pertama-tama dapat dilihat pada dimensi ekonomi dan politik yang berkesejahteraan. Dalam konteks Medinah, Nabi memperkenalkan kebudayaan yang lebih terbuka dan toleran dalam mengelola kehidupan bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang berbeda, baik secara etnis maupun agama.

Fungsi Sosial Agama: Penelisikan sejarah peradaban Islam hingga sekarang pada hakikatnya memperlihatkan wajah fungsional agama (Islam) dalam membangun kehidupan sosial-budaya umat Muslim. Dalam perspektif itu, Islam tidak semata-mata dilihat sebagai agama yang ritualistic tetapi sebagai agama yang fungsional. Agama yang fungsional adalah agama yang mampu menjadikan nilai-nilai dasarnya sebagai kekuatan penggerak perubahan sosial dari masyarakat menuju pada satu capaian “kesejahteraan sosial”, “kewarganegaraan yang setara” dan “penghargaan terhadap Kemajemukan budaya manusia”. Ketiga aspek tersebut harus menjadi indikator empirik dari agama yang fungsional, bukan lagi agama yang ritualistik dan seremonial.

Agama dan Potensi Kekerasan Atas Nama Agama: Kekerasan atas nama agama adalah fenomena dan realitas yang dapat ditemukan pada hampir semua agama. Dalam perspektif Islam, pengenalan terhadap Islam mesti dilakukan dengan memahami sejarahnya yang panjang dan dinamika sosial-politik-budayanya pada berbagai konteks. Dengan pengenalan historis semacam itu maka karakter beragama (Islam) mesti dipahami sebagai yang terbentuk dalam konteks yang berbeda-beda. Ada banyak unsur kebudayaan lokal yang berkelindan dengan proses pemaknaan ajaran agama (Islam). Oleh karena itu, potensi kekerasan atas nama agama dapat direduksi dengan cara: [1] kontekstualisasi teologi/ajaran agama; [2] pemahaman mendalam mengenai karakteristik Kemajemukan budaya masyarakat; [3] kebudayaan menjadi fondasi bagi agama, bukan sebaliknya.

Pemaknaan Agama dalam Kebudayaan Lokal: Agama-agama yang hadir dalam masyarakat Nusantara mempunyai sejarah dan dinamikanya sendiri-sendiri. Pada ranah Nusantara inilah agama-agama tersebut berjumpa dan disatukan dalam berbagai simpul kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kehidupan beragama pada konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia hanya dapat dimaknai jika agama-agama dilihat sebagai proses yang menghidupi identitas kebudayaan lokal masyarakat Nusantara. Jadi, bukan agama-agama yang justru menghancurkan identitas kebudayaan lokal itu. Maka di sini agama-agama selalu membutuhkan proses penafsiran budaya agar dapat menemukan “mutiara keharmonisan” dalam berbagai dimensi religiositas yang hidup di Nusantara.

Agama dan Nasionalisme Keindonesiaan: Sejarah Islam, terutama Nahdlatul Ulama, di Indonesia dengan sangat jelas telah memperlihatkan kecerdasan dan kedewasaan beragama dalam konteks masyarakat majemuk ini. Sejak awal berdirinya republik ini, NU telah memperlihatkan keberpihakan pada kesepakatan untuk bersama-sama dengan seluruh kelompok etnis dan agama lain, mendirikan Republik Indonesia. Realitas kuantitatif penganut Islam yang besar dibandingkan yang lain tidak menjadi standar politik membangun Indonesia sebagai “rumah-bersama” bagi semua orang/kelompok. Itulah yang mendasari pertimbangan NU untuk tidak mempersoalkan dicoretnya “7 kata” dalam diskursus mengenai dasar konstitusional Indonesia sebagai negara-bangsa baru pada Agustus 1945. Dalam perjalanannya, NU menjadi salah satu organisasi Islam terbesar yang berdiri tegak memperjuangkan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces